Disclaimer

Naruto©Masashi Kishimoto

.

Love Lies Bleeding

Prolog

.


Aku duduk di depan cermin. Menyisir rambutku dan membiarkannya jatuh rapi menutupi punggungku. Mataku kosong menerawang jauh, menerawang diriku yang terjebak di ruang hampa. Cermin bagaikan sebuah dimensi tanpa batas yang mengaburkan realita dan fatamorgana. Saat melihat cermin, kau akan menemukan bayangan hasil refleksi dirimu yang terpantul. Bayangan yang tercipta sama, tapi jika diperhatikan bayangannya terbalik dari aslinya. Kata orang cermin tidak pernah bohong. Benarkah?

Aku mengalihkan pandanganku pada jendela yang dilapisi tirai berwarna putih susu. Kulangkahkan kakiku menuju jendela dan menyibak tirainya. Kini tampaklah salju yang berjatuhan menimbun tanah yang ditapakinya. Hari sudah siang, tapi matahari masih bersembunyi di balik awan-awan yang menggugurkan butiran salju seputih kapas. Kaca anti peluru yang dipagari teralis besi tidak membuat pemandangan di luar sulit dilihat. Yang menjadikannya sulit adalah, uap-uap embun yang melapisi kaca tebal tersebut. Ditambah lagi hembusan napasku yang menerpa kaca, membuatnya memburam dan mengaburkan pandangan.

Pikiranku kembali mengelana jauh. Segala hal berkecamuk dalam kepalaku. Perang dan kematian terus menghantui. Mengalirkan rasa takut di setiap urat nadi dan juga memberikan kepedihan yang mendalam di setiap luka yang tercipta.

Korea Utara mengembangkan bom nuklir plutonium dan menyerang lima negara tetap dewan keamanan PBB. Hal ini menimbulkan kerugian yang sangat besar. Stabilitas ekonomi menjadi terancam, harga saham menurun drastis, kebutuhan pangan juga sulit untuk dipenuhi. Hal ini menjadi teror yang mencekam, sebab negara terkuat dalam PBB mulai diambang kehancuran setelah penyerangan Plutonium. Amerika segera bangkit dan melakukan serangan balasan berupa senjata biologis. Serangan biologis ini menghantam wilayah Asia Timur dan menyebabkan timbulnya wabah yang menyebabkan kematian massal dalam jumlah besar.

Perang terus berkecamuk. Ras manusia dan kehidupan terancam punah. Serangan nuklir besar-besaran menyebabkan anomali iklim di bumi. Bom biologis menyebabkan manusia mengalami mutasi. Bumi kembali mengalami zaman es dan manusia yang tersisa bertahan dengan mengandalkan kecanggihan teknologi yang mereka ciptakan.

Golden City, adalah Kota terakhir di bumi yang diciptakan di bawah tanah untuk perlindungan peradaban manusia yang tersisa. Dengan teknologi yang sangat tinggi, di kota inilah manusia yang tersisa menggantungkan kehidupannya. Di bawah kendali Republik, mereka hidup dalam damai setelah letusan perang yang kini berakhir dan menghancurkan segalanya.

Golden City, meskipun berada dalam tanah tetapi tetap memiliki tatanan seperti halnya kota di atas permukaan. Menara-menara tinggi dengan bangunan-bangunan berbentuk kubah menghiasi permukaan. Istana putih berdiri megah berkilau. Di sinilah Republik mengendalikan segalanya.

Di belakang istana terdapat bangunan-bangunan yang terbuat dari kaca dengan kubah besar sebagai atapnya yang disebut Anchor. Anchor adalah rumah kaca berteknologi tinggi. Bangunan ini dilengkapi panel surya yang menyerap sinar matahari di sekitar wilayah itu untuk dikumpulkan dan dibiaskan oleh atap kubah agar cahaya dapat dimaksimalkan untuk proses fotosintesis seluruh tanaman yang ditanam sebagai sumber pangan di Golden City.

Gedung itu dilengkapi pula sistem irigasi yang sangat maju. Pipa-pipa di desain khusus untuk menahan suhu dingin yang dapat membekukan air, menjaga air pada suhu stabil. Bahkan pipa-pipa ini dapat menyerap tumpukan es di luar Anchor dan mengubahnya menjadi air dengan suhu yang diatur sedemikian rupa.

