Disclaimer :

Bleach ⓒ Tite Kubo

Aku Sayang Papa ⓒ Kken RukIno

Warning : Newbie,AU, OOC, typo(s), EYD hancur, deskripsi kurang, abal, dll.

A/N : My 2nd fic and My 1st fic in FBI

.

.

Don't like, don't read.

Kami—sama semoga mereka selamat.

Kami—sama semoga mereka selamat.

Kami—sama semoga Rukia dan anakku selamat.

Kami—sama semo —

"Kurosaki— san?" Ichigo tersentak dari khayalan suramnya begitu Dokter Unohana menegurnya. Napas pemuda berambut orange itu tersengal-sengal dengan tubuhnya yang terus bergetar. Matanya merah dan masih saja terus mengeluarkan cairan bening.

Dokter kandungan itu mencoba menenangkan rekan kerjanya agar sedikit lebih rileks. Tapi tetap saja, Ichigo— sang dokter bedah tetap tidak bisa tenang.

"Bagaimana? Bagaimana keadaan Rukia dengan janinnya?" tanya Ichigo langsung. Mendengar itu, dokter Unohana hanya tersenyum pahit. Ia tidak tahu harus mengatakannya bagaimana.

"Dr. Unohana. Tolong jawab pertanyaanku! Bagaimana keadaan mereka? Mereka baik-baik saja kan?" Ichigo makin tidak tenang saat dokter cantik tersebut hanya diam membisu. Melihat itu, Ichigo langsung berlari menuju ruangan bersalin, ruangan dimana sang istri berada.

"Bayi kalian selamat," dokter Unohana berbalik melihat Ichigo yang telah berhenti berlari dan menatapnya balik. Detik kemudian, senyum merekah di wajah tampan pemuda berumur 23 tahun yang begitu bahagia mendengar kabar dari dokter Unohana.

Ichigo ingin segera bertemu Rukia. Ia ingin memberi kabar bahagia ini. Bahwa bayi mereka selamat dan ia telah menjadi seorang ayah. Dengan pemikiran begitu, ia pun kembali berlari menuju ruangan bersalin yang semula menjadi tempat tujuannya.

Tanpa ia sadari, dokter Unohaan telah menetaskan air mata. Ichigo salah! Seharusnya ia tidak bersenang hati. Karena ia hanya tahu keadaan anaknya, padahal masih ada seorang lagi yang keadaannya harus ia tanyakan.

"Gomen, Kurosaki-san."

oooooooooo

Brak...

"Rukia..." Ichigo membanting pintu ruang bersalin tanpa merasa salah sedikitpun. Masa bodoh dengan para bidan yang menatapnya kaget ataupun dengan peraturan yang dimana harus tenang saat berada di Rumah Sakit. Yang ia butuhkan sekarang adalah Rukia. Istrinya yang tercinta.

Ia melihat Rukia berbaring disalah satu ranjang rumah sakit. Tampaknya Rukia tidak begitu baik. Terbukti dengan alat bantu napas yang bertenggar dihidungnya.

"Rukia..." panggilnya saat telah berada di samping sang istri. Ia begitu terkejut melihat betapa lemahnya sekarang Rukia. Bibir nya yang biasa merah ranum sekarang terlihat begitu pucat, begitu juga dengan kedua pipinya. Rukia... Rukia-nya yang biasa selalu bersemangat, sekarang menjadi lemah tak berdaya. Oh kami-sama...

Rukia, dengan gerakan lemah menoleh kearah Ichigo. Oh tidak! Dan mata violetnya yang selalu bercahaya sekarang menjadi redup, hampa...

"Ichi...go"

"Sstt... Jangan bicara dulu. Kau masih lemah, Rukia," Ichigo mengelus perlahan rambut hitam Rukia.

Ooee... Ooee...

Ichigo tersentak mendengar tangisan bayi. 'Itu pasti bayiku. Anakku dengan Rukia,' pikirnya. Dengan itu ia melangkah ke arah seorang bidan yang lagi mencoba menenangkan sang bayi.

Bidan itu menyadarinya dan segera memberikan bayi perempuan itu ke tangan Ichigo.

Masih dengan menangis, Ichigo perlahan membaringkan anaknya disamping Rukia yang keadaannya sepertinya makin memburuk.

