It's not the curtain closing causing us to call it a day

I want to walk away too

But I want you to say you are sorry

-"Say You're Sorry" by Sara Bareilles


Secepat kilat, Seishiro mengisap rokoknya dalam-dalam, sebelum membuangnya ke sembarang arah, sama cepat.

Sementara di hadapannya, Subaru mengerjapkan matanya.

Anak lelaki itu mundur selangkah, diintimidasi sentakan cepat tangan Seishiro saat ia membuang rokoknya. Salah satu ujung matanya berkedut, kedua tangannya terkepal.

Tanpa sadar ia menarik napasnya dalam-dalam.

"Aku gak mau tahu! Ini bukan salahku! Kamu yang janji mau jemput aku dari sekolah, kenapa jadi aku yang salah?!" pekik Subaru, mengacuhkan beberapa pasang mata yang mulai memandangi mereka berdua.

Seishiro menutup matanya, sedikit menengadah sambil memijat pelipisnya.

Rahangnya mengeras, bibirnya terkatup rapat. Ia kesal bukan main.

"Saya-"

"Kamu sibuk?! Terserah! Kamu yang buat janji! Bukan aku! Harusnya kamu tepat-"

"Ya, tapi-"

"Gak ada tapi! Kamu yang salah-"

"Saya gak salah-"

"Iya, kamu salah! Kamu selalu saja-"

Seishiro kembali menutup matanya, membiarkan kata-kata Subaru mengalir keluar dari salah satu telinganya, sementara yang lain mendengarkan dengan terpaksa.

Kali ini ia menunduk, jemari panjang itu kembali menggerayangi pelipisnya.

"Ah, udahlah," Seishiro melambaikan tangannya di udara, melibas deru angin kencang yang tiba-tiba datang mengacak-acak rambutnya dengan Subaru. Seakan-akan itu dapat membantu amarahnya menguap ke udara.

Kemudian tanpa disangka-sangka, Seishiro malah berbalik pergi.

Kedua bola mata Subaru melebar, dengan seraut wajah kesal ia lalu berlari menyusul Seishiro.

"Seishiro-"

"Kalau bukan untuk minta maaf, nggak usah ngomong lagi sama saya," sahut Seishiro cepat, dingin, tanpa sekalipun melihat kearah Subaru.

Si pelajar terhenyak.

Langkahnya sempat terhenti, tertohok kata-kata kekasihnya.

"Ap-apanya yang-" tapi kemudian Subaru menyerah.

Ia mendesah keras, nyaris seperti mendengus.

Sungguh, Subaru benar-benar kesal.

Kalau Seishiro berpikir ia satu-satunya orang yang berhak merasa kesal, pria tinggi itu tentu salah.

Tapi juga sedih, terutama ketika ia kembali mengalihkan pandangannya pada punggung Seishiro yang tegap. Yang menjauhinya.

Memangnya apa yang telah dilakukannya?

Apakah salah baginya untuk sekadar menagih janji?

Seishiro yang memintanya untuk menunggu, tetapi hanya beberapa jam kemudian dibatalkannya janji itu, Seishiro tidak menjemputnya. Pikiran Subaru tidak mau berhenti menghitung kesalahan Seishiro hari itu.

Ini semua karena Seishiro, anak itu menambahkan lagi.

Subaru menolak untuk pulang bersama Hokuto dan supir pribadi mereka, Hanazono-san, karena Seishiro menyuruhnya menunggu. Subaru bahkan menolak ajakan Kamui Shiro, rekan sekelasnya, setelah beberapa kali—dengan baik hati—membujuknya untuk pulang saja bersamanya karena langit sudah mulai mendung.

Subaru pun harus menahan dingin setelah akhirnya hujan benar-benar turun.

Membasahinya dari ujung kepala sampai kaki.

Tapi kemudian, tak jauh di depannya, Seishiro melakukan hal yang sama dengan alam pikirnya.

Ia tidak meminta Subaru menunggunya, Seishiro ingat betul, dalam pesan yang dikirimnya pagi tadi, ia hanya memberitahu kekasih kecilnya itu bahwa hari ini mungkin ia akan pulang kerja lebih awal, dan mungkin ia bisa mampir dulu ke sekolah Subaru untuk menjemputnya.