Di area timur, terdapat bangunan yang disebut Black Box. Bangunan ini dirancang sebagai basis militer Golden City. Meski sudah tidak terjadi perang, tapi Republik tetap menjaga agar rakyat tidak menjadi pemberontak. Golden City tidak memiliki polisi, karena militerlah yang mengambil alih sistem pertahanan, baik di luar maupun di dalam.

ooo

Suara ketukan, membawa kesadaranku kembali. Aku melangkah menuju pintu kayu besar berornamen bunga sebagai ukirannya. Aku membukanya dan kini tampak tiga pelayan menunduk di luar kamar. Linna, salah seorang dari mereka menghadapku dan berbicara pelan mengungkapkan tujuan mereka datang kesini.

"Nyonya, sarapan sudah siap."

Ah, tentu saja, aku melupakan rutinitas ini karena sibuk dengan pikiran-pikiranku. Aku menganggukan kepala kemudian berjalan menuju ruang makan diikuti tiga pelayan tadi. Aku menelusuri koridor hingga menemukan tangga melingkar kemudian menapakinya satu persatu menuju lantai bawah. Kemegahan tempat ini sangat kontras dengan halaman luar istana yang tengah diamuk badai salju.

Sesampainya di bawah, aku segera melangkah menuju ruang makan. Terdapat meja makan panjang mewah yang dilengkapi deretan kursi berjumlah puluhan. Sangat sia-sia mengingat hanya aku yang makan sendirian disini. Tapi hari ini sepertinya aku tidak sendiri. Seorang laki-laki tegap memakai baju hitam tengah menyesap kopinya yang sedikit mengepulkan uap panas kini duduk di tempat paling ujung. Mata kelamnya menatapku tajam.

"Keluar," ujarnya dengan suara datar dan dingin.

Bukan kepadaku tentu saja, melainkan para pelayan di sekitar kami. Segera para pelayan keluar dari ruang makan dengan sedikit gemetar. Yah, suara Sasuke memang sangat mengintimidasi dan menakutkan. Wajar jika mereka ketakutan. Aku menghela napas panjang.

"Kau di sini?"

Ia tidak segera menjawabku, Sasuke menghampiriku dan menggiringku menuju salah satu kursi.

"Kau tidak suka?" ia balik bertanya.

Aku memutar mataku. "Kukira kau bercinta dengan dokumen kenegaraanmu, seperti biasa," sindirku.

Ia terkekeh kemudian mengecup pucuk kepalaku, "Istriku yang sedang marah selalu tampak menggairahkan."

"Aku tidak marah!" belaku yang tanpa sadar meninggikan suaraku.

Ia tersenyum geli melihatku dan itu membuatku makin kesal.

"Kenapa akhir-akhir ini kau sering marah?" Tanyanya sambil membelai rambutku.

Aku mengabaikannya dan fokus mengiris daging steak di hadapanku. Dagingnya berwarna coklat di lapisi saos karamel yang lumer dengan aroma yang sangat menggoda. Tapi penciumanku sepertinya bermasalah, karena ada rasa mual yang membuat lambungku tidak bersahabat. Aku mengabaikannya dan menyuap sepotong daging yang kuiris ke dalam mulutku.

Tapi sesaat setelah aku menelan steak itu, perutku bergejolak dan seketika lambungku mendorong keluar semua isinya. Aku tidak tahu kenapa, tapi bahkan setelah semua isinya keluar, aku tidak berhenti muntah hingga cairan menjijikan ini juga ikut keluar.

"Sakura, kau kenapa?"

Sasuke. Aku lupa ada dia di sini. Ini sungguh menjijikan untuk di lihat. Aku tidak bisa menjawabnya karena aku sibuk memuntahkan isi perutku. Saat aku sudah berhenti muntah, Sasuke segera memberikan segelas air dan aku menenggaknya sedikit. Aku takut akan memuntahkannya juga jadi aku hanya meminum dua teguk untuk menetralkan rasa asam yang bersarang di pangkal tenggorokanku.

Sasuke terus mengelus punggungku. Aku tadi tidak melihatnya, tapi kini aku melihat kecemasan yang luar biasa dari mata kelamnya. Ia menyapukan tangannya ke keningku kemudian menyibak rambutku dan turun menangkup pipiku.

"Kau sakit."

Entah itu pertanyaan atau pernyataan, tapi suaranya menyiratkan kekhawatiran sama seperti binar matanya.

