DISCLAIMER : Masashi Kishimoto

Pairing : NaruSaku slight NaruHina. Rated : T semi M (for lime) Genre : Romance. Warning : OOC. AU. Typos. Mainstream theme. Don't like don't read.

Story by Hikari Cherry Blossom24


Jodoh


Terdengar helaan nafas dari ruangan sunyi tersebut. Naruto Namikaze melonggarkan dasi yang melilit lehernya begitu meletakan tumpukan document di atas meja kerja, lalu menghempas punggung lebarnya di sandaran kursi. Penampilannya kini tampak kacau, pekerjaan yang membuatnya lelah.

Naruto mengusap wajah gusarnya. Bahkan sudah tengah malam begini dirinya tak kunjung pulang. Ia lelah dan ingin segera pulang ke rumah untuk istirahat, membagi keluhan kepada sang Ibu.

Tokk tokk..

Ketukan pintu dari luar sana membangunkan Naruto dari lamunannya. Paling hanya karyawan yang minta izin pulang duluan. "Masuk.." Sahutnya atas ketukan tersebut dengan nada tenang.

Pintu di sana terbuka. "Boss, ada yang ingin bertemu.."

Melalui gerakan kepala karyawan disana memahami isyarat tersebut. Seorang wanita bersurai pendek sebahu menampakan diri, Naruto kenal orang itu. Dia tersenyum ke arahnya, seketika membuatnya tertegun setelah menyadari satu hal.

"Hinata..."

Dia adalah gadis berponi rata dengan wajah yang menawan, kekasih yang sama sekali tak Naruto cintai. Mereka jadian karena kesalah pahaman, menjadi pria terlalu baik membuat dirinya terjebak dalam hubungan yang tidak di inginkan.

.

.

.

Hinata meraih tangan lebar Naruto, dan menggenggamnya. "Katakan.." Ia menudingnya dengan tuntutan.

Sebelum membuka suara Naruto tampak menarik nafas. "Kita tidak bisa melanjutkan hubungan ini." Dirinya telah di jodohkan oleh wanita pilihan sang Ibu, tentu ia menerima perjodohan itu karena begitu menyayangi sang Ibu. Harta satu-satunya yang ia miliki, sosok yang menjadi Ayah sekaligus Ibu setelah kematian Ayahnya beberapa tahun yang lalu. "Putuskan aku.." Lanjutnya kemudian.

"Bagaimana kalau aku tidak mau memutuskanmu?"

Naruto mengerutkan dahi. "Harus kau lakukan. Lebih baik wanita yang memutuskan hubungan, karena aku tidak bisa melalukannya.."

Semua terjadi gara-gara ulah temannya. Setelah menjalani wisuda 2 bulan kemudian mereka mengadakan pesta dalam rangka perpisahan. Melihat Naruto yang begitu baik kepada Hinata membuat mereka berpikir bahwa Naruto menyukai putri sulung Hyuuga, kebetulan pula Hinata menyukai dirinya.

Jika mengenal Naruto lebih dekat maka orang itu bisa menilai seperti apa sosoknya. Dia orang yang baik kepada siapapun, namun karena kebaikannya itu membuat setiap wanita yang berada di dekatnya salah mengira.

Wanita mana saja jatuh hati kepadanya. Tak hanya tampan dan tinggi, Naruto juga lelaki yang ramah. Tapi siapa sangka karena terlalu baik membuatnya terlibat dalam dunia percintaan. Teman-teman mengira dia menyukai Hinata, dan memutuskam untuk menyatukan mereka dengan trik.

Waktu itu Naruto hendak menolak, tapi tak berdaya saat melihat betapa rapuhnya Hinata. Mereka berpacaran bedasarkan rasa kasihan, setidaknya ada kesempatan untuk Hinata.

"Lagipula lusa aku akan menikah."

Hinata tahu mengenai hal itu, Naruto sudah menjelaskan sebelumnya. Pernah mencoba berusaha, namun usahanya gagal. Ibu Naruto tidak mau menerima dirinya sebagai menantu, dia bersikukuh memberikan Naruto kepada wanita pilihannya.

"Aku tidak mau putus." Tentu saja, mereka bahkan baru menjalin hubungan selama 3 bulan, tak semudah itu memutuskan hubungan ini. Naruto terpaku. "Biarkan seperti ini sampai pada masanya.."

"Tap—"

Krieet

Kalimat Naruto di hentikan oleh Hinata yang beranjak dari tempat duduknya. "Jangan sungkan, datanglah padaku bila kau merasa kesepian. Aku selalu ada untukmu, ingat itu." Ia meninggalkan kecupan penuh cinta di puncak kepala Naruto, kemudian segera meninggalkan sang pria di restoran seorang diri.