"Rukia... Ini anak kita. Ayo, kau lihat," Rukia nampaknya hanya diam walaupun Ichigo telah memanggilnya. Melihat itu wajah Ichigo menjadi pucat.

"Rukia. Kau dengar aku kan? Rukia."

"..."

"Rukia..."

Syukurlah! Rukia mendengarnya. Masih dengan sangat lemah Rukia melihat Ichigo dengan anakknya bergantian. Ichigo sangat bahagia, hingga lagi-lagi ia meneteskan air matanya.

"Kau lihat kan Rukia, anak kita telah lahir. Yume telah lahir sayang. Dia bayi perempuan yang sehat."

"Yu— me..."

"Akhirnya kita menjadi orang tua Rukia. Kita akan membesarkannya bersama. Kita akan bermain dengannya, mengantarnya ke sekolah, menghadiri pertemuan orang tua dan akan melihatnya menjadi gadis yang baik dan kuat sepertimu."

Rukia hanya tersenyum lemah sebagai balasan dari kalimat Ichigo barusan. Ia rasa napasnya semakin berat, sangat susah untuk melakukan pergerakkan, pandangannya juga mulai mengabur dan kepalanya makin sakit saja. Ia sepertinya harus beristirahat.

"Rukia..."

"Aku sayang kau dengan Yume Ichigo," ucap Rukia dengan susah payah. Ichigo tersenyum dan mengangguk— anggukkan kepalanya berulang kali.

"Aku juga menyayangimu, Rukia. Begitu juga dengan Yume. Ia pasti sangat menyayangimu."

Sekali lagi Ichigo melihat anaknya yang masih saja menangis. Oh tidak, bukannya menenangkan anaknya ia malah membiarkannya.

"Aku ingin istirahat Ichigo," kalimat Rukia barusan membuat perasaan Ichigo tak enak.

"A— apa maksudmu, Rukia?"

"Aku lelah sekali. Biarkan aku tidur Ichigo," berbarengan denga kalimatnya, Rukia mulai memejamkan matanya.

Ichigo hanya terpana saat melihat tubuh Rukia bercahaya. Ja— jangan— jangan...

Ichigo kemudian memegang tangan Rukia. Dingin.

"Rukia?"

"..."

"Rukia, bangun Rukia. Kau jangan tidur dulu."

"..."

"Rukia. Kumohon, ayo bangun. Kau lihat, Yume terus menangis. Kau harus menenangkannya. Rukia."

Tak ada respon. Rukia masih saja menutup kedua matanya dengan senyum tipis yang tertera diwajah pucatnya. Kemudian Ichigo memeriksa pergelangan tangan Rukia dan sayangnya ia tidak mendapati denyutan disana. Mengetahui hal itu membuat air mata Ichigo semakin tumpah. Tidak mungkin! Rukia tidak mungkin meninggalkannya!

"Hei midget! Ayo cepat bangun. Aku janji, jika kau bangun akan kubelikan Chappy World untukmu. Makanya, kau harus bangun agar kita bertiga bisa ke sana . Oii midget," Ichigo makin kencang mengguncang tubuh Rukia. Tubuhnya sekarang bergetar hebat. Ia tidak mau kehilangan orang ia sayangi lagi.

"..."

"Rukia... Kumohon ayo bangun. Aku dan Yume masih sangat membutuhkanmu, Rukia..."

"..."

"Kami-sama. Jangan ambil Rukia dari kami. RUKIA..."

oooooooooo

Hujan deras mengguyur kota Tokyo semenjak proses pemakaman Kurosaki Rukia, yang meninggal pagi tadi.

Ia dimakamkan di salah satu pemakaman elit di Tokyo. Rupanya, Byakuya— kakak angkat Rukia tetap menginginkan yang terbaik walaupun Rukia telah tiada.

Masih ada segelintir orang yang berada di tempat pemakaman Rukia. Entah kerabat kerja, teman, sahabat— sahabatnya mapun keluarga. Mereka masih memandang sendu batu nisan yang bertuliskan nama Kurosaki Rukia, seseorang yang mereka sayangi.

Hinamori Momo, sahabat dekat Rukia terus saja menangis. Ia belum rela melepas kepergian sahabat baiknya itu. Rasanya baru kemarin ia melihat Rukia berlari begitu sehat kearahnya. Tapi sekarang, ia tidak akan pernah melihat lagi senyum maupun tawa dari Rukia.

