Wow. Sekali update ratusan. –lebay amat-

Ok ok. Eni fic pair baru saya. Jangan kaget jangan bingung jangan bengong jangan jenong.

Ada sedikit (atau banyak) cacat kali yak. Abis pertama kali sih. Hehe

Hiru: Cih. Pertama pala lu. Hobinya senyum – senyum sambil ngetik gitu. Dasar author piktor

Aru : Asem lu. Lagian lu ngapain disini?

Hiru : sory ye gue maen di fic ini.

Aru : tapi lu cuma peran babu. Lewat doang. Pemeran utamanya... hmm.. mana tu orang berdua ya..

Sena : Nyari siapa, Aru-san?

Aru : Itu tuh. Dua orang aneh bin ajaib.

Sena+Hiru : ?

Aru : Aahh! Tuh dia. Yang satu lagi mandi di pemandian air panas, dan yang satu lagi maen gitar di ruangan penuh buku. Bener – bener orang – orang aneh.

Kakei : Eh?

Akaba: Fuu..

Aru : Ya ya.. lu lu pada berdua. Yang jadi pemeran utamanya

Kakei : Aku menolak

Akaba : Kita tidak seirama

Aru : Ha? Haa? Haruussss!

Kou : gue gimana?

Aru : gue kawinin ama sisir lu

Kou : $%^&*

Ok. Udah ah spoilernya. Mulai disclaimer aja dah.

(C) buatan by Riichiro Inagaki & Yusuke Murata dan ide pikiran dari saya dan Nearkun. Hehe. Tq tq.

Pair : HiruSena , Akakei, Akakota (lho). Pairnya gak jelas sih. Jadi silakan memilih. hehe

OOC/

Shou-ai/

typo/

Romance/

bahasa semi formal/

Ayo ayo baca dan review. Hehe

O.o.O.o.O.o

Malam hari di Sekolah Deimon. Suasana begitu sepi. Angin malam berhembus menggoyangkan dahan pohon dan sekelilingnya. Samar – samar terdengar suara Cerberus melolong memilukan. Suasana sekolah itu terasa sangat menyeramkan.

Di dalam gedung, masih ada cahaya dari lampu neon yang menyala. Ada seseorang di sana. Ia memakai baju putih panjang dan memakai kacamata. Rambut spike kuningnya agak basah terkena keringatnya. Nampaknya Ia sedang melakukan sesuatu. Tunggu dulu, rasanya kenal deh.

"Kekekekek... Dengan ramuan ini, si orangtua bodoh itu pasti akan terlihat lebih muda"

Tawa yang mengerikan. Ya. Tawa itu keluar dari seseorang yang paling ditakuti satu sekolah. Minus Mamori tentunya. Dialah Hiruma Youichi. Sedang apa dia di ruang itu? Ternyata dia berada di ruang sains dan kimia.

Hiruma memasukkan ramuan itu kedalam sebuah pil. Ia menyeringai lebar, memperlihatkan deretan gigi hiunya yang tajam. Hiruma kemudian melepas baju panjangnya dan keluar dari ruangan dengan wajah puas. Rencana jahil itu ternyata akan merubah segalanya.

"Kalau kumasukkan ke kotak obat, tidak ada yang curiga. Toh semua pemain tidak pernah minum obat gara – gara sakit. Kekekekek"

O.o.O.o.O.o

Pertandingan melawan Kyoshin Poseidon berakhir dengan skor 17 – 18 dan kemenangan berada di tangan Deimon. Di lapangan, semua member Deimon bersuka cita. Mereka saling tos satu sama lain. Togano menangis terharu. Doburoku pesta sake dengan ayah Komusubi. Dan yang lainnya, menggeplak Sena sebagai ungkapan kegembiraan mereka.

"Eyeshield 21. Ini semua kemenanganmu. Tapi aku akan menantangmu lagi tahun depan" Kakei berdiri tegak di depan Sena. Perbandingan antara Sena dan Kakei sangat jauh. Dan Kakei sangat bangga dengan tubuh tingginya.

