Bleach © Tite Kubo

.

Semi-canon, OOC, Typo, and more…

.

.

.

L.O.S.T

M for Mature content and Lemon, I've warned you.

Don't like? Click back!

.

.

.

"A-aah!"

Shit. Aku merutuki keadaanku saat ini. Berada dalam kegelapan membuatku buta akan apapun.

"A-ah, A—"

Brengsek! Aku benar-benar tidak bisa berkonsentrasi dengan suara-suara itu yang masuk ke telingaku. Aku menahan napas sekali dua kali, berharap dapat fokus sejenak untuk melewati kegelapan ini.

"O-oh, A—ah!"

Ru-kia? Sialan, i—ini suara Rukia, kuyakin ini benar-benar suaranya.

Entah insting atau apa aku berlari tak tentu arah, tanpa dapat melihat apapun. Hanya terpaku pada suara-suara yang sialan itu adalah desahan Rukia.

Adrenalinku terpacu, entah kemarahan atau apa. Aku merasa gila sekarang, membayangkan apa yang terjadi pada Rukia saat ini.

Masih dengan desahan-desahan Rukia yang terdengar olehku, kupercepat langkahku untuk menemukan dimana sosoknya berada, dan dengan siapa ia—brengsek! Akan kubunuh siapaun yang menyentuhnya.

Pada akhirnya pandanganku menangkap setitik cahaya di tengah kegelapan tak berujung ini. Aku semakin tak terkendali untuk mengetahui apa yang ada di sana. Di mana pandanganku menangkap sosok tubuh mungil yang tengah terhimpit di antara ranjang dan tubuh tegap tak berbusana di atasnya.

Aku nyaris kehilangan napasku ketika suara-suara Rukia kembali menganggu pendengaranku, cahaya lilin tak mampu sepenuhnya membuatku melihat dalam kegelapan. Hanya siluet-siluet dua tubuh yang tengah bersatu dalam kenikmatan.

Brengsek! Aku terus melangkahkan kakiku untuk membunuh siapun yang berani menyentuh Rukia.

"A—ah, I-Ichigo...oh!"

Sontak langkahku terhenti, ketika Rukia memanggil namaku, dan kuyakin saat ini jarak diriku dengan Rukia hanya terpaut kurang dari lima meter.

"I—Ichi..."

Dari arah samping dapat kulihat cahaya lilijn yang semula hanya satu, kini bertambah, membantu pengihatanku untuk mengakap dua sosok di atas ranjang yang tengah bersenggama. Tangan Rukia terikat di atas kepalanya, membuatnya tidak dapat bergerak banyak dan menjangkau tubuh lelaki berambut jingga di atasnya.

"A-ah, Ruki—ah"

i-itu aku?

Aku membatin dan hanya dapat berdiri kaku, sedikitpun tidak dapat bergerak ketika melihat diriku sendiri tengah bercinta dengan Rukia dengan penuh gairah, tanpa sehelai benangpun, sangat brutal. Tanpa menyadari keberadaanku di antara mereka.

"I-Ichigo..."

Aku hanya diam, walau kuyakin bagian dari tubuhku kurasakan tengah berontak. Entah apa yang kupikirkan, Saat ini pikiranku bercabang, antara perasaan marah, bergairah dan yang jelas aku terangsang karena kegiatan yang tengah berlangsung di hadapanku.

Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, tubuh—diriku—tengah bersenang-senang di atas ranjang. Bahkan kupikir tusukan yang kuberikan cukup keras, membuat Rukia tidak ada henti-hentinya menaggil namaku dan ranjang tempatku dan Rukia bercinta berderit keras menciptakan suara lain yang mengisi kegelapan ini.

Aku masih diam membatu, menyaksikan kedua tubuh tak berbusana ini beradu sampai berhenti total. Hingga kepala jingga itu menoleh, tatapan mata itu tertuju padaku. Iris coklat madu di dalam kegelapan, menatapku tajam dengan seulas senyum penuh kemenangan terarah padaku.

.

.

LOST

.

.

Aku terbangun dengan tubuh yang kakudan keringat yang mengalir dari keningku. Kurenggangkan tubuhku perlahan, berharap dapat sedikit membantu.

Aku merasakan ada yang mengganjal, shit, benar saja! Kuliahat ada yang tidak beres dengan celanaku.

Brengsek! Mimpi sialan! Bagaimana mungkin aku dapat bermimpi demikian.

Kulihat jam menunjukkan pukul tujuh pagi, aku segera bergegas menuju kamar mandi untuk menetralisir apa yang tengah kualami dalam mimpi.

"Rukia, kau membuatku gila!"

.

.

Hari ini cukup melelahkan, entahlah, menjalani kehidupanku saat ini benar-benar membuat diriku seperti bukan diriku yang sebenarnya. Semua berjalan sama, setiap hari yang terlewat begitu membosankan.

Aku masih berada dalam ruang kelas walau matakuliah telah berakhir satu jam lalu. Pandanganku tertuju ke luar jendela, langit terlihat sedikit gelap, mungkin akan turun hujan beberapa saat lagi.

