Disclaimer: Naruto and all character belongs to Masashi Kishimoto. This story is purely mine. I didn't receive any profits in this fanfiction.


Apa kamu tahu? Apa yang akan terjadi denganmu hari ini, besok, atau selanjutnya? Apa kamu bisa memastikan bahwa hidupmu akan berjalan sesuai dengan yang kamu rencanakan? Apa kamu yakin semuanya akan selalu baik-baik saja seperti yang kamu inginkan? Apa kamu lupa bahwa dalam sekejap takdir dapat saja mengubah segalanya? Hidupmu tidak akan lagi sama. Hidupmu akan berubah seluruhnya. Karena hidup itu enigma. Seperti sebuah rahasia yang masih berupa misteri. Takdir mampu melakukannya. Apa pun.


Uchihamelia Presents

wave of life

.

Chapter 1


Selebaran kertas menyerupai surat persetujuan tergenggam dalam jemarinya. Netra itu menatapnya dengan kening yang sedikit berkerut. Kepalanya terasa berdenyut-denyut. Hiruk pikuk keramaian suasana kantin saat jam istirahat seolah bukan apa-apa. Fokusnya terlalu lurus. Senggolan pelan pada lengan kanannya, kemudian menyadarkannya untuk kembali pada realita. Kelopak matanya langsung mengerjap beberapa kali. Kepalanya menoleh ke samping.

"Hei ... gaya melamunmu seperti orang tuli," ujar seorang perempuan dengan nada riang namun bercampur kesal yang duduk di sampingnya.

Gadis itu menghela napas pelan. "Maaf, Ino. Hm ... tadi apa yang kau bilang?"

"Keterlaluan, Sakura. Aku bahkan sudah mengulanginya sampai tiga kali, dan kau tak mendengar apa-apa?" tanyanya geram. Iris aquamarine Ino menatap nyalang.

Gadis yang dipanggil Sakura itu terkekeh dengan memajang senyum tanpa dosa di wajahnya. Mata bermanik emerald itu ikut menyipit ketika bibirnya membentuk lengkungan kurva ke bawah. "Ino ... aku sudah minta maaf, bukan? Ayolah, ulang sekali lagi, ya," ucapnya manja.

Ino mengerucutkan bibirnya ke depan. Ekspresi kesalnya masih belum hilang. Tapi puluhan detik kemudian, dia kembali berbicara. "Baiklah, hanya aku ulang sekali," katanya seolah memperingatkan.

Kepala bermahkotakan merah muda milik Sakura mengangguk semangat. Mimik wajahnya serius.

"Naruto bilang, deadline pengumpulan surat persetujuan itu adalah besok siang. Dia juga mengharuskan seluruh mahasiswa angkatan akhir fakultas ekonomi untuk wajib ikut dalam acara ini. Kau, sih, datang terlambat pas briefing pembagian surat persetujuan tadi pagi. Jadinya tidak tahu informasi, kan?" jelas Ino panjang lebar.

Sakura masih menatap Ino serius. Kerutan halus tercetak lagi di keningnya. "Penjelasan ini, yang tadi kau ulang hingga tiga kali? Aduh, Ino, semua perkataanmu itu sudah tertulis jelas dalam surat persetujuan ini. Itu juga yang membuatku melamun karena bingung. Huh, kupikir kau mau bilang hal penting yang lain."

Aquamarine Ino membulat. Kedua pipinya merona merah diakibatkan malu, karena sebenarnya dia belum membaca isi surat tersebut sejak menerimanya tadi pagi saat briefing di aula fakultas. Ceroboh! Niatnya ingin mengolok-olok sahabatnya, Sakura, malah gagal. Tangannya lalu tergerak dan menggaruk kepalanya sendiri yang tidak gatal. "Hehe, sebenarnya aku belum membaca isi surat itu, Sakura," akunya malu-malu.

Tangan Sakura menepuk pelan pundak Ino. "Dasar payah!" ejeknya puas. "Jadi, Ino, bagaimana? Si Naruto itu kebiasaan selalu mendadak membuat acara dan mewajibkannya ikut lagi!" keluh Sakura kesal.

Kepala Ino menggeleng, wajahnya tampak bimbang. Naruto adalah pencetus ide acara pendakian ini. Menurut Naruto, pendakian menuju Gunung Kabut adalah event kebersamaan terakhir sebelum sidang skripsi mereka yang kurang lebih tinggal satu bulan lagi. Hitung-hitung refreshing. Katanya.