Naruto memijit pelipis untuk mengurai pusing yang melanda. Dirinya tidak mencintai Hinata, selama ini baik kepadanya karena menghargai seorang wanita sebagaimana ia menghargai sang Ibunda. Tak disangka Hinata akan bersikap seperti ini. Dia tidak mau melepaskan dirinya.

.

.

.

"Bibi Kushina itu orang yang sangat baik.." Mebuki berceloteh sambil memposisikan letak sendak dan garpu diantara tengah piring. Sakura Haruno tersenyum mendengarkan cerita tersebut. "Kami dulu bersahabat dengan baik, aku sayang kepada dia."

Semuanya begitu jelas saat di ingat. Dulu mereka bersahabat, bahkan sudah saling menganggap saudara sendiri. Cukup lama mereka bersama hingga suatu hari keduanya berpisah. Kushina pergi meninggalkan Konoha sedangkan Mebuki melanjutkan kuliah, sampai bertahun-tahun mereka tidak saling berhubungan lagi.

Jarak yang memisahkan kedua sahabat karib tersebut, tibalah suatu hari Kushina kembali setelah 30 tahun menjadi warga Tokyo. Datang ke Konoha dengan status janda dan mempunyai seorang putra lajang, Suaminya yang bernama Minato Namikaze telah lama meninggal dunia karena serangan kanker di paru-paru. Saat itu Naruto masih kecil sekali, di usianya yang 16 tahun dia harus menjalani hidup tanpa seorang Ayah.

Setetes liquid menitik disudut mata Mebuki. Penderitaan yang Kushina alami turut menyiksa dirinya. Sakura yang menyadari tangis senyap sang Ibu langsung memberinya pelukan hangat.

"Ibu.." Mebuki mengelus kepala Sakura yang berebah di bahunya. "Jangan sedih, aku janji akan menjaga mereka." Sakura meninggalkan bahunya, lalu mengusapkan sudut matanya sambil tersenyum. "Aku sayang Ibu.."

Mebuki menggenggam tangan sang putri. "Janji ya jangan menyakiti Naruto-kun." Sakura mengangguk. "Terimakasih sayang." Ia pun memeluknya. Ibu mana pun akan merasa sangat beruntung memiliki seorang putri seperti Sakura, sosok yang begitu menyayangi keluarga.

Titt titt...

Suara klakson mobil dari arah depan rumah langsung membuat Kizashi beranjak bersama sang putra bungsu, keduanya bersama-sama membuka pintu untuk menyambut kedatangan Kushina. Wanita itu juga dulu teman sekolahnya, bahkan dia yang membantu mereka jadian hingga kini membangun rumah tangga.

Baru saja tiba di muka pintu, Mebuki yang tak bisa mengendalikan diri secara tiba-tiba langsung memberi pelukan hangat kepada Kushina. Wanita bermata violet itu terkekeh geli, Naruto hanya tersenyum melihat keakraban keduanya. Tak disangka Ibu nya memiliki keluarga angkat di Konoha.

Naruto menoleh, dan mendapati Sakura berada disebelahnya. Dia menadah, saat itu pula mereka bertemu tatapan. Wanita itu tersenyum dengan mata menyipit. "Selamat datang.." Sambutnya begitu ramah.

"Terimakasih."

.

.

.

Dia memeluk tubuh sendiri, sedikit mengusap lengan untuk membantu mengurangi dari angin malam yang mendinginkan kulit. Naruto tahu Sakura kedinginan, dengan segera ia melepas jas hitam dari tubuh jangkungnya kemudian mengenakannya untuk Sakura tanpa izin.

Pipi wanita itu memerah. "Salahmu malam-malam begini keluar pakai baju tipis seperti itu.." Sakura berjalan ke depan lalu duduk di tepian air pancur. Untuk kali ini Naruto merasa canggung, tapi menyenangkan.

"Apa kau bahagia?"

Pria itu memasukan tangan ke dalam saku celana. "Sudah pasti Ibuku bahagia, lalu apa kau juga bahagia?" Ia membalik pertanyaan.

Sakura membenarkan jas di tubuh mungilnya, mengeratkan supaya nyaman. "Aku bahagia.." Naruto tersenyum mendengarnya. Begitu duduk disebelah Sakura ia langsung menangkup sisi wajahnya, menadahkan kepala merah muda itu untuk menatap langsung mengenai mata.

"Mari mulai kehidupan baru. Menjalani segalanya bersama, dan saling melengkapi. Jadilah Istri yang baik untukku, temani hidupku sepanjang masa, jaga anak-anakku, besarkan mereka dengan seluruh kasih sayang yang kau miliki. Layani aku dengan hati yang ikhlas. Aku tahu kau wanita baik."

Sakura berkedip, sedang mencerna semua kalimat barusan. Panjang lebar tapi singkat, padat dan jelas.

