Disclamer: Naruto milik Masashi Kishimoto

Warning: AU, OOC, typo mungkin masih ada

SASUKARIN

DON'T LIKE DON'T READ

.

.

.

PUTIH

Chapter 1

.

.

Ngauman cardiogram yang terus berpacu

Di ambang batas kematian, ruang gelap mulai memudarkan pekat

Menjadi seputih kertas

Separuh musim dingin terenggut...

.

Aroma musim semi

Aku terbangun

Tanpa ingatan

Tanpa emosi...

.

.

Musim semi satu tahun kemudian...

Bulan april, tahun ajaran baru. Orang-orang masih penuh semangat. Tapi seorang gadis baru memulai kehidupannya. Gadis delapan belas tahun itu berkacamata, sepatu merah yang senada dengan surai panjangnya tergerak mengikuti rasa ingin tahu pada suara menggelegar di sebuah aula. Langkahnya tertahan di depan pintu, tersambar aura hikmat dari seisi penjuru ruang.

Detak jantungnya ikut tertahan saat sepasang mata rubynya menemukan sosok angkuh bermata onyx itu di atas mimbar. Segurat senyum tipis tergambar di wajahnya bersamaan dengan semburat merah jambu di pipinya yang semakin tirus.

Lalu inikah yang dinamakan jatuh cinta?

Pada orang yang sama?

.

.

Hari ini aku menjejakan kaki di sebuah tempat yang asing. Tempat luas ini disebut sebagai sekolah. Tayuya nee-chan mengatakan ini akan menjadi tempat yang akan sering aku kunjungi . Aku merasa sedikit antusias, mengingat selama ini sudah hampir membusuk termakan bosan karena hanya bisa berdiam diri di rumah sakit. Tapi sebuah perasaan takut yang masih mengganjal juga tak bisa begitu saja aku abaikan. Takut berhadapan dengan orang-orang asing. Takut pada apa yang akan terjadi pada hidupku di tempat ini.

"Uzumaki Karin."

Sebuah suara seorang lelaki mengembalikanku pada kenyataan. Kutatap orang berambut putih dengan masker di wajahnya. Penampilan yang cukup aneh menurutku. Dari ekspresi matanya yang penuh tanya, aku bisa menangkap jika dia sudah berkali-kali memanggilku.

"Iya Kakashi-sensei." Di sela jawabanku, sekilas aku meoleh pada Tayuya nee-chan yang duduk di sebelahku, ia tersenyum sembari mengangguk seolah sedang menyalurkan kekuatan keyakinan dari senyumannya itu.

Aku mengatur letak dudukku dan kembali memfokuskan diri pada sensei yang memperkenalkan diri sebagai wali kelasku. "Maaf, aku melamun." Jawabku setengah terkekeh, mencoba mencairkan suasana yang sempat dibekukan oleh tingkahku.

Uzumaki Karin, meski sudah satu tahun berlalu aku tetap belum terbiasa dengan panggilan itu.

Pertama kali aku mendengar orang-orang di rumah sakit menyebutku dengan nama itu, saat aku terbangun dari koma di penghujung musim semi tahun lalu. Seperti yang Tayuya nee-chan katakan, aku mengalami kecelakaan dan kehilangan seluruh ingatan. Dan beginilah jadinya, aku lupa pada diriku sendiri dan menjadi asing pada dunia.

"Kau adalah siswi yang cerdas." Kakashi-sensei menyodorkan sebuah map ke hadapanku. Aku menatapnya penuh tanya sebelum akhirnya kubuka map itu dan mendapati kertas-kertas yang berisi nila-nilai dari seorang siswi bernama Uzumaki Karin. Tentu, transkrip nilai itu adalah kepunyaanku. Dan sejurus kemudian aku tersenyum penuh haru.

Bukan karena aku mendapati kenyataan bahwa diriku adalah murid yang pintar, bukan. Aku bahkan baru bisa lancar membaca beberapa bulan yang lalu. Yeah, amnesia ini juga merenggut habis isi otakku.

