Kembali dengan judul baru….

Terima kasih buat yang sudah baca apalagi me-riview fict saya sebelumnya, yaitu Lost Hope. Jiah, promosi….

Yo wes lah, yang penting sekarang saya datang membawa fanfic baru yang idenya berasal dari benak saya dan teman saya yang nge-fans berat sama pairing SebaXCiel..

Arigatou, hikari-chan…

Tittle : Sulit

Disclaimer : Yana Toboso, lah.. masa' punya saya. Jadi apa kuroshitsuji nanti..

Pairing : SebaXCiel, pasti…..

Rated : T, M, T, M, T, M, ….., T ja lah dulu…

Warning : OOC, yah.. pokoknya gitu, deh.. yang jelas ini fict YAOI/ Sho-ai/ boys love/ boysXboys/dlsb

Batu dihantam dengan batu.

Tinggal lihat batu mana yang lebih keras.

Yang lemah akan hancur dan yang kuat akan bertahan.

Sulit

Chapter 1

'TAP TAP TAP TAP'

Terdengar derap langkah kaki seseorang yang sepertinya sedang terburu-buru. Kalau didengarkan dengan teliti, suara langkah tersebut bisa dioperkirakan ditimbulkan oleh sepasang kaki yang tidak besar (baca:mungil). Pemilik langkah tersebut adalah seorang pemuda berambut kelabu selembut sutera, ia juga memiliki paras yang sulit jika dibilang tampan, karena wajahnya mengarah ke… cantik. Ditambah dengan sepasang berlian berwarna safir yang memperindah kulit pucat mulus milik si pemuda bertubuh mungil tersebut. Sebut saja dia Ciel, Ciel Phantomhive. Seorang remaja berusia delapan belas tahun yang baru akan memulai kehidupan barunya di Buckingham University sebagai salah seorang mahasiswa jurusan Seni dan Musik. Jika ditanya kenapa dia memilih jurusan itu, jawabannya pastilah 'Jelas karena aku suka musik, kalau aku suka memasak, baru aku ambil jurusan memasak.' Dan jawaban itu pun pasti akan dilancarkannya dengan nada ketus. Sifatnya yang suka mengisolir diri dan tempramen itu, membuatnya tak banyak memiliki teman walaupun bisa dibilang sejarah prestasinya selama ini memuaskan. Sangat, malah. Sampai-sampai ia diterima di Universitas paling bergengsi itu tanpa harus membayar uang sekolah alias gratis alias karena dapat beasiswa dari universitas.

Mau tahu, kenapa Ciel sudah terburu-buru pagi ini? Itu karena semalam ia tidak bisa tidur karena memikirkan hari pertamanya di kampus. Ia akan bertemu dengan orang-orang baru, pribadi yang mungkin sedikit lebih bebas karena di usia kuliah rata-rata remaja sudah menemukan jati diri dan jalan hidupnya masing-masing.

Ransel hitam yang tampaknya sudah lama namun masih tampak bagus itu berguncang mengikuti pergerakan manusia yang menggendongnya sambil berlari ke arah sebuah gerbong kereta api. Tak lupa sebuah tas berisi sebuah alat musik gesek yang disampirkan di lengan sebelah kanannya yang juga mengikuti irama pergerakannya.

'Cih! Hari pertama sudah kesiangan. Sial!' umpat pemuda bernama Ciel itu yang kemudian berhasil memasuki sebuah gerbong kereta api beberapa saat sebelum pintu gerbong tersebut menutup secara otomatis.

Pemuda itu menyandarkan sebelah tangannya ke dinding kereta api sejenak. Mengatur nafasnya yang tersengal-sengal karena habis olahraga pagi. Wajah pucatnya semakin pucat karena kurangnya pasokan oksigen dalam paru-paru dan darahnya. Matanya menyelidik ke seluruh penjuru gerbong masih sambil mengatur nafas. Mencoba mencari sebuah kursi yang mungkin tersisa untuknya, mengingat keadaan kereta yang penuh hari ini. Tak butuh waktu lama sampai akhirnya ia menemukan sebuah kursi yang berada sekitar lima meter dari tempat ia berdiri. Hanya bangku itu yang niat dan tujuan agar rasa lelahnya hilang, Ciel melangkah menuju kursi tersebut.

