Genre: Angst/ Tragedy

Rated: T

Disclaimer: Death Note bukan punya saya. Tokohnya saja saya pinjam untuk mengerjakan karangan fiction yang saya buat.

Warning: OOC, AU, adanya kesalahan EYD,kesalahan penulisan, ada typo dan cerita yang gaje.

Kakak… aku suka matamu. Warna rambutmu, juga senyuman itu. Aku sangat menyukainya…'

Seseorang yang dipanggil kakak itu hanya diam. Matanya menatap sendu pada gadis mungil dihadapannya. Tapi gadis mungil itu malah tersenyum menyeringai.

'Maafkan aku… Meadow.', anak lelaki itu merunduk sangat dalam.

'Hanya itu? Hanya itukah yang mampu kau ucapkan setelah mencampakkanku? Kau pergi begitu saja, Matt!', suara itu memekik tajam. Matanya menyiratkan amarah. Tangannya mengangkat sebuah belati tinggi-tinggi. Gadis mungil itu hendak menghujamkan benda itu ke tubuh anak lelaki yang ia panggil kakak.

'Meadow! Meadow! Tunggu! Maafkan aku… kumohon… meadow… meadow… MEADOW! Aaaaaarghhhh…'.

.

.

.

Anak lelaki itu terbangun dari mimpi buruknya. Seseorang sudah memegang tangannya dengan erat sambil memandangi wajah bercucur keringat itu dengan khawatir.

"Kau mimpi buruk lagi, Matt? Bangunlah. Minum air ini.", bocah berambut pirang itu membantu kawan sekamarnya bangun dan memberikan segelas air.

"Siapa dia? Kau selalu menyebutkan namanya dalam igauanmu. Ini mulai membuatku khawatir, Matt.", matanya menyiratkan kekhawatiran, namun seketika berubah menjadi raut sebal.

"Kau selalu membuatku terkejut saat sedang belajar tengah malam. Kau tahu? Bisakah kau tidak terus berteriak seperti orang sinting pada tengah malam dan membangunkan seluruh panti? Aku tidak suka, sekaligus khawatir. Aku selalu tidak punya waktu hanya untuk membaca pada siang hari, Matt. Hanya ini satu-satunya kesempatanku, untuk belajar pada malam hari dan mengalahkan albino sialan itu. Aku tidak dapat berkonsentrasi jika kau terus menerus…"

"Aku akan tidur diluar kalau itu mau mu. Maaf mengganggu mu, Mello."

"Matt... Bukan seperti itu maksudku. Mungkin… kau harus menceritakan tentang 'Meadow-Meadow' yang terus kau sebut namanya itu. Mungkin itu akan membuatmu sedikit merasa lebih baik.", wajah bocah pirang bernama Mello itu tampak menyesal sekaligus khawatir.

"Maaf. Tapi aku tidak bisa, aku belum siap.", senyuman singkat itu menjadi pertanda bahwa bocah bernama Matt itu sedang tidak ingin diganggu.

"Baiklah, jika itu mau mu. Lakukan apa yang membuatmu merasa lebih baik.", bocah pirang itu berujar tidak peduli.

Blam.

Tap.. tap.. tap.. tap..

Asrama Whammy's pada malam hari. Seperti malam-malam sebelumnya. Sunyi, tenang, dan juga suram. Ini merupakan tahun ketiga ia berada disini. Bangunan tua menyeramkan, itu yang dirasakannya.

Sudah tiga tahun. Mimpi itu terus menghantuinya. Bahkan, setiap malam menjadi lebih buruk dari malam-malam sebelumnya.

Lorong Whammy's yang panjang tampak tak berujung. Ini sudah seperti menjadi kebiasaannya. Berjalan tengah malam. Dan seperti biasa, tempat yang ditujunya adalah atap asrama.

Ditatapnya langit dari sana. Ia melihat bintang, bulan, masih sama seperti malam-malam sebelumnya.

"tsk!", Matt merenungkan apa yang diakatan Mello. Matt sadar bahwa kekhawatiran Mello bukanlah tanpa alasan. Tapi Matt tidak dapat mengelak bagaimana mimpi itu juga mulai mengganggunya.

Matt mengamati bungkusan kecil berbentuk persegi dan mengeluarkan sebatang rokok dari sana. Kemudian mengeluarkan pemantik dari salah satu saku celananya. Entah bagaimana, ia telah kecanduan panda benda itu sejak dua tahun lalu. Bahkan meskipun usianya belum menginjak tepat dua belas tahun, benda itu sudah menjadi ketergantungan baginya.

Benda yang mengingatkannya pada seseorang.

ia ingat bagaimana awalnya, Matt merasa cukup senang dengan kehadiran mimpi itu bersama seorang gadis mungil replikanya. Menatap gadis itu seperti bercemin. Rambut merah lebat, mata hijau bulat yang tampak sendu . warna kulit pucat yang melebihi dirinya membuat Matt beranggapan bahwa ia tampak masih suci dan polos.

Tapi dalam mimpi itu bukan sosok yang ia harapkan. Sosok itu selalu saja ingin membunuhnya. Kebencian tampak jelas dimatanya. Kenyataan pahit bahwa mempi buruk itu berhasil meracuni otaknya dan membuatnya merasa ketakutan setengah mati. Meraung-raung pada tengah malam dengan keringat yang tak henti-hentinya mengucur dari pelipisnya.