Pikiranku berkelana ke mimpi semalam. Sialan, aku benar-benar tidak dapat berkonsentrasi pada jam matakuliah karena mimpi itu. Ini di luar kendaliku, aku terus memikirkan kejadian yang terasa nyata bagiku. Mimpi itu membuatku berpikir keras, itu bukan diriku—bukan aku!

Tapi ini terasa berat, ketika kulihat bahwa aku ada di sana. Bercinta dengan Rukia penuh gairah. Tubuh itu, rambut itu, mata itu dan Rukia dengan jelas menyebutkan namaku dalam desahannya.

Brengsek!

Ada sesuatu yang kuyakin bahwa itu bukanlah diriku, senyuman penuh kemenangan yang terarah padaku. Seolah mengatakan bahwa aku bukanlah apa-apa.

Lalu siapa itu? Siapa yang mengambil alih tubuhku?

Aku mengacak rambutku frustasi, mimpi itu membuat hariku kacau, membuat diriku semakin kacau. Kuputuskan untuk bergegas, kupikir singgah di kedai kopi akan membuatku sedikit terasa nyaman dan melupakannya sejenak.

.

.

Sepanjang jalan aku merasakan kejanggalan, mungkin karena pikiranku yang entah kemana. Dari tempatku berpijak, aku merasakan kehadiran seseorang. Entahlah, aku menoleh ke belakang dan tidak menemukan siapa=siapa, hanya orang-orang yang tengah berlalu lalang dan itupun berada di seberang jalan.

Aku berusaha untuk mengabaikannya, tetapi ini benar-benar mengganggu. Tekanan udara ini terasa berbeda, kurasakan seperti kehadiran hollow di dekatku, benarkah?

Aku berusaha untuk acuh, mengetahui fakta bahwa kekuatanku yang hilang sepenuhnya membuatku mati rasa terhadap hal-hal seperti ini. Tetapi kenapa sekarang aku dapat merasakannya?

Aku berusaha untuk tetap berpikir jernih, mengabaikan instingku untuk berjalan memutar haluan.

Detik berlalu sangat lambat bagiku, atau mungkin karena aku yang tidak dapat melangkahkan kakiku lebih jauh lagi. Aku berhenti, menunggu apa yang akan terjadi nanti. Instingku mengatakan bahwa—

"Ya Tuhan!"

Aku sontak menoleh ketika kudengar seorang wanita berteriak terkejut. Tidak butuh waktu lama aku menyadari orang-orang berlari, berkumpul ke tempat di mana kudengar suara teriakan wanita tadi.

Tanpa pikir panjang kuputar haluanku, kulangkahkan kakiku cepat ke belakang, ke tempat yang kulewati tadi untuk memastikan apa yang terjadi.

Puluhan orang berkumpul mengerubungi sesuatu, aku tidak dapat melihat apapun. Hanya suara-suara bisikan yang memberitahu adanya korban. Aku tidak yakin, karena aku tidak dapat memastikannya secara langsung. Orang-orang ini menghalangi pandanganku, dan kuputuskan diriku untuk mundur beberapa langkah.

Hollow?

Aku kembali pada insting liarku yang mengatakan adanya keberadaan Hollow. Apa korban itu karena diserang oleh Hollow?

Aku berpikir dengan spekulasi-spekulasi sinting yang mengganjal pikiranku. Bagaimana mungkin? Aku hanya dapat membatin dan pergi berlalu begitu saja. Rasanya ada tempat yang lebih tepat untukku menenangkan diri.

.

.

"Silakan diminum tehnya, Kurosaki-san,"

Aku hanya mengagguk, "terimakasih, Ururu."

Pandanganku kembali menatap pria paruh baya dengan topi garis-garis di hadapanku. Masih sama seperti beberapa tahun lalu.

"Senang melihatmu mengunjungiku, Ichigo-kun," ucapnya.

Kulihat ia memainkan kipas, "ada apa mengunjungiku malam-malam seperti ini?" lanjutnya basa-basi.

"Langsung saja ke poinnya, Urahara," aku mulai berbicara, tanpa menjawab pertanyaan basa-basinya yang menggelikan, "aku ingin menanyakan sesuatu padamu," lanjutku.

Kulihat ia berhenti mengipasi dirinya, ia mendongak sehingga dapat kulihat matanya yang sedari tadi tertutupi oleh topi anehnya.

"Apa yang sebenarnya sedang terjadi di real world?"

Kulihat ia menarik senyuman tipis, sedikit misterius bagiku. Tapi ia belum memulai untuk menjawab pertanyaanku.

Aku masih sabar menunggu, walaupun sebenarnya aku ingin mematahkan punggungnya karena membuat pertemuan ini terasa sangat menyebalkan.

"Apakah ada hubungannya dengan Hollow?" tanyaku lagi.

Sebenarnya banyak pertanyaan yang ingin aku lontarkan, hanya saja melihat sikap pria ini kuurungkan keinginanku untuk bertanya lagi.