Selama 2 bulan menjalani pendekatan diri membuat Naruto mengenal sebagian dari sosok Sakura, saat ini yang ia ketahui Sakura wanita baik, patuh dan sayang keluarga. Ibu nya tidak salah pilih. Entahlah kedepannya nanti.

Kening mereka bertaut. "Bagaimana?"

"Kita?" Naruto menganggukan kepala sebagai jawaban. Senyum Sakura merekah, dan membentuk lengkungan lebar yang semakin mempercantik wajahnya. "Itu artinya kau dan aku?" Lagi-lagi sebuah anggukan yang menjawab pertanyaan meyakinkan itu. Sakura memegang pergelangan Naruto. "Tentu aku mau." Ia menggenggam tangan kokoh itu.

"Terimakasih.." Naruto mengatupkan mata menikmati persatuan mereka.

Sakura menarik tengkuk Naruto, hanya untuk mempertemukan ujung hidung mereka sekilas. Mereka tidak bisa melalukan hal yang lebih dari ini, karena ia mengetahui kedatangan Konohamaru kemari.

Begitu tiba di tempat mereka berada, Sakura bergegas memisahkan diri dari Naruto. Kedunya beranjak. "Ibu memanggil kalian." Ujar bocah cilik itu menyampaikan pesan dari dalam. Naruto mengacak gemas rambut jabrik itu, lalu merangkul bahunya dan mengajaknya masuk bersama.

Sakura mengikuti langkah Naruto disebelahnya. Lelaki pirang itu baik sekali, apakah selamanya dia akan seperti itu. Sakura harap sosoknya tidak akan pernah berubah.

.

.

.

Setelah memberi ciuman di dahi lebar itu sabagai berkat, kemudian mengaitkan kerudung transparan di gulungan sanggul Sakura. "Kau cantik sekali sayang.." Kushina mengelus pipinya dengan lembut.

"Terimakasih Ibu. " Bahkan sebelum melaksanakan pernikahan ini Kushina sudah lama menyuruhnya panggil dengan sebutan Ibu. Toh, pada akhirnya Kushina tetap menjadi Ibu mertuanya.

Sementara di altar sana terlihat Naruto yang mengenakan tuxedo serba putih tengah menanti kedatangan si pengantin wanita. Dia berdiri tegap di dekat pendeta. Percaya atau tidak, lelaki pirang itu tampil memukau hari ini, dia begitu tampan di mata para wanita.

Penantian yang cukup lama, hingga akhirnya pengantin wanita tiba di gereja bersama sang Ayah. Naruto menyodorkan tangan setelah Sakura tiba di dekat altar, sebelum melepas sang putri Kizashi memberi kecupan di keningnya lebih dulu.

"Ayah menyayangimu Nak.." Sakura tersenyum haru, seras hendak menangis saat ini juga.

Tangan berbalut wedding glove sebatas lengan itu menerima sambutan tersebut, si pria membawanya naik ke altar dengan gandengan.

Setelah menginjak altar Naruto tak kunjung melepaskan genggamannya terhadap tangan Sakura. "Kau cantik sekali." Ia mengungkapkan pujian itu dari hati yang terdalam, karena wanita dihadapannya saat ini benar-benar terlihat cantik. Sangat cantik.

Naruto menangkup wajah Sakura, membawa tatapan teduh itu padanya. Dadanya bergerumuh melihat sosok indah itu.

Pendeta membuka kitab, pertanda janji suci akan diucapkan bersama. "Saudara Naruto Namikaze.." Si pendeta menyadarkan Naruto dari jeratan pesona Sakura. "Sekarang ucapkan janji nikah Suadara dengan bersungguh-sungguh tanpa keterpaksaan."

Sebelum itu Naruto menelan ludah. Jantungnya berdetak keras karena gugup. Ini hari yang sangat istimewa dalam hidupnya, begitu juga dengan Sakura.

Dari bangku yang terletak paling belakang terdapat Hinata disana sedang duduk menyaksikan pernikahan sang kekasih dengan wanita lain. Hatinya perih, namun tak berdaya untuk melawan takdir.

Satu hal yang saat ini Hinata pikirkan. Apakah Naruto mencintai wanita merah muda itu?

Cincin emas tersemat dalam jari manis Naruto. Usai saling menukar cincin Naruto langsung menarik Sakura, tidak menciumnya di bibir melainkan di kening. Ia suka dahi lebar itu.

Riuhnya suara tepuk tangan memenuhi ruangan gereja, menemani musik yang mengalun lembut menyaksikan pernikahan mereka. Tentunya Sakura tersipu diperlakukan dengan manis oleh Naruto.

.

.

.

Sepasang mata hijau itu begitu jeli mengamati deraian air hujan dari balik dinding kaca tempat dia berdiri— menanti. Air tawar itu mengalir deras dari atas atap, mereka berasal dari langit mendung yang menaungi kota Tokyo. Cuaca malam ini dingin sekali, tidak nyaman berada seorang diri di ruangan tersebut.

