Nesia mendaftar ke sekolah asrama khusus laki-laki, apa yang sebenarnya ia lakukan disana?
.
.
An Hetalia Fanfiction
.
.
Undercover
.
.
Hetalia milik Himaruya -sensei
.
.
.
"Jadi, siapa namamu?" tanya seorang pria berambut platina kepada siswa di hadapannya. Pria itu duduk di belakang meja dengan papan dada dari emas yang berukirkan namanya, 'Ivan Braginsky'.
"Garuda, sir, tapi saya biasa dipanggi Gara," Siswa ini, andaikan kau perhatikan, ia terlihat lebih feminim dari kebanyakan siswa di sekolah barunya. Suaranya terdengar seperti bocah lelaki yang cempreng. Tinggi badannya hanya mencapai 163 cm. Rambut hitamnya yang pendek, agak berponi samping dan acak-acakan. Tas sekolahnya ia simpan di pangkuan alih-alih di lantai seperti kebanyakan siswa laki-laki. Dan seragamnya, seragamnya rapi, terlalu rapi untuk seorang anak laki-laki seumuran dirinya.
"Gara..." pria tua itu menimbang-nimbang dokumen di genggamannya. Memperhatikan gelagat siswa baru yang –bisa disebut, kurang maskulin itu. Pria Rusia itu ragu, bukan karena penampilan Gara yang feminim, bukan, bukan karena itu, namun ia ragu, mampukah siswa ini beradaptasi di sekolahnya yang... lebih baik kau cari tahu sendiri saja nanti.
Sekian lama suasana di ruang kepala sekolah itu hening. Hanya sesekali burung kakaktua milik sekolahlah yang berbunyi. Gara memperhatikan ruangan kepala sekolahnya. Ruangan itu bernuansa coklat latte. Wallpaper coklat latte-nya bercorak bunga matahari, agak sedikit aneh bagi seorang pria gagah seperti itu menyukai pola wallpaper macam ini. Di tengah ruangan, tergantung lampu kristal yang nampaknya begitu mahal. Lampu itu terlihat sangat bersih dan berkilau. Pasti kepala sekolahnya ini terobsesi dengan kebersihan.
Kemudian pandangannya bepindah pada rak-rak buku yang tersusun apik di dinding timur. Semuanya tersusun sebagaimana mestinya. Benar-benar seorang perfeksionis. Meja kerjanya sendiri, yaitu meja di mana mereka sedang berhadapan kini, berada di utara ruangan. Membelakangi jendela besar yang menghadap ke lapangan sekolah. Sekilas, Nesia –alias Gara melihat beberapa siswa yang sedang asik merampas makanan milik seorang lelaki berkacamata. Oh, malangnya lelaki polos itu.
Dan pandangan Nesia berakhir di kedua iris violet milik kepala sekolahnya. Pemilik iris violet itu mengangkat sebelah alisnya, menuntut penjelasan dari Nesia akan aktifitas pandang sana-sini yang baru ia lakukan.
"Well?"
"Umm, maaf sir, uhuk..." kemudian suaranya jadi memberat, "...Kau punya ruangan yang cantik,"
"Cantik?"
"Ehh maksudku indah!" tambah Nesia buru-buru.
"Indah?"
"Maksudnya, keren, sir! Keren!" keringat mengucur membasahi dahinya. Nesia belum terbiasa dengan penyamaran ini. Mungkin sebaiknya, ia harus banyak menonton 007, agar sisi maskulinnya bisa muncul.
Kepala sekolahnya tertawa, menimbulkan bunyi riang yang merdu untuk didengar. Nesia baru menyadari bahwa pria di depannya ini tidak terbilang tua. Bahkan teramat muda bila dilihat dari fisiknya. Sungguh tak pantas gelar 'pak kepala sekolah' yang disandang pria dengan tatapan lunak itu.
"Gara,"
Yang dipanggil segera menjawab, "Ya, sir?"
Ivan membuat jeda sebelum menjawab, "Kau yakin mau mendaftar ke sekolah ini?"
.
.
Biasanya, sebelum bel sekolah berbunyi, Arthur dan komplotan –biasanya merenggut keindahan pagi milik siswa lain. Mereka merampas makanan, menodai seragam orang, menendang, bahkan bila sedang 'ingin', menganiaya ringan orang yang pertama ditemuinya. Yes, they're the bad guy.
Komplotan ini menguasai sekolah dalam artian yang sebenarnya. Mereka tidak hanya sekumpulan anak nakal yang tidak jelas arah hidupnya. Tapi mereka adalah sosok-sosok pilihan sekolah yang memiliki bakat masing-masing. Mereka adalah siswa-siswa populer yang berwawasan luas, berfisik menarik, dan memiliki kecerdasan emosional. Mereka adalah tipe orang yang bisa bertahan hidup di negeri antah berantah sendirian, tanpa uang sepeser pun, hanya bermodalkan otak, keterampilan dan penampilan. And yes, they're the genius bad guy.