Dan dia juga mewajibkan seluruh mahasiswa angkatan akhir fakultas ekonomi untuk ikut dalam kegiatan ini. "Aku juga bingung, Sakura. Dia itu gila! Selalu seenaknya saja membuat acara. Tapi ... apa yang diucapkannya juga benar. Acara pendakian ini adalah untuk acara terakhiran kita sebelum sidang skripsi yang tinggal sebentar lagi. Setelah lulus, kita semua memang akan sulit memiliki waktu berkumpul dan mengatur jadwal reuni. Jadi ... aku pasti akan memaksa orangtuaku untuk memberikan izin agar ikut dalam acara pendakian ini," jawab Ino yang berubah jadi antusias.

Sakura mengalihkan pandangannya ke depan. Menatap kosong entah ke mana. Apa yang dikatakan Ino tentang penjelasan Naruto memang benar. Acara pendakian tersebut adalah acara terakhiran mereka yang bisa dijadikan the last memory setelah mereka semua lulus nanti. Tidak ada yang menjamin mereka semua dapat berkumpul dan membuat acara keren lagi setelah lulus dari dunia perkuliahan. Alasan itu yang dijadikan dasar utama bagi Naruto untuk mewajibkan semuanya ikut dalam acara pendakian ini.

Si kuning bersuara cempereng itu juga pintar. Dia membagikan selebaran izin mengikuti acara yang harus ditandatangani oleh orangtua, agar nantinya tidak ada yang menuntut dirinya (Naruto) ataupun pihak kampus jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada diri mereka masing-masing. Naruto sadar betul jika pemberian izin dari orangtua sangat penting, mengingat ini adalah acara bebas yang dibuat oleh mahasiswa angkatan akhir fakultas ekonomi (yang mau tidak mau tetap ada sangkut pautnya dengan pihak universitas karena membawa-bawa nama fakultas) meski dirinya adalah penggagas ide acara ini sekalipun.

Namun ... tentu saja proses izinnya tidak akan berjalan dengan mudah. Sakura mafhum akan itu. Ayahnya sangat protektif padanya, dikarenakan dia adalah anak tunggal. Ayahnya juga sangat jarang memberikan dia izin untuk sekadar jalan-jalan bersama dengan teman-temannya. Dia hanya memercayakan Sakura untuk berpergian jauh jika bersama Gaara—tunangannya. Tapi, tidak mungkin juga Sakura mengajak serta Gaara untuk ikut dalam acara pendakian mengingat Gaara bukan mahasiswa di universitas ini. Sakura dilema.

Akan tetapi, seperti yang Ino katakan, Sakura juga ingin ikut seru-seruan dalam acara pendakian bersama dengan teman-teman satu angkatan fakultasnya. Dengan gerakan pelan, sudut bibir Sakura tertarik ke arah kiri dan kanan. Dia kembali mengalihkan pandangannya pada Ino. "Sudah kuputuskan. Aku akan merayu Gaara dan kedua orangtuaku agar diperbolehkan mengikuti acara pendakian ini," kata Sakura semangat.

Alis Ino bertaut heran mendengarnya. Namun sejurus kemudian, dia ikut tertawa keras bersama Sakura. Waktu tidak akan pernah bisa diputar ulang. Masa muda adalah masa di mana menikmati masa-masa muda dengan penuh keseruan. Keduanya satu konklusi akan itu.

-oOo-

Sepulangnya dari kampus tadi siang, Sakura sudah menyiapkan alasannya matang-matang. Dia segera meluncurkan idenya ini begitu selesai menyantap makan malam bersama kedua orangtuanya di ruang makan. Bahasa tubuhnya memang sedikit aneh. Namun Sakura mencoba memasang mimik wajah meyakinkan. "Ano ... aku ingin meminta sesuatu dari kalian," ujarnya gugup.

Sang ayah—Kizashi Haruno, segera mengalihkan atensi dari ponsel dalam genggamannya. Beliau menatap Sakura serius. Sedang Mebuki—ibunya, hanya menampilkan raut wajah bertanya dan penasaran.

Sakura meneguk salivanya. Sial, dia memang gugup. "Hmm ... okay, to the point saja. Jadi aku ingin kalian memberikan izin agar aku bisa ikut dalam acara pendakian ke Gunung Kabut tiga hari lagi." Sakura mengakhiri perkataannya dengan sebuah senyuman tipis di bibir.

Kening Mebuki berkerut, tulang rahang Kizashi menegang. Tanpa basa-basi, dan begitu tiba-tiba. Apa-apaan Sakura ini? Batin Kizashi geram.

"Kenapa mendadak sekali, Sakura?" sahut Mebuki lembut.

"Aku juga baru mendapatkan kabar tentang acara pendakian ini tadi pagi, Bu. Ya, acaranya memang mendadak," kata Sakura berusaha tenang.

