An. Nih cerita bukan punya saya.,ini milik author yuuhinosaurus di ff sebelah dengan judul asli Childhood Friend,saya hanya mengambil dan merubah ke dalam cerita naruto dan yang di ubah cuma nama, jika ada yang komplen silahkan. Ok saya minta maaf sebelumnya dan terimakasih telah membaca.
The Promise
"Nona Hinata, sampai kapan anda akan tidur? Ayo
cepat bangun!" seorang pelayan wanita mengetuk-
ngetuk pintu kamar Hinata yang terkunci dari dalam
kamar.
Hinata mengucek-ngucek matanya, perlahan-lahan
ia bangun. Sesaat ia terdiam, begitu ia melihat jam
yang tergantung di dindingnya dia langsung
berteriak "Haruka, KENAPA KAU TIDAK
MEMBANGUNKANKU DARI TADI?!" sambil
menghambur ke dalam kamar mandi.
Hinata, adalah anak tunggal dari keluarga Hyuga
yang merupakan pembisnis yang sangat besar.
Namun sejak kecil orang tua Hinata memang tidak
pernah menetap disuatu tempat, karena keduanya
terus-terus berkeliling dunia karena kerjaan. Jadi
sejak kecil Hinata memang tinggal bertiga dengan
Haruka, pelayannya, dan Kotetsu, supir pribadinya.
Dan Hinata kini berusia 16 tahun.
Hinata keluar dari kamar mandi dan langsung
menyambar sepotong roti isi yang tersedia di atas
meja makannya untuk sarapan. "Oncle! Ayo kita
berangkat!" Hinata sudah terbiasa memanggil
Kotetsu, supirnya dengan sebutan Oncle yang
berarti paman dalam bahasa prancis.
Akhirnya Hinata pergi ke sekolahnya seperti biasa
diantar oleh supirnya menggunakan mobil sedan
putih miliknya. Mobil itu memang sengaja ayahnya
belikan untuk Hinata meskipun Hinata sendiri tak
bisa mengemudi.
15 menit kemudian Hinata sampai di sekolahnya.
Saat Hinata turun dari mobilnya, seorang gadis
berkuncir dua dengan rambut panjang berwarna
'blonde' yang memikat menyambut Hinata dengan
senyuman lebarnya.
"Inoe!" seru Darel kemudian berlari menuju gadis
itu. Gadis itu adalah Inoe, sahabat Hinata
semenjak ia memasuki SMA-nya ini.
Keduanya berjalan beriringan menuju kelas mereka
sambil bercakap-cakap kecil.
"Hinata, kau sudah dengar gosip tentang anak baru
itu belum?" Inoe langsung menatap Hinata
dengan begitu semangat ketika mereka telah
sampai dikelas dan duduk dikursi mereka yang
bersebelahan.
Hinata mengangkat alisnya. "Anak baru yang
mana?" ia bingung.
"Aku juga belum pernah melihatnya sih..." gumam
Inoe. "Tapi kau tau, kudengar katanya dia seorang
cowok tinggi, putih, rambutnya berwarna coklat,
dan bola matanya betul-betul berwarna biru langit"
terang Inoe dengan penuh semangat.
Satu kebiasaan Inoe, sangat suka gosip-gosip
tentang cowok yang ganteng. Pikir Hinata.
"Terus?" Hinata mengerutkan dahinya.
"Kudengar dia sangatlah CAKEP!" Inoe sedikit
menekankan kata-kata terakhirnya itu.
Hinata terkekeh. "Kenapa tertawa?" tanya Inoe
kesal.
Hinata mengibas-ngibaskan tangannya. "Tidak,
bukan apa-apa." Ujar Hinata sambil menahan
tawanya. Hinata sangat suka dengan cara
sahabatnya ini jika sedang berbicara masalah
cowok, ekspresinya selalu lucu.
TING TONG TING TONG
Bel tanda masuk pun terdengar menggema di
sekolah itu. Semua anak nampak masuk ke
kelasnya masing-masing dan merapihkan posisi
mereka duduk karena pelajaran pertama akan
segera dimulai. Termasuk Hinata dan Inoe,
keduanya mulai merapihkan posisi duduk masing-
masing saat seorang guru memasuki kelas
keduanya.
Namun yang masuk bukanlah hanya guru itu saja,
tapi ada seorang cowok tinggi yang mengikuti guru
itu dibelakangnya. Cowok itu tinggi, putih,
rambutnya berwarna coklat, dan matanya biru,
sama persis seperti yang diberitahu Inoe. Pikir
Hinata. Tapi kok kayak pernah liat ya...? Hinata
hendak berpikir kembali sembari memperhatika
cowok itu. Namu tiba-tiba Inoe menyikutnya.
"Hinata, lihat! Itu cowok yang tadi aku ceritain! Dan,
hei, sekarang dia melihat kemari, ke arah kita uh-
oh, apakah penampilanku berantakan?" Inoe
kemudian sibuk merapihkan rambut dan bajunya.
Hinata tersenyum geli. Namun pandangannya
kembali ia arahkan pada si anak baru. Entah
kebetulan atau tidak, selama 5 detik mata mereka
berdua saling beradu. Hinata menatapnya dengan
heran sementara anak baru itu menatapnya dengan
tatapan tajam yang aneh.
"Ehem..." sang guru berdehem. "Baiklah, akan
bapak perkenalkan. Namanya adalah Naruto Namikaze,
mulai hari ini dia akan belajar di kelas ini dan
menjadi teman kalian..." ujar guru itu. "Nah,
Namikaze, silahkan kau duduk di bangku itu..." guru
itu kini menghadap anak baru bernama Naruto itu
sambil menunjuk ke arah salah satu bangku yang
kosong. Letaknya di pojok yang berlawanan
dengan tempat duduk Hinata.
Masih menatap anak baru itu dengan seksama.
Naruto ya? Pikir Hinata. Samar-samar sepertinya ia
pernah mendengar nama itu, tapi kapan ya?
Setelah Naruto duduk di kursinya, pelajaranpun
dimulai. Semua murid mendengarkan dengan
seksama meskipun ada beberapa anak yang diam-
diam tertidur dan bahkan bercanda kecil dengan
teman sebelah bangkunya.
Waktu terus berlalu, pelajaran keduapun selesai.
Kini waktunya istirahat, dan waktunya juga bagi
Hinata dan Inoe untuk pergi ke kantin. Ini kegiatan
rutin mereka karena Hinata selalu kelaparan setelah
pelajaran kedua selesai.
"Oke, ayo kita ke kan..." belum sempat Hinata
menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba dengan paksa
tangan seseorang menariknya keluar dari ruang
kelas itu. Berlari, tidak, tepatnya berjalan tergesa-
gesa.
"Woi! Berani-beraninya kau...! Eh?!" Hinata benar-
benar tidak menyangka yang kini tengah
menariknya dengan cara paksa adalah si anak baru
itu, Naruto!
Hinata bingung, kenapa tiba-tiba anak baru itu
menarik tangannya dengan paksa. Berkenalanpun
belum, tapi kenapa dia melakukan hal ini? Kalau
mau kenalan kan cukup jabat tangan aja ga perlu
narik-narik segala?!
Hinata bingung, kenapa tiba-tiba anak baru itu
menarik tangannya dengan paksa. Berkenalanpun
belum, tapi kenapa dia melakukan hal ini? Kalau
mau kenalan kan cukup jabat tangan aja ga perlu
narik-narik segala?!
Karena tak rela ditarik-tarik seperti itu, akhirnya
Hinata mencoba meronta. Namun sayang, kekuatan
yang Hinata keluarkan tidak bisa lebih besar
daripada genggaman cowok itu.
"Woi! Kau ini gila ya?!" Hinata berseru sekeras
mungkin, namun cowok bernama Naruto itu sama
sekali tidak membalas ucapan Hinata.