Ia sama sekali tidak meminta Subaru menunggu.

Dan ia benar-benar mengetik kata mungkin dalam pesan itu.

Anak itu selalu memperburuk keadaan, entah dengan sikapnya, atau persepsinya dalam segala hal.

Keduanya terus saling menyalahkan, dan Seishiro semakin menjauh darinya.

Melihat itu, Subaru kembali mengepalkan kedua tangannya, kaki-kakinya yang gemetar dipaksanya berlari sekuat tenaga.

Ia berlari kencang melewati Seishiro, yang masih bersikap acuh tak acuh terhadapnya.

Seishiro masih begitu sampai didengarnya deru suara kendaraan-kendaraan bermotor di depannya.

Cepat-cepat ia mengangkat kepalanya, menatap lurus ke depan.

Lampu rambu lalu lintas sudah berubah warna, giliran kendaraan-kendaraan itu lewat, sementara para pejalan kaki berkerumun di sisi-sisi jalan.

Tapi dengan mata membelalak, Seishiro melihat kekasihnya masih berlari kencang.

Terlalu cepat dan Subaru mengarah ke kerumunan orang di sisi jalan, terlihat terlalu jelas bahwa ia bermaksud untuk menembusnya.

Seishiro membuka mulutnya, tapi lalu menutupnya kembali.

Dengan sisa tenaganya—entah kenapa ia tiba-tiba merasa lelah—Seishiro mengejar Subaru.

Pikirannya buyar, tatapannya tertuju pada Subaru seorang.

Benaknya kalut, Seishiro benar-benar panik sampai akhirnya lengan Subaru diraihnya, yang lalu ditariknya ke belakang kuat-kuat.

Subaru terantuk ke belakang, perlu beberapa langkah mundur sebelum ia kembali dapat berdiri tegak.

Tapi sebelum tubuhnya benar-benar kembali seimbang, pipinya terasa panas.

Subaru memang melihat ayunan tangan Seishiro, yang begitu cepat ia hanya dapat menangkapnya sekilas.

Namun sungguh ia tidak pernah mengira Seishiro akan menamparnya.

Seishiro menatapnya nanar, napasnya terengah-engah.

Subaru juga, dengan napas tersengal, balas menatap Seishiro nanar. Tapi dengan alasan yang sepenuhnya berbeda.

Tangan kanan Subaru perlahan naik, memegangi pipi kirinya yang memanas dalam pelukan Seishiro.

Setetes air mata meleleh, mengaliri pipi putihnya yang kini memerah.

Seishiro—yang masih terengah-engah—kemudian hanya merengkuh Subaru erat.

Seishiro memindahkan salah satu tangannya keatas kepala Subaru, mengelus-elus rambut halusnya, berusaha menenangkan Subaru yang bahunya gemetar.

"Maaf. Saya pikir kamu mau lari ke jalan tadi,"

Ia benar-benar menyesal. Dipeluknya Subaru lebih kencang lagi.

Subaru yang mulai terisak, menenggelamkan kepalanya diantara bahu dan leher jenjang Seishiro.

"Maaf," Seishiro membisikannya tepat ke telinga Subaru, "maaf. Kamu jadi nunggu saya lama tadi, maaf ya?"

Nada bicaranya benar-benar lembut, bahu Subaru perlahan berhenti bergetar.

"Maaf, Subaru,"

Lengan-lengan Subaru bergerak, menjulur, masing-masing lengan itu mengitari pinggang Seishiro kemudian menjepitnya.

Dipeluknya Seishiro sama erat, ia menggeleng dengan masih menenggelamkan wajahnya.

"Nggak apa-apa,"

Biarlah ia kalah lagi hari ini, ia rela tetap memeluk Subaru seperti itu sampai anak itu berhenti menangis, pikir Seishiro dalam hati, sementara tangannya masih asyik mengusap-usap kepala Subaru.

Memang apa salah Subaru?

"Se-Seishiro...?"

"Hm?"

"Maaf,"

Dugaannya salah. Setelah setahun, Seishiro akhirnya menang.