"Sudahlah Momo. Berhentilah menangis," bujuk Tatsuki, salah satu sahabat baik Rukia. Ia terlihat sedikit tegar. Ia tidak ingin Rukia tidak tenang disana hanya karena mereka yang tidak rela melepas kepergiannya.

Pemuda yang sangat mirip dengan Ichigo mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Sedari tadi ia belum melihat bocah jeruk itu. Pergi kemana dia saat istrinya dimakamkan? Benar-benar suami yang kurang ajar.

"Aku pergi mencari Ichigo dulu, Tousan," Isshin hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Hati-hati, Kaien," langkah Kaien terhenti saat mendengar perkataan ayahnya. Ia mengangguk kemudian melanjutkan perjalanannya kembali.

oooooooooo

Ia tidak tahu harus melakukan apa sekarang. Rasanya dunianya telah hancur. Telah direbut oleh Rukia yang telah meninggalkannya. Ingin sekali rasanya ia mengulang kembali waktu, agar semua ini tidak terjadi. Rukia tidak hamil, tidak mengalami pendarahan sehingga Rukia masih akan tetap ada disampingnya.

Masa bodoh dengan tidak punya keturunan, yang penting Rukia tetap hidup. Tetap memberikan senyumannya untuknya. Mengecupnya saat ia membuka kedua matanya. Tetap memberi kehangatan yang ia butuhkan.

Kenapa Kami—sama sekejam ini padanya? Hal kejam apa yang ia perbuat sehingga ia mengalami semua ini?

"Ichigo."

Ichigo menoleh dan mendapati kakaknya sedang menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Kemudian Kaien berjalan kearahnya dan duduk tepat disampingnya, dihamparan rumput. Mereka sekarang memang berada di salah satu bukit di sebelah Utara Tokyo.

"Daritadi kau disini? Kenapa tidak menghadiri pemakaman Rukia?"

Ichigo tidak mau menjawab pertanyaan tidak penting Kaien. Ia lebih memilih bungkam. Sedangkan Kaien hanya menghela napas. Ia telah terbiasa oleh sifat adik keras kepalanya ini.

"Ini memang berat. Tapi setidaknya kau harus merelakan kepergian Rukia, Ichi—"

"AKU TIDAK AKAN PERNAH MERELAKAN KEPERGIAN RUKIA," napas Ichigo tersengal-sengal. Cairan asin kembali menghiasi kedua pipinya. Merelakan Rukia pergi? Khehh yang benar saja. Sampai kapanpun juga ia tidak akan pernah rela.

Ichigo mengepalkan kedua tangannya, menggit bibirnya agar mencoba menahan rasa sakit yang ia rasakan. "Rukia pergi Kaien. Padahal ia telah berjanji akan selalu berada disampingku. Tapi kenyataannya ia tetap saja meninggalkanku sendiri... ARGHH..."

Bruk...

"Ichigo!" Kaien mencegat tangan Ichigo begitu ia ingin memukul wajahnya lagi. Tapi Ichigo memberontak, ia masih ingin memukul wajahnya sendiri.

"Lepaskan aku Kaien! Biarkan aku memukul wajahku. Aku sadar ini semua salahku!"

"Kau bicara apa? Ini bukan salahmu!"

"Tidak! Ini salahku! Andai saja aku tidak mencintai Rukia, tidak menikahinya, tidak

membuatnya hamil pasti Rukia... Pasti ia—" Ichigo meluapkan semua yang ia rasakan lewat tangisannya. Ia menangis sekencang—kencangnya. Tangisan yang menyayat hati bagi yang mendengarnya. Ia tidak perduli kalau Kaien melihatnya dan beranggapan ia pria yang lemah. Ia tidak akan peduli. Hanya ini satu-satunya jalan yang bisa ia lakukan. Membiarkan dirinya menangis ditengah derasnya hujan.

"Ichigo," bisik Kaien. Ia merasa iba pada adiknya. Tidak pernah ia lihat Ichigo sehisteris dan sesedih ini. Bahkan saat ibunya meninggal, Ichigo tidak terlihat menangis. Apa saat ini, semua kesedihan Ichigo yang menumpuk saat ibunya meninggal hingga sekarang, baru sekarang ia mengeluarkan semuanya?