"Aku tidak akan mengizinkan." Kizashi berucap tegas tanpa ingin dibantah.

Mata Sakura membesar. Wajahnya memerah. Sudah dia duga, proses izinnya pasti akan sulit. Orangtuanya terlalu protektif. "Ayolah, Ayah. Aku sudah 21 tahun. Tidak lucu jika kalian terlalu mengekangku seperti ini. Aku sudah dewasa! Jangan mengkhawatirkanku berlebihan."

Netra Kizashi berkilat nyalang. Rupanya putri tunggalnya sudah pandai membantah. Mebuki mencoba netral dengan diam menganalisa. Dia tidak ingin suasana bertambah panas.

"Dewasa itu menurutmu, kan? Bagiku, kau tetap putri kecil Ayah. Apa kau tidak berpikir, Sakura? Sidang skripsimu itu tinggal sebentar lagi. Bukankah masih ada beberapa bagian yang harus direvisi? Universitas macam apa yang malah mengadakan acara pendakian ketika sidang sudah di depan mata!" Kizashi berusaha mengontrol emosinya agar tidak mengeluarkan suara keras pada putrinya. Dia tidak ingin membentak Sakura.

"Ini bukan acara universitas, Ayah. Ini hanya acara bebas yang dibuat oleh anak fakultas seangkatan."

Kizashi mencebikkan bibirnya seraya mengembuskan napas keras. "Jika ini hanya acara yang dibuat oleh anak fakultas seangkatan, berarti acara ini tidak resmi. Dengan begitu, Ayah semakin yakin tidak akan mengizinkanmu ikut."

Sakura mengalihkan pandangannya pada Mebuki, berharap ibunya itu mau mengeluarkan suara sekadar membantunya mencairkan kekeraskepalaan akut suaminya. Namun sepertinya, tidak berjalan seperti yang Sakura harapkan. Mebuki masih tetap diam. Terpaksa Sakura pun harus kembali memberi pembelaan. "Justru karena itu ... ini adalah momen kebersamaan kami sebelum kelulusan. Selain itu ... ini juga adalah saat-saat terakhirku menikmati masa lajang sebelum Gaara mempersuntingku dua bulan lagi."

Mebuki tahu situasi sudah semakin panas. Dia mengusap lembut lengan Kizashi. "Ada benarnya juga yang diucapkan Sakura, Sayang," ucapnya menengahi.

Kizashi menggeleng, lelaki paruh baya itu memang keras kepala. "Tidak. Justru karena sidang skripsimu yang tinggal sebentar lagi, dan hari pernikahanmu yang hanya dua bulan lagi, aku melarang keras seperti ini. Harusnya kau mengerti! Ini untuk kebaikanmu juga, Sakura."

"Ayah bilang kebaikan? Kebaikan apanya? Jika sudah menikah, aku tidak bisa bebas lagi. Segalanya harus atas izin suami. Aku hanya ingin menikmati masa mudaku. Bukankah Ayah sendiri juga pernah muda?" sindir Sakura dengan intonasi suara yang mulai tinggi.

Tangan Kizashi bergerak sendiri menggebrak meja. Lelaki tua itu tersulut emosi. "Jaga bicaramu! Aku mengajarkanmu sopan santun bukan?"

Kepala Sakura menunduk. Dia sadar, dia juga berbuat salah di sini. Tidak seharusnya dia menggunakan intonasi suara yang cukup tinggi ketika sedang berbicara dengan orangtuanya. Tidak seharusnya. Namun ... Sakura juga tidak sepenuhnya bersalah. Dia hanya ingin orangtuanya mengerti. Dia masih muda. Dan dua bulan lagi statusnya akan berubah menjadi seorang istri. Dia hanya meminta izin dan pengertian. "Maaf ...," lirih Sakura hampir tak terdengar.

Mebuki mendekatkan wajahnya pada Kizashi. Wanita paruh baya itu berhenti begitu bibirnya sudah berjarak satu sentimeter dari telinga sang suami. Dia berbisik pelan, mencoba membujuk suaminya.

Sakura masih belum meluruskan pandangan, sampai kemudian dia mendengar suara Kizashi yang menguar setelah keheningan sempat menguasai selama dua menit.

"Baik. Anggap ini adalah hadiah sebelum masa lajangmu berakhir. Aku mengizinkanmu mengikuti acara pendakian itu dengan syarat jika Gaara mengizinkanmu ikut."