Foto seorang gadis berkacamata yang menempel di berkas itulah yang lebih menarik perhatianku. Fotoku sendiri sebelum kecelakaan itu terjadi seolah menegaskan kenyataan jika aku memang benar-benar pernah menjadi murid sekolah ini. Konoha High School, sekolah swasta cukup ternama di kota Tokyo.

Hai, Karin. Jadi ini dirimu?

Karin masih menunggu di pintu ruang guru saat Tayuya dan Kakashi akhirya menyelesaikan perbincangan pribadi mereka tanpa dirinya. Setelah saling berjabat tangan akhirnya Tayuya berpamitan. Kemudian sempat memeluk Karin sekilas dan meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja. Karin mengangguk tak ingin membuat Tayuya-dokter pribadinya yang selama ini selalu direpotkannya merasa khawatir.

"Kau bisa menjadikan tempat ini sebagai terapi pengobatanmu. Paham kan." Jelas Tayuya sembari mengacak rambut Karin penuh sayang.

"Seperti yang selalu kau bilang dulu aku ini adalah gadis yang tangguh dan sepertinya sekarang masih belum berubah." Jawab Karin berpura-pura menyombongkan diri. "Aku berjanji semuanya akan baik-baik saja."

Tayuya kembali memeluk Karin, menepuk-nepuki pungung gadis itu pelan. "Aku percaya."

"Baiklah, sudah saatnya jam pelajaran pertama semester baru di mulai. Kita harus segera masuk kelas dan kebetulan aku mengajar kelasmu pagi ini."

Kalimat Kakashi mengintruksi Tayuya melepas pelukannya. Kemudian Tayuya berjalan menjauh sebelum beberapa kali sempat melambai sampai tak terlihat lagi di ujung lorong. Karin diam sejenak, memperkirakan situasi baru yang akan di hadapinya. Tak bisa ditampik jika ketakutannya masih belum sepenuhnya hilang.

Dan seperti inilah suasananya. Semua pasang mata di ruang kelas 3-1 menatap Karin dengan penuh tanya. Seolah Karin adalah alien yang seharusnya tak datang ke tempat mereka. Karin bisa merasakan aura kurang menyenangkan dari tatapan-tatapan itu. Sayup-sayup suara mereka yang berbisik satu sama lain membuat peluh dingin mengucur bebas di dahinya, ia sudah hampir melarikan diri sejauh-jauhnya jika Kakashi tidak segera memecah ketegangan itu dengan mempersilahkan Karin duduk di kursinya.

Tak perlu perkenalan ataupun berbasa-basi, karena Karin memang bukan murid baru. Seperti yang dikatakan sensei sebelumnya, mereka semua adalah teman-teman satu kelasnya saat tingkat satu dan seharusnya juga di tingkat dua jika saja dia tidak tergeletak tak berdaya di ranjang rumah sakit.

Karin tak ingin lebih lama lagi menjadi pusat perhatian dan mempercepat langkahnya menuju sebuah meja di pojok belakang, entah itu memang benar mejanya atau bukan tapi memang hanya disitulah kursi kosong yang tersedia.

Baru sedetik Karin meletakan tubuhnya di kursi, ketakutannya seolah menguap entah kemana, entah juga dengan alasan apa. Senyumnya mengembang sempurna ketika saat itu juga mata rubynya kembali menemukan sosok bermata onyx tepat berada di barisan sebelah mejanya. Sosok yang tengah memangku dagunya dengan malas itu telah berhasil membuatnya mengabaikan beberapa jeratan tatapan yang belum melepasnya.

Angin beraroma musim semi dari balik jendela berhembus sempurna, musim indah dimana kelopak bunga sakura dengan sesuka hati memperolok mereka yang tengah jatuh cinta. Karin ingat ia terbangun sebagai kertas putih yang masih kosong, tapi kini kertas itu mulai terisi dengan sebuah nama bertinta merah muda.