Namun baru beberapa langkah ia menuju kursi yang tampak bersinar itu, lewatlah sekelebat bayangan hitam yang lebih besar, lebih tinggi, dan lebih cepat daripada Ciel, hampir membuat Ciel terjatuh. Dan parahnya lagi, bayangan hitam tadi malah duduk di kursi yang ia tuju. Dengan santainya orang berpakaian serba hitam itu menduduki kursi yang diidam-idamkan oleh Ciel. Bagaikan seorang raja yang singgasanya direbut, Ciel begitu kesal dan tanpa sadar menghampiri pemuda berbalut serba hitam -yang juga memiliki rambut hitam- yang duduk membelakanginya.

Ditepuknya pundak pemuda itu dengan agak keras, membuat yang diganggu menolehkan wajahnya yang seperti tokoh-tokoh ksatria dalam dongeng. Kulit putih yang sedikit tertutupi rambut ravennya yang menjuntai di sisi rahang tegasnya, sepasang ruby yang seolah menelan siapa saja yang memandangnya ke dalam kegelapan, hidung mancung, dan bibir tipis nan seksi yang dimilikinya sungguh akan membuat semua orang yang melihatnya terkesima, baik wanita maupun pria. Tapi tidak untuk sosok yang sedang dilanda amarah yang satu ini.

"Tuan, aku duluan yang menemukan tempat ini." Ucap Ciel sambil menahan getaran amarahnya. Sang pemilik ruby menatapnya dengan pandangan menyelidik. Memperhatikan orang yang bertanya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Kemudian seulas seringai terlukis di wajahnya yang tampan itu.

"Maaf, tapi aku yang lebih dulu sampai, 'Lamban'." Begitulah balasannya kepada sosok pemuda mungil yang menatapnya dengan pandangan yang semakin garang. Wajah Ciel kini telah memerah telak. Merah karena marah. Penekanan kata 'lamban' dari bibir pemuda di hadapannya itu membuatnya tak bisa mengontrol amarahnya lebih dari ini. Namun di lain sisi, ia mengakui dirinya yang memang kalah dari pemuda itu. Pemuda yang langsung membuang muka setelah mengolok-olok diriya. Ingin sekali Ciel menonjok wajah sok tampan milik pemuda hitam itu, namun entah dapat kekuatan dari mana, ia bisa menahannya sambil menggumamkan umpatan-umpatan untuk pemuda hitam yang menyebalkan itu.

…..

Sosok pemuda berambut raven yang memiliki sepasang ruby di wajahnya itu terus mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru stasiun kereta api, sesaat setelah ia turun dari gerbong yang mempertemukan dia dengan seorang bocah yang memiliki sepasang safir yang menarik perhatiannya. Entah untuk digoda atau diapakan.

'Aku yakin dia turun di sini.' Batin pemuda yang bisa kita sebut Sebastian, Sebastian Michaelis. 'Apa karena terlalu kecil sampai tak terlihat.' Akhirnya, karena ia juga diburu oleh waktu, ia pun tak menghabiskan waktu hanya untuk mencari seorang bocah tak penting yang tempramen. Ia pun melangkahkan kakinya menuju gedung tempat ia menimba ilmu untuk menjadi seorang paticier handal, Buckingham University.

Siang hari di Buckingham University Library

Sepasang safir itu kini tengah meneliti setiap baris yang ada di rak buku tersebut. Agak kesulitan mencari sebuah buku berjudul "Music From Your Heart' yang akan dijadikan bahan referensi untuk membuat tugas makalahnya. Safir miliknya meneliti tiap baris rak yang penuh dengan buku-buku tebal itu. Baru hari pertama kuliah, sudah dapat tugas yang lumayan berat. Sudah jadi kebiasaan Ciel untuk tidak menunda tugas apapun yang diberikan. Karena itu pula lah saat ini ia sedang sibuk mencari buku untuk membuat makalah yang sebenarnya baru akan dikumpulkan dua minggu lagi. Menurut Ciel, lebih cepat lebih baik. Dan itu memang betul.

