Shingeki no Kyojin © Isayama Hajime
Main plot: Silan Haye a.k.a. psycheros
Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi
Genres/Tags : omegaverse, m-preg, alternate universe, drama, tragedy, angst, explicit BDSM scene, MalexMale

.

.

DISCLAIMER

Attack on Titan belongs to Hajime Isayama, while Kuroko's Basket belongs to Fujimaki Tadatoshi. This work has not been endorsed by neither Hajime Isayama nor Fujimaki Tadatoshi, and any of the other holding copyright or license to Attack on Titan and Kuroko's Basket manga or anime.


Akashi Seijuurou menandai tanggal hari ini di kalendernya sebagai hari ke-1500 paska bergabung dengan institusi, terbangun di atas ranjang berlapis sutra dan selimut beludru supernyaman.

Hari pertamanya adalah ketika ia masih remaja, gemetar karena mengalami heat pertama. Pada masa itu pula, tepat seminggu setelahnya, ia menjadi bagian dari institusi ini.

"Di sini kau akan dilatih jadi omega sejati," orangtuanya berkata. Gurunya juga mengatakan hal serupa. "Jadilah yang terbaik, Seijuurou, dan para alfa tidak akan pernah menyesal memilihmu."

Seijuurou muda mengangguk, menggenggam pesan itu erat-erat sementara matanya berkilauan penuh determinasi. Ia siap menjadi yang terbaik. Ia belajar keras—sekalipun tidak butuh waktu lama untuk menguasai teori-teori yang tersaji: biologi, kesenian, seni mengurus rumah dan calon anak, teknik merawat diri (luar dan dalam), apapun ia lahap secara totalitas.

Ia menjadi terbaik bukan untuk para omega—harga dirinya tidak serendah itu—melainkan sebagai trofi atas usaha yang ia lakukan kepada dirinya sendiri.

Dan, tentu saja, hasil tidak pernah mengkhianati usaha. Atau sebaliknya. Atau memang Seijuurou sendirilah yang dilatih untuk tidak mengkhianati janji.

Sudah jadi rahasia institusi bahwa Seijuurou adalah yang terbaik secara paralel. Nilai-nilainya menjejaki baris pertama selama beberapa tahun konsekutif. Penampilannya adalah yang termencolok sekaligus termenawan di antara omega lain—bagaimana tidak, jumlah lelaki berambut merah di institusi itu bisa dihitung dengan jari, jadi sosoknya begitu mudah dinotis—yang dalam beberapa situasi, sangat menyulitkannya. Ia dapat menjelma alfa terliar—secara fisikal, tentu saja—sekaligus mewujud omega dengan servis terbaik—dan keperawanannya barangkali telah lenyap apabila ia tidak tegas mengusir para hidung belang dengan tatapannya.

Di institusi, kaum omega diajari untuk menghitung tanggal heat mereka, serta cara mengantisipasi diri dari gejolak seksual berlebih kala berdekatan dengan alfa pada fase itu (lebih banyak omega yang gagal ketimbang berhasil pada fase ini). Sebagian besar yang gagal terpaksa keluar dari institusi, sebab mereka tidak lagi steril. Para omega dilatih untuk memuaskan alfa mereka—secara psikologis, tentu saja—ketika di sisi lain mereka dituntut untuk tidak bersikap murahan.

"Seorang omega sejati harus tahu cara menjaga tubuhnya," kata salah seorang senior. "Tubuhmu adalah aset milik pasanganmu seorang; dan jangan berani-berani menjajakan tubuh itu seperti jalang."

Pesan diterima. Seijuurou, sampai usianya yang sekarang, masih bersih. Sampai menjelang kelulusannya, tak pernah satupun sperma memasuki liang itu.

Tapi namanya dunia manusia, hidupnya tidak pernah benar-benar bersih dari gosip. Ada saja bisik-bisik yang tertangkap, soal Seijuurou yang pernah menyetubuhi omega lain untuk melepas nafsu heat-nya. Bisik-bisik lain menuduh Seijuurou sejatinya adalah simpanan seorang alfa, yang sudah terikat kontrak sejak beberapa waktu lalu (dan Seijuurou sengaja menutupi 'tanda' kepemilikan itu dengan concealer tebal; tak heran jika ia begitu putih dan mulus). Keberadaan Seijuurou di institusi hanyalah simbol semata.

Ha. Bicaralah semau kalian, iblis-iblis cilik. Seijuurou tinggal menumpas mereka dengan sekali lirik, menguras habis darah mereka, dan membiarkan penis mereka mengacung nelangsa karena tak kunjung menemukan pasangan. 1500 harinya dijalani dengan sempurna, sementara yang lain masih terkatung-katung karena belum bisa mengontrol otak—juga nafsu—dengan benar.