Naruto membawa Hinata ke belakang sekolah, tempat
sepi yang jarang dijarah oleh para penghuni
sekolah. Ia kemudian membanting Hinata sehingga
punggungnya membentur tembok. "Aduuh, gila
kamu! Apa sih yang kau pikirkan? Kenapa
membawaku kemari?!" bentak Hinata kesal.
Meskipun punggunya terasa sakit, namun ia
menahannya.
Naruto kemudian menatap Hinata tajam, ia
menyipitkan kedua matanya. Namun tanpa diduga-
duga Naruto langsung menonjok keras tembok yang
berada pas disebelah wajah Hinata.
Hinata langsung terdiam. Tubuhnya kaku. Ya tuhan,
dosa apa yang membuatnya terlihat marah
padaku?! Hinata terus-terusan menjerit di dalam
hatinya.
"Kau tidak ingat padaku...?" tanya Naruto dengan
suara beratnya.
"Hah?" Hinata hanya menganga bingung.
"Kau tidak ingat padaku, hah?" Nada suara Naruto
berubah menjadi tinggi.
"Apa-apaan sih kau ini?! Kau menyeretku sampai
kesini, dan sekarang kau menanyaiku hal yang
aneh?" gerutu Hinata kesal.
"Hinata Hyuga, bisa-bisanya dengan gampangnya
kau melupakan aku yang dulu sering kau ganggu,
sering kau usili, dan sering kau... sering kau
permalukan!" meskipun tidak begitu terlihat,
samar-samar Naruto terlihat agak tidak suka
menyebutkan kalimatnya yang terakhir itu.
Hinata terdiam. Dia teringat sesuatu. "Ah..." Hinata
mengangkat suaranya.
"Rupanya kau sudah ingat?" Naruto tersenyum puas.
Hinata mengangkat jari telunjuk. "Sebenarnya aku
tidak ingat, jadi tolong bantu aku mengingatnya."
Lanjut Hinata sambil cengar-cengir. Naruto langsung
melotot mendengar hal itu. "Hey, calm dikit napa.
Sorotan matamu benar-benar tidak sabaran
sekali!" gerutu Hinata kesal.
Naruto lagi-lagi menonjok tembok disebelah wajah
Hinata dan hal itu membuat Hinata bisu seribu
bahasa dan tidak jadi melontarkan gerutuan-
gerutuannya lagi.
"Cih, kau ini benar-benar Hinata Hyuga, bukan?"
gumam Naruto dengan kesal. Hinata hanya bisa
mengangguk kecil tanpa melakukan apa-apa.
"Kukira setelah sekian lamanya kau akan
mengingatku...bodoh sekali..." Naruto kemudian
menatap mata Hinata tajam.
Hinata membalas tatapan itu dengan tatapan yang
tidak kalah tajam. Namun lama kelamaan dia
merasa familiar dan tidak asing dengan kedua bola
mata berwarna biru langit itu. Hinata tertegun.
"Hei kau, jangan memandangku dengan tatapan
aneh seperti itu!" Naruto lalu memegang dagu Hinata
dan berusaha membelokan arah pandangannya
sehingga gadis itu tidak menatapnya dengan
tatapan itu.
"Kau sendiri menatapku seperti itu, bodoh!" seru
Hinata keras-keras. Ia kesal. Perutnya semakin
meronta meminta makan, karena itulah ia merasa
sangat, sangat kesal.
"Tsk, lupakan saja." Naruto lalu mundur dua langkah.
"Kau lapar, bukan? Sana pergi ke kantin!" sadar
tidak sadar, sebenarnya Naruto tau kalau Hinata sudah
kelaparan, dan akhirnya dia melepaskan Hinata
untuk pergi.
Namun sebelum Hinata melangkah terlalu jauh, Naruto
menjegatnya dulu dengan satu tangannya yang
panjang dan kuat. "Kali ini kau aku lepaskan." Ujar
Naruto. Hinata hanya mengerutkan dahinya.
"Sebenarnya apa yang kau inginkan dariku?" tanya
Hinata sambil menatap tajam ke arah Naruto.
Naruto hanya tersenyum ketika Hinata berkata seperti
itu. "Aku ingin kau ingat, dan bertanggung jawab
dengan apa yang telah kau lakukan padaku."
Hinata terdiam. Dan seketika ia berteriak. "APA?!
Kau sudah gila! Kita baru bertemu beberapa jam
yang lalu dan kini kau memintaku bertanggung
jawab untuk hal yang tidak jelas!" Hinata kesal. Ia
mencengkram kerah baju Naruto dan menariknya
kebawah (tentu saja karena Hinata lebih pendek
daripada Naruto. Hoho). "Dengar aku ya, Naruto ke..."
tiba-tiba Hinata berhenti melanjutkan ucapannya. Ia
tidak jadi melanjutkannya. Ia lalu menatap Naruto.
Terbelalak. "Kau...Naruto kecil!" ujar Hinata. Akhirnya
ia bisa mengingat orang itu. Ya, Naruto. Naruto adalah
teman masa kecil Hinata ketika dulu ia berada di
Swiss. Namun karena dulu Naruto adalah seorang
anak laki-laki kecil yang cengeng dan penakut,
Hinata jadi tidak suka dengannya dan akhirnya ia
selalu mempermainkan anak itu dan
menganggunya setiap waktu jika mereka bermain
bersama.
"Akhirnya kau ingat juga, Hinata..." sebuah simpul
kecil menghiasi wajah Naruto.
"Ja-jadi kau Naruto kecil...?" Hinata terbelalak dan
melepaskan cengkramannya dari baju cowok itu.
Sudah lama sekali mereka tidak berjumpa. Hinata
pikir Naruto kecil akan selamanya kecil dan cengeng,
tapi dihadapannya ini bukanlah Naruto kecil yang
dulu, Naruto yang ini sudah tumbuh menjadi seorang
pria yang malah lebih kuat dari dirinya.
Naruto tersenyum puas melihat ekspresi Hinata ketika
itu. "Kalau kau sudah ingat, berarti kau mengerti
bukan maksud 'bertanggung jawab' itu?"
Hinata tercekat, "A-apaan sih? Aku ga ngerti tau!"
Meskipun ia sudah teringat pada teman masa
kecilnya itu, tapi ia tetap saja tak mengerti apa arti
'bertanggung jawab' yang disebut-sebutkannya itu.
Naruto kemudian menarik tangannya yang tadi
sempat menghalangi jalan Hinata. Ia kemudian
menautkan kedua jemari lengannya lalu diletakkan
dibalik kepalanya. "Kalau begitu kau akan mengerti
nanti." Ujar Naruto. "Temui aku di kantin setelah
pelajaran terakhir usai." Naruto kemudian berlalu.
"Mengerti apanya! Lihat saja nanti, aku tak akan
datang!" seru Hinata kesal ketika Naruto sudah
menjauh dan tak akan mendengar seruan dari
Hinata. Hinata menjulurkan lidahnya panjang-
panjang. "Lagipula kenapa harus dikantin sih?"
Namun ketika Hinata melihat ke arah jam
tangannya, ia langsung terkejut. 5 menit lagi
pelajaran akan dimulai dan dia belum makan
apapun selama istirahat ini. Akhirnya dengan
kecepatan super ia langsung berlari menuju kantin.
"Hinata, kau kemana saja?" tanya Ino khawatir
ketika tiba-tiba Hinata berlari dengan kecepatan
dahsyat menuju ke arahnya yang sedang berada di
kantin.
"Pesankan aku makanan, aku lapar..." rengek
Hinata ketika akhirnya ia bisa duduk di kursi kantin.
Kepalanya tergeletak lemas diatas meja.
"Hei, kau baik-baik saja?" Ino mengguncang-
guncangkan tubuh Hinata pelan.
"Aku baik hanya sedikit lelah. Apa kau sudah
memesankan makananku?" Hinata melirik ke arah
Ino dan berharap sahabatnya itu tidak lupa akan
makanannya.
Ino memukul jidatnya, "Astaga, aku lupa! Akan
kupesankan seka..."