Sena menggaruk – garuk helmnya dengan gugup. Seperti biasa ala Sena. Ia merendahkan dirinya. Padahal dia menang melawan Kakei pada akhir pertandingan. Kakei hanya tersenyum dan mengangguk. Mata biru tajamnya menatap teman – teman setimnya yang sedang bersedih.

Kakeipun sedih. Namun Ia berusaha untuk meredamkan kesedihannya dan menahan airmatanya dengan tetap memasang wajah dingin. Kakei duduk di bangku pemain. Lelah. Tubuhnya sangat lelah. Begitupun hatinya. Mendapati jurus andalannya dapat dipatahkan Sena, si Eyeshield 21 palsu. Namun dimatanya, Sena bukan lagi Eyeshield palsu. Dia menyadari segalanya.

"Uhuk.. Duh" Kakei batuk – batuk. Nampaknya staminanya mulai menurun. Sena yang melihat kondisi Kakei yang kurang baik, segera menghampiri bangku pemainnya dan mencari obat untuk Kakei.

"Eto.. Mana ya obat sakitnya. Ah. Ini kali ya?" Sena segera mengambil plastik berisi pil dan mencari Kakei yang sepertinya sudah masuk ke ruang ganti pemain. Dan dia menemukan Kakei duduk lemas di bangku dalam ruang ganti. Sena menghampirinya.

"Anu... Kakei-kun. Ini. Obat. Sepertinya keadaanmu tidak baik" Agak gugup, Sena memberikan obat plus minum untuk Kakei.

"Eh? Terima kasih" Tanpa curiga, Kakei segera meminum obat itu

"Bagaimana?" Sena menatap wajah Kakei yang semakin pucat.

"Rasanya... Agak aneh. Ukh..." gelas yang dipegangnya terlepas dari tangan. Tubuh Kakei seakan lumer. Rasa panas menjalar ke seluruh tubuhnya. Kepalanya seakan ingin pecah. Apa yang terjadi pada dirinya?

"Ka.. Kakei-kun? Apa yang terjadi?" Sena panik dan melepas helmnya. Ia melihat di sekelilingnya, sepi. Semua pemain Poseidon masih di lapangan sepertinya.

"..." Kakei terjatuh dari bangku dengan wajah meringis menahan sakit. Ia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Dan pingsan.

"Kakei-kuun" Sena lebih panik melihat Kakei terjatuh. Dan Sena tambah panik dan kaget setengah mati setelah...

"Kekekekek.. Sepertinya obat itu terlalu mujarab ya" Hiruma bersandar di pintu.

"Hiruma-san! Kakei-kun kenapa. Kenapa dia..." Sena berlari kearah Hiruma dan menarik baju Hiruma. Ia panik setengah mati. Hiruma segera memeluk Sena dan berbisik, "Aku salah membuat ramuan. Salahmu kenapa memberi obat yang tidak jelas padanya"

"Eeehhh?" Sena terbelalak. Jadi obat itu bukan obat demam atau obat stamina ya. Jadi obat apa itu? Batin Sena penuh tanda tanya. Suasana hening. Hiruma masih memeluk Sena tanpa berkata apa – apa. Sepertinya Ia ingin melihat reaksi selanjutnya dari obat buatannya itu.

1 menit. 5 menit. 10 menit. 30 menit. Dengan sabar Hiruma menunggu. Sena masih takut. Takut terjadi apa – apa pada Kakei karena itu tanggung jawabnya.

"Uuh. Kepalaku pusing sekali..." yang ditunggu ternyata sudah siuman dari pingsannya. Kakei mengelus kepalanya yang pusing.

"Etoooo" Sena kehabisan kata – kata. Ia tidak berani buka mulut.

"Sena-kun? Apa yang terjadi?" Kakei menatap Sena yang gemetar dalam pelukan Hiruma. Ia menyernyitkan keningnya. Kenapa dia setakut itu?

"Kekekekek. Coba kau lihat dirimu di kaca besar itu" Hiruma menunjuk kaca tinggi yang tergantung kokoh di tembok. Kakei menurut meski Ia bingung. Sena membenamkan wajahnya di dada Hiruma. Tak mau melihat reaksi Kakei. Dan benar. Kakei kaget setengah mati.