Kepala Sakura langsung terangkat, bibirnya merekah lebar. Wajahnya senang. Akhirnya, ayahnya mengizinkannya juga. Dia mengangguk. "Aku akan meminta izin Gaara besok pagi. Dan aku sangat yakin Gaara pasti akan mengizinkan karena dia sangat pengertian," jawab Sakura mantap. "Tapi ... bisakah Ayah menandatangani surat izin persetujuannya malam ini? Aku akan mengambil surat itu di kamar," lanjutnya.

Kepala Kizashi menggeleng. "Tidak usah. Aku percayakan semuanya pada Gaara. Calon suamimu itu yang akan menggantikanku menandatangani surat izin persetujuannya," ujarnya yakin.

Sakura tersenyum simpul. Dia mengerti. Ayahnya memang sangat memercayai Gaara.

-oOo-

Pagi ini, sebelum berangkat menuju universitasnya, Sakura terlebih dulu memacu laju mobilnya menuju kantor Dewan Parlemen Konohagakure. Tentu saja, untuk menemui Gaara. Calon suaminya adalah anggota dewan di divisi kesehatan Konohagakure. Sakura tahu, Gaara tipikal seorang lelaki workaholic. Lelaki yang akan segera meminangnya dua bulan lagi itu sangat totalitas dalam bekerja. Prinsip hidup Gaara adalah tidak ingin memakan gaji buta dengan memanfaatkan jabatannya sebagai anggota dewan. Dia tidak ingin mengecewakan rakyat yang telah memercayakan jabatan ini kepadanya. Sakura sangat menyukai prinsip hidup Gaara tersebut. Oleh karennya, Sakura tidak keberatan dengan kesibukan Gaara yang bahkan jarang mempunyai waktu untuk hanya sekadar kencan dengannya di malam Minggu.

Mobil Sakura telah memasuki pintu gerbang kantor tempat Gaara bekerja. Setelah memarkirkan mobilnya, Sakura segera turun dan memulai langkah. Sakura sudah mengirim pesan pada Gaara tadi malam, bahwa dia akan datang ke kantor Gaara pagi ini. Ada hal yang ingin dibicarakan. Gaara pun telah menyetujuinya, dan mempersilakan Sakura untuk langsung masuk ke ruangannya yang berada di lantai sembilan. Sebelumnya, Sakura sudah pernah datang ke kantor Gaara dua kali. Ini adalah kunjungannya yang ketiga.

Sakura menarik napas dalam setelah dia sampai di depan ruang kerja Gaara. Tangannya kemudian terulur untuk mengetuk pintu tersebut. Tapi, tidak ada sahutan ataupun suara yang mengujar. Apa mungkin Gaara ada rapat mendadak? Atau ... mungkinkah Gaara belum datang? Tapi mustahil. Batinnya berbicara sendiri. Tangan Sakura baru akan mengetuk ulang pintu tersebut, ketika pintu itu terbuka dengan tiba-tiba.

Gaara berdiri di depan pintu dengan senyum selamat paginya. Pakaian formal yang membungkus tubuhnya terlihat rapi dengan wajahnya yang cerah dan bersih. "Silakan masuk, Putri Perdana Menteri Konohagakure," sapanya ramah.

Kaki jenjang Sakura segera memasuki ruangan. Lalu dengan gerakan kasar Sakura mendorong pintu. Keningnya ditekuk dengan bibir yang mengerucut ke depan. Sakura langsung mendudukkan diri sebelum Gaara mempersilakannya.

Gaara menghampirinya seraya mengelus rambut panjang Sakura dengan gerakan halus. Sebuah senyuman tipis terbentuk di bibir Gaara. Lelaki itu sangat tahu apa yang menyebabkan Sakura dalam sekejap menjadi cemberut.

Putri Perdana Menteri. Sakura selalu sebal jika Gaara memanggilnya begitu. Padahal, hal tersebut adalah fakta. Ayah Sakura adalah seorang Perdana Menteri di Konohagakure. Tetapi Sakura sama sekali tidak suka jika semua orang memperlakukannya layaknya seorang putri. Sakura lebih suka jika orang lain menganggapnya sebagai Sakura Haruno, bukan Sakura Si Putri Perdana Menteri. Karena itu Sakura menolak keras ketika ayahnya memberinya dua orang bodyguard untuk mengawasi dan menjaganya setiap saat. Sakura ingin menjalani hidupnya dengan normal dan sederhana. Sakura berteman dengan siapa saja.