Sakura memejamkan mata, dan saat membukanya ia langsung melihat sebuah mobil sedan memasuki area parkir di bawah sana.

"Dia datang.."

Gadis itu sempat mengira Naruto tidak akan kembali setelah pulang ke Konoha seorang diri, gara-gara mengejar pekerjaan kantor harus membuatnya lelah seharian ini. Beberapa jam setelah menikah mereka langsung berangkat ke Tokyo untuk pergi bulan madu, para Ibu yang memaksa mereka untuk pergi sekalian berlibur di Tokyo.

Hanya 2 hari waktu untuk Naruto menikmati masa pengantin baru, setelahnya dia harus aktif kembali seperti sedia kala.

Cuti? Omong kosong. Naruto dibuat kesal karena panggilan dari kantor yang memaksanya untuk segera datang, maka dengan terpaksa meninggalkan Sakura di Hotel sendirian. Ia jadi merasa bersalah, belum apa-apa Sakura sudah sendirian. Bersyukur perjalanan dari Tokyo ke Konoha mampu ditembus menggunakan mobil.

Beginilah sekarang. Tengah malam Naruto baru tiba di Tokyo, berada di Konoha cuma satu jam setengah, setelah menyelesaikan masalah dirinya langsung bergegas kembali kepada Sakura.

Belum sempat menekan bel seseorang dari dalam sana lebih dulu membuka pintu, kini terdapat tangan Naruto yang terangkat di udara. Sakura terkekeh, Naruto masuk segera ia pun menutup pintu.

"Kau terlalu memaksakan diri.." Sakura mengoceh seraya melepaskan jas lembab milik Naruto dan membawanya ke kamar mandi, saat keluar dari sana di tangannya terdapat handuk kecil. "Secepat itu 'kah selesainya?" Ia menggunakan handuk tersebut untuk mengeringkan rambut Naruto. "Kau pasti lelah sekali ya."

Naruto menghentikan gerakan tangan Sakura. "Jika aku lupa ada kau yang mengingatkan, itulah gunanya aku menikah denganmu.." Wanita itu tertegun mendengarkan. "Untuk menjaga diriku dengan semua peraturan yang kau buat. Ibuku sudah lepas dari tugasnya, sekarang giliranmu untuk mengurusku."

Sakura mengulum senyum. "Aku akan bersikap keras kepadamu.." Naruto mengkat kening sebagai tanda acuh. "Kita sudah berjanji untuk saling menjaga, aku tidak akan mengingkari janjiku." Sebuah janji yang diucapkan dihadapan Tuhan, jika mengingkari akan ada karma yang membalas.

Naruto merebut handuk dari tangan Sakura. "Uhh, tanganmu dingin.." Ia menautkan kening mereka untuk merasakan suhu tubuh Sakura, dan hasilnya dia baik-baik saja. "Ohh, jadi kau sedang kedinginan ya?" Kepala sewarna permen kapas itu mengangguk. "Kenapa tidak menyalakan penghangat ruangan.."

Sakura menahan tangan Naruto, menghentikan niatnya yang hendak menyalakan penghangat ruangan. "Sudah aku nyalakan."

Lelaki itu terdiam. "Sepertinya dia tidak tahan dingin.." Gumamnya pelan, Sakura tidak bisa mendengar. "Jadi tidak berefek?" Dari raut wajahnya telah membenarkan, Naruto berpikir saat itu juga. Lirikannya tertuju pada Sakura, seketika ia menyeringai. "Ada 1 cara yang ampuh.."

"Eh!" Sakura bahkan tak sempat mengucapkan apapun, tiba-tiba Naruto membopong tubuhnya lalu di bawa masuk ke dalam kamar.

Kasur empuk itu tenggelam ketika tubuh Sakura mendarat di sana. Naruto mengungkung wanita itu, menguncinya dari atas. Sakura memalingkan wajah ke arah samping, terlalu malu untuk membalas tatapan Naruto.

Tangan berbalut otot itu merayapi wajah Sakura, bermain di batang hidungnya yang mungil. Atensi si empu sukses teralihkan kembali padanya. Sakura memilih diam menikmati. Entah kenapa dirinya begitu malu, padahal mereka sudah saling kenal meski baru 2 bulan.

Naruto terkekeh geli melihat wajah mulus itu bersemu padam. Ia memulainya dengan ciuman di kening, kelopak mata lalu turun menuju hidung. Meninggalkan kecupan dibagian daging lancip itu, kemudian langsung meraub bibir mungil nan menggoda milik sang Istri. Ini ciuman pertama mereka.

Perasaan yang bercampur aduk. Baru kali ini Sakura merasakan nikmatnya berciuman, sebelumnya hanya mendengarkan cerita dari teman-teman. Tidak buruk, malah ketagihan dengan ciuman ini.