"Apa – apaan ini! Hiruma! Aku.. Kenapa aku menyusut seperti anak SMP begini" teriakan Kakei menggema ke seluruh ruangan. Ia tidak percaya dengan apa yang Ia lihat. Berharap matanya sedang mengalami gangguan. Namun yang keluar dari mulut Hiruma meruntuhkan harapannya.

"Obat yang kau minum itu obat ajaibku. Awalnya aku mau ngasih itu ke orangtua sialan alias Musashi yang tampangnya lebih tua dari umurnya biar dia terlihat lebih mudaan. Eh malah bikin badan nyusut ya?"

"Hiruma! Lakukan sesuatu!" Pekik Kakei. Ia hampir putus asa melihat tubuhnya yang setinggi lebih dari 2 meter itu kini tak lebih tinggi dari anak SMP pada umumnya. Padahal waktu SMP, tinggi badannya 170 cm. Baju yang tadi Ia pakai sekarang kebesaran menutupi setengah tubuhnya. Suaranyapun berubah tinggi seperti suara anak – anak.

"Sayangnya aku tak punya penawarnya" Hiruma mengangkat bahu. Sena menunduk. Tidak ada yang bisa dilakukan.

"Yang benar saja!" Kakei berlari menerobos Hiruma dan Sena yang berdiri di depan pintu dan pergi dari tempat itu.

"Ah, Kakei-kun!" Sena hendak mengejar Kakei. Namun ditahan oleh Hiruma. Ia menggeleng. Ya. Tak ada yang bisa dilakukan. Mereka hanya bisa diam menatap sosok Kakei kecil yang berlari semakin menjauh.

"Hiruma-san! Bagaimana ini? Tidak mungkin dia terus terperangkap dalam tubuh kecilnya kan? Lakukan sesuatu" Sena menangis. Ini semua karena perbuatannya. Kalau saja Ia tidak sembarang memberi obat pada Kakei.

"Akan kulakukan. Tapi satu syarat" Hiruma menyeringai lagi. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Sena yang masih pucat dan berlinang airmata.

"Apa?" Jantung Sena berdegup kencang. Ia kenal sosok di depannya. Pasti Hiruma-san minta yang tidak tidak nih. "Kiss" Hiruma menyeringai lagi. Tuh kan.

"Di saat seperti ini, masih saja" Wajah Sena memerah. Namun akhirnya Ia menurut. Sena mengalungkan tangan mungilnya di leher Hiruma dan mengecup lembut bibir Hiruma yang dibalas liar oleh Hiruma.

"Hi... Hiru..ma-san... Nanti ada yang.. lihat" Wajah Sena merah padam. Nafasnya agak berat karena mendapat serangan tak terduga dari Hiruma.

"Ooohh.. Jadi kalau di tempat lain, kamu mau?" Hiruma menarik Sena keluar dari ruang ganti tersebut. Sena meronta.

"Bukan begituu.. Tapi ini bukan saat yang tepat melakukan itu. Lagipula.. Untuk apa sih Hiruma-san membuat obat macam itu untuk Musashi-san?"

"Ha? Kamu cemburu?" Hiruma memainkan telinga Sena, menggoda.

"Bukaan. Tapi... Itu..." Wajah Sena memerah.

"Tidak untuk apa – apa. Kasihan saja Musashi tak punya pasangan karena wajahnya ketuaan"

"Benarkah?"

"Yaa"

Sementara itu Kakei...

Sepanjang jalan, semua mata tertuju pada dirinya. Tidak peduli, Kakei terus berlari. Ia tau tak akan ada yang percaya bahwa dirinya adalah Kakei. Tak ada. Termasuk orangtuanya. Kakei tak punya arah. Namun Ia terus berlari. Tanpa tujuan.

O.o.O.o.O.o

Hujan turun. Angin dingin berhembus kencang. Langit berubah kelabu. Membuat orang enggan untuk keluar rumah dan lebih memilih melindungi diri di rumah yang hangat. Namun tak begitu dengan seseorang yang sedang duduk di depan gerbang. Tubuhnya menggigil.