Aku menggeleng, "Entah." Aku sendiri juga bingung dengan anomali kondisi tubuhku. Kurasa aku baik-baik saja sampai aku makan. "Aku mau istirahat."

Aku akan berdiri dan melangkah keluar saat sebuah tangan menarik tanganku dan dengan gerakan cepat tangan tadi meraih bawah lututku dan tangan lainnya menopang punggungku kemudian aku merasa seperti melayang.

"Kita akan memeriksa kondisimu."

Dengan langkah tegap, Sasuke membawaku menuju ke kamar. Ia memberi perintah-perintah tegas pada pelayan yang ia temui.

ooo

"Anda hamil, nyonya."

Pernyataan yang membuatku mengerjapkan mataku berkali-kali. Aku menoleh melihat reaksi Sasuke saat dokter Tsunade memberikan keterangan mengenai kondisiku. Ia tampak terkejut tapi ekspresinya terlalu datar untuk dimengerti orang lain. Hanya sorot matanya yang membuatku bisa membaca ekspresi apa yang ia tunjukkan.

"Usianya tujuh minggu," ujar dokter Tsunade dengan senyuman merekah. "Selamat Mr. President," lanjutnya.

Iris madunya menunjukkan binar bahagia. Ia masih sangat cantik dan tampak muda di usianya yang hampir empat puluh tahun. Dokter Tsunade adalah dokter kepercayaan Sasuke. Ia sudah mengabdikan hidupnya sejak Sasuke masih kecil.

"Apa akan baik-baik saja kedepannya? Dia muntah dan tampak pucat."

Sasuke benar-benar sombong. Setidaknya dia harus mengucapkan terimakasih. Kalau tidak pada ucapan selamat dokter Tsunade, Sasuke bisa berterima kasih karena kebaikan hatinya sebagai dokter. Aku menghela napas.

Entah karena berhati besar atau karena ia sudah mengenal sifat Sasuke, dokter Tsunade tampak tidak terpengaruh dengan sifat arogan Sasuke. Ia masih tersenyum dan membuatnya semakin tampak cantik.

"Itu wajar untuk seorang ibu hamil, apalagi pada saat trisemester pertama."

"Tunggu! Jadi dia akan sering muntah?"

Lagi. Suaranya datar dan dingin. Karenanya aku tidak tahu itu pertanyaan atau pernyataan. Tapi yang jelas, ada perasaan berkecamuk di matanya. Kesal, sedih, dan cemas. Semuanya ada di dalam mata pekatnya.

Aku mengelus lengannya. Menyampaikan kalau aku baik-baik saja. Dan juga mencoba membuat perasaannya lebih baik. Tubuh tegangnya sedikit rileks karena sentuhanku.

"Saya akan memberi obat anti mual. Dan saya sarankan anda tidak boleh terlalu lelah nyonya Sakura."

Aku menganggukkan kepala, kemudian melesakkan kepalaku ke bantal, mencari posisi paling nyaman. Aku meringkuk dan merapatkan selimut tebal sembari mencari kehangatan. Sasuke menatapku kemudian beranjak dari ranjang dan memberi isyarat mata pada dokter Tsunade untuk mengikutinya. Aku terlalu malas untuk mengamati lebih jauh lagi. Mungkin efek obat yang tadi diberikan, mataku terasa berat dan akhirnya aku terbuai ke alam mimpi.

ooo

Aku terbangun saat hari sudah petang. Kepalaku pusing. Aku mengerjapkan mata menatap jendela. Salju masih turun dan langit terlihat gelap. Aku hendak bangun saat sebuah lengan tiba-tiba melingkari perutku. Ah, dia di sini.

"Aku tidurnya lama ya?" tanyaku berbalik untuk menatapnya.

"Lapar?"

"Kau bertanya atau memberi pernyataan?" sindirku.

"Kau belum makan sejak sarapan tadi."

Sasuke lalu meraih gagang telepon klasik berwarna coklat keemasan di atas nakas. Ia memberi perintah cepat kemudian kembali berbalik memelukku saat selesai menutup teleponnya.

Tak berapa lama, terdengar suara ketukan pintu dan dengan segera Sasuke bangkit. Saat pintu terbuka, pelayan segera masuk setelah memberi hormat. Mereka membawa susu coklat hangat dan semangkuk entah apa itu, aku tidak begitu tahu.