TING TONG TING TONG
Belum sempat Ino memesankan makanan Hinata,
bel tanda pelajaranpun terdengar menggema di
sekolah mereka.
"Bagaimana ini, Hinata? Kita harus cepat ke kelas!"
seru Ino ketika ia ingat pelajaran setelah ini
adalah matematika, dan gurunya sangat disiplin
sehingga bila mereka berdua telat memasuki kelas
bisa-bisa keduanya dihukum habis-habisan.
"Tapi aku lapaaaaaaaaaaaar..." rengek Hinata.
Namun Ino tidak memperdulikan Hinata, ia
langsung menarik lengan Hinata dan menyeretnya
menuju ke kelas mereka.
Akhirnya mereka berdua kembali ke kelasnya.
Hinata benar-benar tidak berdaya pada saat jam
pelajaran Matematika saat itu. Perutnya terus
menerus meminta kepadanya untuk memakan
sesuatu. Namun ia tidak punya apa-apa untuk
dimakan. Dan sialnya setelah pelajaran matematika
selesai, pelajaran Kimiapun langsung dimulai tanpa
ada jeda waktu untuk istirahat dulu.
Akhirnya pelajaran kimia selesai, itu berarti
waktunya pulang karena pelajaran itu merupakan
pelajaran terakhir mereka dihari itu. "Hinata, kau
tidak apa-apa?" Ino menguncang-guncangkan
badan Hinata yang tergeletak lemas diatas
kursinya.
"Aku baik-baik saja..." jawab Hinata pelan.
"Hinata, maafkan aku, habis ini aku ada les, jadi
aku harus cepat-cepat..."
Darel menengok ke arah Ino kemudian
tersenyum. "Yasudah, sana-sana..." gumam Hinata,
namun tepatnya seperti mengusir.
"Maaf ya Hinata. Sebagai gantinya hari minggu
nanti aku akan meneraktirmu parfait deh..." rajuk
Ino.
"Iya-iya, yasudah, sana cepat..." ujar Hinata lagi.
Dan Ino pun segera menghambur keluar kelas.
Hinata benar-benar tak berdaya, ia ingin pergi ke
kantin dan memakan sesuatu disana, tapi ia ingat
bahwa Naruto menyuruhnya untuk ke kantin setelah
pelajaran terakhir usai sehingga ia tidak mau pergi
kesana.
"Kenapa dia harus menunggu di kantin sih?
Menyusahkan saja!" gerutu Hinata.
"Siapa yang menyusahkan?" tiba-tiba sebuah
wajah muncul dihadapan Hinata dengan
mengejutkan. Hinata langsung menegakkan posisi
duduknya. "A-apa-apaan sih kau ini! Membuatku
kaget saja!" ujar Hinata kesal.
"Habis aku sudah lama sekali menunggu di kantin
tapi kau tidak kunjung datang. Tidak menepati
janjimu!" ujar Naruto kesal.
Hinata mengerutkan keningnya, "Aku tidak pernah
berjanji padamu!" serunya sebal.
Naruto kemudian duduk diatas meja Hinata, lalu ia
menyerahkan sebungkus roti padanya. "Kau
kelaparan bukan? Ini..."
Hinata langsung membuang pandangannya dan
menyilangkan kedua tangannya, "Tak sudi aku
memakan makanan yang kau beri!"
"Hmm, baiklah, kalau begitu biar kumakan saja roti
ini. Cuma sedikit pemberitahuan, kantin baru saja
tutup" Ucap Naruto sambil membuka bungkus roti
itu.
"Biar saja." Balas Hinata pura-pura tak peduli. Ia
kemudian memperhatikan Naruto membuka bungkus
roti itu dan perlahan-lahan roti itu mulai bergerak
masuk kedalam mulut Naruto. Tanpa sadar mulut
Hinata terbuka, sebenarnya Hinata ingin roti itu tapi
ia sudah terlanjur menolaknya sehingga ia hanya
bisa membayangkan roti itu kini telah masuk ke
dalam mulutnya. Dan...
Hap!
Hinata bisa merasakan kehangatan roti dan rasanya
yang enak masuk ke dalam mulutnya. Tiba-tiba
Hinata mendengar Naruto tertawa dan iapun terbangun
dari lamunannya. Ternyata Naruto tidak memakan roti
itu, tapi Naruto memasukan roti itu ke mulut Hinata
saat ia mangap tadi.
"Sudah kuduga pasti kau kelaparan..." ujar Naruto
sambil tertawa. Hinata hanya cemberut sambil
terus melahap roti itu.
"Terima kasih." Hinata berterima kasih setelah
melahap habis roti itu, namun ia mengucapkannya
tidak benar-benar tulus.
Naruto yang posisinya masih berada di atas meja
Hinata langsung mendekatkan wajahnya pada wajah
Hinata. Ia menatap tajam wajah Hinata yang kecil
dan mungil. Dengan pelan Naruto memegang dagu
Hinata. "Nah, sekarang kau sudah kenyang bukan?
Kalau begitu kau sudah siap untuk 'bertanggung
jawab', kan?" Naruto tersenyum penuh kemenangan.
Sementara Hinata hanya bisa kembali terbelalak.
"Memang apa salahku?! Kenala aku harus
'bertanggung jawab'? Aku tidak pernah melakukan
apapun padamu, seperti..." Hinata menggantung
kata-katanya.
"Seperti apa?" Naruto memaksa Hinata melanjutkan
kata-katanya barusan.
"Kau tau, seperti..." Hinata bingung mau berkata
lagi atau tidak, namun melihat Naruto yang
menatapnya dengan tajam ia jadi takut. "Kau tau,
seperti...seperti... menghamilimu, aku tidak
pernah!" jerit Hinata. Benar-benar tidak masuk
akal.
Hening sesaat, namun tiba-tiba tawa Naruto langsung
meledak. "Hahahahaha, kau ini bodoh atau gila
sih?" Naruto tertawa sembari memegang perutnya,
tangannya kini sudah melepaskan dagu Hinata.
"Habis...kau membuatku takut, aku tidak pernah
berbuat yang macam-macam..." gerutu Hinata
sambil membuang pandangannya ke arah lain.
Wajahnya memerah sekarang karena malu
mengatakan sesuatu yang aneh.
Ruangan dikelas itu sudah sepi, hanya tinggal
mereka berdua. Hari semakin sore, Hinata jadi
merasa tidak enak berlama-lama disana, iapun
bangkit dari tempat duduknya.
"Mau kemana kau?" tanya Naruto sambil melirik ke
arah Hinata yang mencoba berdiri dari kursinya.
"Pulang." Tanpa bicara banyak-banyak lagi Hinata
langsung melangkahkan kakinya.
Namun tepat saat Hinata berada di pintu kelas Naruto
langsung bergumam sembari memukul jidatnya
sendiri, "Astaga, jangan-jangan Kotetsu kemari
untuk menjemputmu?"
Mendengar itu Hinata langsung menoleh. "Apa
maksudmu berkata seperti itu? Kenapa kau
mengenali Oncle?"
Naruto tersenyum licik pada Hinata, "Aku ini teman
masa kecilmu, mana mungkin aku tidak tau siapa
nama supir pribadimu..." ujarnya lalu turun dari
meja Hinata. "Kukira Kotetsu kemari bukan untuk
menjemputmu jadi aku memintanya untuk pulang."
Lanjut Naruto dengan entengnya.
"Hah..eh...APA?!" Hinata berseru kaget. "Kalau
oncle sudah pulang gimana nasibku, bego?!" lanjut
Hinata kesal.
"Mana kutau..." Naruto pergi begitu saja melalu pintu
yang berbeda dengan Hinata.. (Oh iya, setiap kelas
memiliki dua pintu, disisi depan dan belakang).
Hinata terdiam. Namun dengan cepat ia berlari
mengejar Naruto yang berjalan dengan lumayan
cepat. "Tunggu aku!" seru Hinata, setelah ia
berhasil mengejar Naruto ia langsung menarik lengan
Naruto.