"Hachih!" Ia berusaha menghangatkan dirinya dengan cara memeluk tubuhnya sendiri. Tapi tak ada hasilnya. Tubuhnya tetap dingin dan menggigil. Giginya bergemelutuk karena dingin yang dirasa menusuk hingga ke tulang.

"Bagaimana ini. Ini bukan tubuh anak SMPku. Ini tubuhku waktu SD. Sewaktu SMP, tinggiku 170 cm. Kenapa sekarang aku lebih pendek dari Sena-kun" Kakei menunduk dalam. Ia merasa hidupnya telah tamat. Kemana dia harus pergi? Ia kini sedang duduk di depan gerbang sebuah rumah yang Ia tidak kenali. Ia tak punya tempat untuk berteduh. Dan Ia enggan untuk berteduh dengan pakaian kebesaran seperti itu.

Tiba – tiba hidungnya menangkap wangi yang sangat lezat. Ternyata penghuni rumah itu sedang menyiapkan makan malam. Kakei memegang perutnya. Setelah pertandingan, perutnya belum diisi apapun kecuali obat terkutuk itu. Hari sudah mulai gelap dan hujan masih terus mengguyur tubuh kecilnya. Kakei hampir putus asa.

"He, Baka. Besok jangan telat lu!"

"Iya"

Kakei menengadah. Ternyata salah satu tuan rumah itu baru saja pulang dari sekolah. Wajahnya tertutup payung. Ia baru saja berpisah dengan temannya yang tampaknya Kakei kenal. Laki – laki itu berjalan menuju Kakei. Kakei berniat untuk pergi dari situ. Namun tubuhnya yang sudah beku karena dingin menjadi sulit untuk digerakkan. Ia berusaha berdiri, namun terjatuh lagi. Kakei meringis.

"Hm? Apa yang kau lakukan di sini?" terlambat. Sebelum Kakei beranjak untuk pergi, laki – laki itu sudah menghadangnya. Tubuh tingginya menutupi tubuh kecil Kakei yang tak berdaya. Ia memayungkan Kakei dan menyernyitkan kening.

"A.. Akaba?" Kakei kaget. Ternyata ini rumah Akaba. Dan kini Akaba yang baru pulang dari sekolah, sudah berada di depannya.

"Hm? Tunggu. Sepertinya aku pernah melihatmu" Akaba memajukan tubuhnya. Ia memerhatikan Kakei dari atas sampai bawah. Dan matanya seketika terbelalak. Akaba mengenalinya. Dari matanya. Mata biru tajam itu.

Kakei bersandar di gerbang dengan wajah agak takut melihat reaksi Akaba. Apakah Akaba akan membawanya ke kantor polisi atau bagaimana.

"Kakei-kun?" Akaba menutup mulutnya. Ia melepas kacamata hitamnya dan memerhatikan wajah Kakei lebih lekat. Benar. Itu Kakei. Yang baru saja bertanding pagi ini. Namun kenapa tubuhnya jadi menyusut seperti itu?

"Ceritanya panjang, Akaba" Kakei memalingkan wajahnya. Risih diperhatikan seperti itu. Seakan Ia adalah makhluk spesies baru yang turun dari langit.

"Fuu.. Masuklah. Kita bicarakan di dalam. Di sini dingin. Tubuhmu bisa terkena hypopthermia" Akaba mengangkat tubuh Kakei dan menggendongnya dari depan. Tak pelak, Kakei berontak.

"Hei, Akaba! Turunkan aku. Aku bukan anak kecil" Kakei berusaha melepaskan dirinya. Namun tangan kokoh Akaba yang menahan tubuhnya ditambah kehabisan tenaga, membuat Kakei tak bisa bergerak dan tak punya pilihan selain diam.

"Nah, diam lebih baik, anak manis" Akaba tersenyum geli. Ia membawa masuk Kakei yang manyun diejek anak manis itu ke dalam rumah. Rumah Akaba begitu hangat. Beda dengan udara di luar sana yang dingin menusuk tulang. Membuat perasaan Kakei menjadi nyaman.

"Selamat datang. Hayato, siapa anak itu?" Ibu Akaba yang menyambutnya di pintu depan, menyernyitkan keningnya melihat Kakei yang basah kuyup.