"Sudah waktunya," ucap Urahara pada akhirnya.

Kudengar ia berkata dengan nada yang tidak bisa kujelaskan. Tatapannya ke arahku, matanya menatapku tajam dengan senyuman misterius yang masih belum hilang dari sudut bibirnya.

"Jika sudah tiba saatnya, kau bisa mendapatkan kekuatanmu kembali," lanjutnya.

Aku sontak menahan napas, pandanganku tidak lepas dari sosoknya yang berkata demikian.

A-apa? Bagaimana aku bisa mendapatkan—

"Kau hanya perlu menunggu sebentar lagi, saat waktunya tiba, kau akan melawan dirimu sendiri," ia kembali memainkan kipasnya, "Hollow yang ada ditubuhmu telah bangkit, dan itu yang membuatmu peka terhadap tekanan reiatsu di sekitarmu."

Napasku tercekat, aku belum sepenuhnya bisa menyerap apa yang ia barusan katakan.

Diriku? Hollow di dalam tubuhku?

"Tapi—" ia menggantungkan kata-katanya.

"Tapi apa?" aku menuntut jawaban.

"Kau berada dalam bahaya," lanjutnya, menutup penjelasan dengan suara yang nyaris tak terdengar olehku.

Aku kembali dengan pemikiranku, berusaha untuk menyusun dan merangkai setiap informasi yang kudapat dari Urahara sebagai jawaban spekulasi-spekulasi yang menghantui hariku.

Aku terjebak dalam pikiran yang tak berujung, hingga kudengar Urahara berkata padaku; "kau ingin menginap malam ini, Ichigo-kun?" dengan nada yang seratus delapan puluh derajat berbeda dari menit sebelumnya ketika ia berbicara padaku.

Aku sontak menggeleng lemah, lamunanku terhenti begitu saja, "kurasa aku akan pulang sekarang," ucapku seraya bergegas bangkit meninggalkan tatami tempat kami menghabiskan waktu dalam obrolan yang membingungkan.

.

.

Aku berjalan melewati jalan-jalan sepi kota Karakura, aku harus berjalan sejauh satu kilometer untuk mencapai apartemenku dari pemberhentian bus terakhir. Arlojiku menujukkan pukul sebelas lewat duapuluh lima menit, hampir tengah malam.

Pikiranku berkabut, masih mencerna setiap kata yang terucap dari mulut mantan Shinigami tadi.

Langkahku terhenti ketika dapat kurasakan kejanggalan di persimpangan jalan.

Hollow. Kuyakin ada hollow di sekitar sini.

Kupusatkan konsentarsiku, tapi tidak dapat kurasakan apa-apa lagi. Menghilang begitu saja di tengah gelapnya malam.

Aku kembali melangkah, seketika pikiranku melayang pada Hollow yang mungkin saja berada di belakangku tadi.

Hollow?

Kini entah kenapa yang terlintas dalam pikiranku adalah kejadian dalam mimpiku kemarin malam.

Apakah itu Hollow dalam diriku?

Aku membatin, kembali teringat siluet-siluet yang cukup jelas ketika diriku—tubuhku dan tubuh Rukia berada dalam jangkauan yang sama. Berbagi kenikmatan dan kehangatan di tengah kegelapan.

Sialan!

Perasaan ini, pikiran ini membuatku gila. Entah apa yang ada dalam kepalaku yang jelas aku, aku menginginkan—

Aku berjalan cepat, setengah berlari. Bukan karena hujan yang kini mulai turun membasahi jalan raya.

Hujan semakin bertambah deras, semenit setelah aku telah tiba di depan pintu apartemen. Kumasuki ruangan dengan tergesa, berharap dapat menemukan sesuatu yang—

Apa-apaan ini, kudapati apartemenku kosong dan mati listrik. Gelap, aku tidak dapat melihat apapun. Kugunakan cahaya dari ponsel untuk membantuku melihat, kucari saklar lampu dan berusaha untuk menyalakannya. Tetapi tidak berfungsi, ruangan ini mati listrik.

Di mana perempuan itu? Di mana Rukia? Dan kenapa listrik di apartemenku tidak berfungsi? Apakah semua ruangan demikian? Atau hanya ruanganku?

Masih dalam kegelisahanku dan perasaanku yang kacau, aku nyaris merusak perabot di ruangan ini.

"Ichigo? Itu kau?"

Rukia...

Dapat kudengar suaranya, aku kembali menuju pintu depan dan mendapati dirinya tengah berusaha menyalakan lilin. Cahaya dari ponselku mengarah pada sosok tubuhnya yang tengah berdiri berhadapan denganku, kulihat bajunya yang basah dan ia tengah memengang cahaya lilin di tangannya.

"Rukia?!" panggilku, kulangkahkan kakiku menuju tempatnya berdiri, "darimana saja, kau?" tanyaku dengan suara yang agak meninggi.