Seperti dirinya, ribuan omega menjejali institusi. Beberapa sepantaran, beberapa lebih muda, dan ada yang bertahun-tahun melampaui usianya—salah satunya adalah Haizaki Shougo, yang sengaja menyembunyikan diri karena menolak fakta bahwa dirinya adalah omega. Yang seperti itu biasanya suka membuat masalah, melecehkan sesamanya sebagai kaum kelas bawah, dan seharusnya ia menjejaki tangga lebih tinggi bersama kelompok alfa.

Seijuurou mendecih diam-diam. Justru para denial itulah yang lebih layak dipandang rendah.

Kini, pada saat-saat terakhirnya di institusi, ia membiarkan diri berbaring sedikit lebih lama dari biasa. Mengamati langit-langit kamar yang masih redup, diam-diam ia mengulum senyum.

Bersamaan dengan hari ke-1500 ini—Seijuurou berusaha menekan debaran antusiasme—ini adalah hari terakhirnya berada di institusi.

Ujian yang sebenarnya dimulai dari sekarang.

Dalam hitungan jam, ia bisa mengepak sayap dengan bebas. Lepas dari sangkar yang menahannya selama bertahun-tahun ini.

Mengapa, tanyamu?

Sebab malam ini adalah malamnya—Malam Gala-nya—di mana seorang alfa akan hadir, laksana ksatria berkuda putih atau lelaki berkendaraan mentereng (Seijuurou tidak keberatan memilih salah satu atau keduanya sekaligus kalau diizinkan), dan menandai Seijuurou sebagai miliknya seorang.

—atau barangkali ia hanya akan bermigrasi dari satu kurungan ke kurungan lain; tapi biarlah perkara itu dipikirkan nanti.

Prosesnya tidak sebentar, tentu saja. Selama beberapa bulan terakhir Seijuurou harus memastikan bahwa penampilannya tetap sempurna, bersih dari jerawat atau rambut berminyak, meluluri kulitnya setiap dua hari sekali, mengikuti diet ketat yang dijadwalkan oleh institusi kepadanya secara khusus, bahkan melakukan latihan-latihan fisik yang membuatnya merasa lebih seperti seorang atlet (berpenampilan putri raja) alih-alih omega yang siap dikawinkan.

Tapi latihan-latihan, juga usaha-usaha itu, tidak akan sia-sia. Satu hal itu Seijuurou yakin. Omega lain akan bungkam. Para alfa mungkin akan memuncratkan sperma dengan depresi, sebab tiada satupun dari mereka yang dapat merengkuh pinggang Seijuurou—kecuali alfa-nya seorang.

Tapi ia tidak boleh bergembira hati dulu. Atau belum. Ujiannya tidak semudah itu, sebab ia tidak akan tahu kepada siapa ia akan menjual diri—tergantung siapa yang hadir hari itu, atau bagaimana ia mengundang impresi kepada kaum predator nantinya—dan orang itu, setelahnya, akan menentukan hidup dan matinya kelak.

Seijuurou menarik napas dalam-dalam, menjaga degup jantungnya pada takaran normal, lalu mendorong punggungnya untuk meninggalkan kenyamanan ranjang.

Memutuskan bahwa berbaring terlalu lama tidak baik untuk tulang punggungnya, ia bangkit. Meregangkan otot—kau bisa melihat garis-garis lengan itu begitu menggoda untuk dijilat—lalu mengeluarkan bunyi derak ketika memiringkan leher.

Beberapa malam terakhir dihabiskannya dengan menciptakan skenario. Bagaimana mereka akan bercakap-cakap, tenggelam dalam pembicaraan sarat ilmu, menjalin kehidupan sederhana—tapi bahagia—sebagaimana yang ia idam-idamkan sejak lama. Seperti apa anak-anaknya kelak; apakah akan berambut merah seperti dirinya, atau punya kecerdasan setara Seijuurou.

Oh, ya, ia mempertimbangkan kemungkinan itu. Kemungkinan bahwa tubuhnya akan melemah seiring lahirnya buah hati. Ia dan para omega akan mempertaruhkan nyawa, tepat ketika rahim mereka terisi janin. Pada kehamilan kedua, sudah dapat dipastikan bahwa mereka akan meninggal, sebab bayi-bayi itu telah mengisap habis jatah waktu ibunya.

Terdengar ironis, memang, tetapi di situlah para omega dihormati, sebab mereka adalah manusia-manusia luar biasa yang rela menumbalkan diri demi tumbuhnya generasi baru. Kecuali kelompok denial yang selalu bilang, "Kebetulan saja kami sakit tiap bulannya. Yang jelas ini bukan heat", para omega pantas menegakkan tubuh dan berbangga hati.