Ia tidak tahu jawabannya. Hanya Ichigo yang tahu. Detik kemudian ia memeluk Ichigo, membiarkan Ichigo mengeluarkan apa saja yang ia rasakan. Mencoba membagi ketegaran yang ia punya.

'Kami—sama... Kumohon, kembalikanlah Rukia. Aku masih sangat membutuhkannya.' inner Ichigo yang pandangannya mulai mengabur. Bukan karena derasnya hujan tapi karena—

"Ichigo!"

Ia pingsan.

oooooooooo

Masih terasa sangat berat rasanya saat Ichigo membuka kelopak matanya. Pandangannya belum jelas ditambah kepalanya yang seperti dihantam palu besar.

Ia melihat sekelilingnya. Ini kamarnya dengan Rukia.

Rukia...

Ia tersentak. Ia bermimpi Rukia meninggalkannya. Mimpi yang benar-benar seperti kenyataan.

Dengan cepat ia membuka selimutnya dan menuruni ranjangnya. Walaupun ia hampir jatuh karena kepalanya masih sangat sakit, tapi ia tetap berlari keluar kamar demi membuktikan bahwa mimpinya itu tidaklah benar. Bahwa Rukia sebentar lagi akan menyapanya begitu ia sampai lantai dasar.

"Rukia," teriak Ichigo saat menuruni tangga. Ia begitu tergesa-gesa, tak sabar bertemu dengan Rukia.

"Rukia—"

"Ichigo?"

Ichigo menoleh dan mendapati sosok wanita bermata violet dengan rambut panjangnya yang berwarna hitam legam. Ia menatap heran Ichigo. Sedangkan Ichigo hanya terpaku. Rukia— nya ada. Rukia— nya masih berdiri di depannya.

"Rukia..." Ichigo berlari dan langsung memeluk tubuh mungil itu. Erat. Ia memeluknya sangat erat. Seolah-olah saat itu juga Rukia— nya akan menghilang jika ia tidak memeluknya dengan erat. Ia tidak mau kehilangan Rukia lagi. Tidak akan pernah.

"Jangan tinggalkan aku lagi, Rukia. Kumohon, jangan tinggalkan aku. A— aku berjanji akan selalu disisimu, akan selalu menjagamu asal aku tetap melihatmu. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu, Rukia. Jadi tolong... Jangan tinggalkan aku."

Tubuh Ichigo bergetar memeluk tubuh mungil itu. Ia begitu senang dan takut. Senang karena ternyata Rukia tidak meninggalkannya. Takut kalau-kalau Rukia meninggalkannya lagi.

Ia mengeratkan pelukannya begitu ia merasa tubuh yang dipeluknya juga bergetar. Ia ingin menenangkan istri tercintanya. Ia tidak ingin Rukia juga merasakan kesedihannya.

Violet itu telah basah. Ia tidak dapat lagi membendung tangisannya yang merasa iba pada semua kalimat Ichigo barusan. Ia tidak bisa bayangkan bagaimana hancurnya Ichigo sekarang.

"Rukia... Aku mencintaimu, sampai kapanpun."

"Gomenasai, Ichigo," sekali lagi Ichigo mengeratkan pelukannya bagitu mendengar suara sang istri. Kata itu seolah— olah bahwa Rukia— nya akan meninggalkannya. Ia tidak mau hal itu terjadi.

"Ke— kenapa Rukia? Apa aku tidak begitu baik untukmu? Apa rasa cintaku masih kurang? Aku... Aku akan membuktikan bahwa aku sangat mencintaimu Rukia. Tapi jangan pernah tinggalkan aku. Kumohon,"

"Bu— bukan itu Ichigo."

"Kalau begitu apa Ru—"

"Rukia memang telah tiada," Ichigo bagai terkena setruman listrik. Perasaannya langsung menjadi tak enak.

"Jangan bercanda Rukia! Kau masih ada. Masih sehat."

Perlahan, wanita bermata violet itu melepas pelukan Ichigo. Ichigo terlihat begitu menyedihkan sekarang. Kedua matanya merah, wajah tampannya sangat pucat. Ia tidak dapat menggambarkan bagaimana lagi keadaan Ichigo sekarang. Yang jelas, pemuda didepannya ini terlihat seperti bukan Ichigo.

"Kau harus menerimanya Ichigo. Ini semua kehendak Kami—sama. Ia telah mengambil Rukia," kembali, violet itu mengeluarkan air matanya.

"Kau Rukia, sayang!"