Saat paru-paru semakin menipis dengan berat hati Naruto melepaskan bibir Sakura. Mendapat pasokan oksigen Sakura lansung menghirupnya dengan rakus, seolah tak lagi memiliki jantung untuk bernafas.

Naruto hendak melanjutkan lagi, namun Sakura menghentikan. "Emm.. e-etto..." Ia gelagapan. Naruto menanti dengan tak sabar. Sakura melirik ke samping, menghindari tatapan dari mata biru yang berkabut itu. "Uumm... pe-pelan-pelan ya." Naruto tertegun. "K-kau, yang pertama."

"Aku jadi merasa telah menjadi pria bajingan.."

Sakura mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"

Menggelengkan kepala lalu Naruto tersenyum. "Bukan apa-apa.." Tangannya bergerak nakal, menggerayangi pinggang Sakura dan saat menemukan yang dicari ia langsung melepaskan tali Piyama tersebut. Sakura semakin malu.

Naruto tergoda melihat Sakura memejamkan mata. Dia meraih tengkuknya, lalu menjadikan rambut pirang miliknya sebagai pelampiasan atas apa yang dirasakan. Tubuhnya merinding karena sentuhan dari telapak kasar milik Naruto, seperti siksaan.

Mereka kembali melakukan ciuman, kali ini dengan sensual. Sakura membuka mulut— mengizinkan Naruto masuk, saat tiba ia pun menyambut dengan baik. Tangan Naruto masih terus bergerak, hingga tibalah tangan nakal itu di bagian bawah. Lebih tepatnya dibagian bokong.

"Uhmmhh..."

Erangan halus itu terdengar menggelitik di telinga Naruto. Birahinya bangkit begitu pesat, kali ini benar-benar mengingikan sang Istri. Dirinya tidak bisa berjanji, siapa tahu saat bangun di esok hari Sakura lumpuh dalam sehari, terlebih ini malam pertama dia bercinta. Tentu saja Istrinya itu masih perawan.

.

.

.

Kelopak itu sempat terbuka sesaat, namun kembali terkatup karena masih terlalu berat untuk di buka. Si empu menarik nafas panjang dalam tidurnya, dan baru saja hendak terlelap pulas seketika membuatnya terkejut lalu membuka mata. Mata bulat itu berulang kali mengerjap, sedang menarik rohnya kembali setelah lama berkelana semalam.

Hal yang Sakura rasakan saat tersadar bagian selangkangannya terasa nyeri, terutama pinggul. Ia mengerang, tapi memaksa bangun. Duduk di sana untuk memulihkan energi sembari mengedarkan pandangan disekitar. Semua yang berberada jauh dari jangkauan ranjang tampak baik-baik saja, sementara tempat tidur tampak kacau seperti kapal pecah.

Sprai yang awut-awutan, bantal terjatuh di lantai, sementara itu diselimut terdapat bercak yang mengering. Alhasil, bau darah kering berpadu dengan bebauan anyir yang mengusik indera penciuman Sakura.

Usai meregangkan badan wanita itu menghiraukan rasa tak enak keadaan tubuhnya, dengan wajah memerah dia menggulung sprai kotor itu lalu mengantarnya ke tempat kain kotor. Setelah kasur giliran dirinya.

Sakura membawa tubuh telanjangnya yang penuh dengan kiss mark ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.

Berada di dalam sana membuat Sakura bepikir mengenai Naruto. "Dia pasti di bawah.." Mungkin sedang sarapan. Imbuh batin Sakura. Setelah mandi ia akan turun menyusul Naruto untuk menemaninya.

Sementara itu keadaan di bawah sana cukup membuat suasa tidak nyaman. Hinata kesal kepada Naruto karena sejak belasan menit berlalu hanya beberapa kalimat singkat yang terlontar dari bibir merahnya. Pria itu bersikap dingin kepadanya.

Saat ini mereka berdua sedang berada di sertoran Hotel, Naruto yang awalnya duduk sendirian di datangi oleh Hinata.

"Kau tahu dari mana aku ada disini?"

Pria itu mengajukan pertanyaan. Hinata tersenyum geli. "Mataku tak pernah luput darimu.." Jawaban yang jujur, membuat Naruto kesal mendengarnya. Ia menyesal telah menjalin hubungan dengan Hinata, padahal niat awalnya cuma untuk menghargai cinta tulus darinya. Yang dilakukan olehnya sama halnya kepada sang Ibu, menghargai para wanita.

"Apa yang kau inginkan?"

Hinata mendengus. Pertanyaan itu ketus sekali. "Aku datang untuk bertanya apa kau bahagia setelah pernikahan itu? Wanita itu mengurusmu dengan baik?"

"Tentu saja, Ibuku sudah memilihkan wanita yang tepat untukku." Hinata tahu Naruto sangat menyayangi sang Ibu, dia tidak pernah membantah, apalagi menolak keinginan Ibu nya. Semua dia lakukan untuk membahagiankan sang Ibu.