"Hmm?" Naruto menoleh ketika Hinata menarik
lengannya. Ia menoleh pada gadis itu dengan
tatapan wajah tanpa dosa.
Dengan kesal Hinata langsung menendang kaki Naruto
dengan kakinya, tindakan yang tidak diduga-duga
akan terjadi.
"Aduuh..." Naruto meringgis.
"Rasakan itu!" ujar Hinata senang. "Karena kau
yang menyebabkan semua ini terjadi, jadi kau
harus mengantarku pulang!" perintah Hinata sambil
berkacak pinggang.
"Mengantarmu? Jangan bodoh, aku membutuhkan
waktu sejam menuju apartemenku sendiri dengan
jalan kaki, jadi mana mungkin aku bisa
mengantarmu sekarang." Bantah Naruto.
Hinata terdiam. Naruto ke sekolah dengan berjalan
kaki? Pikir Hinata. "Kau tidak naik mobil?" tiba-tiba
sebuah pertanyaan keluar dari mulut Hinata yang
mungil.
Naruto memiringkan kepalanya. "Tidak. Jadi
sebaiknya aku pulang sekarang juga..." Naruto
langsung melanjutkan langkahnya begitu saja.
"Naruto!" Hinata berteriak memanggil-manggil Naruto,
namun sang pemilik nama sama sekali tidak
menjawabnya. Namun setelah cowok itu benar-
benar menghilang dari hadapannya tiba-tiba ada
seseorang yang mengejutkan Hinata dari arah
belakang tubuhnya.
"Nona Hinata, ternyata kau masih disini, saya kira
kau sudah pulang..." ucap orang itu sambil
tersenyum kecil ke arah Hinata.
Tiba-tiba Hinata langsung senang melihat siapa
yang datang, air matanya langsung mengalir deras.
Tanpa ba-bi-bu ia langsung memeluk supirnya itu.
"Huwaaaaaaaaaa! Oncle! Kukira kau
meninggalkanku sendiri disini!"
"Eh...n-nona ini kenapa...?!"
Hinata menangis dengan sangat keras sehingga
menggema di sekolah itu, dan juga terdengar di
telinga Naruto yang sebenarnya belum meninggalkan
sekolah itu. Naruto sengaja bersembunyi di balik
tembok agar Hinata menyangka bahwa dirinya telah
pulang. Meskipun seandainya Hinata belum pulang
dan Kotetsu belum mencari majikannya itu, ia akan
tetap bersembunyi disana, bagaimanapun ia tak
bisa meninggalkan gadis itu sendirian.
Sebuah senyuman usil terukir di wajah Naruto. Diam-
diam ia telah berhasil membohongi Hinata
sehingga membuat gadis itu tadi hampir bingung
setengah mati. Ia ingat wajah Hinata ketika menarik
tangannya, begitu memelas ingin diantar pulang.
Sebuah ekspresi yang sangat lucu, aku
merindukannya. Pikir Naruto dalam hatinya.
Naruto menyenderkan tubuhnya ke tembok.
"Andai saja kau mengingat janjimu di hari itu..."
gumam Naruto sambil mendesah.
"Segar sekali!" Hinata berseru ketika ia keluar dari
kamar mandi. Ia kemudian berjalan ke ruangan
tengah dan duduk di sofa sembari menonton
sedang sibuk menata meja makan
ketika Hinata bertanya padanya. "Haruka, apa kau
kenal dengan orang yang namanya Naruto?"Haruka
mengangkat alisnya. "Naruto yang mana,
Nona?""Naruto...mmm, Naruto Namikaze..." jawab Hinata
masih sambil asik memindah-mindahkan saluran
Haruka terdiam, lalu dia langsung
tersenyum kecil. "Oh, Tuan Naruto yang itu..."
mengerutkan keningnya,
sekarang ia tidak lagi memencet remot tapi
langsung berbalik menghadap orang yang sedang
ia ajak bicara. "Kau kenal?"Haruka lagi-lagi
tersenyum. "Tentu saja. Nona dan Tuan Naruto kan
dulu sering main bersama..." terang Haruka.
"o...begitu ya..." Hinata sedikit menerawang. "mm,
apa aku dulu sering mengganggunya ya? Rasanya
aku kok seperti pernah berbuat jahat
padanya?"Haruka memiringkan kepalanya.
"Namanya juga anak kecil, dulu nona sering buat
keributan dan sangat usil pada tuan Naruto. Dulu itu
kalau tidak salah Nona pernah berbuat masalah di
pesta ulang tahunnya tuan Naruto sehingga tuan Naruto
menangis kencang karena kuenya jatuh ke
kepalanya..." kenang Haruka sambil tertawa
jadi teringat tentang kejadian itu. Benar
juga ya, dulu aku tertawa begitu kencang ketika
melihat Naruto menangis. Pikir Hinata. Ternyata aku
kejam juga, ya? "Mungkin itu aku lakukan karena
aku membencinya?" gumam Hinata, masih sambil
memperhatikan Haruka yang sedang menata meja
makan. "Seingatku dulu aku tidak suka dengan
anak itu?"Haruka menoleh, "Hmm? Kurasa Nona
tidak membencinya..." tiba-tiba Haruka tersenyum
aneh. Mencurigakan, pikir Hinata. "Nah Nona,
makan malamnya sudah siap..." Haruka kemudian
menundukkan kepala dan segera pergi ke
makan sendirian. "Kalau aku tidak
membencinya, lalu apa ya?"
Naruto memarkirkan motornya di lapangan parkir
sebuah hotel. Selain berbohong tentang
kepulangan Kotetsu tadi, ia juga berbohong tentang
pulang kerumah dengan berjalan kaki. Sebenarnya
ia ke sekolah menggunakan motor hitam
kesayangannya. Naruto tinggal di sebuah hotel yang
lumayan mewah, dilantai 3 kamar nomor 24. Dia
baru saja menginap di hotel itu selama 2 malam
mengingat baru dua hari yang lalu ia datang ke
kota ini dan tidak punya tempat tinggal.
KREK...Naruto membuka pintunya."Naruto! SELAMAT
DATANG!" suara seorang perempuan terdengar
dari dalam kamar itu. Perempuan itu langsung
memeluk Naruto."Hei! APA YANG KAU LAKUKAN
DISINI!" Naruto kesal. Ia berusaha melepaskan
perempuan itu dengan paksa. Dan akhirnya
perempuan itu terlepas. Naruto memegang kedua
pundak perempuan itu agar ia tidak bisa dekat-
dekat Naruto dan memeluknya lagi."Tentu saja karena
aku kangen kamu!" ujar perempuan itu
kesal. Ia kemudian mendorong perempuan itu agar
ia keluar dari kamarnya. "Tunggu Naruto, aku belum
mau pulang. Kau belum makan, bukan? Aku
sengaja datang kemari membawakanmu makanan!"
ujar perempuan itu ketika akhirnya posisinya
sudah berada diluar kamar Naruto."Bawa saja
makanan itu pulang!" Naruto menatap kesal
perempuan itu. "Lagipula kenapa kau bisa ada di
kota ini? Kau mengikutiku, ya?"Wanita itu
tersenyum 'sok manis. "Tentu saja, aku tidak bisa
membiarkanmu hidup sendiri""Aku lebih bahagia
hidup sendiri dibandingkan harus bersamamu...!"
seru Naruto kesal. BRAK!Dengan kencang Naruto lalu
menutup pintu kamarnya dari dalam. Kemudian
menguncinya. Ia tidak menghiraukan ketika
perempuan itu memukul-mukul pintunya dan
berteriak meminta untuk membukakan
pintu."Dasar cewek gila!" gumam Naruto sambil
membuka baju sekolahnya dan menggantinya
dengan baju kaos lengan pendek dan celana
suasana kamarnya sepi setelah
tidak ada lagi suara ketukan pintu. Sepertinya
perempuan itu sudah pulang, pikir Naruto. Ia
kemudian menarik nafas lalu mengambil
botol softdrink yang ada di dalam kulkasnya. Ia
meneguknya. Tiba-tiba suara ponsel Naruto berbunyi.