"Aku Hisana, Ichigo," Ichigo terbelalak. Wanita didepannya ini... Hisana? Hisana— nee?

"Tidak mungkin! Kau pasti bohong!"

"Aku tidak bohong! Aku Hisana. Tolong terimalah Ichigo. Rukia memang telah meninggalkan kita."

Ichigo begitu terpukul menerima kenyataan bahwa wanita didepannya ini memang bukanlah istrinya. Rukia— nya berambut pendek, wajahnya masih terlihat lebih muda dibanding dengan wanita ini.

Ia mundur perlahan. Tidak sanggup dengan semuanya. Rukia— nya telah meninggalkannya. Rukia— nya telah meninggalkannya. Rukia— nya telah meninggalkannya. Selamanya.

"ARGHH..."kali ini Ichigo mulai mengamuk kesetanan. Ia membanting apa saja yang ada dipenglihatannya bahkan ia tak segan-segan membanting guji-guji mahal. Hisana terlalu terkejut sampai— sampai ia kehilangan suaranya, ia tidak dapat berteriak meminta pertolongan padahal ia yakin, Ichigo pasti akan nekat melempar salah satu benda mahal yang ada disekitar mereka kearahnya.

'Byakuya... Tolong aku,' Hisana hanya dapat berdoa semoga Byukuya— suaminya datang tepat waktu. Byakuya memang sedang pergi menemui rekan kerjanya meninggalkan mereka— Hisana dengan Yume— dengan pemilik rumah—Ichigo yang dibawa oleh Kaien dalam keadaan pingsan. Mereka diminta untuk menemani Ichigo maupun menjaga Yume untuk sementara hingga Ichigo kembali 'normal'.

"KEMBALIKAN RUKIA! KEMBALIKAN RUKIA!"

Prang... Prang...

"RUKIA!"

"RUKIA! APA KAU TIDAK MENCINTAIKU LAGI?"

"RUKIA!"

Tubuh Ichigo ambruk begitu meneriakkan nama Rukia. Napasnya tersengal— sengal, tubuhnya bergetar hebat, tatapannya sangat kosong. Ia merasa telah kehilangan seluruh jiwanya. Ia sama sekali tak ingin ini terjadi. Ia mau Rukia— nya! Ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa wanita mungil itu. Tidak bisa.

Byakuya memasang tampang datar walaupun dalam hatinya ia kaget melihat keadaan ruang tamu Ichigo. Ia sempat membelalakkan matanya melihat Hisana berdiri mematung tak jauh dari Ichigo terbaring. Kejadian ini pasti karena si bocah jeruk itu. Pikir Byakuya.

"Hisana..." tegur Byakuya saat telah berada didepan Hisana. Ia langsung memeluk sang istri yang masih sangat shock. Ia membisikkan kalimat— kalimat agar Hisana dapat tenang walaupun itu semua sepertinya tidaklah terlalu berhasil.

Mata abu— abu Byakuya memandang sekelilingnya. Kacau. Satu kata itu yang menggambarkan suasana ruang tamu Ichigo sekarang. Ia kemudian memanggil beberapa maid untuk membersihkan semua pecahan yang bersebaran. Mungkin para maid itu bersembunyi saat Ichigo mengamuk.

Byakuya mengarahkan Hisana untuk duduk disalah satu kursi. Ia memegang tangan Hisana yang dingin juga gemetar.

"Rukia..." desah Ichigo membuat semua orang yang berada disitu menoleh padanya— minus Hisana. Suara tangis Ichigo kembali terdengar. Hal itu membuat Byakuya mendekati Ichigo. Ingin mengetahui separah apa ia sekarang.

Hatinya miris melihat Ichigo. Seharusnya Ichigo tak perlu sampai begini.

"Hei Kurosaki," walau Ichigo sama sekali tak menoleh maupun melirik, tapi ia yakin bocah singa itu mendengarnya.

"Berhentilah bersikap seperti anak kecil. Kau terlihat begitu lemah sekarang. Hal yang seharusnya tak ditunjukkan oleh seorang pria."

"..."