Di kampusnya pun, Sakura tidak lebih sebagai mahasiswi biasa seperti yang lainnya. Dia sama sekali tidak pernah memamerkan jabatan ayahnya, untuk sekadar menarik perhatian para dosen agar memberinya nilai yang memuaskan. Indeks prestasi kumulatifnya memang tinggi. Tapi nilainya tersebut didapatkan dari hasil belajarnya sendiri. Seringkali Sakura juga menyembunyikan identitasnya (nama belakangnya). Sakura melakukannya karena tidak ingin status ayahnya itu dapat membuat orang-orang menjadi canggung berteman dengannya. Sakura benar-benar gadis yang baik dan rendah hati. Sapaan Gaara tadi adalah candaan. Sakura tahu benar hal itu. Namun tetap saja, Sakura selalu sebal mendengarnya.

Tangan Gaara masih mengelus lembut rambut belakang Sakura. "Masih marah, eh? Maaf ... maaf," kata Gaara memulai konversasi dikarenakan Sakura yang tetap diam.

Sakura menghela napasnya, lalu memutar kepalanya agar berpandangan dengan Gaara. Viridiannya sedikit mendelik. "Please, Gaara. Aku tidak suka dengan candaanmu itu," ujar Sakura yang masih keki.

Kekehan pelan keluar dari mulut Gaara. Lalu lelaki beriris jade itu menganggukkan kepala. "Ya, tidak akan diulang lagi—" ucapnya yang memberi sedikit jeda, membiarkannya masih mengambang, "—untuk hari ini," lanjutnya seraya tertawa pelan.

Dengan refleks tangan Sakura langsung memukul lengan Gaara. Artinya, Gaara tidak akan mengulanginya memanggil begitu hanya untuk hari ini. "Menyebalkan," protes Sakura.

"Jadi ... ingin membicarakan tentang apa? Resepsi pernikahan kita? Gaun pengantin? Atau pre—"

"Tentang persetujuan izin darimu," ucap Sakura yang langsung menginterupsi pertanyaan Gaara.

Wajah Gaara sedikit berkerut. Bukankah ketika melamar Sakura lima bulan yang lalu, keduanya telah sepakat bahwa Gaara akan menyerahkan segala persiapan pernikahan mereka pada Sakura seorang? Gaara mengizinkan Sakura untuk memilih tema dan dekorasi pesta resepsi pernikahan mereka. Begitu juga untuk desain undangan pernikahan, gaun pengantin, katering, dan yang lainnya. Dia membebaskan Sakura yang memilih sesuai dengan seleranya. Gaara hanya tinggal menyetujui dan memberikan dana.

Bukan bermaksud egois. Tapi karena kesibukan Gaara inilah, yang akhirnya membuat keduanya berkonvensi untuk menyerahkan segala persiapan pernikahan ini hanya pada Sakura seorang. Sakura juga tidak keberatan, mengingat dia sangat mendukung kerja keras Gaara. Lalu ... mengapa sekarang Sakura harus meminta izin lagi padanya? "Izin ... apa?" tanya Gaara ambigu.

Sakura menegapkan duduknya, tatapannya serius. "Izin untuk mengikuti acara pendakian ke Gunung Kabut tiga hari lagi."

Rahang Gaara tiba-tiba mengeras begitu mendengar jawaban Sakura. Tapi dia mencoba tenang dan tidak akan menginterupsi Sakura sampai selesai.

"Ini adalah acara terakhiran yang dibuat anak fakultas seangkatan, sebelum kami mulai sidang bulan depan. Aku ingin ikut. Boleh ya, Gaara," bujuk Sakura sedikit merayu.

Masih berusaha untuk mengontrol diri, Gaara tetap bertahan dengan wajah datarnya. Sebenarnya ... dia tidak ingin. Sungguh tidak ingin untuk mengizinkan Sakura pergi mengikuti acara pendakian itu. Tapi, Gaara harus bisa memberikan alasan yang bijak agar tidak membuat Sakura emosi. Gaara menelan salivanya sebelum berkata, "Bukannya tidak boleh. Hanya menurutku ... akan lebih baik bukan jika kau fokus pada skripsimu? Fokus mempersiapkan materi dan juga mental. Dua bulan lagi kita juga akan menikah. Jika kau mau, kita bisa pergi mendaki ke sana saat bulan madu," ucap Gaara tenang.

Ekspresi kaget tampak menghiasi wajah Sakura. Dia mengerti dengan eksposisi Gaara. Itu artinya, Gaara tidak mengizinkannya pergi. Mengapa? Biasanya dia selalu pengertian. Gumam Sakura dalam hati, merasa kecewa. "Otakku mumet dengan skripsi, skripsi, dan skripsi. Aku juga butuh hiburan bersama teman-teman. Selain itu ... ini juga bukan sekadar acara mendaki. Ini adalah acara untuk kenangan sebelum kelulusan kami. Aku percaya Gaara, kau pasti mengerti maksudku."