Uchiha Sasuke...

Menunggu jam istirahat datang ternyata lebih membosankan dari pada hanya berbaring nyaman di ranjang rumah sakit. Sekarang Karin lebih memlilih mengasingkan diri di atap setelah bersusah payah menemukan jalan menuju tempat tertinggi di gedung sekolah ini. Pusing di kepalanya belum hilang akibat tiga jam tadi ia langsung disuguhi kertas-kertas matematika yang Kakashi sebut sebagai ujian pemanasan awal semester, sebagai kelas yang di unggulkan dia bilang ingin menguji kemampuan matematika mereka. Kejam sekali sensei itu, padahal mereka baru beberapa jam menjadi murid tingkat tiga. Karin yang belum paham apa-apa hanya membiarkan lembar jawabnya kosong.

Meskipun di rumah sakit ia juga mendapatkan beberapa pelajaran sekolah dari seorang guru private, tapi Karin tidak yakin jika dia bisa mengejar ketertinggalannya. Hei, yang di ajarkan di rumah sakit adalah pelajaran membaca dan menghitung seperti anak kecil. Dia tak habis pikir kenapa Tayuya langsung menyuruhnya masuk ke tingkat tiga tanpa melalui tingkat dua. Ini seperti loncat kelas. Dan Karin merasa itu berat sekali. Bahkan sepantasnya mungkin dia harus mengulang dari Sekolah Dasar.

Mata Karin menerawang jauh ke langit biru yang luas, ia menarik napasnya panjang kemudian menghembuskannya perlahan, seolah sedang membuang semua bebannya hari ini. Karin belum begitu mengerti situasi di sekolah ini. Dia mulai ragu apa memang benar-benar pernah hidup sebelumnya dengan lingkungan yang terasa seperti mengacuhkan keberadaannya. Hingga detik ini tidak ada yang menanyakan tentang dirinya, bukankah sewajarnya orang yang satu tahun lebih tidak terlihat patut dipertanyakan.

Karin tak ingin memikirkan itu lebih jauh lagi. Sudahlah, toh dia juga tidak tahu apa yang harus diperbincangkan dengan orang-orang asing itu. Dan yang lebih penting sekarang adalah perutnya yang terasa lapar. Karin memposisikan dirinya dengan nyaman. Duduk dan menyandarkan punggung pada tralis pembatas kemudian mengambil sebungkus roti dari kantong yang sudah ia siapkan dari rumah. Namun baru saja dia menyobek ujung bungkusnya sebuah suara bedebum dari arah pintu yang seakan didobrak berhasil mengagetkannya, membuat roti di tangannya terpental ke lantai. Belum sempat Karin mencerna apa yang terjadi, ketika dari pintu itu muncul segerombolan orang yang tengah menyeret paksa seorang anak laki-laki.

"Sekarang kau tidak bisa lari kemanapun." Kata salah satu dari mereka yang kini tengah menarik kerah baju dari siswa itu dan langsung menyudutkannya ke sisi tembok gudang di belakangnya.

Kemudian dua orang lainnya memegangi tangan siswa itu karena sebelumnya ia sempat mencoba untuk melarikan diri.

"DASAR KALIAN PENGECUT!" Siswa itu berteriak meski terdengar jelas suaranya bergetar ketakutan. "Cih! Beraninya hanya main keroyok!" Membuat suara tawa dari gerombolan itu pun pecah.

"Jadi kau menginginkan berduel denganku." Kini seseorang berambut abu-abu gelap yang berdiri paling belakang ikut bersuara. Dari gayanya yang hanya melipat tangannya di dada sepertinya orang itu adalah bos dari gerombolan itu. "Ya ampun, lihatlah teman-teman. Matanya menakutkan sekali. Aku benar-benar takut." Meski gaya bicaranya begitu santai dan terlihat ramah, namun tersirat sebuah ejekan di dalam kata-katanya.

