POTRAIT

Hypnosis Mic Fanfiction

Hypnosis Microphone milik KING RECORDS, IDEA FACTORY, dan Otomate

Cerita ditulis oleh tsukitsukiii

Samatoki x Ichiro

Warning! BL, typo, dan lain-lain

Happy reading!

.

.

.

Mata itu bergerak. Mengekor pada Samatoki. Mengikuti tiap langkahnya. Dan membawa Samatoki jatuh, jatuh semakin dalam pada pesonanya.

.

.

.

"Jadi, lukisan kemarin akhirnya dijual?" iris merah itu memutar malas. Untuk saat ini, ia sama sekali tak berkeinginan untuk mendengar rancauan temannya. Namun, menyadari dirinya yang sudah jelas-jelas tidak tertarik dengan obrolan ini, sang teman tetap tak acuh. Mulut pria berkacamata itu tak sudah-sudahnya memberi tawaran yang kian memaksa.

"Benar. Dan harganya dibanting sangat rendah. Kau yakin tidak ingin membelinya?" Sang pria berkacamata, sebut saja Jyuto, masih giat membujuk Samatoki agar membeli sebuah lukisan bernilai tinggi yang kini sedang dilepas dengan harga begitu rendah. "Kita bisa untung besar, kau tahu? Kesempatan hanya datang satu kali!"

Benar, bagi Jyuto, ini adalah kesempatan mereka untuk mengambil untung. Dengan membeli lukisan tersebut, setelah beberapa hari, mereka bisa jual kembali dengan harga yang lebih pantas. Tentu keuntungannya tidak sedikit. Mereka bahkan bisa dapat lebih banyak pemasukan dari uang yang mereka keluarkan untuk membeli benda tersebut.

Samatoki berdecak kencang mendengar ucapan Jyuto. Dasar mata duitan. Yang dipikirkan hanyalah uang, tapi tidak ingin mengeluarkan sepeser pun. Bila Jyuto menemukan barang yang bernilai tinggi, Samatoki selalu menjadi orang yang mengeluarkan uang. Tetapi ketika mendapat keuntungan, Jyuto meminta bagiannya.

Tidak tahu diri. Jyuto tak pernah tahu diri. Dan itu yang membuatnya begitu dibenci oleh Samatoki.

Namun di sisi lain, Samatoki membutuhkan Jyuto sebagai pengacaranya ketika sedang terlibat kasus. Kebanyakan kasus yang melibatkan Samatoki adalah perdagangan narkotika. Sering kali Samatoki disebut sebagai dalang atas beredarnya narkotika jenis baru, padahal ia sudah terlepas dari pekerjaan itu sejak dua tahun lalu.

Jyuto adalah pengacara yang handal, Samatoki benci mengakuinya. Jyuto selalu sigap menangani kasus yang menjadikan Samatoki sebagai tersangka. Ia sangat ahli dalam membalikkan fakta palsu dari penggugat, sehingga terkadang penggugat justru menggantikan posisi Samatoki sebagai tersangka.

Sial. Samatoki tidak bisa mencari pengacara lain untuk membelanya di pengadilan. Ia tak mudah mempercayai orang asing. Tetapi di luar pekerjaannya sebagai pengacara, Jyuto adalah ular. Pria itu pandai mengambil keuntungan dari ketidakberdayaan Samatoki atas hukum. Hal ini yang membuat Samatoki selalu menjadi bank berjalan untuk Jyuto tiap kali ada kesempatan.

Terkadang, Samatoki merasa sebutan 'teman' tidak pantas ditujukan pada Jyuto. Pria itu hanya penjilat yang mengatasnamakan teman dan pengacara.

Sial sial sial.

"Bagaimana?"

Pertanyaan Jyuto menjadi pemecah keheningan di sana. Samatoki memandang Jyuto sinis sebelum akhirnya menyetujui dengan berat hati. Mau ditolak berapa kali pun, Jyuto akan tetap bersikeras membujuknya.

"Tapi sebelumnya, aku belum lihat lukisan yang kau ceritakan itu. Kau belum menunjukkannya sama sekali," kata Samatoki. Diraihnya bungkus rokok dari atas meja, lalu mengeluarkan rokoknya sebatang. "Bagaimana bisa aku membeli sesuatu yang belum kulihat?"

"Oh ya, sebentar," Jyuto segera membuka ponsel, mencari foto lukisan yang ia maksud. Ia ingat beberapa waktu lalu pernah mengabadikannya ketika mendatangi sang pelukis untuk melakukan penawaran. Jarinya berhenti ketika sampai pada foto yang ia cari, kemudian memperlihatkannya pada Samatoki. "Ini dia."

Mata Samatoki tak mampu berkedip melihat keindahan sosok dalam lukisan yang ditunjukkan Jyuto.

Ya, begitu indah. Goresan lukisannya, lekuk wajahnya, mata heterochromenya, tatapannya… begitu memabukkan.

Jyuto tersenyum puas melihat reaksi Samatoki. Tidak diragukan lagi, Samatoki menerima ajakannya secara sah. Kalau tahu begini, Jyuto menunjukkan foto lukisannya saja dari awal. Ia menarik ponselnya dan berkata, "Menakjubkan, bukan? Tentu lukisan ini akan mendatangkan keuntungan yang besar untuk kita."

"Siapa dia?" Samatoki seakan tak mendengar ucapan Jyuto. Ia ingin menatap lukisan itu lebih lama. Ingin menikmati setiap inchi garis yang membentuk sosok dalam lukisan. Sosok yang begitu elegan. Sungguh indah. Namun juga... agak menyedihkan.

"Yang di dalam lukisan?"

Samatoki mengangguk singkat.

"Entahlah, aku tak begitu yakin," jawab Jyuto disertai alis yang mengernyit, mencoba mengingat. "Yang aku dengar hanya orang dalam lukisan ini berasal dari keluarga Yamada. Kematiannya cukup tragis tetapi disembunyikan, tak ada yang tahu pasti penyebab kematiannya. Harga lukisannya tinggi karena, kalau tidak salah ingat, sosok dalam lukisan dapat hidup saat jam menunjukkan pukul 01.00 dini hari."

.

.

.

To Be Continue