"Hm? Ini adik temanku" Cuek, Akaba membawa Kakei ke kamarnya. Ia lalu menurunkan Kakei dan meletakkan tasnya di lantai. Akaba mengambil handuk baru dari lemarinya dan menyerahkannya pada Kakei yang berdiri mematung.

"Akaba, kenapa kau bilang aku ini adik temanku?" Kakei menerima handuk itu dengan tangan gemetar. Ia mengalungkan handuknya di leher, diam.

"Fuu. Kalau tidak, kau tidak akan boleh menginap di sini" Akaba berjongkok di depan Kakei. Refleks Kakei mundur selangkah.

"Menginap? Aku tidak bilang..." Akaba mengeringkan rambut Kakei dengan lembut. Membuat Kakei kehilangan kata – kata. Wajah pucatnya berubah merona merah. "Akaba, hentikan memperlakukan aku seperti anak kecil"

Akaba menghela nafas. Tangan besarnya menempel di kening Kakei. Memeriksa keadaan Kakei. Ia kemudian tersenyum tipis dan mengalungkan kembali handuk itu ke leher Kakei. "Kakei-kun, mandilah dulu. Agar suhu tubuhmu kembali normal"

"Aku baik – baik... Hey" Kakei kaget lantaran Akaba melepas kaos basahnya tanpa permisi. Kakei menepis tangan Akaba keras. "Apa – apaan kau, Akaba. Sudah kubilang jangan perlakukan aku seperti anak kecil"

"Maka dari itu cepat sana mandi" Akaba menuntun Kakei ke kamar mandi.

"Baiklah. Jangan masuk" Kakei masuk ke kamar mandi sendirian. Akaba bersandar di tembok sambil menyilangkan tangannya, tersenyum tipis. Ada – ada saja kejadian hari ini.

"Hayato, anak itu..." Ibu Akaba menghampirinya sambil setengah berbisik.

"Dia Kakei. Hari ini dia akan menginap di sini. Bolehkah, Ibu?"

"Ada apa dengan rumahnya?" Alis sang Ibu terangkat, heran.

"Ada sedikit masalah keluarga" Mau tidak mau, Akaba berbohong.

"Kasihan sekali. Padahal masih kecil. Baiklah. Ajak saja dia menginap di sini" Sang Ibu tersenyum tipis dan meninggalkan Akaba yang masih bersandar.

"Tidak apakah aku menginap di sini?" Gumam Kakei. Pikirannya sedikit kacau. Bagaimana jika orangtuanya mencari dirinya. Dan kapankah Ia akan terlepas dari tubuh kecil itu. Kakei menenggelamkan seluruh tubuhnya ke dalam air. Kemudian Ia berdiri mengambil handuk. Tubuhnya yang tadi kedinginan kini merasa hangat dan nyaman. Ia harus berterima kasih pada Akaba.

"Eh? Gimana aku harus ganti baju? Bajuku basah" Kakei celingukan. Bingung. Kalau saja tubuhnya tidak sekecil ini, mungkin Ia dapat meminjam baju Akaba. Dan tidak mungkin sekarang ada di rumah Akaba.

Kakei keluar dari kamar mandi hanya berbalut handuk. Ia celingukan lagi dan kaget melihat Akaba masih berdiri tak bergerak di tempat. Akaba menatapnya, lalu kembali tersenyum.

"Kenapa?"

"Ini bajumu. Tapi maaf mungkin tidak mengenakan. Karena ini baju adikku" Akaba menyerahkan baju itu. Kakei menerimanya dengan wajah polos ala anak SMP-nya.

Beberapa menit kemudian di kamar mandi setelah memakai baju dari Akaba, Kakei menjerit. "Akabaa! Baju apa ini!"

"Kakei-kun, kalau sudah ganti baju, datanglah ke kamarku" Akaba berjalan cuek ke kamarnya meninggalkan Kakei yang masih sukses menjerit di kamar mandi.

O.o.O.o.O.o

"Jadi begitu ceritanya" Akaba mengangguk tanda mengerti. Ia duduk di atas kasur sambil memeluk gitar kesayangannya dan sesekali menggenjrengnya.