Siswa itu semakin geram, tapi sepertinya tubuh kurusnya sangat meragukan jika harus melawan salah satu dari mereka.

"Sudahlah Sakon, biar aku saja yang membereskannya." Seorang pemuda yang bergigi runcing seperti sudah tak sabar, ia mendekat dan langsung memberi bogem mentah di wajah siswa malang itu.

Karin langsung tersentak. Ia sadar jika keadaan yang sedang diamatinya ini adalah sebuah perkelahian. Lebih tepatnya sebuah pengeroyokan.

"Kau memang selalu berapi-api jika menyangkut si cupu ini, Suigetsu." Kata sang bos masih dengan ekspresi santainya. Kemudian ia seperti sadar tentang keberadaan Karin yang masih mematung di tempatnya. "Hei, coba lihat siapa di situ. Nona rambut merah yang sudah lama tak terlihat."

Karin menenggak ludahnya perlahan sembari berdiri dengan mimik yang memucat. Ia sudah tidak peduli dengan rotinya yang masih tergeletak di lantai. Ia harus segera keluar dari tempat ini.

"Kebetulan sekali Karin, kau akan mendapatkan hiburan gratis di sini."

Karin kembali tersentak, bos berandal itu mengenalnya. Orang seperti itu? Dari penampilan seragam yang berantakan dan sebuah rantai yang terikat di saku celananya bisa dipastikan kalau mereka bukan siswa baik-baik. Oke, seharusnya tanpa melihat penampilan pun Karin bisa tahu jika pengeroyokan seperti itu hanya dilakukan oleh orang-orang yang bermasalah dengan tata tertib.

Karin masih belum bergeming, entah mengapa kakinya yang bergetar terasa sulit untuk melangkah.

Terlihat siswa bos berandal itu menerima sebuah tongkat baseball dari salah satu anak buahnya. Kemudian ia perlahan mendekati sang korban. Senyumannya masih belum hilang, sesekali ia memukul-mukulkan tongkatnya ke lantai, menimbulkan suara yang menambah ketegangan. "Seperti biasa, satu pukulan dan kemudian kau akan tertidur dengan nyenyak." Kalimat retoris itu semakin mengintimidasi, tak ada lagi keberanian yang tadi sempat terlihat di wajah sang korban yang kini mulai menangis.

"Kau tahu kan aku paling benci dengan pria cengeng!" Keramahan di wajah bos itu benar-benar sudah lenyap dan bersamaan dengan tongkat baseball yang terangkat dan diayunkan dengan cukup keras lalu...

PRANG!

Pecahan kaca-kaca berserakan, suasana sejenak hening. Bos berandal itu membulatkan matanya mendapati tongkat baseballnya tepat mengenai kaca gudang. Ia memiringkan kepalanya, seperti tengah berusaha mencerna sesuatu. Harusnya tongkat itu mengenai sang korban. Tapi..

Dan mereka semua terperanjat melihat sang korban yang kini tersungkur di lantai, bersama Karin yang memejamkan mata dan tangan yang menggenggam erat lengan sang korban.

Karin menggigit bibir bawahnya, dia masih belum berani membuka matanya. Dalam hati ia tengah mengutuki dirinya sendiri. 'Karin bodoh! Harusnya berlari bukan malah menarik orang yang akan dipukul ini!'

Karin mulai merasa beberapa langkah mendekat ke arahnya dan tak perlu menunggu lama karin bangkit lalu tanpa peduli pada apapun dia langsung menerobos para gerombolan dengan tujuan utamanya adalah pintu untuk kemudian berlari sejauh mungkin yang ia bisa.

Kakashi dan Guy berlari tergesa-gesa menaiki tangga menuju atap sekolah lalu tepat di depan pintu mereka langsung mendobrak pintu itu dengan kasar.

"KALIAN SEMUA BERHENTI!"