Mereka terdiri dari tujuh orang, yang sering disebut sebagai Los Siete –The Seven oleh siswa lain. Yah, gelar itu akan selalu melekat sampai mereka lulus sekolah, atau paling tidak, sampai mereka melakukan kesalahan yang fatal. LS-los siete mengisi seluruh jabatan penting di sekolah. Ketua asrama, ketua murid, ketua klub, bahkan ketua dari ketua lainnya. Komplotan itu sendiri mempunyai seorang ketua yang bernama Arthur Kirkland.
Arthur, seorang british yang menyandang gelar ketua asrama, ketua komplotan, sekaligus the most horrible man in school. Sebenarnya ia sosok yang bisa dibilang 'eksentrik'. Pandangan iris emeraldnya terkadang beringas, seakan ingin melahap siapapun yang berani menatapnya. Namun terkadang, pandangan itu begitu tenang dan berkelas, layaknya kelaziman para English man. Tak hanya pandangan mata, sikap Arthur juga seperti itu. Buruk, lalu tiba-tiba berubah baik. Tenang, kemudian kembali lagi menjadi rusuh. Namun di samping itu, ia pemimpin yang bijak, baik bagi asrama maupun komplotannya.
Orang kedua yang teramat dipandang dari komplotan itu adalah seorang pria Spanyol yang murah senyum. Ia bernama Antonio Fernandez Carriedo. Berlawanan dengan sosok Arthur yang 'eksentrik', penyandang gelar ketua klub sepak bola itu ramah pada setiap orang yang ditemuinya, tak peduli dari 'golongan' apakah orang itu berasal. Ia populer, benar-benar populer. Terutama di kalangan siswi 'Canna Academy for Women'.
.
.
Dua anggota LS itu sedang berjalan menyusuri koridor menuju ruang kepala sekolah, membuat jalanan yang dipenuhi siswa terburai bak lautan manusia yang dipecah menjadi dua. Siswa yang enggan berurusan dengan mereka akan segera membukakan jalan. Well, kecuali bagi yang ingin mendapat masalah.
Pagi itu, mereka sedang tak ingin berbuat keributan atau merenggut kesenangan orang lain seperti pada pagi biasanya. Ivan –sang kepala sekolah memerintahkan mereka untuk segera menghadap. Ini memang situasi yang jarang sekali terjadi, karena biasanya, mereka tak pernah dipanggil sepagi ini.
Bulan itu, bulan Desember, dan di London cuaca sedang dingin-dinginnya. Arthur merapatkan blazer seragamnya yang hitam legam. Di kerah kiri kemejanya, tersemat pin platina berbentuk elang, inilah lambang dari gelar Los Siete yang diturunkan dari tahun ke tahun. Arthur menggulung kedua tangannya di depan, ia mengutuk perbuatan sang kepala sekolah kepadanya di pagi sedingin ini.
"Well, I'm wondering what's going on," ucap Arthur selagi mereka menaiki tangga menuju lantai dua.
Antonio dengan senyum konstannya menjawab, "Tentunya ini hal yang penting, si brengsek itu tak pernah memanggil kita sepagi ini..."
Arthur terlonjak, "Jaga attitude-mu Antonio! Bagaimana pun, dia lebih tua dari kita,"
"Tiga tahun," potong sang Spaniard itu lalu tertawa.
Mereka kini tengah menyusuri lantai dua, tempat dimana kantor Ivan berada. Lorong itu tak banyak berkelok-kelok, hanya satu jalan luruslah yang terbentang menuju pintu besar bertuliskan 'principal office'. Di sebelah kiri lorong terbentang jendela-jendela vintage tinggi yang menghadap ke lapangan. Arsitektur sekolah ini mirip dengan bangunan Prancis yang dilebur dengan bangunan Rusia. Well, singkatnya bangunan Eropa.
Arthur mengetuk tiga kali permukaan pintu kayu itu, kemudian sayup-sayup terdengar jawaban dari dalam. Mereka segera mendorongnya.
Ruangan itu masih terlihat sama seperti biasanya. Buku-buku yang rapi, perapian yang menyala, bunga matahari yang terbenam di vas. Hanya ada satu sosok asing yang berada di dalam. Sosok seorang pemuda Asia yang membuat dua anggota LS itu mengernyit ketika melihat penampilannya.
"Ah, kalian hanya berdua?" tanya Ivan seraya bangkit. Pemuda Asia itu mengikuti.