Langkah dan pandangan Ciel terhenti di salah satu blok yang diapit oleh dua buah rak buku yang terlampau besar jika dibandingkan dengan tubuh Ciel yang di bawah rata-rata. Setelah kurang lebih setengah jam ia mencari, akhirnya ia menemukan apa yang ia cari. Sebuah buku tebal dengan cover berwarna hitam yang tampak sangat terawat baik atau lebih tepatnya dirawat dengan baik oleh penjaga perpustakaan yang bernama William. Seorang penjaga perpustakaan yang mengenakan kacamata, pemuda tampan yang lebih berkesan dingin sehingga membuat Ciel agak bergidik ngeri saat pertama kali bertemu dengannya setengah jam lalu.

"Ah, itu dia.." sorak Ciel saat melihat buku ber-cover hitam tersebut. Tangan mungilnya mencoba meraih buku yang berada di barisan rak ke dua, namun dari atas. Dan rak tersebut terdiri dari lima baris. Sehingga mau tak mau Ciel harus berjinjit untuk memaksimalkan usahanya mencapai buku tersebut. 'Sial, kenapa tinggi sekali,sich!' umpat Ciel sambil terus mencoba meraih buku tersebut.

"Eh?" pekik tertahan Ciel saat dilihatnya ada sebuah tangan yang mengambil buku incarannya dengan mudahnya. Ciel terbelalak kaget. Buku itu hanya ada beberapa buah di perpustakaan kampus, dan itu yang terakhir. Jika ia ingin mendapatkan buku yang sama, maka ia harus pergi ke perpustakaan kota dan itu akan membuat pekerjaannya tertunda.

"Maaf, tapi aku yang lebih dulu menemu…" kata-kata Ciel terputus begitu ia mengetahui siapa pemilik tangan yang dengan lancangnya merebut buku incarannya. Pemuda berambut hitam yang memiliki iris senada dengan darah. Pemuda yang merebut tempat duduknya di kereta tadi pagi. Raut wajah Ciel berubah menjadi tak bersahabat.

"Sudah LAMBAN, ternyata kau juga PENDEK, ya.." ujar pemuda beriris merah tersebut sambil menyunggingkan senyum palsunya seolah-olah tak terjadi apa-apa. (memangnya terjadi apa?)

PIK.

Sekarang muncullah sebuah perempatan yang biasa digunakan untuk nongkrong anak muda di dahi Ciel. Ada yang jual koran pula di sana *digeplak Ciel*. Ciel yang tidak terima dikatai seperti tadi, langsung memberikan the best deathglare-nya ke arah pemuda yang terang-terangan menantangnya.

"Aku tidak melihatmu di kelas musik, kenapa kau ambil buku musik?" tanya Ciel dengan nada yang diusahakan senormal mungkin. Padahal dalam hatinya, ia ingin sekali mengutuk orang di depannya itu menjadi lebih pendek darinya. Yang ditanya malah acuh sambil membolak-balikkan halaman demi halaman buku yang saat ini ia pegang.

"Aku suka musik." Jawabnya datar tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang ia baca, walaupun sebenarnya ia tak mengerti akan isi buku itu. Jujur saja, ia kemari juga karena ia ingin mencari sebuah buku resep. Tapi begitu ia melihat sosok bermata biru yang tadi pagi ia temui di kereta, langsung terbesit niat jahil di otaknya.

"Tapi aku lebih dulu menemukan buku itu daripada kau!" ujar Ciel yang mulai menampakkan kemarahannya. Pemuda bernama Sebastian itu melirik manik biru di hadapannya, kemudian mengembangkan sebuah senyum yang ganjil, senyum mengejek.