Gaara mengalihkan pandangan. Dia berjalan kemudian mendudukkan diri di kursi kerjanya. Tangan kanannya dia gunakan untuk memijat pangkal hidung.

Sakura juga bergerak dari posisi duduknya, lalu berdiri di depan meja Gaara. Kemudian Sakura mengeluarkan selembar kertas yang merupakan surat izin persetujuan dari sling bag yang dikenakannya, dan menyimpannya di atas meja kerja Gaara. "Ayah dan Ibu sudah mengizinkan dengan syarat jika kau mengizinkanku juga. Bahkan Ayah memercayakanmu untuk menandatangani surat izinnya. Tolong ... Gaara," lirih Sakura.

Mata Gaara perlahan berputar pada surat yang sudah tergeletak di atas meja kerjanya itu. Kemudian dia mendongak dan menatap Sakura yang sudah memasang raut memohon di wajahnya. Entah mengapa, Gaara merasa berat untuk memberikan Sakura izin. Biasanya, dia tidak pernah seperti ini. Gaara bukan tipe lelaki posesif. Justru Gaara selalu memberikan Sakura kebebasan karena dia tahu jika dirinya selalu sibuk dengan pekerjaan. Selain itu, Gaara juga sadar jika Sakura masih muda. Usia di antara keduanya terpaut enam tahun. Dan adalah hak Sakura juga untuk menikmati masa mudanya sebelum gadis itu menjalani biduk rumah tangga bersamanya dua bulan lagi. Gaara tidak suka dikekang. Jadi dia berusaha tidak pernah mengekang. Karena itu, hubungan asmara yang telah dijalin selama dua tahun oleh keduanya berjalan lancar meski mempunyai kesibukan masing-masing. Buah dari sikap saling pengertian.

Tangan Gaara perlahan tergerak meraih pena yang ada di atas meja. Tanpa berkata apa-apa lagi, Gaara mengarahkan pena tersebut ke atas surat. Jujur, hatinya benar-benar terasa berat dan Gaara tak tahu apa sebabnya. Dia berusaha mengesampingkan tekanan batin yang memintanya untuk melarang. Gaara menandatanganinya!

Mata Sakura berbinar senang melihatnya. Gadis itu segera menghampiri dan memeluknya. "Terima kasih, Gaara. Calon suamiku memang pengertian," bisik Sakura tepat di telinga Gaara. Lelaki berusia 27 tahun itu hanya menganggukkan kepala.

Setelah mendapatkan tanda tangan Gaara, Sakura segera pamit untuk menyerahkan surat izin tersebut pada Naruto. Sakura senang, akhirnya diizinkan juga.

-oOo-

Ini adalah harinya. Hari keberangkatan mahasiswa tingkat akhir fakultas ekonomi Konohagakure menuju Gunung Kabut yang berada di pedalaman desa Otogakure. Sakura sudah mempersiapkan barang-barang yang harus dibawanya semalam. Dia membawa satu buah ransel berisi muatan penuh barang penting. Tentu saja Sakura bersemangat. Ini adalah pengalaman pertamanya mendaki sebuah gunung. Sakura bereversi dari dalam kamar dan segera turun ke lantai bawah. Di ruang tamu, ibu dan ayahnya sudah menunggu. Ada Gaara juga. Karena kebetulan, ini adalah hari libur.

Sakura menghampiri mereka. "Ayah, Ibu, aku pergi dulu ya," ujarnya seraya memeluk Mebuki yang langsung berdiri begitu melihat Sakura mendekat.

Mebuki balas memeluk Sakura dengan erat. Wanita itu tidak tahu mengapa dia merasa tidak rela mengizinkan Sakura mengikuti acara pendakian ini. Mungkin, hal ini disebabkan karena Sakura jarang sekali bepergian jauh. Dari zaman sekolah, Sakura memang jarang mengikuti acara studi tur ke luar kota. Pasangan suami istri itu sangat protektif terhadap Sakura dikarenakan gadis itu adalah anak tunggal mereka. "Jangan memaksakan diri kalau kecapekan. Jangan gengsi untuk bilang istirahat pada teman-teman kalau kau kelelahan. Doa Ibu selalu menyertaimu, Sayang," ucap Mebuki tulus.

Dalam pelukan Mebuki, Sakura mengangguk. "Jangan khawatir, Bu. Juga ... terima kasih untuk doanya," jawab Sakura dengan suara yang teredam dada.

"Hubungi Ayah jika terjadi kendala, atau jika kau ingin pulang lebih dulu dan tidak ingin melanjutkan pendakian. Ayah pasti segera mengirimkan jet pribadi untuk menjemputmu," suara Kizashi menguar tiba-tiba dengan terselip nada kekhawatiran di dalamnya.