"Ada apa dengamu? Aku mencari dirimu kemana-mana!" jawabnya juga dengan nada yang tinggi mengimbangiku, namun ada perasaan lain yang dapat kulihat dari gerak tubuhnya.

Pintu apartemen telah kukunci, beharap suara kami tidak mengganggu penghuni yang lainnya.

"Ichigo, aku harus mengatakan sesuatu padamu," pada akhirnya ia berucap pelan.

Kulihat ia sedikit menunduk, menghalau pandangannya agar tidak bertemu denganku. Tapi tentu saja walaupun dalam pencahayaan yang minim, aku masih dapat melihat ekspresi mukanya yang tidak bisa kuartikan.

"Aku—aku tidak bisa merasakan dirimu, Ichigo," Rukia semakin menundukkan kepalanya, kini suaranya lebih terdengar seperti bisikan.

Perasaanku masih kacau, pikiranku melayang jauh entah kemana. Kulihat Rukia perlahan berlalu meninggalkanku, berjalan menuju kamar tanpa peduli dengan diriku yang tengah berdiri kaku.

"Rukia?!" aku memanggilnya, "apa maksudmu?" tanyaku.

Aku bergegas untuk mengikutinya, kulihat Rukia tengah berada di kamarku, meletakkan piring kecil berisi lilin di meja samping ranjangku.

"Aku tidak bisa merasakan reiatsumu, Ichigo..."

Ia menatapku dengan pandangan yang sedikit sayu, sialnya justru aku menjadi bergairah. Aku tidak memperdulikan perkataannya barusan, karena yang terjadi saat ini adalah napasku tersenggal, bukan karena lelah menunggu dan mengejarnya. Tetapi karena keinginanku—

"Katakan padaku, katakan semuanya!" aku mencengkeram bahunya kuat, kulihat ia meringis, "apa yang sebenarnya terjadi di real world?" kutatap matanya lekat-lekat, napasku memburu.

"I-Ichi,"

"Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang sebenarnya terjadi padaku?" aku mendudukkan Rukia di ranjang, "kenapa aku menjadi sangat menginginkanmu?"

"A-aa..."

Belum sempat Rukia menjawab apa yang kupertanyakan, kucium bibirnya dengan penuh gairah.

"I-Ichigo—"

Aku tidak membiarkannya untuk berkata apapun, aku benar-benar menginginkan dirinya. Mimpi, mimpi itu membuatku menjadi gila. Tidak ada yang boleh menyentuh Rukia, tidak ada yang boleh bercinta dengannya selain diriku. Tidak hollow brengsek yang berada dalam tubuhku.

Dengan tergesa kubuka semua pakaiannya yang basah, membuatnya telanjang sempurna di hadapanku.

"Ichi-go, hentikan!"

Tangannya berusaha mendorong bahuku ketika aku beringas menikmati setiap lekuk lehernya.

"Ichi—go!"

Aku mengabaikan panggilannya, kuikat tangannya dengan pakaian yang telah kulepaskan dari tubuhnya.

"Berhenti—Ichi... akh!"

Kuletakkan kedua tangannya yang terikat di atas kepalanya. Kugigit lehernya dengan penuh gairah, Rukia berteriak memanggil namaku. Meminta diriku untuk berhenti.

Aku tidak akan berhenti, dan kenapa ia menolakku? Sedangkan masih dapat kuingat jelas ia menikmati setiap detik saat bercinta dengan sosok diriku yang lain di dalam mimpiku.

Akan kubuat perhitungan, tidak ada yang boleh bercinta dengannya selain diriku. Tidak Hollow brengsek yang menggunakan tubuhku begitu saja.

Kulepaskan pakaianku secepat yang kubisa. Kembali kutindih tubuh mungilnya, Rukia masih melakukan perlawanan. Kakinya menendang tak tentu arah, ia memanggil-manggil namaku untuk menghentikan kegilaan ini.

"I-chigo, berhenti,"

Tapi tetap saja tidak akan kupedulikan.

Tanganku berpindah untuk menahan kedua pahanya agar terbuka lebar. Cahaya lilin tidak sepenuhnya membantuku dalam kegelapan seperti ini.

Kuarahkan kejantananku tepat di depan miliknya, berharap penetrasi ini akan berjalan sempurna. Membuat milikku melesak hingga ke dalam dirinya.

"A-aah!"

Kutusuk ia dengan penuh gairah, ini benar-benar nikmat. Melihat wajah Rukia yang merona di tengah kegelapan membuatku semakin bersemangat menidurinya, walau hanya dengan cahaya lilin yang menemani kegiatan kami malam ini.

"A-ah, A—"

Rukia mendesah liar karena permainanku yang begitu brutal. Aku benar-benar hilang kontrol, saat ini yang kupikirkan bagaimana bercinta dengan Rukia dengan penuh kenikmatan. Kutusuk ia dengan segenap gairah yang kumiliki hingga tubuhnya tersentak-sentak mengimabangi tusukanku.

"O-oh, A—ah!"