"Dan aku yang lebih dulu mendapatkannya, PENDEK." Lagi-lagi Sebastian menekankan pada kata 'pendek' sehingga membuat Ciel mendengus kesal. Wajah Ciel sudah semerah tomat sekarang, merah karena marah. Merasa tidak ada gunanya berdebat dengan orang ini, Ciel memutuskan untuk melangkah pergi dari tempatnya sekarang. Menuju tempat yang lebih baik, perpustakaan kota. Lagipula jam kuliahnya sudah habis untuk hari ini. Sebastian memandangi kepergian Ciel yang menghentakkan langkahnya keluar dari perpustakaan sambil menahan tawanya. Sampai akhirnya Ciel menghilang dibalik pintu dan pecahlah tawa nista Sebastian yang sejak tadi ditahannya.

"Hwahahaha.. ha.. ha.." seketika itu terasa pula aura membunuh dari si penjaga perpustakaan a.k.a William, yang sudah siap untuk menyambit Sebastian sambil menunjuk ke arah papan bertuliskan "Be Quite".

"Ups.. maaf.." ujar Sebastian yang menyadari kesalahannya. Ia pun keluar dari tempat itu setelah berhasil meminjam sebuah buku resep dan sebuah buku musik dan menuju suatu tempat untuk melanjutkan tawanya.

'Anak itu, manis…' batin pemuda itu.

….

Ciel memajukan bibirnya hingga tampak bisa diikat, membuat wajahnya tampak sangat manis. Jelas sekali mood-nya sedang sangat tidak baik saat ini. Bagaimana tidak? Saat ini, hujan turun dengan derasnya. Padahal tadi pagi langit begitu cerah. Kesialannya bertambah saat ini. Ia ingin segera menyelesaikan tugas makalahnya agar tidak menumpuk. Lagipula ia juga harus segera mencari pekerjaan sambilan untuk memenuhi keperluan sehari-harinya.

Ciel seorang yatim piatu, orangtuanya meninggal saat rumah miliknya terbakar, dan hanya ia yang berhasil diselamatkan oleh petugas pemadam kebakaran. Kejadian itu sudah lama, saat Ciel berusia lima tahun, tiga belas tahun yang lalu. Sejak saat itu, ia diasuh oleh bibinya-Angelina Burnett- yang seorang dokter. Dan di saat ia diterima masuk di universitas, ia ingin hidup mandiri. Untuk masalah biaya kuliah, Ciel mendapatkan beasiswa lebih karena bakatnya memainkan alat musik, khususnya Biola dan piano.

Ciel nampak sedang menimbang-nimbang keputusan. Haruskah ia menembus hujan ini agar cepat sampai di perpustakaan kota dan menyelesaikan tugasnya, kemudian segera mencari tempat part time karena uang pesangon dari bibinya cepat atau lambat akan menipis dan habis. Tapi ia teringat kata-kata bibinya yang melarangnya hujan-hujanan. Ciel tak mau membuat bibinya khawatir kalau ia sampai sakit nanti. Akhirnya ia memilih untuk duduk di bangku koridor sambil menunggu hujan berhenti.

"Ciell…..!" sebuah suara membuyarkan kehikmad-an Ciel yang tengah memandangi hujan. Ciel pun menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Tempaklah seorang pemuda berambut pirang dengan warna mata turqoise berlari ke arahnya. Alois Trancy nama pemuda itu, teman pertama Ciel di kelas musiknya. Alois mahir dalam memainkan alat musik akustik terutama gitar. Saat ini pun ia tampak sedang menggendong tas berisi gitarnya. Alois adalah pemuda yang memiliki pribadi yang ceria. Walaupun Ciel sering merasa terganggu, namun di sisi lain Ciel merasakan kedamaian saat bersama dengan pemuda yang satu ini. Pembawaannya yang ramah-berbanding terbalik dengan Ciel- sedikit banyak membuat Ciel merasakan memiliki keluarga lagi. Walau pun ia berasal dari keluarga terpandang, namun Alois senang berteman dengan siapa saja. Itu lah yang mungkin membuat Ciel merasa nyaman berada di dekatnya.

'Sedang apa di sini?" tanya Alois yang kini telah duduk di sisi kanan Ciel.

"Menunggu hujan berhenti." Jawab Ciel singkat.