Lagipula, teknologi bertumbuh juga bukan tidak berguna—sebab tubuh-tubuh omega yang sudah habis waktunya bisa diisi ulang melalui teknik kloning. Salah satu teknik lain untuk mengabadikan kaum itu, sekalipun prosedurnya memakan waktu lama dan tidak menjamin kesempurnaan hasil akhir. Beberapa gagal, beberapa berhasil, dan beberapa—tidak benar-benar menjadi dirinya di masa lalu.

Seijuurou memandangi wajahnya di depan cermin. Kali ini lebih lama ketimbang biasa, sebab ia tidak ingin ada cela yang menurunkan kualitasnya pada Malam Gala. Cek leher, bibir, pipi, mata, hidung—semua utuh dan dalam keadaan sempurna. Keterlaluan kalau tidak ada yang memilih untuk menangkapnya saat lelang.

Pintu kamarnya diketuk. Siapa kiranya yang datang sepagi ini?

Ia melirik jam tangan. Menebak-nebak omega masokis mana yang ada di balik pintu. Kalau mereka tidak minta ditutori, ya, biasanya cuma asal ketuk lalu lari. Seolah-olah sengaja membiarkan kepala Seijuurou muncul di koridor sebagai bahan fanboying.

Mudah-mudahan tamunya cukup manusiawi untuk tidak membuat kekacauan di pagi hari (mencipratkan sperma ke atas kasur seperti dua minggu yang lalu, misalnya—menjijikkan). Setelah memastikan bahwa rambutnya terjuntai rapi menutupi poni, Seijuurou membuka pintu.

"Ah." Alisnya terangkat. Merekognisi laki-laki berambut cokelat yang kini berdiri gelisah di depannya sebagai seorang junior. "Furihata Kouki, ini pertama kalinya aku melihatmu ke sini. Ada perlu?"

"T-tidak juga." Postur Furihata Kouki seperti ingin kencing. Jangan bilang dia sedang heat dan butuh servis langsung dari Seijuurou.

Beruntung ia cukup sabar untuk meladeni remaja gugup itu. Satu tangannya berpegangan pada ambang pintu, tanda bahwa ia siap mendengar dan tidak akan lari begitu saja. "Lalu?"

"Aku hanya ingin bilang—" tarik napas panjang-panjang. Bola matanya sudah bergulir ke mana saja, asal tidak terarah pada raut Seijuurou. Kelewat takut dan kepalang gugup itu tipis bedanya. "—semoga sukses untuk malam ini. Itu saja."

"Oh." Ekspresi Seijuurou melembut secara otomatis. "Trims."

Kelegaan jelas mengaliri wajah Kouki, sebab senyum kecil kemudian muncul di bibirnya yang gemetar. "Kalau begitu, s-selamat bersiap-siap." Satu langkah, dua langkah—dan tahu-tahu saja mereka sudah berjarak begitu jauh. "Aku yakin kau akan oke di atas sana, Akashi-san."

"Ya." Masih dengan senyum yang tersungging profesional, ia biarkan hanya separuh wajahnya terlihat dari daun pintu. Dalam hati sedikit menyesal karena tidak menggenggam apa-apa yang bisa dijadikan senjata pembela diri—siapa tahu sesuatu memang terjadi setelah ini. "Aku senang kau mau datang pagi-pagi begini hanya untuk memberiku kata-kata semanis itu."

Kouki hanya membungkuk sekali—entah menggumamkan apa di ujung sana—dan menghilang di belokan koridor secepat tikus got.

Bibir Seijuurou boleh saja terus-terusan tersenyum seperti lelaki berhati malaikat, tapi gir otaknya yang kelewat aktif tidak bisa berhenti memutarkan kemungkinan-kemungkinan buruk.

Bagaimana kalau Furihata Kouki adalah mata-mata yang dikirim oleh seorang pria alfa—entah siapa—yang gemas ingin mengecek penampilan dirinya pada pagi hari, melakukan penilaian dini terhadapnya? Bagaimana kalau yang terjadi justru sebaliknya: bahwa Furihata sengaja mengacaukan pikiran Seijuurou, menggagalkan fokusnya untuk menjadi yang terbaik, lalu sengaja menumbalkannya pada bahaya?

Oke. Barangkali praduga barusan terlalu berlebihan—tapi, hei, bukan berarti ia tidak boleh berhati-hati, kan?

Lagipula ia adalah Akashi Seijuurou. Semua orang memujanya, tapi mereka juga siap meletakkan kaki di sisi koridor untuk menjegalnya. Segalanya bisa terjadi di institusi seperti ini.

Senyumnya memudar selagi pintu mengayun tertutup. Sekarang saatnya memikirkan diri sendiri dan bukan orang lain—di mana pula perlengkapan pestanya malam nanti?