"Kau mencintai Istrimu?"

Diam-diam pipi Naruto merona samar, Hinata tidak menyadarinya. Bersyukur dia bisa mengendalikan diri ketika sedang gugup. "An—"

"Jangan di jawab, aku tidak siap mendengarnya." Apapun itu jawabannya ia tetap tidak akan siap. "Oh ya, kedatanganku kesini bukan untuk mengganggu bulan madu kalian.." Naruto siap mendengarkan. "Sore ini aku berangkat ke London untuk melanjutkan kuliah disana, aku kesini cuma untuk pamit."

Menyadari Hinata menyodorkan wajah Naruto pun langsung menarik kebelakang kepala pirangnya. "Kau tidak bisa lakukan itu." Dia memang lancang, bahkan dulu sering kali mencium bibirnya tanpa izin.

Terdengar helaan nafas. "Baiklah.." Hinata beranjak. "Beri aku pelukan sebagai salam perpisahan." Naruto bergeming, saat berdiri Hinata langsung menghambur ke dalam pelukannya. Tubuhnya di peluk erat saat ini. "Aku akan selalu merindukanmu disana.."

Sakura menyaksikan mereka yang sedang berpelukan disana. Ia berdiri di anak tangga, menghentikan langkah disana ketika mendapati Hinata bersama Naruto.

Naruto melihat Sakura, namun diam saja dan hanya memberinya tatapan meyakinkan untuk percaya. Sakura tersenyum. Ia mengerti semuanya, Naruto sudah menjelaskan tentang hubungan mereka sejak pertemuan yang kedua minggu.

.

.

.

Dia memasuki rumah mewah tersebut, menutup pintu lalu membuka sepatu dan mengenakan sandal rumahan bersama kaos kaki yang masih melekat. Hari pertama mereka tinggal di rumah bersama, bersama-sama pula memulai kehidupan baru.

Saat tiba di ruangan tamu pandangan Naruto mendapati Sakura sedang terlelap di sofa. Tidur meringuk disana dan menjadikan lengan sebagai bantal. Dia terlibat manis. Naruto menatap alorji yang melingkari pergelangan tanggannya, dan jarum pendek menunjukan baru pukul 9.30 PM.

Naruto pikir karena terlalu lama menunggu membuat Sakura jenuh berada di rumah seorang diri. Dia tidak pergi keluar, malah tidur terlelap disofa tanpa mengenakan apapun selain daster.

Pria itu tersenyum. Menghampiri Sakura dan ketika tiba ia menumpukan lutut di sofa, tepat dekat kaki Sakura yang meringkuk. "Aku pulang.." Bisikannya mengusik wanita itu dari alam mimpi, saat membuka mata wajah tampan langsung menyapanya.

Sakura tersenyum. "Selamat datang.." Ujarnya dengan suara parau. Naruto memberi kecupan sekilas diujung hidungnya yang mungil. "Maaf aku ketiduran."

"Tidak apa-apa.." Kening mereka saling bertaut.

"Uhh, kau bau masam." Naruto mendengus, Sakura terkekeh. Begitulah cara dia untuk memanipulasi sang Suami. "Mandi sana, sementara aku akan menyiapkan makan malam untukmu." Naruto tak kunjung menyingkir. "Naru.."

"Bayar dulu.." Naruto menyeringai. "1 ciuman." Tanpa banyak omong Sakura langsung menarik tengkuk Naruto, lalu memberi ciuman di satu tempat. Kembali Naruto mendengus. Yang di inginkan olehnya ciuman di bibir, bukan di kening.

"Sudah.." Sakura tersenyum kemenangan.

"Baiklah." Naruto menyingkir, tapi dengan berat hati. "Jangan lupakan makanan penutupku malam ini.." Pipi Sakura memerah, Naruto suka melihatnya.

Pukulan pelan tak dapat terelakan lagi ketika mendarat di dada Naruto. "Mesum!" Sakura beranjak, yang Naruto lakukan hanya melihat kepergian wanita itu memasuki dapur. Sungguh, dirinya yang cantik sangat cocok mengenakan daster merah itu. Kontras dengan kulit putihnya. Dia cocok dengan warna merah.

Naruto menggelengkan kepala, menepis pikiran kotor yang singgah di otaknya. Terlalu seksi dan menggoda, ia nyaris khilaf menerkam Sakura saat itu juga.

.

.

.

Untuk yang kesekian kalinya Sakura memasuki ruang tamu, dan keadaan disana masih sama. Terlihat Naruto sedang berkutat dengan laptop, dia serius sekali mengerjakan semua itu. Sakura menghela nafas. "Ini tidaklah baik.." Gumamnya lalu mendatangi Naruto.

Tupp!

