Uncondotional Love

DISCLAIMER : Masashi K. I do not own Naruto

WARNING : AU, OOC (?), Typo(s), Abal, I don't own that pic, etc.

.

.

.

.

.

.

.

Just enjoy the story ^.^

Don't Like? Don't Read. Simple kan? :D

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Chapter 1 – Prolog

Banyaknya suara derap langkah kaki yang menggema menggambarkan hiruk pikuk manusia ditempat ini. Salah satu dari suara derap langkah kaki itu juga berasal dari sepasang kakak beradik yang tengah melangkahkan kakinya menuju tempat pemeriksaan sekuriti (Security Check).

Sang adik kembali mengecek dokumen perjalanannya, seperti tiket pesawat, kartu identitas, dan passport. Ia mendesah lega semua dokumennya tidak ada yang tertinggal. Ia kembali menatap antrian panjang menuju Security Check, lalu menghela nafas kasar. Sang kakak yang menyadari tingkah adiknya, lantas mengeluarkan botol minuman berisi jus stroberi kesukaan adiknya.

"Minum dulu.." tawar Sang Kakak berambut merah darah.

Sang adik meringis. Ia bersyukur memiliki kakak yang begitu perhatian padanya. Bahkan bisa dikatakan over protective, atau istilah beken-nya Sister Complex. Tapi Sang adik yang diketahui namanya Sakura, tak mempermasalahkannya sama sekali, meski kadang-kadang sedikit berlebihan. Justru perhatian itu memang Sakura butuhkan, apalagi tidak ada lagi kehadiran orang tua diantara mereka. Kedua orang tua Sakura dan Sasori – Sang Kakak, telah meninggal dunia kecelakaan mobil 2 tahun yang lalu.

Setelah menunggu kurang lebih 20 menit mengantri, akhirnya tiba juga giliran Sakura menjalani pemeriksaan. Gadis bersurai sewarna gulali itu meletakkan koper besarnya untuk diperiksa oleh mesin x-ray. Setelah melewati pemeriksaan barang bawaannya, kini Sakura harus melewati mesin Walk Through Metal Detector (WTMD). Sakura menganggap semua pemeriksaan ini rumit dan membosankan, tapi apa boleh buat, peraturan tetaplah peraturan. Lagipula ini bukan kali pertama Sakura akan bepergian menggunakan pesawat.

BIP! BIP! BIP! BIP!

Suara detektor yang melengking itu sontak membuat Sakura panik. Bahkan orang yang berada dibelakang antrian Sakura pun ikut terkejut. Petugas pemeriksa pun memandang Sakura curiga.

"Bisa saya periksa badan Anda, Nona?"

Sakura meneguk ludahnya, lalu mengangguk kaku. Takut dan gugup bercampur. Seingat Sakura ia tak membawa benda apapun yang mengandung metal. Benda seperti Smartphone, kunci, dan benda-benda lain yang mengandung metal sebelumnya sudah Sakura keluarkan. Ia tak habis pikir, kenapa mesin WTMD masih mendeteksi adanya metal?

Sakura hanya bisa pasrah ketika petugas pemeriksa wanita berbadan tegap itu memeriksanya. Ia berharap kalau bunyi tadi dihasilkan karena kesalahan mesin, bukan karena kesalahan Sakura.

"Ah..dapat!" seru petugas pemeriksa sambil menarik sesuatu dari jaket Sakura.

Sakura mendelik melihat benda yang dikeluarkan petugas pemeriksa itu. ia benar-benar sulit percaya ada benda seperti itu di saku jaketnya. Ia tak habis pikir kenapa benda seperti itu ada di saku jaketnya? Atau...

"Nona, dilarang membawa benda tajam dan berbahaya. Seharusnya Anda tahu peraturan bandara ini berlaku di bandara manapun." Tegurnya sambil membuka pisau lipat yang dipegangnya.

Sakura bisa mendengar bisik-bisik para passenger lain sedang membicarakannya dan melihatnya dengan tatapan seolah Sakura adalah teroris atau semacamnya. Tapi Sakura berani bersumpah ia tak pernah berniat membawa benda tajam itu.

"Ta..tapi..sa..saya benar-benar tidak tahu kalau benda itu bisa ada didalam saku jaket saya." Sangkal Sakura.

"Ma..maaf...Saya yang..memasukkannya ke dalam saku jaketnya." Jelas Sasori yang nafasnya masih tersengal-sengal sehabis berlari dari arah toilet.

"SASORI?!...Kau!" Sakura menunjuk wajah Sasori, saat Sakura sedang marah dia akan lupa dengan panggilan 'niisan' yang seharusnya diucapkan.

"Untuk apa kau memasukkan pisau lipat ke dalam jaketku?!" protes Sakura setengah berteriak.