Kedua guru itu benar-benar geram menyaksikan apa yang kini ada di hadapan mereka. Sakon dan gerombolannya kembali berulah. Mereka tak akan bisa mengelak lagi setelah tertangkap basah tengah mengeroyoki seorang siswa yang kini wajahnya sudah babak belur dan tersungkur di lantai.

Sakon bangkit dari posisi yang sebelumya menarik kerah siswa itu dan tangan mengepal yang sempat terhenti di udara.

'Sial.' Batinya. Ia memalingkan wajahnya dengan ujung bibir yang terangkat. Sepintas dia mengingat Karin. Gadis berambut merah itu, pasti yang telah melaporkannya.

Karin merasa tertekan dan menenangkan diri di tangga. Lututnya masih terasa lemas untuk berjalan kembali ke kelasnya. Seorang siswa yang tidak memperhatikan jalan menabraknya dan hampir membuatnya terjatuh.

Siswa itu baru saja akan mengucapkan maaf tapi niatnya terurungkan ketika melihat Karin yang saat ini seperti sedang mengamati wajahnya.

"Kau-" Kalimat Karin tersendat saat pikirannya tiba-tiba melayang. Wajah laki-laki itu mengingatkannya pada dua orang yang beberapa bulan terakhir rutin menemuinya. Dua orang yang mengaku sebagai bibi dan pamannya. "Paman Minato dan bibi Kushina-"

"Kenapa?" Suara bocah laki-laki itu memotong kembali kalimat Karin. "Kenapa dengan ayah dan ibuku?"

"Ng, tidak." Karin tersenyum senang. Akhirnya dia bisa bertemu dengan sepupunya.

'Seperti yang terlihat di foto yang bibi Kushina tunjukan, bentuk wajah yang mirip seperti ibunya lalu rambut pirang dan iris mata biru langit persis seperti ayahnya. Naruto, namanya Uzumaki Naruto. Bibi Kushina bilang jika anaknya juga satu sekolah denganku. Tapi sayangnya kami tidak satu kelas.

Bibi Kushina juga mengatakan jika kami sejak kecil tumbuh dan tinggal bersama jadi mungkin dia bisa membantuku di sini dan-'

"Kenapa kau kembali?"

Mata Karin membulat, baru saja dia akan mengatakan 'senang bertemu denganmu' tapi kenyataannya ia mendapatkan sambutan di luar dugaan.

"A-aku, sebenarnya aku-" Karin tergagap mendapati tatapan tajam dari sepupunya itu.

"Harusnya kau tidak perlu kembali."

Naruto buru-buru pergi meninggalkan Karin yang menatapnya dengan bingung.

.

Jam pelajaran sekolah baru saja selesai, lorong-lorong sekolah ramai dengan suara murid-murid yang mulai berhamburan keluar. Hingga ruang kelas 3-1 benar-benar kosong, Karin masih di kelasnya, meletakan kepalanya dengan lemah di atas meja. 'Melelahkan'

Orang-orang asing yang menatap sinis, mata pelajaran yang sama sekali tidak ia mengerti, kejadian di atap sekolah, kemudian sepupu yang seperti tak menyukainya. Hari pertama dan ia merasa sudah seperti di neraka. Rasanya Karin ingin kembali saja ke rumah sakit, setidaknya di sana ada suster baik hati yang akan selalu menemaninya.

"Haaah, kenapa juga kepala ini harus kehilangan isinya." Karin terus mengeluh, kepalanya yang terasa berat tapi kosong itu ia hentak-hentakan perlahan ke atas meja. Seperti itu terus sampai tidak dia sadari seseorang sedang mengamatinya sejak tadi.

"Apa yang kau lakukan?"

Karin terperanjat, di tatapnya sumber suara yang mengagetkannya. Dan hatinya membuncah bahagia melihat orang itu adalah Uchiha Sasuke dengan dua tumpuk buku tebal di tangannya.