Sisa pagi itu dihabiskan dengan Seijuurou yang bolak-balik menyusuri kamar tidurnya dan menyebar semua 'perkakas perangnya' di lantai dan di atas meja rias.

Waktunya tinggal 10 jam lagi.

.

.

Dulu, Seijuurou selalu keberatan untuk menari pada Malam Gala. Terlalu konyol, ia berpendapat. Kenapa tidak ada opsi lain seperti main musik? Toh, Seijuurou adalah pemain piano yang sangat baik. Atau yang terbaik, sebab ia melihat begitu banyak omega yang sangat payah membaca lembar-lembar partitur seperti bayi yang kesulitan membaca dan menerjemahkannya ke dalam melodi lewat jari mereka. Harusnya mereka bisa memilih keahlian lain untuk membuktikan kompetensi mereka secara maksimal, kan?

Jawaban itu baru diperolehnya pada hari-hari terakhir menjelang kelulusan. Atau memang, pencerahan itu sengaja diberikan ketika ia sudah cukup matang untuk memproses hal-hal di luar logika—sesuatu yang sukar ia lakukan ketika masih berstatus remaja labil.

"Tarian adalah sebuah seni berkomunikasi lewat tubuh," kata pimpinan institusi. "Sudah dibuktikan selama beberapa dekade terakhir bahwa dengan begitu, para alfa bisa meneliti tubuh omega secara menyeluruh."

Bukannya memelototi para omega seperti itu justru kurang ajar? Tidakkah hal itu termasuk pelecehan tak langsung?

"Jelas tidak. Memalingkan wajah dari omega yang sedang menari, sebaliknya, adalah sebuah penghinaan. Artinya alfa itu tidak menghargai tubuhmu, juga seni yang terbentuk dari gerakan tubuh itu. Tidak ada yang salah kalau kau menjadi pelaku seni, Akashi Seijuurou."

Benar juga. Pelukis model telanjang juga tidak bisa disebut melecehkan artisnya, karena yang mereka lihat adalah kemurnian di balik balutan pakaian. Mereka mencari keindahan, bukan nafsu. Tidakkah begitu?

Sang pimpinan institusi mengangguk. "Aku senang kau sudah paham. Sekarang kembalilah ke kamarmu dan perbanyak latihan. Tarianmu akan menentukan pada siapa nasibmu akan jatuh, Seijuurou."

Ia mengangguk paham. Kepalanya menunduk sedikit selagi kakinya bergerak mundur dan mundur sampai akhirnya benar-benar meninggalkan ruangan itu. "Kalau begitu saya permisi."

"Kutunggu pertunjukan senimu di Malam Gala, Seijuurou." Suara di balik pintu masih saja memenuhi pendengarannya. "Tunjukkan kalau kau masih yang terbaik di institusi ini."

Seijuurou tersenyum tipis di balik pintu kayu yang tertutup.

Tentu saja.

Sebab jika dengan menari masa depannya dipertaruhkan, maka ia siap menjadi penari terbaik yang pernah ada. Karena itulah Akashi Seijuurou, kan? Jika tidak menjadi yang terbaik, maka ia akan menjelma manusia yang sudah mati.

Maka agar hidup, ia harus menjaga agar mahkota itu—mahkota kemenangannya—tidak sekalipun meleset ke kepala orang lain.

.

.

Dadanya tanpa disadari naik-turun lebih sering dari biasa. Bahkan ia tidak perlu menempelkan telapak tangannya di sana untuk mengetahui betapa kerasnya degup jantung Seijuurou saat ini. Ia cukup menunduk, memandangi dadanya, dan mendapati sesuatu di dalam sana sudah meledak-ledak.

Sudah saatnya.

Atau lebih tepatnya, sebentar lagilah saatnya.

Tiga puluh menit sebelum waktunya menebar pesona, Seijuurou sudah telanjur—atau sengaja?—mencuri start dengan berjaga di sisi pilar terdekat yang siap melindunginya dari kerumunan. Matanya, kendati demikian, tidak lepas dari pintu aula yang sudah menganga begitu lebar dan dengan angkuh memamerkan segala kemegahan yang ada di dalamnya.

Aula utama seolah disajikan hanya untuk Seijuurou—atau memang begitu kenyataannya. Lihat saja bagaimana warna kuning keemasannya seolah siap memeluk tubuh Seijuurou, mempertegas garis maskulin yang ia miliki. Membantu Seijuurou berteriak tanpa suara, bahwa dialah raja dari para omega. Bagaimana lantai yang berkilauan itu siap menangkap entakan sepatunya, memantulkan suara itu ke penjuru ruangan, dan orang akan bertanya-tanya, "Siapa gerangan pemilik sepatu itu?"