Kakei mengangguk pelan. Ia telah menceritakan semuanya pada Akaba. Meski hatinya sedikit kesal dengan pakaian yang Ia pakai sekarang. "Akaba, tidak adakah baju yang lebih pantas?" Kakei mengucek ujung bajunya.

"Tidak ada. Hanya itu baju yang pas untukmu. Semua pakaianku berukuran besar. Yang kecil hanya baju adikku"

"Iya. Tapi ini baju adik perempuanmu! Tidakkah kamu lihat ini tidak pantas untukku?" Kakei menunduk. Tangannya masih sibuk mengucek baju berwarna manis dan rok yang Ia kenakan. Kakei merasa bodoh.

"Tidak ada, Kakei-kun. Besok aku belikan. Sekarang bersabarlah dengan baju itu. Lagipula kau cocok memakainya" Akaba tersenyum tipis.

"Diam" Kakei bersandar di tembok, cemberut. Ia bingung apa yang harus dilakukan. Dengan tubuh seperti ini, tak mungkin Ia pulang ke rumah. Kakei menghela nafas. Kesialan datang bertubi – tubi hari ini. Setelah kalah dari Deimon, tubuhnya juga menyusut.

"Kakei-kun, berapa nomor telepon rumahmu?" Akaba beranjak dari kasurnya dan duduk di samping Kakei yang masih merenung.

"Um? Xxxx-xxx-xxx" Kakei memperhatikan Akaba yang sibuk menekan nomor dan mendial. Tampaknya Akaba membicarakan sesuatu yang serius.

"Ya. Terima kasih, Bu" Akaba melirik Kakei yang menatapnya harap harap cemas. Akaba paham apa yang ada dalam pikiran Kakei. "Aku sudah menelepon kediamanmu. Aku katakan kau menginap untuk beberapa lama karena ada latihan khusus di luar Tokyo"

Kakei mengangguk pelan. Sedikit banyak, Ia merasa bersyukur karena bertemu Akaba. Kalau tidak, mungkin hari ini Ia harus tidur di luar. Sedangkan di luar, petir terus menyambar dan hujan semakin deras.

Tiba – tiba lampu padam. Seluruh rumah begitu gelap. Tak terlihat cahaya sedikitpun. Kakei kaget. Ia meraba – raba tembok. Matanya belum terbiasa dengan gelap. "Aduh gelap sekali" Suara tingginya terdengar bergetar.

Kakei bertambah kaget begitu Ia rasa ada sebuah tangan besar yang menarik tubuhnya dan menyandarkannya di tempat yang hangat. Kakei sedikit berontak. Apa – apaan ini?

Handphone Akaba berbunyi. Membuat sekelilingnya terang karena cahaya dari handphonenya. Dan Kakei melihat dengan jelas wajah Akaba di depannya. Mata merah itu menatap dirinya dengan lembut. Kakei menjadi salah tingkah sendiri.

Pip. Akaba membaca pesan yang masuk dan membalasnya dengan cepat. Kakei mendekatkan kepalanya dan melirik handphone Akaba dengan rasa penasaran. Lucu sekali.

"Ini Koutarou. Tenang saja" Ujar Akaba singkat. Ia mengangkat tubuh Kakei dan memangkunya. Kakei setengah menjerit dan berusaha melepaskan diri dari Akaba namun sia – sia. Tangan Akaba begitu kokoh menahan tubuhnya.

"Akabaa" Kakei masih berontak. Ia menarik – narik lengan baju Akaba agar tangan Akaba minggir dari tubuhnya. Namun tangan Akaba tidak bergeming. Sedang handphone Akaba sudah mati hingga tak ada cahaya sedikitpun di kamar Akaba. Gelap gulita.

"Kau lucu sekali, Kakei-kun. Kau yang tingginya mencapai lebih dari 2 meter itu kini bisa berada di pangkuanku" Akaba tersenyum. Meski Kakei tidak melihatnya karena gelap. Kakei masih sibuk melepaskan dirinya dari Akaba. Lama – lama, Kakei menyerah juga. Ia pasrah.

"Hhhh.. Terserah kau sajalah, Akaba" Kakei menghela nafas.

"Kau sama sekali tidak keren, Kakei-kun" Akaba mengelus punggung Kakei lembut.