Kakinya kulingkarkan ke pinggulku, membuat dirinya lebih nyaman dan aku tidak perlu memeganginya. Ranjang tempat kami melakukan kegiatan ini berderit, menciptakan suara lain yang mengisi kesunyian.

"A—ah, I-Ichigo...oh!"

Bagus Rukia, terus panggil namaku... Panggil namaku, jangan biarkan orang lain mengisi pikiranmu saat ini.

"I—Ichi..."

Aku semakin dekat, Rukia menjepitku dengan nikmatnya. Aku nyaris kehilangan kesaran sebelum kuputuskan untuk menyandarkan kepalaku di persimpangan lehernya. Kuhirup aroma tubunya yang manis dan bercampur bau hujan, kusentuhkan pipiku dengan pipnya yang hangat.

"A-ah, Ruki—ah"

Aku berhenti total setelah melewati nirwana, aku tersenyum puas dalam kenikmatan yang tak dapat kugambarkan. Kesenangan karena bisa memenangkan wanita ini.

"I-Ichigo..."

Aku terjatuh tak sadarkan diri, terakhir yang dapat kurasakan ketika ada setitik air menyentuh pipiku, mengalir perlahan. Dan suara Rukia yang memanggil namaku dalam keputus asaan.

.

.

.

.

Aku terbagun di atas genagan air, pandanganku masih gelap. Tapi dapat kurasakan titik-titik hujan menyentuh tubuhku.

Ketika kesadaranku kembali seutuhnya, aku merasakan suasana yang sangat berbeda dari terakhir kali yang kuingat.

"Di mana?" aku bertanya, entah pada siapa.

Kini kegelapan yang menyelubungiku hilang, tergantikan oleh cahaya langit yang nyaris membutakan mataku. Dapat kulihat hamparan laut yang membentang luas. Aku mulai bangkit, berpijak pada permukaan air yang tenang.

Rintik hujan masih menemaniku, ketika aku sadari bahwa kini diriku tengah mengenakan shihakusou, namun tanpa pedang besar yang dulu pernah kusematkan di punggungku.

"A—apa ini?"

Belum sepenuhnya aku sadar akan keberadaanku sekarang, sosok lain terlebih dahulu menyela kebingunganku.

"Sudah bagun, Kurosaki Ichigo?" ucapnya.

'Suara ini?'

Benar saja, kulihat sosok lain berjalan menghampiriku. Bahkan dari jarak yang terlampau jauh, dapat kukenali sosoknya yang mengenakan kosode putih dengan rambut yang putih pula, menatapku dengan pandangan meremehkan.

"Kau?!"

Hichigo.

"Aku telah memenangkan tubuhmu, sekarang serahkan jiwa dan ragamu untuk kuambil alih, Kurosaki!"

Kulihat ia mengacungkan zanpakutou besar—yang kuyakin itu adalah milikku sebelumnya, teracung ke arah diriku yang terpaut beberapa meter darinya. Senyuman licik menghiasi wajah yang sangat mirip denganku, membuatku muak dan ingin menghabisinya dalam satu kali serangan.

"Kau tidak akan bisa melawanku, terima kekalahanmu Kurosaki, kekuatanmu yang sekarang tidak akan cukup menghentikanku!" ia tertawa penuh kemenangan.

"Aku akan melawanmu," ucapku penuh dengan keyakinan.

Sontak saja tawanya berhenti, berganti dengan seringai menjijikkan yang tertuju untukku.

"Kau ingin melawanku dengan apa, ha?" ia kembali tertawa.

Ya, dia benar. Tidak ada alasan yang kuat untukku dapat mengalahkannya dengan tangan kosong. Yang kumiliki hanya keberanian, ambisi yang telah lama kusimpan untuk kembali ke medan pertarungan. Kekuatan untuk melindungi orang-orang yang kucintai, melindungi—

"Apa karena wanita ini, kau berani menantangku tanpa bantuan pedang?"

Napasku tercekat, ketika kulihat tubuh Rukia dengan shihakusou tergeletak di atas permuakaan air. Dengan tangan dan leher yang terantai, ia tak sadarkan diri.

"Ru-kia?!"

"Kau terlambat, aku yang telah memenangkan wanita ini."

Ia kembali tertawa, melihat ketidakberdayaanku di hadapan dirinya.

'Memenangkan wanita ini'

Aku nyaris jatuh berlutut ketika menyadari pernyataannya. Tidak, tidak! Rukia milikku, aku yang memenangkan dirinya!

Kata-kata ini, seringai ini.

Jadi dia yang mengambil alih tubuhku, dia yang—

Dengan cepat aku bergerak ke arahnya, berharap dapat menjangkau dan membunuhnya saat ini juga!

Sialan! Gerakanku terbaca olehnya, aku nyaris hilang keseimbangan dan tersabet pedang saat ia bergerak cepat ke belakang tubuhku.

"Kau lambat!"

Sreet...

Aku meringis ketika sabetan pedangnya kali ini berhasil melukai lengan kiriku. Aku menghidar, memegangi luka akibat sabetan pedang darinya.