Jika dongeng Cinderella memang betulan ada di dunia nyata, maka Seijuurou tidak keberatan memerankan versi lelaki dari tokoh utamanya.

Memang siapa yang tidak akan memerhatikan Seijuurou? Ia telah membasuh muka untuk yang kelima kalinya petang itu, menyisiri rambutnya dan menatanya sedemikian rupa hingga ia mewujud omega dominan, dan berkali-kali ia berpesan pada pelayan yang melintasi kamarnya untuk menjaga pakaian dansanya mulus tanpa kerut (dengan ancaman akan membuat mereka impoten jika gagal menjalankan tugas). Semua harus sempurna pada Malam Gala-nya.

Maka tidak salah, kan, bagi Seijuurou untuk mengharapkan pasangan yang sempurna juga untuk Malam Gala-nya yang sempurna?

Ia tersenyum tipis, memastikan rambutnya tidak menjuntai nakal di sepanjang pelipis, kemudian kembali menegakkan tubuh. Barangkali sudah saatnya masuk ke dalam sana dan bersiap-siap.

"Tuan Akashi Seijuurou?"

Kepala berputar ke arah sumber suara. Oh, rupanya milik pria muda penjaga buku tamu. Pena bulunya melambai halus, bagai mengingatkan Seijuurou untuk melakukan hal serupa ketika ia menari nantinya. Seperti aktor profesional, ia sudah mengukir senyum dalam hitungan sepersekon. "Benar," jawabnya tenang. "Apa aku perlu menulis namaku di sini?"

"Tidak perlu." Tangannya membentang ke arah pintu masuk. "Silakan ikuti saya."

Memastikan diri bahwa jantung dan paru-parunya bekerja normal, Seijuurou mengangguk. Tegakkan tubuh, angkat dagu, dan kunci siapapun yang menatapnya dengan sorot 'aku siap menjadi milikmu, hanya jika kau pantas untuk mengklaimku'. Dibiarkannya tungkai-tungkai itu melangkah; tegas dengan liuk anggun; jelas teknik ini tidak bisa dikuasai dengan mudah. Imajinasikan saja Seijuurou melatih cara jalan itu seintens para model berlatih catwalk. Bedanya, ia jauh lebih mempesona daripada model-model kacangan itu.

Cara itu efektif. Lihat berapa banyak orang menghentikan aktivitas mereka hanya agar figur indah yang tersaji di mata mereka tidak terlewatkan sedetik pun. Pelayan yang memandunya di depan pun luput dari perhatian. Seijuurou menarik senyum kecil, tanda puas, dan terus melangkah.

Lihat, kan? Seijuurou menjelma raja di tengah-tengah lautan omega. Ia yang absolut, perfek, dan tak bercela, adalah figur idaman—serta sosok yang selalu diirikan—oleh koleganya.

Alunan musik menyapa telinga. Seijuurou merasakan otot-ototnya merileks, tanpa mengurangi tegasnya tetungkai itu terayun. Anggaplah ini musiknya. Musik yang sengaja dipasang untuk menyambutnya. Bayangkan bahwa ia tengah melakukan pemanasan sebelum ia benar-benar mencuri hati para alfa di atas panggung.

Seorang pelayan lewat, menawarkan segelas wine. Seijuurou mengambil satu, mengangguk sopan tanda terima kasih, dan menenggak likuid itu hati-hati. Para alfa diam-diam melirik, menangkap apel adamnya bergerak naik-turun secara sempurna—berani taruhan seseorang di tengah kerumunan sudah gatal ingin ke kamar mandi.

Terlindung oleh cecair wine-nya, Seijuurou tersenyum tipis. Ia angkat gelas itu tinggi-tinggi hingga pantat gelasnya mengacung ke udara.

Berani taruhan para pria haus seks itu juga mulai mengacung belalainya.

Pelayan lain lewat, memberi kesempatan bagi sang primadona malam itu untuk meletakkan gelasnya di atas nampan. Seijuurou membasuh sisa wine yang ada di bibir dengan lidahnya; sebuah cara yang efektif untuk membuat para alfa berpaling pergi, bukan karena jijik, tentu saja, tapi karena terangsang dan takut tidak bisa mengendalikan nafsunya tanpa benar-benar melihat sosok sang omega yang begitu lezat.

"Silakan masuk ke dalam sini." Pelayan itu menggestur satu tangannya ke arah ruang ganti; tempat pakaian dansanya menanti.

Hanya ada waktu 10 menit, atau kurang, bagi Seijuurou untuk mengekspos diri di tengah-tengah para alfa.

Seijuurou memejamkan mata, membiarkan ambisinya melahap pikirannya, kemudian mengangguk pada para pelayan yang bersiap menjadi ahli riasnya.