"Eh, mau mendengarkan sebuah lagu?" tawar Alois. Ciel tidak menanggapinya namun Alois tetap pada niatnya. Alois pun mengeluarkan gitar kesayangannya. Tak lama, Alois pun mulai memetik senar gitarnya.

Daitai itsumo doori ni

Sono kado o magareba

Hito nami ni magire komi

Tokete kiete iku

Lantunan suara Alois yang memang merdu itu membuat Ciel tanpa sadar memejamkan matanya untuk menghayati lagu yang dimainkan oleh Alois. Alois pun tampak begitu menghayati lagu yang ia mainkan.

Boku wa michi o nakushi

Kotoba tsuranaku shite shimau

Dakedo hitotsu dake wa

Nokotteta.. nokotteta

Kimi no koe ga

Mereka berdua tampak semakin hanyut dalam lagu yang dilantunkan oleh si pirang. Jemari si pirang dengan lihai dan anggunnya memainkan kort dari lagu tersebut. Dengan tempo yang mellow dan suasana yang dingin, lagu tersebut sepertinya mampu menghangatkan hati keduanya, dan mungkin orang-orang lewat yang tak sengaja mendengarnya.

Warau kao mo okoru kao mo, subete

Boku o arukaseru

Kumo ga kireta saki o mitara kitto

Nee wakaru desshou?

Nee wakaru desshou?

"Ciel, lihat. Ada pelangi!" seru Alois setelah menghentikan permainan musiknya. Seketika Ciel membuka matanya dan melihat ke arah yang ditunjuk oleh telunjuk Alois. Dan benar saja, ada tujuh warna di sana. Bergabung membentuk sebuah lengkungan yang luar biasa indah. Hujan telah berhenti dan sekarang cuaca cerah kembali.

"Ciel. Pelangi itu indah, ya?" tanya Alois yang kini memandang ke arah Ciel. Ciel hanya membalasnya dengan seulas senyum. Ya, pelangi itu sangat indah. Tujuh warnna yang tercipta dari satu warnya, putih. Terurai dan terbias. Sama seperti persahabatan, indah.

Setelah puas memandangi pelangi, akhirnya Ciel bangkit dari duduknya dan meletakkan tasnya di pundaknya.

"Mau ke mana?" tanya Alois yang masih berada di situ.

"Perpustakaan kota. Mau ikut?" jawab dan tanya Ciel.

"Ah…! Kau mengajakku Ciel… waaa… aku senang sekali…" sorak Alois sambil bergelayut manja pada Ciel. Sebenarnya Ciel agak risih atas perlakuan Alois, tapi ia membiarkannya seperti itu. "Bagaimana kalau naik mobilku saja?" tawar Alois kemudian.

"Eh? Apa tidak apa-apa?" tanya Ciel agak canggung. Tanpa aba-aba si pirang pun mengeluarkan ponselnya dan menekan beberapa tombol sebelum menempelkan benda itu ke telinga kanannya.

"Ada apa, Danna-sama?" kata suara di seberang sana.

"Cepat jemput aku di kampus. Aku ingin ke perpustakaan kota, sekarang." Titah Alois kepada orang yang dihubunginya.

"Yes, Your Highness." Dan sambungan terputus.

Kedua sahabat itu pun kembali berbincang-bincang seraya menunggu seseorang yang dihubungi Alois tadi. Mereka terlalu asyik mengobrol sehingga tak menyadari bahwa sedari tadi ada seseorang yang memperhatikan mereka dari tempat yang tidak terlaku jauh dari tempat mereka berada.

'Manis.. tapi hanya aku yang akan memilikinya.'

-Bersambung-

Author :Lho, koq jadi AloisXCiel?

Ciel : kapan pairing aslinya keluar?

Author : sabar…

Alois : bilang aja karena loe lagi nge-fans ma gue, maka terciptalah pair satu ini.

Author : tidakk….. selamanya Ciel hanya milik Sebastian dan kau hanya milik Claude.

Sebastian: ngangguk-ngangguk…

William : jangan berisik! Yang penting review…!

He he…

Salam katak, Ara-kun….

Poffffphh…..