"Rasakan ini, Kurosaki!"

Sabetan pedang kedua berhasil mengoyak lenganku yang lain. Darah segar mengalir dari luka yang kudapat.

"Kau lemah!"

Tanpa jeda waktu yang lama, ia kembali berhasil menorehkan sayatan panjang di bagian dadaku.

Aku terbatuk, darah segar mengalir dari mulut dan luka di sekujur tubuhku. Aku terjatuh, nyaris kehilangan kesadaran. Kulihat tubuh tenang Rukia tetap diam tak bergerak.

"Ru-kia, uhuk—"

"Menyerahlah Kurosaki! Biarkan aku mengendalikan tubuhmu kali ini,"

Buagh—

Aku terlempar jauh akibat hentakkan tekanan reiatsu yang cukup besar darinya. Pandanganku mulai gelap, samar-samar kulihat ia berjalan mendekat ke arahku.

'Ichigo'

Aku mendengar suara Rukia memanggil namaku.

"Ru-Rukia?" namun kulihat sosoknya yang masih terbaring kaku.

"Tidak ada yang akan membantumu. Aku sudah mengambil kekuatan yang kau miliki, kini tidak ada gunanya kau melawan. Itu akan sia-sia, karena kau tidak sebanding denganku."

Masih dapat kudengar suara tawanya yang memuakkan, aku berusaha bangkit namun terjatuh begitu saja. Ia semakin mendekat, mengacungkan zanpakutou itu tepat di depan dadaku.

"Ada yang ingin kau katakan untuk terakhir kalinya?"

Ia menyeringai.

Aku tersenyum, entah mendapat kekuatan darimana aku merasa bahwa ini bukanlah akhir dari hidupku.

Dan ketika bilah pedang itu menusuk tepat jantungku, kugenggam kuat mata pedang itu dan menatapnya dengan penuh kebencian.

"Kau telah mengambil kekuatanku dan juga menyerap habis reiatsuku," aku berkata dengan terbata, setitik cahaya tercipta di dadaku, "akan kuambil kembali apa yang telah kau curi dariku," aku menyeringai dan menatapnya dalam.

Kudengar teriakan Hichigo sebelum ia hilang di telan cahaya putih itu, aku merasakan hal yang luar biasa. Diriku yang semula nyaris kehilangan kesadaran kerana luka yang kudapat, kini tersadar sepenuhnya, tanpa sedikitpun merasakan sakit yang sempat kurasakan tadi.

Aku bangkit, berdiri tegak di atas permukaan air laut yang bergelombang. Kini diriku mengenakkan kosode hitam panjang dengan sebilah pedang berada di tangan kananku.

Hujan mulai berhenti, namun permukaan air laut masih tetap bergelombang ketika kulangkahkan kakiku di atasnya.

Aku masih dapat melihat Rukia tertidur di atas permukaan, langkah kakiku kupercepat untuk menjangkau tubuhnya yang tak sadarkan diri. Ingin membawanya ke dalam dekapanku, berharap ia sadar dan melihat diriku kembali menjadi shinigami.

Kembali menjadi shinigami, tanpa kekuatan darinya.

"Rukia? Rukia..."

Kupanggil namanya, ketika diriku berada cukup dekat dan berusaha menjangkaunya, ia terjatuh, tenggelam dalam lautan tak berbatas.

"RUKIAAA!"

Tanpa pikir panjang ku jatuhkan diriku pula untuk menjangkau tubuhnya yang kian jauh tertelan air, matanya terpejam sempurna dan tubuhnya pasrah terbawa entah kemana.

Aku berusaha untuk semakin dekat dengannya, namun kegelapan kembali menyelubungiku. Napasku sesak dan pandanganku kabur, hilang tertelan lautan yang dalam.

.

.

.

.

Aku tersentak dan sadar dari tidurku, segera aku bangkit dan menyadari ada yang berbeda. Ruangan ini bukan apartemenku, bukan pula rumahku. I-ini—

"Sudah bangun, Ichigo-kun?"

"Urahara!" kulihat lelaki itu berjalan mendekat ke arahku, "apa yang terjadi padaku? di mana Rukia?" kulontarkan pertanyaan-pertanyaan yang singgah begitu saja di kepalaku.

"Tenagkan dulu dirimu, semua akan baik-baik saja!"

"Tidak mungkin, katakan apa yang—"

"Dia benar, bocah gila! Tenangkan dulu dirimu, semua akan baik-baik saja."

Kulihat sosok lain yang memasuki ruangan ini, "Yoruichi?"

Aku berusaha menenangkan diri seperti yang dikatakan Urahara dan wanita berkulit hitam itu, sampai pada akhirnya aku menyadari bahwa diriku tengah berada di atas futon tidur dengan beberapa benda yang belum pernah kulihat sebelumnya mengitari diriku.

"Apa-apaan ini?" tanyaku.

"Itu membantumu untuk tetap terjaga dalam alam bawah sadarmu, Kurosaki."