.

.

Seijuurou melangkah keluar dari ruang ganti sebagai sosok yang sama—tapi juga berbeda di waktu yang bersamaan.

Jubah pestanya melambai-lambai di belakang punggungnya, seperti raja yang memanggil angin untuk menjadi sekutunya. Kemilau emas menyelimuti tubuh Seijuurou, dan ia tidak bisa melewatkan kesiap kagum—atau bergairah—para alfa yang berdiri di kanan-kirinya. Seijuurou melewati lautan manusia itu dengan dada membusung, dagu terangkat, dan senyum bangga yang selalu muncul tanpa perlu dilatih.

Kakinya serasa melayang ketika ia bergerak ke panggung. Otaknya berusaha mengingat gerakan apa yang harus ia tunjukkan pada detik pertama tariannya—apakah membungkuk seperti seorang penampil musik klasik; atau mengimprovisasi gerakan sehingga terlihat seduktif?

Yah, apapun itu, setidaknya ia sudah berhasil mencuri perhatian alfa-alfa itu sebelum mulai. Langkah awal yang hebat, Seijuurou.

Musik waltz mengalun beberapa saat setelahnya. Lampu sorot bergerak ke arah Seijuurou yang berdiri di tengah panggung.

Kemudian Seijuurou melupakan semuanya: institusi, rasa gugup yang bercampur dengan keharusannya menjadi yang terbaik, juga dirinya—yang adalah seorang omega. Ia melupakan para alfa yang akan menjadi pemiliknya, para omega lain yang barangkali mendoakan keberhasilan—atau malah kegagalannya, dan ... semua. Otaknya tidak lagi memikirkan hal-hal itu.

Ia hanya ingin menari. Ia adalah penari. Sebab Seijuurou adalah penari, ia harus menari dan tidak boleh tidak.

Maka dengan tubuhnya, ia akan menyihir penonton dan memaksa mereka melihat dirinya. Hanya kepada dirinya, dan bukan pada yang lain.

Putaran pertama, dan ia bisa mendengar kesiap penonton menyisip di tengah-tengah alunan biola. Tapi Seijuurou sengaja menulikan diri. Biarkan gendang telinganya bersih dari apapun kecuali musik latar. Ia berputar, mengibaskan jubahnya seperti fabrik itu adalah bagian tak terpisahkan dari dirinya, dan lurus menatap titik entah apa. Gumam para alfa yang berkumandang di dalam ruangan tidak lagi terdengar. Seijuurou terus bergerak, bergerak, dan bergerak—membentangkan otot-otot tubuhnya dengan cara yang bisa membuat milik para alfa berdiri. Ia merasakan keringatnya terlempar ke mana-mana seperti air hujan, juga bahwa beberapa kali tangannya menyambar sesuatu.

Tidak masalah. Seorang penari harus tetap setia pada dunianya saat itu. Apapun yang terjadi di realita, ia tidak boleh berhenti.

Sebab jika seorang omega adalah penari yang tangguh, maka ia membutuhkan pasangan yang sama tangguhnya; demi terciptanya keseimbangan yang sempurna.

Di depan matanya, sosok alfa itu lenyap; digantikan oleh kerlip lampu ruangan yang menyelubungi tubuh Seijuurou sebagai emfasis atas keindahannya yang mutlak dan tak terbantahkan.

.

.

Dunia Seijuurou seperti berputar seratus delapan puluh derajat sekarang. Ia, yang tadinya menjadi makhluk terindah di ruangan, kini berperan tak lebih dari sekadar objek untuk dilelang. Matanya terasa berat, efek obat yang diinjeksikan ke dalam tubuhnya, tapi ia berusaha keras untuk tetap sadar. Otaknya terlalu penasaran untuk tidak mengabadikan adegan itu.

Prosedur pelelangan adalah masa-masa di mana tubuhmu akan dinonaktifkan secara biologis. Cecair asing akan memasuki pembuluh darahmu, membuat otot-ototmu terkulai lemas sehingga harus dipapah menyeberangi ruangan—dengan catatan, dalam keadaan telanjang. Seperti boneka plastik, atau robot; manapun yang terdengar lebih manusiawi, kau akan dipajang begitu saja di dalam tabung, dengan tali (atau rantai?) yang menjaga tubuhmu tetap tegak; sebab otot-otot tubuhmu kala itu akan dilemaskan begitu saja, dan membiarkan orang-orang mengamatimu yang tidak berdaya selagi menetapkan pilihan. Seijuurou hanya bisa mengawasi dalam kebisuan, tanpa mampu menginterupsi. Kecuali seseorang telah memilihnya, Seijuurou tidak diizinkan bersuara. Atau ia memang tidak bisa berbicara, karena kabarnya omega akan kehilangan kemampuannya berbicara selama satu jam kala ia berada di dalam tabung pelelangan.