"Eh!" Naruto kaget saat Sakura menutup laptopnya tanpa izin. "Sakura..." Panggilannya di hiraukan, malah dia menyimpan laptop tersebut ke dalam laci. Naruto menggaruk tengkuk.

"Lihat dirimu.." Sakura menutup laci. "Tubuhmu butuh istirahat, kau tidak bisa mengabaikan kesehatan selama aku bersamamu." Naruto mendengrkan omelan itu dengan hati tenang. Masih ada yang mau mengomeli dirinya seperti sang Ibu yang kini sudah lepas tanggung jawab atas dirinya.

"Sshh.."

Pandangan Sakura teralihkan begitu mendengar desisan dari tempat Naruto. "Ada apa?" Lelaki itu menekukan wajah sambil memijit pelipis. Sakura menghampirinya.

"Kepalaku sakit."

Wanita itu mendengus. Baru saja di katakan, sekarang langsung terjadi kepada Naruto. "Mari kubantu.." Naruto merebahkan tubuh, dan menjadikan sepasang paha Sakura sebagai bantal untuk kepala.

"Ini sering terjadi, biasa Ibu yang mengurusku dalam keadaan seperti sekarang." Kedua mata sipit itu terkatup menikmati remasan lembut dari para jemari lentik di puncak kepalanya. "Kau melakukan apa yang sering Ibu lakukan." Sakura tersenyum bahagia mendengarnya. Itu sebuah pujian yang manis untuk dirinya.

"Ini tugasku.." Naruto turut tersenyum.

"Ne, Sakura..."

"Iya?"

Terasa begitu nikmati jari-jemari mungil itu meremas kepalanya. "Jangan salah paham mengenai kejadian kemarin.." Naruto enggan membuka mata, terlalu sayang jika tak menikmati pijatan di kepalanya. "Hinata memelukku untuk yang salam perpisahan."

"Perpisahan?"

Naruto mengangguk. Ia pikir Sakura tidak ingin tahu mengenai masalah di Tokyo kemarin, karena tak sekalipun dia menjuruskan obrolan ke arah situ.

"Dia akan pergi ke London untuk melanjutkan kuliah di sana.."

Entah kenapa Sakura merasa lega setelah mendengarnya. "Apa benar kau tidak mencintai dia." Berasamaan pijatan itu berhenti, kedua mata Naruto pun terbuka. Ia menatap Sakura dari bawah— tempatnya berpangku. "Aku hanya ingin tahu." Jemarinya tersemat dalam helaian pirang milik sang Suami, menikmati kelembutan sutra tersebut.

"Bukan kah semuanya sudah jelas?" Sakura tersenyum kikuk. Tatapan Naruto tampak tak nyaman. Tentu saja merasa kesal, padahal dulu sudah pernah dijelaskan lalu kenapa sekarang Sakura mengulang pertanyaan yang sama. Naruto hanya tidak ingin melibatkan Hinata dalam hubungan mereka.

"Kurang jelas."

Naruto mendengus keras. "Sudah kubilang kami jadian berawal dari kesalah pahaman. Tak kusangka kebaikanku kepada Hinata dapat menimbulkan masalah yang begitu rumit. Mereka berpikir aku menykukai Hinata, padahal hanya sekedar menghargai.." Penjelasan yang terulang lagi, Naruto tidak punya pilihan lain.

Sakura mengulum senyum. Nyaman sekali menyematkan jemari di helaian pirang milik sang Suami. "Apa kau juga melakukan hal yang sama kepadaku?" Tatapan heran yang berawal dari bawah sana membuatnya terkekeh. "Sekedar menghargai.." Imbuhnya sebagai penjelasan.

"Bodoh! Kau itu berbeda, mana mungkin aku menyamakan dirimu dengan Hinata. Lagipula kau itu Istriku, untuk apa bertanya lagi.." Naruto yang kesal meraih tangan Sakura, dan meletakan telapak lembut tersebut di permukaan dada.

"Emm..."

"Apa lagi?" Wanita itu menggelengkan kepala. Naruto tahu Sakura kurang yakin mengenai hubungan mereka, terlebih semua ini terjalin karena perjodohan. "Bagaimana cara aku mengatakannya.." Ia beranjak meninggalkan paha Sakura, kini duduk disebelahnya.

Dada Sakura bergerumuh ketika tangannya digenggam lembut. Naruto Namikaze sosok yang lembut dan penuh cinta. Dia begitu baik, tentu saja banyak membuat wanita salah paham. Sakura salah satunya, dibalik siap baik Naruto ia tak tahu lelaki itu entah memiliki cinta atau 'kah tidak.

Naruto mengecup punggung tangan Sakura dalam genggamannya. "Karena kau Istriku jadi aku memperlakukanmu berbeda dari yang lain.." Ia menarik tengkuk Sakura untuk menautkan kening mereka. "Maaf jika aku tidak romantis, tapi aku hanya ingin mengatakan satu hal yang tidak pernah aku katakan kepada seorang wanita."