Pria berambut raven itu tak terlalu menghiraukan mata berbinar Karin. Dia langsung menarik kursinya kemudian duduk dengan nyaman. "Jangan menimbulkan suara apapun, aku butuh konsentrasi untuk menyelesaikan ini."

Bibir Karin langsung mengantup rapat. Sedikit ketakutan dengan suara berat berpadu mata tajam yang seolah baru saja memberinya perintah untuk tak lagi menimbulkan bunyian hasil dari kepalanya dan meja.

Karin hanya bisa menurut, apalagi orang di sebelah mejanya itu tetap saja orang asing. Dia belum tahu seperti apa orang yang bernama Uchiha Sasuke itu. Tapi memang orang itulah yang paling membuat Karin penasaran sejak dia menemukan namanya di buku diary Karin yang beberapa bulan lalu di bawakan oleh Kushina bersama dengan barang-barang pribadinya.

Tak ada nama siapapun yang tertulis disana kecuali nama Uchiha Sasuke, tertulis jelas di diary itu jika dia menyukainya.

Tiga puluh menit berlalu, suasana benar-benar canggung dan hening. Sesekali ekor mata Karin mencuri pandang wajah serius di sampingnya. Uchiha Sasuke masih sibuk mencatat sesuatu yang entah apa itu.

Tiba-tiba terdegar suara gesekan pintu, Karin mendongak dan menemukan kepala Kakashi muncul dari balik pintu kelas yang kini terbuka lebih lebar.

"Uchiha Sasuke, jika sudah selesai letakan di mejaku." Kata Kakashi dengan suara menggema di kelas yang sepi.

"Hn." Jawab sasuke.

'Tidak sopan.' Batin Karin melihat Sasuke yang tak sedikitpun menatap guru yang sedang mengajaknya berbicara.

"Oh, Karin. Kau belum pulang?" Tanya Kakashi yang baru menyadari keberadaan Karin.

"Sepertinya jemputan akan sedikit terlambat, sensei." Karin tersenyum masam. Mengingat SMS dari Tayuya yang mengatakan dia akan terlambat karena tiba-tiba ada pasien darurat di rumah sakit. Menambah kesialannya di hari pertama sekolah.

"Apa perlu aku antar?" Tawar Kakashi yang seperti tahu kegelisahan Karin. Gadis itu pasti juga lupa arah rumahnya.

"Tidak perlu repot-repot, biar aku menunggu saja. Terima kasih sensei."

"Baiklah kalau begitu." Ucap Kakashi sebelum dia berlalu dan menghilang dari pintu.

Percakapan itu membuat Sasuke menatap Karin tak percaya. Sejak kapan guru menyebalkan itu bersikap baik dengan muridnya. Kakashi terkenal sebagai guru yang suka memberikan ujian mendadak dan suka sekali menghukum muridnya yang ketahuan melanggar peraturan. Seperti yang Sasuke alami sekarang. Guru itu menyuruhnya untuk menyalin sastra kuno jepang lima lembar setiap harinya sepulang sekolah selama satu minggu karena saat liburan kemarin Kakashi memergokinya sedang melakukan balapan liar yang berakhir dengan perkelahian antar geng.

"Ada apa?" Karin menyadari Sasuke sedang menatapnya tidak suka.

Jelas sekali Sasuke terlihat iri pada gadis itu yang diperlakukan dengan baik dan berbanding terbalik dengan perlakuan guru itu padanya. Kakashi sensei memang selalu mengawasi tindak-tanduk Sasuke, sebenarnya ia tahu itu adalah permintaan dari kakaknya Itachi-yang merupakan sahabat Kakashi, untuk melaporkan apapun tentang kelakuan adiknya yang terkenal sering membuat ulah itu.

Karin merasa tidak nyaman terus mendapat tatapan kurang menyenangkan. "Sebenarnya kau sedang mencatat apa?" Dan pertanyaan itu berhasil membuat Sasuke kembali fokus dengan catatannya yang setengah lembar lagi selesai. Karin bernapas lega, ia berhasil melepas diri dari tatapan menakutkan tuan Uchiha.