Di sini, tidak ada lagi liukan menggoda pemanggil alfa. Tidak ada pula sorot menantang. Seijuurou, murni bermodalkan tubuh sebagai aset penilaian, menjadi pajangan sekaligus target lelang. Bagi kaum alfa, omega yang tak berdaya adalah santapan terbaik. Beberapa pasti mengimajinasikan tubuh Seijuurou di sisi mereka, berbaring dengan raut wajah serupa.

Di sini, ia tidak dapat mendengar suara. Hanya gumaman yang menggaung kabur di balik kaca tabung. Seijuurou berusaha mengangkat wajah, menangkap pria-pria yang memperebutkan tubuhnya, namun tidak ada satu orang pun yang menarik perhatiannya. Dari pria tua sampai remaja sok kaya yang baru saja memperoleh statusnya sebagai alfa seminggu lalu, semuanya melambaikan tangan ke arahnya dengan raut beringas. Meneriakkan entah apa—barangkali berlomba menyebut nominal uang tertinggi untuk memperolehnya sebagai pendamping hidup.

Kemudian, tangan-tangan itu berhenti terangkat—kecuali milik satu orang.

Seijuurou mengandalkan matanya—sekalipun rasanya berat sekali—untuk mencari wajah pemilik tangan yang terangkat itu dan menemukan pria dewasa (tidak cukup tua untuk disebut paruh baya, tapi juga terlalu matang dari usia remaja) dengan raut serius tengah mengacungkan tangannya. Ratusan kepala menoleh ke arahnya, jelas terlihat kaget. Barangkali nominal yang ia sebut terlalu tidak masuk akal untuk dibayarkan pada seorang omega—atau barangkali tidak ada yang menyangka kalau pria itu ada di sana sejak awal; sebab tingginya berada di bawah standar tinggi laki-laki dewasa pada umumnya.

Sayang, Seijuurou terlalu lelah untuk menangkap detail lelaki itu—sebab rasa kantuk sudah menyapanya terlebih dahulu.

.

.

"Benar Anda sudah baik-baik saja?"

Ia tersenyum dan mengangguk untuk meyakinkan para pelayan di sisinya. "Ya. Jauh lebih baik dari sebelumnya, tentu saja."

Butuh waktu lebih dari setengah jam bagi Seijuurou untuk benar-benar memulihkan tenaganya dan berjalan dengan kedua kakinya sendiri tanpa dibantu. Seorang penata rias bantu mengeringkan rambutnya dan tengkuknya yang berkeringat, sementara yang lain sibuk membetulkan riasan di wajah sang omega terkuat.

"Tapi wajahmu benar-benar mempesona," komentar si penata rias. "Bahkan di dalam sana aku merasa benar-benar terintimidasi. Kau ini memang spesial, ya, Seijuurou."

Seijuurou tersenyum lagi. Semoga saja alfa yang memilihnya tadi juga berpikiran begitu.

"Alfa-mu sudah menunggu di luar," kata kepala institusi. Senyumnya hangat dan ramah, seolah-olah mengucapkan apresiasi pada Seijuurou secara non-verbal. "Keluarlah dan sapa dia dengan baik."

Rasanya seperti ada sesuatu yang membentengi sirkulasi napasnya. Seijuurou memasang wajah penuh percaya dirinya lagi. "Aku akan segera ke sana."

Dan ia berjalan, dengan dagunya yang terangkat dan wajahnya yang berkilauan penuh kebanggaan, mengangkat semua kejayaan yang pernah ia sandang selama hidupnya, membawa semua predikat terbaik yang meninggikan harga jualnya, menebar pesona kepada mereka yang menggigit bibir kecewa, sebab mereka tidak cukup layak untuk memiliki Seijuurou.

Dan mereka akhirnya bertemu.

Sang omega bertemu dengan alfa-nya. Pembeli tubuhnya. Pemiliknya untuk sekarang dan masa yang akan datang. Sang penyumbang sperma bagi anak-anaknya kelak—ugh, jangan biarkan otak Seijuurou berkelana lebih jauh lagi dari ini.

Lelaki itu jauh lebih memesona ketimbang ketika Seijuurou melihatnya dari balik dinding kaca. Rautnya tegas, dengan fitur wajah aristokrat (dan betapa kerut-kerut di sudut mata itu menambah pesonanya), dan tatapannya—kalem tapi menusuk—seolah-olah siap memakan Seijuurou kapan saja dengan iris hitam itu. Bahkan rambut yang seharusnya terlihat menggelikan itu terlihat begitu sempurna membingkai wajah sang alfa.