Ia segera mengambilnya dan
mengangkatnya."Halo?""Oh, sepertinya minggu
depan saja." "Kurasa Hinata tidak akan
keberatan.""Aku berhutang terimakasih yang
banyak padamu, Tante...""Baik, selamat malam."
Hinata masuk ke kelasnya dengan perlahan. Aneh
sekali, pikirnya. Setelah ia turun dari mobilnya
sampai ia masuk ke dalam kelasnya ini banyak
sekali siswi yang memandang aneh kearahnya
sembari berbisik-bisik. Namun Hinata mencoba
untuk tidak menghiraukannya lalu duduk
dikursinya dengan setenang mungkin.
"Hinata!" ketika Hinata mencoba untuk tenang,
Ino masuk ke kelasnya dengan begitu ribut
memanggil namanya. "Apa sih?" Hinata menutup
kedua telinganya."Ada gosip katanya kemaren
setelah pulang sekolah kau dan anak baru
it...hmmph..!" Hinata langsung membekap mulut
Ino. "Bisakah kau memelankan suaramu..." bisik
Hinata pelan. Inopun akhirnya mengangguk.
Ino melirik sebentar ke arah bangku Naruto yang
masih kosong, lalu ia melanjutkan ucapannya,
"Jadi, apa gosipnya?""Kudengar katanya kemaren
setelah pulang sekolah ada yang melihat kau dan
Naruto berduaan di kelas ini sampai hari benar-benar
sore. Apa yang kalian lakukan?" Ino kelihatan
gemas sekali. "Apa benar katanya kau ditembak
oleh Naruto?"
1 detik berlalu.2 detik berlalu.3 detik berlalu.4
detik berlalu.5 detik berlalu.
"Hah?" Hinata baru merespon. Ia cengo. Tanpa
menunggu jawaban dari Hinata, Ino langsung
menarik kedua tangan Hinata dan digoyangkan
keatas kebawah. "Kyaaa! Kau hebat Hinata! Kau
bisa mendapatkan cowo keren macem dia, kau
sungguh luar biasa!" seru Ino kegirangan. Hinata
hanya bengong. Kemudian dia cepat-cepat
menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak, itu tidak
benar!" tegasnya. Hinata langsung menarik nafas
panjang. "Sini, biar kuberitahu..." Hinata langsung
menceritakan sedikit tentang hubungannya dengan
Naruto, yang berstatus 'teman lama' alias 'teman
masa kecil' memperhatikan dengan
seksama. "Lalu?"Hinata mengangkat alisnya. "Hah?
Kan sudah kubilang dia itu teman masa
kecilku.""Masa? Instingku mengatakan bahwa
kalian memiliki hubungan lain selain itu...hihi"
Ino sedikit cekikikan."Berarti instingmu tidak
beres." Hinata menjitak pelan kepala
Ino."Aduhh..." Ino meringis pelan. "Padahal
mungkin akan hebat bila salah satu dari kita bisa
berpacaran dengan cowok sekeren dia. Ah, tapi
tenang saja Hinata, aku tidak akan merebutnya
darimu.""Dariku?" Hinata menyipitkan matanya.
"Jangan sungkan, ambil aja cowo jelek itu
untukmu...aku tak butuh" lanjut Hinata dengan
ekspresi tak tiba-tiba Ino
menutup mulutnya dengan kedua tangannya. "Hei,
ada ap..."
PLETAK!
Tiba-tiba ada yang menjitak kepala Hinata, tidak
keras sih, tapi cukup mengejutkan. Hinata langsung
menoleh dengan kesal."Siapa yang kau maksud
dengan cowo jelek itu?" ujarnya
terdiam melihat Naruto tengah menatapnya tajam. Ia
sama sekali tidak bisa berbicara akhirnya hanya
bisa cengar-cengir gak jelas. "Hehehehe..."Dengan
tiba-tiba Naruto mendekatkan wajahnya ke wajah
Hinata. Ino hanya bisa menutup mulutnya ketika
melihat itu. Hinata bisa mendengar hembusan nafas
Naruto di telinganya. "Aku tunggu kau di kantin saat
istirahat. Oh iya, Akan kupastikan kau tidak bisa
menghindar kali ini..."Wajah Hinata tiba-tiba
memerah. Ini pertama kali baginya mendengar
suara cowo sedekat ini!Setelah berkata seperti itu
Naruto langsung duduk di bangkunya."Hi-Hinata!"
Ino mengguncang-guncangkan pelan tubuh
Hinata yang tiba-tiba saja kaku. "h..h...h..." Hinata
berucap sesuatu yang tidak begitu jelas
terdengar."h? H apa?" Ino memaksa Hinata
berkata lebih jelas."H...h...huwaaaaaaaaa...Ino,
tolong akuuuuuu!" Hinata menangis keras lalu
memeluk erat sahabatnya -siswi yang
berada dikelas itu langsung menoleh ketika Hinata
menangis dengan suara yang keras. Hanya Naruto
yang berada di kelas itu yang tidak menoleh sama
sekali. Ia tau Hinata menangis konyol seperti itu,
namun ia hanya tersenyum sambil terus
mendengarkan lagu lewat headshetnya.
"Hinata, ayo ke kantin..." ajak Ino sambil
menarik-narik lengan Hinata."Ayo!" dengan
semangatnya Hinata melangkahkan kakinya menuju
kantin. Padahal awalnya ia sudah bertekad tidak
akan ke kantin saat jam istirahat, namun karena
sudah kelaparan ia sampai lupa bakal ada sesuatu
atau lebih tepatnya bahaya disana.
Namun masih sama seperti tadi pagi, masih
banyak sekali siswi yang memandangnya dengan
pandangan tak suka. "Aku tidak suka dengan
tatapan-tatapan itu..." bisik Hinata pada
langsung tersenyum usil. "Mereka hanya iri..."
ujarnya.
"Hah?" Hinata hanya cengo. Namun ekspresinya
berubah ketika ia menyadari bahwa mereka sudah
sampai di kantin. "Ah, aku mau beli burger itu!"
Hinata langsung berlari menuju mba-mba yang
menjual burger. Sementara Ino membeli
minuman."Mba, aku mau burger satu!" ujar
Hinata."Aku juga satu" tiba-tiba ada orang yang
menyahut ucapan Hinata, ketika Hinata menengok
orang itu ternyata Naruto.
"Kok kau..." Hinata memelankan suaranya. "Kenapa
kau ada disini!" Hinata langsung mengeraskan
suaranya. Dan hal itu langsung membuat orang-
orang disekitarnya menoleh. Namun dengan
cueknya Hinata tidak memperhatikan orang-orang
yang menoleh ke arahnya, ia hanya fokus melotot
pada memiringkan kepalanya. "Loh, kita
kan sudah janjian tadi?" dengan entengnya Naruto
membalas ucapan Hinata yang
terdiam, namun ia langsung tercekat. Astaga! Aku
lupa! Teriak Hinata dalam hatinya."Ini
dek...burgernya..." si mba penjual itu langsung
memberikan dua buah burger ke Hinata begitupula
dengan Naruto. Hinata lalu mengambil burgernya dan
merogoh sakunya. Sementara Naruto mengambil
burgernya lalu hendak pergi, namun si mba
mencegahnya, "Mana uanya, dek?"Naruto menoleh,
"Dia yang bayar..." Naruto lalu menunjuk Hinata.
Kemudian dia beranjak pergi.
Tadinya Hinata hendak mengejar Naruto, namun si
mba tadi mencegahnya dan menagih uangnya.
Dengan berat hati akhirnya Hinata membayar
burger milik Naruto juga. Setelah itu iapun berjalan
menuju meja ganasnya Hinata
mengigit burger miliknya itu. "Hei, ada apa Hinata?"