Pelukan Sakura pada Mebuki perlahan melonggar, lalu terlepas. Kemudian dia berjalan menghampiri Kizashi, dan memeluknya juga. "Hmm ... terima kasih Ayah," responsnya dalam. Setelah itu, Sakura mulai mengait lengan Gaara yang akan mengantarkannya menuju tempat keberangkatan.

"Hati-hati, Sayang," ujar Mebuki begitu Sakura berada di ujung pintu.

Sakura menghentikan langkahnya, kemudian menolehkan kepala dan tersenyum seraya mengangguk. "Tenang saja."

Di dalam mobil, Sakura dan Gaara terdiam. Gaara fokus pada setir kemudi, dan Sakura pada imajinasinya yang terbang tinggi. Gaara mengendarai mobilnya dengan kecepatan normal. Rute jalanan memang lebih ramai dikarenakan ini hari libur. Setelah tigapuluh menit, mobil Gaara akhirnya tiba di universitas tempat Sakura menuntut ilmu. Mobil tersebut segera memasuki gerbang.

Melalui kaca jendela mobil, Sakura bisa melihat sebuah bus pariwisata sudah terparkir di situ. Dan banyak juga kendaraan pribadi lainnya yang memadati area parkir. Muda-mudi berkumpul dengan pakaian kasual dan ransel di punggung masing-masing. Ekspresi riang dan gembira tertera di wajah, dengan senyuman lebar pada bibir.

Sakura melihat Ino, Sai, Naruto, dan teman-temannya yang lain sudah berkumpul di dekat bus pariwisata tersebut. Obrolan mereka terlihat seru. Tapi Sakura belum bergerak sedikit pun karena Gaara yang masih diam. Sakura tahu, Gaara masih belum tulus memberikannya izin untuk mengikuti acara ini. Karenanya Sakura memilih statis untuk menenangkan Gaara, meski sebenarnya dia ingin segera terlibat dalam konversasi seru bersama dengan teman-temannya.

Gaara menolehkan kepala. Ternyata, pandangan Sakura tengah berkonvergensi padanya. Lelaki dewasa itu tersenyum simpul. "Tidak turun?" ujarnya datar.

Kepala Sakura menggeleng. "Apa yang membuatmu khawatir?" dia malah balik bertanya, dan membuat Gaara sedikit terkejut.

Gaara menaikkan kedua bahunya. "Tidak ada. Kenapa bertanya begitu?" sahutnya tidak terima dengan pertanyaan Sakura.

"Habisnya ... dari tadi wajahmu kusut, sih," seloroh Sakura dengan ekspresi yang dibuat-buat.

Kekehan pelan meluncur dari bibir Gaara. "Sok tahu," ucapnya pelan.

Sakura meresponsnya dengan tatapan mata menyelidik. Lalu perlahan, kepala berhelai merah muda itu dia majukan. Sebuah ciuman singkat di bibir, Sakura hadiahkan untuk Gaara. Gerakannya cepat, hingga Gaara tak menyadari jika Sakura memajukan kepala ternyata untuk menciumnya. Memang singkat. Tapi rasanya begitu hangat. Ini kali pertama Sakura menciumnya duluan. Selama dua tahun sudah jalinan kasih itu dibina, Gaara yang selalu memulainya. Mencium Sakura. Memeluk Sakura. Sakura hanya menerima dan membalas. Selebihnya, selalu Gaara yang memulai. Selalu Gaara. Tindakan Sakura ini benar-benar membuat perasaan Gaara tenang dan menghangat. "Jangan khawatir, Sayang. Aku pasti akan baik-baik saja," ucap Sakura lembut. Gaara mengangguk. Kemudian keduanya segera turun dari dalam mobil.

Jemari Sakura dan Gaara saling bertautan. Langkah kakinya pelan-pelan. Diam tanpa suara dan merasakan kehangatan dari telapak tangan masing-masing. Entah kenapa, ini terasa sangat spesial bagi Gaara.

"Sakura ... aku pikir kau batal ikut," kata Ino setengah berteriak, ketika melihat entitas Sakura yang mendekat.

"Memang bisa?" tanya Sakura dengan alis yang ditaut.

"Hehe, setahuku sih ... tidak. Ini acara wajib angkatan kita bukan?" jawab Ino dengan wajah polos. Kemudian bola aquamarinenya berotasi pada Gaara. "Halo Kak Gaara. Lama tidak berjumpa," sapa Ino sedikit genit. Padahal, Sai—kekasih Ino, sedang berdiri di sampingnya. Gaara hanya membalasnya dengan senyum tipis dan anggukkan.