"Biar. Sudah kubilang jangan perlakukan aku seperti anak kecil. Bosan aku mengatakan hal itu terus. Telingamu sering disumbat earphone ya hingga apa yang kukatakan tak bisa kau dengar Dan aku tidak lucu" Kakei misuh – misuh. Ia mendorong – dorong tubuh Akaba dengan tangan kecilnya.

"Tidak juga. Aku hanya menikmatinya saja"

"Apa?"

Kakei berhenti mendorong. Ia berusaha melihat wajah Akaba dalam gelap. Meminta penjelasan atas apa yang telah Akaba katakan. Tiba – tiba rumahnya ramai. Tidak. Itu bukan suara ayah, ibu atau adiknya. Namun suara siapa itu?

"Akaba! Apa maksud SMS lu! Hey!"

Akaba menajamkan pendengarannya. Pintu dibuka paksa oleh seseorang. Kakei dan Akaba kaget. Dan lampu menyala. Di sana, berdiri Koutarou sambil memonyongkan bibirnya dengan sisir di tangan kanannya. Koutarou tertegun.

"Koutarou?"

"Hey Akaba! Siapa anak itu? Anak lu? Wah gawat banget lu" Koutarou menuding – nuding Akaba dengan sisirnya. Ia sangat kaget melihat Akaba sedang memangku seorang anak kecil gelap – gelapan begini.

"Jangan sembarangan, Koutarou"

Kakei turun dari pangkuan Akaba dan menunduk. Salah paham lagi nih. Batin Kakei.

"Gimana gue gak nuduh lu. Lha gue liat lu lagi mesra – mesraan ama anak kecil. Dah gitu pakai baju cewek lagi. Parah banget" Wajah Koutarou berkeringat menahan marah. Ia berjalan ke arah Akaba dan memberikan serangan jitunya. "Smart Spit Attack. Khusus buat orang pedophil kayak eluu. Peh peh"

"Hey Koutarou. Hentikan" Akaba mendorong Koutarou dengan Spider Webnya. Terjadi perkelahian seru namun lucu antara koutarou dan Akaba. Sedang Kakei hanya duduk manis melihat mereka berdua bertengkar.

"Diam lu Akaba. Parah banget lu anak kecil dihantam juga. Gue gak bakal maafin lu" Koutarou balik mendorong Akaba. Ia celingukan mencari benda yang bisa Ia tendang ke wajah Mr. Tidak Smart itu.

"Sudah kubilang kau salah paham. Dengarkan aku dulu" Mereka saling dorong – dorongan. Tak memerdulikan Kakei yang sudah menguap berulang kali.

"Gue gak percaya. Alasan apa lagi yang mau lu bilang ke gue? He?" Koutarou mengambil tempat pensil Akaba dan bersiap untuk menendangnya.

"Hentikan, Koutarou! Kacaku bisa pecah kalau kau salah target" Akaba mentackle Koutarou hingga jatuh.

"Hayatoo. Ada apa ribut – ribut di atas" Ibu Akaba yang curiga ada apa – apa di atas, berteriak dari lantai bawah.

"Tidak ada apa – apa, Bu. Koutarou sepertinya sedang kerasukan" Tentunya kalimat yang terakhir Akaba ucapkan dengan suara pelan hingga Ibunya tidak mendengarnya.

"Eh Mr. Tidak Smart. Minggir lu dari gue" Koutarou mencak – mencak. Akaba masih menindih tubuh Koutarou setelah insiden tackle itu. Koutarou bergerak melepaskan diri. Ingin sekali Ia menendang wajah Akaba dengan tempat pensil itu tadi.

"Fuu. Sorry. Makanya dengarkan penjelasanku dulu. Nah Kakei... hm?" Akaba menoleh ke arah Kakei yang tadi masih duduk manis. Ternyata Kakei sudah tertidur di lantai dengan pulasnya. Koutarou terperangah. Kaget setelah mendengar sebuah nama yang Ia kenal keluar dari mulut Akaba.