Ino menghampiri sahabatnya yang sedang
bertingkah aneh itu. Namun Hinata hanya diam dan
sibuk memakan burgernya. "Hinata! ADA APA
DENGANMU!" Ino berteriak di telinga
langsung tersentak. "A-ap-apa sih?" Hinata
kelihatan kesal."Kau ini kenapa sih? Ganas sekali
makan burger itu" tanya Ino sambil menyeruput
minuman yang ia beli."Aku lapar." Jawab Hinata
bohong. Sebenarnya ia lebih merasa kesal
dibandingkan merasa lapar."Huh...?""Ino,
bolehkan aku meminta bantuanku?" tiba-tiba
seorang siswi berkacamata mengahampiri
menoleh pada siswi itu lalu menoleh
pada Hinata. Namun melihat Hinata yang masih
cuek sambil memakan burgernya membuat ia
kesal, akhirnya ia meninggalkan Hinata.
"MENYEBALKAN!" gerutu Hinata setelah burgernya
ia habiskan. Tanpa menoleh sedikitpun ia lalu
meraih es jeruk yang tadi ia beli. Namun ketika ia
meraihnya, kok gak mau gerakya?Hinata langsung
menoleh ke sampingnya. Betapa terkejutnya ia
ketika melihat Naruto tanpa merasa bersalah sedang
menyeruput es jeruk miliknya. "NARU..TO...!" Hinata
hendak berseru kencang-kencang, namun Naruto
menghentikannya dengan memasukan sedotan es
jeruk itu ke mulut Hinata.
"Minum dulu..." ujar Naruto Hinata
hendak memberontak tapi tak jadi, kini wajahnya
memerah. Kenapa begitu? Tentu saja sedotan yang
kini berada dimulutnya itu sempat berada di mulut
Naruto. I..inikan ciuman secara tidak langsung...!
jerit Hinata dalam benaknya.
Namun tanpa banyak bicara Hinata langsung
menyeruput es jeruknya. Ia berusaha membuang
jauh-jauh hal-hal tentang 'ciuman' itu, mungkin ia
jadi berpikir kayak gitu karena terlalu sering
menonton dorama. Tapi mau bagaimana lagi,
wajahnya tetap memerah. Karena takut Naruto
menyadari wajahnya yang memerah akhirnya ia
meminumnya sambil menundukan
menyadari bahwa kini wajah Hinata memerah, ia
langsung tersenyum jahil. "Hei, ada apa dengan
wajahmu?" Naruto berpura-pura khawatir, ia lalu
memegang dagu kecil Hinata dan mengangkatnya.
"Wah...wah...aku tidak pernah melihat wajah Nona
Hyuga memerah seperti itu..." gumam Naruto
kemudian.
"Ih, apaan sih..." Hinata berusaha menutupi rasa
malunya dengan tidak melihat langsung kearah
mata Naruto. "Lepasin, aku haus tau!" "Haus? Mmm,
kurasa kau lebih ingin 'bekas' ku daripada
minuman itu" ujar Naruto sambil tersenyum usil.
Wajah Hinata semakin memerah. Melihat itu Naruto
senang, ia kemudian medekatkan wajahnya ke
wajah Hinata.
JANGAN, JANGAN DEKAT-DEKAT!
Hati Hinata sudah berteriak keras-keras, namun
raganya tetap tidak mau bergerak. Akhirnya Hinata
hanya bisa menutup matanya ketakutan.
BLETAK!
Tiba-tiba ada sebuah suara keras disusul dengan
ringisan Naruto. "Aduduh..."
Hinata membuka matanya. Ternyata tadi itu suara
Naruto yang kepalanya dipukul keras oleh ibu kantin.
Melihat hal itu senyum Hinata mengembang. Ia
terselamatkan!"Di kantinku dilarang cabul!" seru
ibu kantin ganas pada Naruto.
Sejak kejadian dikantin itu, Hinata selalu saja
berusaha menghindari Naruto bagaimanapun caranya.
Ia rela tidak pergi ke kantin saat jam istirahat bila
Naruto berada di sana di waktu yang sama. Akhirnya
belakangan ini Hinata selalu membawa bekal roti
dari rumahnya untuk berjaga-jaga bila ia tidak bisa
pergi ke kantin.
Namun betapa leganya ia ketika ia ke sekolah di
hari Jum'at yang cerah. Sampai jam pelajaran
dimulai dihari itu, Naruto tak kunjung datang dan
masuk kedalam kelas. Hinata berpikir cowo macem
dia mungkin akan bolos mengingat Naruto itu
bandelnya minta ampun. Meskipun baru
bersekolah selama 4 hari, sudah hampir beribu-
ribu teguran ia terima dari guru yang berbeda-
beda. Sifat Naruto memang bosanan sehingga ia suka
tertidur di dalam kelas. Ia juga suka usil pada guru
yang menurutnya menyebalkan. Baru saja masuk,
tapi Naruto sudah di cap sebagai cowo bandel di
sekolah ini. Hanya satu hal yang Hinata bingung,
hanya dalam 4 hari juga, Naruto sudah punya fans
club sendiri. Dan fans club itu tidak lain berisi
cewe-cewe yang naksir berat sama Naruto.
"Hinata, kau tidak cemas?" bisik Ino ketika
pelajaran pertama tengah berlangsung."Cemas
apa?" Hinata mengangkat alisnya.
"Hari ini sepertinya Naruto tidak masuk..."
Hinata mengerutkan dahinya. "Biarkan saja,
palingan dia bolos. Anak bandel kayak dia
mungkin saja sekarang sedang nongkrong di suatu
tempat bareng sama kawan-kawannya."
"Hatchiiiii!" Naruto tiba-tiba bersin. Ia lalu menarik
selimutnya hingga menutupi sebagian wajahnya.
Hawa dingin terasa menusuk tulang-tulang
rusuknya. Ia belum beranjak dari kasurnya hari ini.
Ia merasa sangat kedinginan dan tidak kuat untuk
hanya sekedar bangkit dan duduk ditepian
ranjangnya. Naruto merasa kini dirinya benar-benar
tak berdaya.
Dalam keadaan seperti ini ia bingung harus
melakukan apa. Perutnya kosong karena belum
sarapan, tadinya ia ingin memesan makanan, tapi
tak jadi karena dompet berisi semua uangnya
tertinggal di kamar mandi saat ia mandi sore
kemarin. Ia tidak punya siapa-siapa disini yang
akan merawatnya. Ibunya sudah meninggal sejak
ia masih kecil, dan ayahnya tewas tertembak
peluru nyasar dua minggu yang lalu. Karena itu ia
pindah ke hotel sendirian saja.
Sempat terbesit olehnya, bagaimana kalau ia
menelepon Hanabi? Cewek yang kemaren sempat ia
usir. Namun ia mengurungkan niatnya. Cewek itu
mungkin akan memperburuk suasananya saja. Kini
yang Naruto ingin dan harapkan hanya satu, bukan
makanan yang akan mengisi perutnya, tapi Hinata
yang berada disampingnya dan merawatnya. Cuma
itu."Hinata..."
"Hatchiiiii!" Naruto tiba-tiba bersin. Ia lalu menarik
selimutnya hingga menutupi sebagian wajahnya.
Hawa dingin terasa menusuk tulang-tulang
rusuknya. Ia belum beranjak dari kasurnya hari ini.
Ia merasa sangat kedinginan dan tidak kuat untuk
hanya sekedar bangkit dan duduk ditepian
ranjangnya. Naruto merasa kini dirinya benar-benar
tak berdaya.
Dalam keadaan seperti ini ia bingung harus
melakukan apa. Perutnya kosong karena belum
sarapan, tadinya ia ingin memesan makanan, tapi
tak jadi karena dompet berisi semua uangnya
tertinggal di kamar mandi saat ia mandi sore
kemarin. Ia tidak punya siapa-siapa disini yang
akan merawatnya. Ibunya sudah meninggal sejak
ia masih kecil, dan ayahnya tewas tertembak
peluru nyasar dua minggu yang lalu. Karena itu ia
pindah ke hotel sendirian saja.