Saat semua pelayan telah undur diri, Sasuke kemudian meraih mangkuk di atas meja dan menyendok isinya. Kemudian ia meniupnya. Aku mencium aroma gandum dan aku langsung tahu itu bubur gandum saat Sasuke menyodorkan sendok untuk menyuapiku.

Ada potongan ayam didalam bubur, ada pula rasa mentega dan gurihnya remah roti yang dicampur ke dalam bubur. Aku juga sempat melihat isi mangkuk yang ditaburi aneka sayuran seperti brokoli, wortel, dan tomat yang dipotong kecil-kecil. Aku mengecap lembut bubur yang terasa gurih bercampur pedas dan manis yang sangat lezat.

Sepertinya malam ini tidak ada pemberontakan di perutku. Jadi aku dengan semangat menghabiskan bubur gandum itu. Dan Sasuke dengan telaten menyuapiku sampai isinya tandas. Ia mengelap sudut bibirku kemudian meraih segelas susu dan membantuku untuk minum.

Ia menyingkirkan mangkuk dan gelas ke pinggiran nakas. Kembali untuk menarik selimut sampai ke dada. Ia membantuku untuk kembali tidur tapi aku menolak.

"Aku tidak mengantuk." kataku singkat.

Dia menghela napas kemudian membelai leherku. Gerakannya pelan dan menenangkan. Aku menghadapnya dan melihat penuh ke dalam dirinya. Aku selalu melihat cinta dalam matanya untukku. Aku tersenyum kemudian melebarkan tanganku untuk meraih lehernya. Aku mengecup pelan bibirnya. Kecupan ini adalah wujud terima kasihku atas semua yang ia berikan. Pada cinta, pada perhatian, juga pada hadiah ini. Aku menurunkan salah satu lenganku dan membawa jemarinya mengelus perutku yang tertutupi selimut.

"Terimakasih," ujarku penuh damba.

"Jangan memancing Sakura." Suaranya terdengar serak.

"Aku hamil, kau tidak mungkin berani."

"Dokter bilang tidak apa. Asal tidak berlebihan." Ucapnya seraya melengkungkan sedikit bibirnya keatas.

Kemudian ia meraih leherku dan menarikku mendekat padanya. Ia mengecapi bibirku. Oh Tuhan, harusnya aku memang tidak memberi umpan. Sekarang dia benar-benar terlihat lapar. Ia menarik kepalanya kemudian mengamatiku yang terengah dengan puas.

Ia kembali menyentuhkan bibirnya. Kali ini kehangatan lidahnya mengeksplor leherku. Jemarinya menurunkan bahu gaun putih casual yang kukenakan. Ia kemudian mengecup pundakku setelah menyingkirkan helaian rambut yang menempel. Kecupannya turun ke tulang selangka. Dan terus turun ke arah dalam. Ia menarik gaunku turun hingga sepinggang.

Kemudian ia mendorongku pelan untuk berbaring. Ia kembali menjelajahi tubuh ini. Dan aku rasa malam ini akan sangat panjang.

ooo

Aku menggigil. Selimutku turun ke pinggang hingga tubuhku yang telanjang terekspos. Meskipun penghangat sudah dinyalakan, tetap saja rasa dingin karena efek badai salju diluar menembus istana ini. Aku berbaring menyamping dengan dekapan Sasuke dari belakang tubuhku pun tetap tidak dapat mencegah rasa dingin ini menusuk tulang.

Tiba-tiba selimut bergerak naik sampai daguku.

"Masih jam tiga pagi." Suara serak Sasuke memecah keheningan.

"Dingin," kataku merajuk.

Ia kembali mendekapku. Jemarinya menggosok lenganku. Dan aku kembali merasa nyaman. Ia mengecupi pucuk kepalaku yang bersandar di dada bidangnya.

"Terimakasih Sakura."

Aku lamat-lamat mendengar bisikan. Tapi aku sudah terlalu jauh terbuai hingga tidak memperdulikan lagi apa yang kudengar. Hanya rasa nyaman ini yang aku rasa sangat nyata meski kesadaranku mulai terkikis.

.

.

.

.

.

.

.

Bersambung


Catatan cerita :

-Golden City adalah kota bawah tanah, tapi diatur dari atas permukaan.

-Republik adalah sebutan untuk para penguasa.

-Golden city dibangun sebagai tempat perlindungan (banker) karena kondisi bumi yang memprihatinkan.

.

.

.

Regard:

Kumpulan orang gak waras yang ingin menulis.

Salam suter semuanya.

Corn Tall