"Sebaiknya kau bangun dan cuci muka. Kau perlu mendinginkan otakmu. Setelah itu temui Yume. Ia sangat membutuhkanmu," Byakuya kembali menemui Hisana, meninggalkan Ichigo yang masih saja mengeluarkan air mata.

oooooooooo

" Ichi— nii ada dimana Hisana— nee?" tanya Yuzu— adik Ichigo begitu ia beserta ayah dan saudara kembarnya mengunjungi kediaman kakak berambut orange— nya malam ini. Mereka semakin khawatir mengetahui bahwa Ichigo sempat pingsan.

"Ia ada di kamar. Oia, Yuzu maukan mengantar makan malam ini untuk Ichi— nii?" gadis berumur 17 tahun itu mengangguk semangat. Ia memang saat ingin bertemu kakaknya sekarang, tapi ia takut jika kakaknya akan memarahinya. Tapi karena ia punya alasan mungkin kakaknya tidak akan marah.

Yuzu mengambil nampan berisi sebuah mangkuk beserta segelas air dari tangan Hisana. Sebelum melangkah ke kamar Ichigo, Yuzu memberikan senyumannya pada Hisana.

"Arigatou, Hisana— nee."

oooooooooo

Tok tok...

"Yuzu masuk ya Onii— chan."

Pintu kamar Ichigo terbuka menampakkan sosok adik kesayangan si pemilik kamar. Yuzu hampir meneteskan air mata melihat keadaan kakaknya sekarang.

"Ichi— nii makan ya. Katanya Ichi— nii belum makan dari tadi pagi," Yuzu meletakkan nampan tersebut di meja kecil disamping ranjang king size Ichigo.

Ichigo hanya melirik nampan yang dibawa Yuzu kemudian kembali melamun seperti kegiatannya semula.

Yuzu yang tidak tahan mulai menangis. "Ichi— nii. Jangan begini terus."

Yuzu mengambil mangkuk berisi bubur dan mulai ingin menyuapi Ichigo. "Ichi— nii ayo makan. Yuzu suapin ya—"

"Rukia. Aku ingin Rukia yang menyuapiku."

"Ichi— nii..."

"Aku ingin Rukia. Aku ingin Rukia."

"Ichi— nii," Yuzu langsung meletakkan mangkuk tersebut kembali ke atas nampan kemudian memeluk Ichigo yang sama sekali tak merespon.

"Ichi— nii harus hiks hiks ha— harus sabar ya. A— aku yakin hiks hiks Ruki— nee sangat sedih melihat hiks hiks keadaan Ichi— nii sekarang."

"..."

"Ru—Ruki— nee sangat menyayangi hiks hiks Ichi— nii jadi Ruki— nee tidak mau Ichi— nii bersedih lagi. Ichi— nii hiks hiks harus bisa menghadapi semua ini."

Yuzu kaget saat Ichigo melepas pelukannya. Ia melihat Yuzu dengan pandangan hampa, tak menunjukkan setitikpun kebahagiaan disana.

"Gomen Yuzu,"

"Ichi— nii..."

"ICHIGOOO..."

Isshin menendang pintu kamar Ichigo hingga pintu itu terlepas begitu saja dari tempatnya. Kemudian ia berlari dan menghempaskan tubuhnya begitu saja ke atas ranjang.

"Otou—chan," tegur Yuzu yang tak enak dengan keadaan Ichigo sekarang.

Sedangkan Isshin tidak peduli. Ia berdiri dan mulai meloncat— loncat di ranjang king size putra keduanya tersebut.

"Yey! Aku sudah punya cucu. Kau tahu Misaki, kita telah punya cucu. Ia akan tumbuh menjadi cantik seperti kau sayang," detik berikutnya Isshin telah memeluk dompetnya yang berisi foto mendiang sang istri.

"Berhentilah bertindak konyol Otousan," tegur Karin— saudara kembar Yuzu memasuki kamar kakaknya dengan menggendong bayi mungil yang telah diketahui itu pasti anaknya Ichigo— Yume.

"Oh cucuku~" Isshin berlari dengan lebaynya ingin memeluk Yume. Tapi Karin dapat mencegahnya dengan tendangan super maut yang ia dapat dari Ichigo.

"Ahh Yume— chan," Yuzu segera menyeka air matanya demi menghampiri Yume. Ia memang telah menyukai Yume yang begitu manis dan imut menurutnya.

"Ichi— nii belum melihat Yume— chan semenjak tadi pagi kan? Sepertinya Yume— chan merindukan Ichi— nii," Karin bermaksud memberi Yume pada Ichigo, tapi nyatanya Ichigo tetap diam, hanya memandang datar anaknya sendiri.