Sempat terbesit olehnya, bagaimana kalau ia
menelepon Hanabi? Cewek yang kemaren sempat ia
usir. Namun ia mengurungkan niatnya. Cewek itu
mungkin akan memperburuk suasananya saja. Kini
yang Naruto ingin dan harapkan hanya satu, bukan
makanan yang akan mengisi perutnya, tapi Hinata
yang berada disampingnya dan merawatnya. Cuma
itu."Hinata..."
Bel tanda pelajaran terakhirpun usai, Hinata segera
membereskan tasnya dan bersiap pulang. Namun
tiba-tiba ponselnya berdering. Tanpa berpikir
lama-lama Hinata langsung mengangkat
telponnya."Halo?" "Hinata...cepat...cepat
kesini...aku membutuhkanmu..." terdengar suara
seseorang diseberang sana. Suaranya begitu pelan
dan serak, berkesan menakutkan.
"Eh...ini siapa?" tanya Hinata cepat-cepat.
Tengkuknya kini merinding mendengar suara itu.
"Kumohon...Hinata...cepat kemari...ke
hotel..XXX...kamar...no...24..." tut-tut-
tuuuuuutTiba-tiba sambungan terputus dari
seberang. Hinata langsung merinding. Siapa tadi?
Kenapa menyuruhku ke hotel itu? Dan satu lagi,
kenapa suaranya begitu? Suara serak yang
menyeramkan? Pikir Hinata dihatinya.
Namun mengingat orang itu terdengar memohon
padanya Hinata jadi tidak tega.
Akhirnya setelah mengumpulkan segenap
keberanian, Hinata pergi menuju hotel itu. Ia
langsung pergi kesana tanpa pulang kerumah dulu
dan mengganti bajunya. Entah kenapa Hinata
merasa harus cepat-cepat.
KREK...
Hinata membuka kamar pintu hotel itu yang
ternyata tak dikunci. Kamar no 24. Dengan
perlahan Hinata melangkah masuk.
Satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah.
Dan...Hinata berhenti di langkah ke
terdiam sesaat dan tiba-tiba ia langsung menjerit.
"e...eh...Na-Naruto?!"
Hinata begitu kaget ketika ia memasuki ruangan itu,
ia langsung mendapati sosok Naruto yang jatuh
tersungkur lemas diatas karpet. Wajahnya sangat
merah. Hinata langsung menghampiri Naruto.
"Naruto, kau tidak apa-apa?" Hinata mencoba
menggoyang-goyangkan tubuh Naruto, namun Naruto
tetap tidak bangun. Hinata langsung memegang
jidat Naruto dan, "Panas sekali!" jeritnya. Ia bingung
mau melakukan apa, akhirnya ia melingkarkan
lengan Naruto di lehernya dan mencoba untuk
membuat cowo itu berdiri. Walaupun agak susah,
Hinata tidak patah semangat, tubuhnya memang
mungil dan kecil, tapi ia kuat dan sanggup untuk
menopang tubuh cowo itu.
" Hina...ta..?" suara Naruto terdengar lemah dan kecil
ketika Hinata mencoba untuk menyeretnya menuju
ke ranjang.
Dan akhirnya Hinata merebahkan tubuh Naruto di
ranjangnya, Hinata terbantu karena Naruto sudah agak
sadar dan memaksakan tubuhnya sendiri untuk
bergerak.
Setelah itu, Hinata langsung melempar tasnya ke
atas sofa. Lalu ia beranjak keluar.
"Hinata...kamu...mau...kemana...?" suara Naruto lagi-
lagi terdengar lemah dan tidak berdaya.
Hinata langsung menoleh mendengar itu, "Aku akan
mencari dokter di dekat sini. Tunggu sebentar
yaa...!" dengan tergesa-gesa Hinata pergi keluar
hotel dan mencari seorang dokter yang bisa
memeriksa keadaan Naruto saat itu juga.
15 menitpun berlalu, akhirnya Hinata kembali ke
kamar Naruto dengan seorang dokter laki-laki muda.
Dokter itu terlihat kecapean karena Hinata
menariknya dan berlari dengan kencang agar Naruto
tidak menunggu terlalu lama.
Dokter itu langsung memeriksa tubuh Naruto,
sementara Hinata hanya bisa menyaksikannya
sambil menutup mata ketika Naruto disuntik. Hinata
memang sedikit takut dengan darah.
"Nah, selesai..." ujar dokter itu. Ia kemudian
menghampiri Hinata, "Dia hanya demam biasa, dan
sepertinya dia belum makan seharian ini. Berikan
saja obat ini padanya setelah ia makan, oh ya,
jangan lupa berikan dia makanan yang cukup
memenuhi gizinya..." ujar dokter itu sembari
memberikan Hinata beberapa obat yang ia bawa.
"Terimakasih dok..." Hinata lalu membungkukan
badannya. Ia merasa sangat berterima kasih pada
dokter itu karena mau menolongnya. Setelah itu
Hinata langsung mengantar dokter muda itu keluar
dari kamar Naruto. Setelah dokter itu pergi, Hinata
langsung menutup pintunya dari dalam. Ia segera
berlari menghampiri Naruto.
" Hi..na..ta..terima...kasih..." ujar Naruto berusaha
sambil tersenyum.
Meskipun tidak begitu terlihat, seukir senyuman
tersungging di wajah Hinata yang sedang cemas.
"Kau sudah makan?" tanya Hinata. Naruto menggeleng
lemah. "Pantas saja!" Hinata cepat-cepat beranjak
ke kulkas, tapi ia tidak menemukan makanan
berigizi disana, hanya ada makanan cepat saji
yang kurang cocok untuk dimakan oleh orang
sakit.
Hinata kemudian beranjak mendekati Naruto lagi. "Hei,
apa disini ada restoran?" tanya Hinata sedikit tidak
sabaran. Naruto mengangguk lemah. "Baiklah, tunggu
sebentar ya..." Hinata hendak berbalik badan dan
beranjak, namun Naruto langsung menarik lengan
Hinata dengan lemah.
"Jangan...per..gi...aku..mau...kau di...sini..."
ucap Naruto terbata-bata. Naruto kemudian menunjuk
lemah ke arah telpon yang tersedia di kamar itu.
"Pe...san...saja..." lanjutnya. Tanpa mengelak
Hinatapun langsung memesan makanan dari telpon
itu. Untung saja ini hotel mewah, sehingga
sarananya sangat mewah dan disini juga
menyediakan makanan untuk orang yang sedang
sakit.
Setelah menelpon, Hinata langsung mendekat ke
Naruto lagi. Wajah cowo itu semakin memerah,
demamnya belum mereda. Mungkin ini karena dia
belum makan, pikir Hinata. Keringat bercucuran
dari tubuh Naruto, Hinata segera mengambil sapu
tangan dari tasnya dan mengelap keringat Naruto
menggunakan itu. Hinata melakukannya dengan
pelan dan lembut.
15 menit kemudian seorang pelayan mengantarkan
makanan yang dipesan Hinata. Setelah memberikan
uang pada pelayan itu, ia langsung mengambil
semangkuk bubur yang dibawakan oleh pelayan itu
lalu menutup pintu kamar rapat kembali.
"Naruto, ayo makan dulu..." ujar Hinata berusaha
membangun Naruto dengan pelan. Hinata lalu
menumpuk bantal dibawah kepala Naruto agar posisi
badannya bisa sedikit terduduk.
Naruto membuka mulutnya lemah, Hinata langsung
menyuapinya. Naruto memang tidak memakan bubur
itu sampai habis, tapi itu sudah cukup untuk
mengisi kekosongan perut Naruto. Setelah meminum
obatnya Naruto langsung tertidur dengan pulas.