Suara lain menghampiri pendengaraku, detik berikutnya kulihat Ishida, Chad dan Inoue memasuki ruangan.

"Kurosaki-kun..."

Aku hanya menatap mereka bergantian, berharap salah satu dari mereka dengan suka rela menceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyaku pelan, aku benar-benar butuh jawaban untuk ini semua.

"Sekalipun Rukia-chan tidak menceritakan apa-apa, kami semua tahu apa yang telah terjadi di antara kalian," ucap Urahara.

"A—apa, di mana Rukia?" aku mengabaikan pernyataan yang terlontar dari mulut lelaki bertopi itu, ketika yang kudengar nama Rukia, penjelasan yang sangat ingin kudengarkan hilang begitu saja, tergantikan oleh pertanyaan di mana wanita itu berada.

"Kuchiki-san berada di Soul Society,"

"Apa? Kapan ia pergi? Berapa lama aku tertidur?" aku masih menyerang mereka dengar pertanyan-pertanyaan tak mendasar, yang kuperlukan adalah penjelasan dari mereka apa saja yang telah kulewatkan.

"Kau tak sadarkan diri selama dua minggu, sejak Rukia-chan mengantarkanmu ke sini, ia pergi ke Soul Society dan belum kembali."

Aku tersentak, dua minggu? Aku bergegas bangkit untuk menemui Rukia. Namun Urahara menghalangi jalanku.

"Mau kemana?" tanyanya.

"Aku harus menemui Rukia," jawabku cepat, kembali berniat melangkahkan kakiku meninggalkan tempat ini.

"Tidak secepat itu, Kurosaki. Walaupun kekuatanmu telah kembali, kau masih butuh waktu untuk menetralkan reiatsumu."

Apa?

Apa yang ia katakan barusan?

"Ishida-kun benar, kau masih butuh waktu."

Aku diam, berusaha mencerna tiap kata yang masuk ke pendengaranku. Pandanganku tertuju pada orang-orang di sekitarku, Urahara, Yoruichi, Ishida, Inoue dan Chad. Mereka benar-benar mengerti keadaanku.

"Kalau begitu, berikan waktu itu padaku," aku berucap, "jadikan aku kembali menjadi shinigami..."

.

.

.

.

Tiga bulan kemudian

Pintu senkaimon terbuka untukku, aku hampir tidak mengenali setiap senti jalanan Soul Society. Semua berubah, tidak seperti beberapa tahun lalu aku menginjakkan kaki di sini.

Tetapi walaupun banyak yang berbeda dari yang terakhir kuingat, bagiku ini tidaklah asing. Semua yang berada di Soul Society tidaklah asing bagiku.

Aku menapaki jalan menuju mansion Kuchiki, tujuanku hanya ingin bertemu Rukia. Entahlah, setelah berbulan-bulan sejak kejadian itu aku benar-benar merasa kehilangan dirinya.

Kulihat langit yang berawan gelap, kupikir sebentar lagi akan turun hujan. Jalanan yang kulewati cukup sepi, aku tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi selama ini.

Aku ber-shunpo cepat hingga tiba di mansion Kuchiki, masih sama seperti terakhir kali. Aku disambut dua pelayan mansion ini dengan tatapan tak percaya, aku hanya tersenyum sejenak dan bertanya di mana aku bisa menemui Rukia.

"Rukia tidak ada di sini,"

Suara dingin itu, reiatsu kuat yang seolah mengusirku pergi.

"Lama tak jumpa, Byakuya. Di mana aku bisa menemukan adikmu?"

Byakuya hanya diam, tanpa menjawab sapaan dan pertanyaanku, dia berlalu meninggalkanku.

Aku tidak ingin memancing keributan, gerak tubuh Bangsawan itu seolah menegaskanku untuk segera meninggalkan tempat ini. Aku berpamitan singkat sebelum benar-benar meninggalkan mansion Kuchiki.

.

.

Tidak butuh waktu lama untukku menemukan di mana Rukia berada. Kulihat dari jauh dirinya tengah bersimpuh di depan sebuah makam, tubuhnya masih sama, namun kali ini tidak dengan shihakusou. Hanya balutan kimono putih yang sederhana.

Kulangkahkan kakiku perlahan mendekati sosoknya, Rukia sontak berbalik ketika jarak di antara kami hanya terpaut kurang dari sepuluh meter.

"I-Ichigo?"

Suara itu, membuatku nyaris berlari dan memeluk tubuhnya, "yo, Rukia..."

Pandangan kami bertemu untuk waktu yang lama, tanpa menyadari setitik dua titik hujan telah jatuh menyentuh tanah tempat kami berpijak.

Aku kembali melangkahkan kakiku untuk semakin dekat ke arahnya. Kulihat Rukia hanya diam, antara bahagia dan kecewa dalam tatapan matanya yang menangkap keberadaanku.

Hujan semakin deras, namun tidak satupun dari kami yang berniat untuk beranjak pergi. Bahkan menyadari datangnya hujanpun, tidak kulakukan. Begitupun dengan Rukia, kurasa.