"Cih, hukuman sialan."

"Apa?" Tanya Karin yang seperti mendengar umpatan Sasuke. "Hukuman? Memangnya kau melakukan apa?"

"Mematahkan tiga tulang rusuk orang." Jawab Sasuke datar dan masih fokus pada catatannya.

Sedang Karin membulatkan matanya kemudian bergidik ngeri.

'orang yang menakutkan.'

Karin masih terus mengikuti Sasuke sampai ke ruang guru. Sekolah sudah benar-benar tak terlihat ada tanda-tanda kehidupan kecuali mereka berdua.

"Apa kau tidak mempunyai harga diri terus mengikutiku seperti ini?" Tanya Sasuke terang-terangan.

Karin mengernyit bingung. "Bisakah kita bersama sampai di depan gerbang?" Bukan Karin tidak tahu malu terus membuntuti orang asing. Hanya saja dia ketakutan jika tiba-tiba saja gerombolan berandal yang ia temui waktu istirahat tadi tiba-tiba muncul dan menghadangnya karena Karin sudah ikut campur dengan masalah meraka. Sampai detik ini Karin masih menyesali hal itu.

Sasuke tak menjawab, dia hanya berlalu saja sedang Karin terus mengekor di belakang dengan perasaan was-was.

Sampai di pintu gerbang. Sasuke berhenti dan Karin sedikit mempercepat langkahnya kemudian ikut mensejajarkan diri di sebelah pria itu.

"Menunggu jemputan juga?" Tanya Karin

"Hn" Sasuke kembali kesal mengingat kunci motornya yang saat ini masih di sita Itachi.

Keduanya kembali membisu, cukup lama hingga hanya terdengar beberapa deru mobil yang sesekali melewati jalanan di depan mereka. Aroma musim semi memang yang terbaik, Sasuke menghirup perlahan aroma itu agar menggantikan kekesalan di dadanya. Kemudian ia melirik gadis di sebelahnya. Gadis berkacamata yang surai merahnya berterbangan bersama kelopak sakura. Gadis yang sudah satu tahun ini tidak di lihatnya.

Terakhir kali ia melihat Karin pada musim dingin tahun sebelumnya. Waktu itu mereka masih ada di tingkat satu sampai tahun ajaran baru di tingkat dua Karin masih belum muncul. Gadis itu menghilang bagai di telan bumi selama satu tahun berikutnya, tanpa kabar apapun bahkan Naruto yang masih kerabatnya tak mengetahui keberadaannya. Hingga tadi pagi tiba-tiba saja mereka semua di kejutkan dengan kemunculan Karin.

Sebenarnya ada sesuatu yang masih mengganjal di dada Sasuke, mengingat pertemuan terakhirnya dengan Karin sedikit kurang menyenangkan, sempat terjadi pertengkaran di antara mereka. Sudah lama berlalu dan Sasuke pikir Karin sudah melupakannya.

Gadis itu terlihat sedikit berubah, Sasuke tidak begitu mengerti perubahan itu ada di bagian mananya. Hanya saja Karin yang dulu selalu menempel padanya kali ini terlihat tidak terlalu berisik.

Dan...

Sasuke tersentak saat menyadari Karin menangkap basah dirinya yang tengah memperhatikan gadis itu. Karin tidak bertanya apapun dia hanya memberikan senyum padanya.

Ya, senyum itu...

Terlihat berbeda.

Ada mata sendu di balik bingkai kaca yang membungkusnya. Garis senyum tipis yang terlihat sangat tulus. Hati Sasuke berdesir, ada suatu perasaan menyedihkan saat melihatnya.

Karin yang dia kenal sebelumnya tak memiliki itu.

"Selama ini, kau kemana?"

Akhirnya Sasuke mengatakannya, pertanyaan yang sebenarnya terus mengusiknya sejak pertama kali gadis itu muncul.

To be continued...