Deg deg..

Detak jantung itu terdengar keras. Naruto gelagapan, takut jikalau Sakura sampai mendengar suara degup jantungnya.

Tanpa disadari oleh mereka sepasang jantung sedang berdetak keras. Berasal dari dalam rongga keduanya masing-masing.

"Aku mencintaimu.." Pipi merona Sakura ditangkup oleh telapak lebar milik sang Suami. "Aku hanya mengatakan sayang kepada Ibu, ini untuk pertama kalinya aku mengatakan cinta." Ia tersenyum, kemudian mengecup hidung Sakura pada bagian ujungnya yang lancip.

"Sungguh?"

Tangan kokoh itu melingkari pinggang Sakura. "Berjuta sungguh." Merasa malu ia pun langsung menghambur kepelukan Naruto. Menyembunyikan wajah terbakarnya di dada bidang sang Suami. "Ne Sakura, aku ingin punya anak yang banyak darimu."

"Akan aku coba.." Cengir Naruto terkembang lebar mendengar jawaban tersebut. Dirinya memang mesum.


THE END


Pj untukmu geki :"v

Lagi ya, dikit aja...


EPILOGUE


Naruto masuk ke kamar, saat berada di dalam ia mendapati Sakura sedang tiduran di kasur. Dia terlihat sedang mengobrol dengan seseorang melalalui telepon.

"Lalu apa yang terjadi?"

"Tentu saja aku menerimanya.."

Sakura terkikik girang. "Cepatlah menyusulku kepelaminan." Ucapannya membuat orang diseberang sana merona. "Jangan ragu, aku tahu Sai laki-laki yang baik.."

"Jidat, jangan menggodaku!"

"Hee, aku hanya mengungkapkan apa yang aku pirkirkan." Wanita itu tergelak.

Naruto menaiki ranjang, saat itu pula mengungkung Sakura. "Kau bicara dengan siapa?" Ia berbisik agar tak mengganggu.

Sakura menjauhkan speaker ponsel. "Sahabatku.." Jawabnya seraya mentup speaker dengan tangan.

"Laki-laki atau peremuan?"

Wanita itu mengulum senyum geli. "Kau cemburu?" Rautnya terpajang tidak nyaman sekali, Sakura terkikik karenanya. "Ini sahabat perempuanku sejak kecil, namanya Ino Yamanaka.." Dia terlihat masih belum percaya. "Itu loh, si rambut pirang berkuncir yang bersamaku saat pernikahan kita." Sakura mencoba mengingatkan Naruto kepada seorang tamu blonde yang datang menghadiri pernikahan mereka. "Ingat?"

Naruto menggeleng. "Aku ingin bukti yang nyata.." Sakura terkejut. Naruto merebut ponsel dari tangannya, lalu memposisikan speaker ponsel ke telinga.

"Hallo Sakura? Kau masih disana?"

Seringai lebar tercipta, Sakura sendiri yang menyakiskan sebagaimana nistanya Naruto menyeringai. "Maaf Nona.."

Tuutt tuutt...

Sambungan mereka terputus. Sakura hendak membuka suara, namun Naruto menghentikan dengan segera. "Kau melupakan diriku." Ia berbisik di dekat telinga Sakura, menguarkan nafas hangatnya disana. Si empu bergidik karena bisikan halus tersebut.

Cengkraman terhadap pinggul sukses membuat Sakura tersentak, lalu merona karena malu. Ia tahu yang Naruto inginkan saat ini.

"Makan penutupku." Naruto meletakan ponsel milik Sakura di meja dekat ranjang. "Boleh kah?" Wanita itu mengangguk dengan gugup. Jantungnya berdegup liar, seakan hendak melompat keluar.

Mereka memulainya dari sebuah ciuman. Kening, kelopak dan hidung, setelah menjelajahi area wajah Sakura barulah Naruto mempertemukan bibir mereka. Memagut daging mungil itu dengan sensual, si empu mengerang lembut di bawah kendalinya.

Sakura terbuai. Tanpa sadar membalas lumatan Naruto, bahkan dirinya yang mendominasi dalam pergulatan bibir. Tangannya merambat naik menuju tengkuk Naruto, saat menggapai ia pun menarik sang Suami untuk semakin memperdalam ciuman.

Rambut pendek itu menjadi pelampiasan atas apa yang Sakura rasakan. Dia menjabaknya dengan geram, melepaskan perasaan dalam dirinya yang menggebu. Naruto yang mengalah sedang mencari objek lain, seperti melucuti celana dalam Sakura.

Tentu saja Naruto mengingatnya, bagaimana malam pertama mereka dirinya membuat Sakura menangis. Ia tidak akan pernah melupakan moment indah itu, terlalu manis untuk dilupakan.


OWARI^^