Ketika melihat Naruto yang mulai mengabsen satu per satu peserta agar segera memasuki bus, Sakura melepaskan tautan tangannya dengan Gaara. Kemudian memeluknya. "Jangan merindukanku, ya," ujarnya bercanda dengan pelukan yang ikut terlepas. Sebuah pelukan singkat. Gaara tertawa pelan. Pelukan singkat Sakura terasa berharga.

"Percaya diri sekali, eh, Sayang." Lalu keduanya tertawa geli.

Sakura mulai melangkah dan mendekat ke tempat di mana Ino dan Sai berdiri. Tak lama, nama mereka pun dipanggil Naruto. Ketiganya segera memasuki bus. Sakura duduk di dekat jendela. Dia langsung melambaikan tangannya pada Gaara.

Di bawah sana, Gaara tersenyum dan mengangguk. Lelaki itu lalu mengalihkan tatapannya pada ponsel yang baru dia rogoh dari dalam saku. Sakura masih tetap memandanginya dengan bibir yang mengerucut ke depan, merasa sedikit kesal. Baru beberapa menit berpisah, Gaara sudah sibuk bersama ponselnya. Gerutu Sakura.

Fokus Sakura teralihkan begitu dia merasakan ponselnya yang bergetar.

My Gaara is calling ...

Nama itu tertera di layar ponsel Sakura. Seketika, lengkungan ke bawah di bibir Sakura langsung terbentuk. Dengan gesit Sakura langsung mengangkatnya. Ponsel itu dia tempelkan ke telinga, dan kepalanya kembali memutar pada Gaara.

"Terkejut?" ujar Gaara di telepon.

Kepala Sakura menggeleng. Kontak mata keduanya masih berjalan meski jarak sudah bertaut.

"Jangan lupa untuk mengabariku. Sudah sampai mana? Keadaannya bagaimana? Apa yang dirasakan? Pokoknya semuanya," ucap Gaara pelan namun bernada cemas.

"Siap, Sayang," jawab Sakura seraya tersenyum.

Sakura dapat merasakan bus yang dia tumpangi mulai bergerak. Dia melambaikan tangannya lagi, dan Gaara membalasnya. Kontak mata keduanya belum terputus. "Ah, aku pasti merindukanmu," uar Sakura.

"Jangan rindu. Acara pendakiannya cuma tiga hari bukan? Itu sebentar, Sakura. Pulang dari Gunung Kabut, ayo kita bertemu."

"Serius Sayang? Meski di hari kerja sekalipun tetap bertemu?" ujar Sakura antusias.

"Ya. Apa pun, untukmu."

"Ah, manis sekali." Pipi Sakura merona. Sayangnya, Gaara sudah tidak bisa melihatnya karena kini bus tersebut mulai maju menjauh dari area parkir.

"Ya sudah. Teleponnya aku matikan. Hati-hati ya," kata Gaara mengakhiri percakapan.

Bus pun melaju. Gunung Kabut merupakan gunung tertinggi di Konohagakure. Gunung tersebut terletak di pedalaman desa Otogakure. Disebut Gunung Kabut karena wilayah di gunung tersebut selalu diselimuti oleh kabut tipis, yang konon menurut cerita kabut tersebut adalah jelmaan dari dewi hujan. Di sekitar Gunung Kabut, periode hujan memang hanya turun dalam kurun satu tahun sekali. Dan dibutuhkan waktu sekitar sebelas jam dari Konohagakure menuju pedalaman desa Otogakure yang merupakan pemberhentian terakhir. Karena rute selanjutnya, mereka harus berjalan kaki untuk mulai mendaki menuju ke Gunung Kabut.

Suasana di dalam bus begitu ramai. Terutama, suara keras Naruto yang mendominasi. "Semuanya ... ayo bernyanyi bersama," teriak si pencetus ide itu penuh semangat.

.

.

to be continued—

.

.

a/n: hai, saya kembali dengan cerita baru. yep, this is multichapter! sebelumnya, akan saya beritahukan jika pairing dalam ff ini BUKAN gaasaku, ini murni sasusaku. meski chapter pertama dibuka dan didominasi dengan gaasaku, tapi peran gaara di sini tidak banyak. karenanya saya tidak menambahkan tagline nama gaara di cerita. maaf ya, karena sasukenya belum muncul sama sekali dalam chapter ini. tapi untuk chapter depan, dijamin papa suke bakal muncul banyak di cerita :")) so, stay tuned always guys :D

thanks for reading. pembaca yang baik adalah pembaca yang meninggalkan jejak bagi authornya. concrete, criticism, and advice are very welcome :"))

mind to review? :"))

Uchihamelia