Otak Seijuurou, kala itu, membentuk hipotesa. Barangkali ia masih berada di bawah pengaruh obat. Atau proses pelelangan selalu menciptakan sensasi ini; sensasi yang membuat alfa, seperti apapun rupanya, akan berhasil membuat omega pilihannya bertekuk lutut.

"Levi." Ia memperkenalkan diri. Suaranya berat dan memaksa Seijuurou untuk fokus hanya kepadanya. "Levi Ackerman."

Seperti magnet berlawanan kutub, nama itu melekat begitu mudah di dalam ingatan Seijuurou. Apalagi dengan caranya melafalkan tiap silabel—

Ugh, mudah-mudahan saja dia tidak kelewat impulsif membengkakkan miliknya di bawah sana.

Seijuurou balas menatap, sengaja menyembunyikan tangan di balik punggung supaya tidak ketahuan gugup. Bibirnya kalem membentuk senyum sopan.

Seijuurou memang terbiasa memaksa orang lain menatapnya dari bawah—sebab tak pernah ia menerima perlakuan sebaliknya—tetapi Levi Ackerman berbeda. Ia lebih pendek, tetapi caranya menatap Akashi jauh lebih mengintimidasi ketimbang mereka yang posturnya serupa tiang listrik.

Detik itu juga, posisi Seijuurou sebagai 'yang termutlak' seolah bergeser.

"Akashi Seijuurou." Kedua tangan saling menjabat. Jika lelaki itu berani memelototinya seperti itu, maka Akashi pun tak akan segan mengikat kontak mata. "Dan kau akan jadi... alfaku, kurasa?"

Wajah pria itu tidak berubah, sampai-sampai anggukan samar itu nyaris tidak tertangkap oleh mata telanjang. "Aku akan jadi orang yang melepas keperawananmu, tepat."

Jeda.

Perlu dicatat bahwa sekalipun penampilan luarnya berwibawa, ia punya tendensi bicara vulgar. Seijuurou memilih untuk berhati-hati menyusun percakapan dengan orang itu.

"Aku tidak menyangka akan dipilih oleh orang seperti Anda," katanya tenang. Niatnya hanya sekedar melontarkan kalimat acak untuk berbasa-basi; sebab Akashi akan mengatakan hal serupa seandainya orang lainlah yang menjadi alfa-nya.

"Aku juga tidak," jawaban Levi sungguh tidak disangka-sangka. "Kukira aku akan pulang tanpa menyeret bokong omega lagi seperti biasa."

"Ah." Sang omega mengerjap. "Jadi Anda sudah mengunjungi Malam Gala ini berkali-kali?"

"Lebih sering dari yang kaukira, Nak." Sekilas matanya memindai sekitar. "Aku datang dan pergi serutin pekerja kantoran menghadiri pesta Natal."

Alis Seijuurou meninggi.

"Tentu saja," tambah Levi cepat, seolah ia bisa membaca isi pikiran sang lawan bicara. "Aku tidak pernah mengekspektasikan apa-apa ketika mengikuti acara-acara seperti ini. Datang tidak mengharapkan apa-apa, dan pulang juga tidak membawa apa-apa kecuali perut kenyang."

"Hanya formalitas?"

"Hanya formalitas."

Menarik.

Artinya, benak Seijuurou berusaha membentuk konklusi, Levi Ackerman tidak pernah benar-benar tertarik pada omega lain. Seperti mainan di toko, ia hanya melirik—atau bahkan tidak mau buang-buang waktu memandangi mereka—dan pergi begitu saja.

Lantas, hari ini juga ia menjatuhkan pilihannya pada Seijuurou. Ia, yang datang ke Malam Gala begitu rutin, mengklaim Seijuurou sebagai miliknya.

Dan jelas, pilihannya tidak dijatuhkan secara impulsif. Untuk satu hal itu Seijuurou berani bersumpah.

Jantungnya mulai berlompatan ketika berbagai asumsi muncul.

Seijuurou menarik napas panjang, menjaga dagunya tetap terangkat. Lengah sedikit saja bisa mengembalikannya ke kamar institusi. Senyum tipis muncul setelahnya. "Aku senang Anda memilih orang yang tepat." Kalimat itu meluncur begitu lancar, sebagaimana ia sering melatihkan dialog serupa di dalam kamarnya. "Kalau begitu, mohon bimbingannya, Levi Ackerman, sir."

"Panggil saja aku Levi," tukas pria itu, "Dan jangan pernah menatapku dengan dagu terangkat, Nak. Kecuali kau minta disodok dari bawah."

Senyum Seijuurou lenyap seketika.

Tampaknya malam ini ia tidak bisa tidur dengan nyenyak, eh?