"Untuk perlindungan saja, Sakura. Kau akan berada jauh dariku, dan itu artinya aku tidak bisa melindungimu, oleh karena itu aku–"

"Cukup! Kau benar-benar membuatku malu, niisan.." potong Sakura, air matanya nyaris keluar karena malu bercampur marah.

Sasori menggigit bibir bawahnya. "Maaf..." ucapnya lirih, lalu mengalihkan pandangannya pada petugas pemeriksaan. "Tolong maafkan saya, adik saya tidak salah, saya hanya khawatir padanya.." Sasori membungkukkan badannya.

Petugas itu hanya menghela nafasnya melihat tingkah kakak yang berlebihan pada adiknya ini. Dan petugas itu pun, untungnya memaklumi tindakan Sasori. Tetapi pisau lipatnya tetap disita oleh petugas itu.

Sejak kejadian itu Sakura terus mendiamkan kakaknya itu dengan wajah ditekuk ke dalam. Sasori benar-benar merasa bersalah atas tindakan yang menurut adiknya terlalu berlebihan itu. kini Sasori dan Sakura tengah berada di ruang keberangkatan, menunggu waktu keberangkatan yang tinggal 15 menit lagi.

Tak lama kemudian Boarding Time Sakura pun tiba. Sakura bangkit dari duduknya, menoleh ke arah kakaknya yang masuh tertunduk lesu. Terbesit rasa bersalah karena sedari tadi ia mendiamkan kakaknya itu. Sakura tak marah pada kakaknya itu, hanya sedikit kesal dengan sifat sister complex-nya yang kambuh lagi.

"Niisan." Panggil Sakura tersenyum lembut.

Sasori mendongak menatap wajah adik kesayangannyan itu, lalu bangkit dari duduknya tanpa mengalihkan pandangannya pada emerald Sakura.

"Gomene...aku berangkat ya, niisan." Pamit Sakura memeluk erat Sasori.

"Aku yang seharusnya minta maaf, sikapku tadi berlebihan. Maaf ya?" Elaknya, mengeratkan pelukannnya pada Sakura.

Sakura menggeleng. "Tak apa."

"Kau yakin dengan keputusanmu ini, Sakura? Tidak mau kau –"

"Niisan, kita sudah membahas ini berulang kali kan? Aku tidak akan menyia-nyiakan kuliah dengan beasiswa ini. Niisan, sendiri kan yang menyuruhku untuk tetap melanjutkan pendidikan?" potong Sakura cepat.

Meski enggan, Sasori tetap mengangguk. Memang mereka berdua telah menyepakati kepergian Sakura untuk melanjutkan sekolahnya ke Konoha. Yang memang jauh dari Suna, tempat tinggal mereka.

"Tapi Saki..."

"Niisan!" pekik Sakura.

"Ya..ya...ya Baiklah. Pergilah, belajar yang baik disana, jangan pulang lewat jam 9 malam, mengerti? Ah...iya jangan makan sembarangan, jangan terlalu capek, jangan lupa minum vitamin yang kakak bawakan, oke?" celoteh Sasori panjang lebar.

Sakura memutar bola matanya. "Iya, aku mengerti." Jawab Sakura malas.

"Dan satu lagi," Sasori mengacungkan jari telunjukknya, "Jangan menjalin hubungan dengan pria apapun alasannya, tak lebih dari teman. Aku mengijinkanmu pergi untuk kuliah, bukan mencari pasangan hidup, mengerti?" tambah Sasori.

Sakura mengangguk paham.

"Bagus!" Sasori mengacungkan jempolnya, lalu kembali merengkuh Sakura ke dalam pelukannya. "Aku akan sangat merindukanmu, imouto."

Sakura membalas pelukan kakaknya. "Aku juga, niisan. Jaga dirimu juga ya? Kalau sudah sampai di Konoha akan segera ku kabari." Tukasnya, melepaskan pelukannya.

Sasori mengangguk. Sorot matanya masih menggambarkan ketidakrelaan melepas kepergian adiknya itu. Bukan tanpa alasan Sasori enggan melepaskan Sakura, karena memang hanya Sakura yang ia miliki sekarang ini. Melindungi Sakura adalah tanggung jawabnya sebagai pengganti kedua orang tuanya yang telah tiada.

Semakin lama Sakura semakin jauh dari pandangannya. Ia melihat Sakura menoleh dan kembali melambaikan tangan padanya. Sasori balas melambaikan tangannya dan tak lupa senyum hangat terpatri di wajah baby face-nya. Melihat senyum itu membuat Sasori bertekad akan melindungi dan membahagiakan adik satu-satunya itu.

.

.

.

.

.

To Be Continued

.

.

.

.

Author's Note:

Sasuke-nya mana? Sai-nya mana? Mungkin akan timbul pertanyaan semacam itu dalam hati pembaca (sok tahu :D) ini masih prolog, nanti karakter akan muncul satu per satu sesuai tahapan.