"Ka.. Kakei? Kakei dari Poseidon? Yang tingginya mencapai 2 meter lebih? Dia? Dia Kakei?" Koutarou menganga lebar sambil menunjuk Kakei yang tertidur dengan imutnya. Akaba mengangguk dan melepaskan Koutarou. Ia beranjak menuju Kakei dan menggendongnya.

"Kasihan sekali. Pasti Ia lelah setelah bertanding tadi pagi" Akaba merebahkan Kakei di kasurnya yang empuk dan menyelimutinya. Koutarou masih tidak percaya dengan apa yang Ia lihat. Ia mengucek matanya berulang – ulang.

"Gue gak salah liat kan?"

"Nanti aku jelaskan. Kau mau pulang atau menginap?"

"Err..." Koutarou berpikir sebentar kemudian mengangguk mantap. "Nginap". Ia mengambil handphonenya dan mengirim pesan pada Ibunya bahwa Ia menginap di rumah Akaba karena ada urusan penting. Penting?

"Fuu.. Kalau begitu terpaksa aku gelar dua kasur lagi di bawah ya" Akaba keluar dan mengambil dua kasur gulungnya dan menggelarnya.

"Kenapa dua?" Koutarou memerhatikan Akaba sambil nyisir.

"Kakei di atas, aku dan kau di bawah. Memangnya kau mau satu kasur denganku?"

Koutarou menggeleng keras. "Tidak sudi"

Akaba duduk di atas kasur yang telah Ia gelar dan memberi kode agar Koutarou tidur di kasur sebelahnya.

"Khe. Aneh banget. Tuan rumah malah tidur di bawah" Sambil menggerutu, Koutarou duduk di kasur sebelah Akaba dan menunjuk Akaba dengan sisirnya. "Ayo jelaskan apa yang terjadi!"

"Sabar, Koutarou. Sebenarnya..."

Akaba menceritakan apa yang Ia ketahui tentang kejadian yang menimpa Kakei. Koutarou mendengar dengan serius. Matanya berputar karena tidak percaya dengan apa yang terjadi. "Mana ada obat yang bisa menyusutkan tubuh".

"Buktinya. Tuh" Akaba menunjuk Kakei dengan dagunya.

"Iya ya. Aneh banget. Hiruma itu sebenarnya smart atau gak sih" Koutarou merebahkan dirinya di kasur.

"Entahlah"

Mereka berdua terdiam. Waktu sudah menunjukkan pukul 23.30. Sudah hampir tengah malam. Koutarou menguap lebar. Di luar hujan masih turun deras. Suasana sepi sekali. Hanya terdengar suara desah pelan Kakei yang tertidur pulas.

"Udah ah gue tidur" Koutarou menarik selimut, menutupi tubuhnya. Ia melirik Akaba yang masih duduk, Ia sedang memerhatikan Kakei rupanya. Koutarou memasang wajah cemberut. "Hey Akaba. Jangan bilang lu berubah jadi pedophil ulung"

"Hm?" Akaba tidak membalas. Ia hanya tersenyum tipis. Koutarou mual melihatnya. Entah perasaan kesal atau apa yang sedang menggelitik hatinya.

"Khe. Lu gak smart, Akaba" Koutarou tidur memunggungi Akaba.

"Fuu. Selamat malam, Koutarou" Akaba mendekati Kakei dan mengecup kening Kakei lembut. "Selamat malam, Kakei-kun" Kakei sedikit menggeliat manja. Menggemaskan. Akaba menggeleng pelan dan merebahkan dirinya yang lelah di kasur. Besok, apa yang akan terjadi ya?

O.o.O.o.O.o

Keterangan (Kesilauan? :D)

Hypopthermia : Suhu tubuh di bawah normal

Pedophil : kondisi orangyang mempunyai ketertarikan atau hasrat terhadap anak-anak yang belum memasuki masa remaja. Istilah ini seringkali ditujukan kepada orang-orang dewasa yang memiliki kondisi ini.

Gimana? Eni fic dirombak lagi setelah yang originalnya ilang. Bener – bener asho tuh flash. Grrr..

Jangan bilang ini mirip detective Conan. #emang mirip!

Karena gak ada detektif detektifan di sini. Huhu. Chapter depan tak aka. Tak akan.

Mind to review? Plis. ( ^n^)/