Karin yang mengerti kemudian hanya memperlihatkan wajah Yume yang tetap digendongannya.

Melihat wajah anaknya yang masih tertidur, membuat hati Ichigo makin sakit. Kalau saja Rukia tidak mengandung anak ini, maka Rukia tidak akan mengalami pendarahan. Kalau saja Rukia tidak melahirkan anak ini, Rukia— nya pasti masih berada disisinya sekarang. Tapi karena anak ini, Rukia rela meninggalkannya.

Ichigo mengepalkan tangannya. Ya! Kaien benar. Ia tidak bersalah. Tapi anak ini yang bersalah!

Ichigo sekarang benar-benar diliputi kemarahan dan mulai membenci anaknya sendiri. Darah dagingnya.

"Jangan tunjukkan dia dihadapanku, Karin!"

Semua yang berada diruangan itu sangat terkejut mendengar kalimat Ichigo.

"Heii tapi Yume— chan ini anakmu Ichigo. Kau tidak boleh mengatakan begitu!"

"TAPI IA TELAH MEMBUAT RUKIA MENINGGAL!"

BRUK...

Isshin meninju rahang Ichigo hingga menimbulkan memar dibagian pipinya.

"Otouchan!" teriak Yuzu histeris.

"Bagaimana mungkin Yume— chan yang menyebabkan Rukia meninggal?"

"Tentu saja! Kalau saja anak itu tidak lahir, Rukia masih bersamaku sekarang!"

BRUK...

"Otou— chan!"

"Kau sudah gila Ichigo! Bukan salah Yume semua ini terjadi. Yume tidak tahu apa-apa. Dan aku yakin, Rukia pasti tidak akan menyalahkan Yume! Tidak seperti kau, Ichigo!"

Kenapa? Kenapa ayahnya malah membela Yume? Padahal sudah jelas bahwa anak itu yang bersalah! Ia yang telah membunuh Rukia— nya!

"Tidak! Ia tetap saja telah membunuh Rukia— ku. ANAK ITU MEMBUNUH RUKIA! AKU SANGAT MEMBENCINYA!"

Setelah megatakan itu Ichigo berlari keluar dari kamarnya. Meninggalkan ayah beserta kedua adik kembarnya yang tampak sangat terkejut. Oh dan jangan lupa dengan Yume yang telah menangis saat ayahnya menuduhnya sekejam itu bahkan membencinya.

"Ichigo?" Hisana sedikit terkejut melihat Ichigo menuruni tangga dengan sangat tergesa— gesa kemudian membuka dan menutup kembali pintu depan. Setelah itu terdengar suara deru mesin mobil yang ia dan Byakuya yakin itu adalah Ichigo yang melakukannya.

Melihat sepertinya ada yang tak beres, Hisana kemudian berlari ke kamar Ichigo diikuti Byakuya.

Suasana kamar Ichigo saat ini sedikit ribut. Terdengar suara tangis Yume maupun Yuzu. Hisana juga melihat Isshin mencoba menenangkan Yume dan Karin yang diam mematung.

"A— ada apa ini, Kurosaki— san?"

Isshin menoleh. Terlihat kesedihan diwajahnya. Sembari tersenyum pahit ia berkata;

"Ichigo menuduh Yume yang membunuh Rukia."

TBC

.

A/ N :

Haloo semua. Aku Ken salam kenal ya. Oia, maafkan Ken yang buat Rukia meninggal dan nyiksa Ichigo hingga buat benci ma anaknya sendiri ;( ... Sebenarnya Ken juga gak tega tapi yahh itu semua tuntutan skenarionya. Maaf ya.

Jadi bagaimana? Apa fic Ken terlalu bertele- tele, alurnya kecepatan atau lambat, atau masih belum rapi ya? Ken minta para Senpai maupun para Reader sekiranya mau memberitahukan semua kesalahan pada fic ini, karena Ken akui Ken masih begitu amatir. Terus Ken mau minta saran dari para Senpai maupun Reader. Kan Rukia udah meninggal, apa pairingnya Ken tetap taro IchiRuki atau sisa Ichigo doang? Ahaha maaf jika Ken terlalu banyak omong ya.

Ken juga IchiRuki FC! Jadi Ken mohon bantuannya ya.

RnR please XD

Kken RukIno