"Um, yes, sir, maafkan kami, tapi, saya dan Antonio sanggup menangani semuanya," jawab sang English man.
"Jadi, sir, apa yang membuat anda memanggil kami kesini?" tanya Antonio.
"Ah, yah, Antonio! Aku memiliki tugas untuk kalian berdua, tugas ini tidak seperti tugas sebelumnya, tugas ini tidak berbahaya ataupun menyulitkan kalian," Russian itu membuat jeda. Ia menghampiri Nesia dan mendorong gadis yang sedang menyamar itu ke hadapan dua anggota LS. "Aku ingin, kalian membimbingnya baik-baik," kemudian suara itu mengalun dalam tawa.
..
.
Di sebuah ruangan persegi yang cukup luas, seorang pria tengah menikmati sorenya dengan damai. Ia duduk di kursi kayu megah di belakang meja kerjanya. Di sandaran tangan kursi itu, bersender seorang gadis melayu dengan setelan serba hitam.
"Memangnya apa yang kita cari disana?"
"Harta rampasan,"
"Harta rampasan?"
"Ya, Nesia, harta itu milik kita, secara legal tentu saja, namun kau tahu, kan? Dulu kita kekurangan orang, kekurangan agen yang berintelejen layaknya dirimu, dulu mereka sedang naik daun,"
"Dan kita secara diam-diam berusaha merebutnya kembali?"
"Kita tidak merebut, hanya mengambil apa yang seharusnya milik kita," Lelaki berhidung plester itu menyeruput tehnya yang masih hangat. Setelah menempatkannya kembali ke meja, tangannya sibuk membuka-buka kertas yang penuh dengan cetakan huruf latin.
"Tapi aku tak mengerti, Logan, mengapa sebuah sekolah?"
"Dulu itu bukan sekolah, Nesia, dan aku yakin sekarang pun bukan,"
"Maksudmu, sekolah hanya sebagai kedok mereka saja? Aku rasa itu mustahil,"
"Tak ada yang mustahil di dunia agen seperti kita ini, kedok dipasang dimana-mana,"
"Ah, yah, kau benar juga, Logan." Gadis itu diam sejenak, namun pikirannya masih bergelut tentang tugas baru yang akan diembannya itu. Ia kembali melontarkan pertanyaan, "Tapi, Logan..."
"Aku tahu apa yang ingin kau tanyakan," potong pria di sebelahnya. "Begini, kau pergi kesana sebagai seorang pemuda Asia, penyamaran, Nesia, penyamaran! Lalu, bergaulah dengan baik disana, cari tahu mengenai harta kita yang hilang itu, hubungi aku ketika kau telah berhasil menemukannya, bawa harta itu bersamamu, dan segera keluarlah dari neraka jahanam itu,"
Nesia mengangguk-ngangguk, seraya bangkit untuk segera memulai misi barunya. "Berbentuk apakah harta kita itu, Logan?"
"Aku tak tahu,"
"APA?!" sentak Nesia pada bosnya. Pria itu tak sedikit pun gentar, ia membalas bentakan Nesia dengan senyum yang santai.
"Ingatlah, bukan aku bosnya. Just go, I trust you!"
Nesia hanya bisa menurut pada kelakuan yang semena-mena dari atasannya itu. Ya, bisa dibilang atasan karena pangkat Logan lebih tinggi dari dirinya. Ia segera angkat kaki dari ruangan, sebelum akhirnya Logan kembali berujar.
"And, Nesia!" Nesia membalikan tubuh langsingnya. Bosnya itu terkekeh dahulu sebelum melanjutkan, "Bila penyamaranmu terungkap, kami takkan mengakuimu sebagai agen kami,"
Nesia menyeringai licik, "I know, see ya, my darling!"
Rona merah tiba-tiba terpeta di wajah Australian yang baru saja ingin menelan cairan teh dalam mulutnya. Karena mendengar kalimat itu, alih-alih tertelan, semua cairan itu malah menyembur keluar, membasahi kertas kerjanya yang menumpuk di meja. Pria itu mendengus marah.
"NESIAAAAAA!"
Nesia segera berlari keluar dari ruangan yang beraroma khas kayu cendana itu.
.
To be continue...
.
.
.
first, ini gaje bingit sumpah, oke alurnya masih berantakan, bahasanya juga, idenya, pemilihan latar, semuanya-_-
mohon maaf atas kegajean yang saya timbulkan di fic ini.
terima kasih sudah membaca :)
sedikit review, mungkin? itu akan mempush saya untuk melanjutkan kegajean di chapter selajutnya...
*ups
salam,
-Warmlatte-
.