"Kenapa kau ada di sini?"

Pertanyaan awal dari Rukia membuatku sedikit kecewa, walaupun suaranya teredam sempurna oleh hujan, tatapan mata wanita ini tidak bisa menyembunyikan apapun dariku.

"Untuk beberapa hal, aku menunjuk dirimu sebagai alasan utamanya," ucapku.

Jarak kami saat ini hanya terpaut satu meter. Membuat tatapanku jatuh sempurna pada sosoknya yang berdiri di hadapanku. Matanya menyimpan semua yang ingin kumiliki darinya, tanpa sadar tanganku meraih pipinya dan mengusap air hujan yang menodai wajahnya.

"I-Ichigo,"

"Aku ke sini untuk bertemu denganmu, Rukia," kubawa ia dalam pelukan kerinduan. Aku merindukannya, merindukan kehadiran dirinya di sampingku, "kau bisa merakan kehadiranku, Rukia?"

Kurasakan balasan pelukan darinya, Rukia membenamkan seluruh wajahnya ke dadaku. Kukecup singkat kepalanya dan membawanya semakin dalam ke dekapan yang kuberikan.

"Maafkan aku, maafkan atas kesalahanku selama ini," aku berucap pelan, mendongakkan dagunya agar pandangannya terarah padaku, "maafkan aku karena telah menyakitimu," kusentuhkan keningku ke kening miliknya, "aku tidak bermaksud melukai perasaanmu."

"I-Ichi—"

"Aku menyesal telah melakukannya," ucapku menggantung. Kutatap matanya lekat-lekat, ingatanku kembali pada kejadian-kejadian yang telah kulewati bersama wanita ini.

Dari awal aku telah salah, aku menyakiti Rukia dengan tindakan bodohku mengambil kesucian tubuhnya. Ciuman pertama kami murni gairah, begitupun ketika bercinta—tidak, tanpa sedikitpun cinta di dalamnya.

"Rukia, aku tidak ingin kau meninggalkanku, aku tidak ingin kehilangan dirimu..."

Aku terjebak dalam permainan tak kasat mata, Keigo memanfaatkan keterpurukanku dengan memperkeruh apa yang ada di dalam pikiranku. Aku menjadi iblis sialan yang gila dengan tubuh Rukia.

"Rukia, maukah kau memaafkanku?"

Aku terpuruk pada kesalahan-kesalahanku, aku tidak berharap ia memaafkanku. Karena memang diriku tak pantas menerima apapun darinya setelah aku mengambil apa yang berharga baginya.

Berkali-kali wanita ini menjadi boneka tak berdosa, menjadi objek yang selalu kutiduri.

Hingga aku menyadari bahwa Rukia sangat berarti, lebih dari apapun. Bukan sekedar partner dalam bercinta.

Atas dosaku, Rukia bukan lagi bangsawan Kuchiki, itu yang kutahu dari apa yang kulihat dari bahasa tubuh Byakuya. Rukia bukan lagi wakil kapten divisi 13. Bukan lagi—

"Aku memaafkanmu, Ichigo..."

Segala persepsiku terhenti dengan ucapannya begitu saja, kutatap matanya dalam, menyelami lautan ungu gelap yang menyesakkan.

Bagaimana mungkin aku bisa menyakiti wanita ini dan bagaimana bisa ia memaafkanku dengan mudahnya.

"Rukia—" kucium bibirnya singkat, dengan lumatan lembut penuh cinta, "aku mencintaimu..."

Ciuman kedua menyusul, dengan lembut pula ia membalas sentuhanku. Aku berharap dengan ini semua emosiku tersalurkan, rindu, nikmat, cinta yang selama ini tidak pernah kutujukkan padanya.

Rukia membalasnya dengan perasaan yang sama, kuyakin itu. Karena yang kutahu sekarang kami menikmati ini tanpa menyadari hujan telah berhenti membasahi kami.

Di hamparan bukit dengan rumput yang basah tersiram hujan, di hadapan nisan bertuliskan Hisana Kuchiki. Aku berlutut, menebus dosaku selama ini. Membuat ikatanku dengan Rukia terasa nyata..

"Izinkan aku untuk memilikki adikmu seutuhnya," ucapku pada akhirnya.

.

.

.

.

Fin

.

.

.

.

3rd May 2015

.

A/N: Greey is Back! Sudah satu tahun rupanya. Saya merasa bodoh telah menulis ini dan merasa gagal pada tahap ini. Entahlah, saya merasa kehilangan apa yang menjadi diri saya dalam penulisan fanfiksi. Cukup basa-basinya, saya harap masih ada yang mau menerima tulisan buruk ini dengan tangan terbuka, dan berkenan untuk mengoreksi tiap kesalahan yang ada.

Terimakasih untuk teman-teman yang menyempatkan diri membaca dan mereview cerita-cerita saya sebelumnya. Berminat mereview untuk yang ini? saran dan masukkan sangat dibutuhkan. Terimakasih.