Hinata menarik nafas lega melihat demam Naruto
sudah agak turun. Hinata lalu memerhatikan wajah
Naruto yang sudah terlelap. Perasaan bersalah
menggerogoti dirinya. Ia menyesal sudah berkata
hal yang tidak-tidak tentang cowo ini tadi pagi. Ia
tidak tau kalau cowo ini tidak masuk bukan karena
bolos, tapi karena sakit.
Hinata mengelus-elus rambut cowo itu. Meskipun
Naruto kini sudah tumbuh dewasa dan terlihat
berbeda dari Naruto kecil yang dulu Hinata kenal, tapi
Naruto ini masih tetap menjadi Naruto kecilnya.
Hinata tersenyum, namun tiba-tiba ia
mengernyitkan dahinya. "Tunggu? Hah? Apa
maksudnya dengan Naruto kecilku?" (0.0)a
Jam sudah menunjukan pukul 12 malam. Tadinya
Hinata sudah ingin pulang, namun ketika ia
beranjak dari kursinya yang terletak di samping
ranjang Naruto ia baru sadar ternyata sedari tadi Naruto
menggenggam tangannya erat, seolah tidak ingin
kehilangan Hinata. Dan akhirnya Hinata tak jadi
pulang. Setelah ia membetulkan letak selimut Naruto,
Hinata langsung menyusul Naruto ke alam mimpi.
"Hinata...Hinata...dingin...Hinata..."
Samar terdengar suara seseorang memanggil
namanya.
"Hinata...dingin..dingin..."
Hinata membuka matanya perlahan. Ia lalu
mengucek-ngucek matanya. Ternyata ia tertidur
diatas kursi yang letaknya ditepi ranjang milik Naruto.
Hinata menegakkan posisi tubuhnya.
"Dingin...Hinata...dingin..."
Lagi-lagi terdengar suara itu.
Hinata yang masih setengah sadar langsung
menengok ke kanan dan ke kiri. Namun ketika ia
akan menjatuhkan lagi kepalanya di tepi ranjang
Naruto, tiba-tiba tangan Naruto menggenggamnya
dengan sangat keras. Barulah Hinata menyadari
bahwa suara itu adalah suara Naruto.
Cepat-cepat Hinata mendekati wajah Naruto. Ia
menempelkan telapak tangannya di atas dahi
Hinata. "Ya ampun, demamnya naik lagi!" seru
Hinata pelan.
Hinata cepat-cepat berlari kecil menuju satu-
satunya lemari yang ada diruangan itu. Ia mencari
selimut disana. "selimut...selimut...selimut..."
Hinata bergumam sembari mencari-cari sesuatu
yang bisa dipakai untuk menjadi selimut. Dan
akhirnya Hinata menemukan sebuah selimut yang
tidak terlalu tebal. Ia buru-buru melapisi Naruto
dengan selimut itu.
Sudah dilapis oleh 2 buah selimut, tapi Naruto tetap
menggigil. Hinata bingung, ia menoleh ke kanan
dan ke kiri berharap ada barang lain yang bisa ia
gunakan untuk menebalkan selimut Naruto. Namun
percuma, kamar ini tidak punya banyak barang.
Hinata lalu mencoba berpikir, mengingat-ingat, apa
yang akan ibunya lakukan bila ia kedinginan
seperti itu. "Oh iya, mamaku selalu memelukku bila
aku kedinginan seperti ini..." pikir Hinata.
"Tapi...aku tidak mungkin melakukan hal ini..."
lanjut pikirannya.
Hinata bingung. Ia tidak ingin melakukannya, tapi
jika ia tidak melakukannya Naruto akan terus
mengigil. Hinata berjalan mondar-mandir di depan
ranjang Naruto.
"Hinata...dingin...dingin..."
Suara itu terdengar lagi, akhirnya hati Hinata luluh
dan iapun naik keatas ranjang Naruto. Ia berbaring
disana, hanya saja tidak ikut masuk kedalam
selimutnya. Dengan perlahan Hinata memeluk Naruto.
Kini wajah mereka sangat dekat, Hinata langsung
mengelap wajah Naruto dengan sapu tangannya yang
tadi karena keringatnya terus bercucuran. Ia
menatapnya, "Kurasa kau tidak sejelek yang
kukira..." gumam Hinata kecil. "Cepat sembuh
ya..."
Setelah Hinata memeluknya, Naruto sudah tidak
menggigil lagi. Berhasil. Namun naasnya Hinata
tidak bisa tidur, matanya tak mau terpejam dengan
posisi tidurnya yang seperti ini. Selama ia masih
membuka matanya, Hinata terus menerus
mengelap wajah dan leher Naruto yang basah karena
keringat.
Jam sudah menunjukan pukul 3 pagi. Hinata sudah
berbaring di ranjang Naruto sembari memeluknya dan
mengelap wajah dan lehernya selama 2 jam. Mata
Hinata sudah sangat berat, akhirnya ia
memutuskan untuk menyudahi pekerjaannya,
lagipula kelihatannya Naruto sudah mulai baikan. Ia
lalu beranjak dari kasur dan pergi tidur di sofa.
Mata Hinata kembali terpejam.
3 jam kemudian.
TOK TOK TOK!
"Naruto, buka pintunya!"
TOK TOK TOK!
"Naruto!"
Hinata membuka matanya dengan perlahan. Siapa
sih? Mengganggu tidurku saja! Pikir Hinata kesal.
"Naruto, buka pintunya!"
Walaupun Hinata belum sepenuhnya sadar, dengan
berjalan sempoyongan ia mendekati pintu,
membuka kuncinya dan membuka pintu dengan
perlahan.
Hinata berdiri disana sembari mengucek-ngucek
matanya karena masih mengantuk. Dihadapannya
sudah berdiri seorang gadis cantik yang
memandangnya dengan pandangan terkejut.
"Si...siapa kau?!" seru gadis itu keras. "A-apa
yang kau lakukan dikamar Naruto?!"
"Sssh..." Hinata meletakkan telunjuknya di depan
bibirnya sendiri. "Bisakah kau tidak berisik?" ujar
Hinata kesal.
Gadis itu mengguncang-guncangkan bahu Hinata.
"Kau tidur dikamar ini? Apa yang kau lakukan pada
Naruto-ku?!" gadis itu seperti mau menangis.
Dengan polosnya Hinata memiringkan kepalanya.
"Naruto-mu? Kau pacarnya?" tanya Darel menyelidik.
Gadis itu tidak mengangguk ataupun menggeleng,
melainkan menatap Hinata dengan tajam. "Baiklah-
baiklah, Naruto ada di dalam...dia demam. Aku
kemari hanya untuk merawatnya saja..." ujar Hinata
sembari memepersilahkan gadis itu untuk masuk.
Setelah itu ia langsung jatuh tertidur kembali diatas
sofa.
"Apa? Naruto demam!" Gadis itu langsung menyerbu
masuk dan berlari ke arah ranjang Naruto. Ia lalu
menempelkan keningnya pada kening Naruto.
"Sukurlah, demamnya sudah turun..." gumam
gadis itu lega. Tadinya ia ingin menanyai banyak
hal pada Hinata, namun tak jadi melihat Hinata yang
sudah terlelap dengan tidak wajar di atas sofa.
Gadis itu langsung menatap Naruto. Wajahnya sengaja
ia dekatkan ke wajah Naruto. Ia ingin menciumnya,
sebuah kesempatan yang bagus. Gadis itu
memejamkan matanya, jarak antar bibirnya dengan
bibir Naruto sudah sekitar 2 centi. Namun tiba-tiba
mata Naruto terbuka perlahan. Dia sangat terkejut
melihat wajahnya sangat dekat dengan wajah gadis
itu. Spontan Naruto langsung mendorong gadis itu
dengan keras.
"A-Apa yang kau lakukan disini?!" seru Naruto kaget.
Gadis itu terdiam, namun tiba-tiba ia tersenyum
nakal. "Kau lupa dengan apa yang kita lakukan tadi
malam...?" gadis itu menyeringai. Naruto langsung
terbelalak
