Arti Dirimu


Disclaimer: Always belong to Masashi Kishimoto

Character: Hyūga Neji, Tenten


1

...Tenten POV...

Aku benci bunyi alarm!

Aku tahu seharusnya aku berhenti memasangnya, tetapi jika begitu, maka aku akan terus tidur sepanjang hari sampai kiamat menjelang–atau paling tidak sampai nenek sihir itu menyiramku dengan air mendidih.

Seperti biasa, aku merasakan tubuhku menjadi lima kali lipat lebih berat sehingga dengan susah payah aku turun dari tempat tidur menuju kamar mandi. Aku menguap lebar setiap lima detik sekali dalam perjalananku ke kamar mandi yang berjarak sepuluh meter dari kamar tidurku, melewati dapur beserta ruang makan. Kemudian kamar mandi berpintu kayu jati itu akhirnya kutemukan.

Setelah sekitar satu jam setengah, aku telah bersiap-siap dengan seragam kerjaku. Tujuanku selanjutnya adalah bagian terburuk dari yang terburuk karena harus bertatap muka dengan nenek sihir itu. Wanita itu tengah berkutat dengan mangkuk berisi sup miso yang masih mengepul di meja makan. Aku ragu jika kali ini tidak ada racun yang tercampur.

"Sudah kubilang tidak usah repot-repot," ucapan sinisku menjadi sapaan di pagi hari untuknya.

"Seharusnya kau bersyukur aku masih sudi membuatkanmu sarapan," jawabnya tak kalah sinis. Dia mendudukan dirinya di kepala meja, tempat yang seharusnya menjadi milik ayahku.

"Kau yakin tidak menaruh racun di dalamnya?" tanyaku dengan perang batin yang berlangsung ketika aroma menggiurkan yang berasal dari makanan itu memasuki rongga hidungku. "Mungkin saja tanganmu tergelincir."

"Sekarang masih belum saatnya kau mati," katanya dengan nada angkuh menyebalkan.

Okay, kali ini aku percaya. Apalagi cacing-cacing di perutku yang berdemo semakin heboh tatkala aroma sup itu semakin mengeksploitasi hidungku. Aku akui masakannya lezat-lezat. Bahkan sejak pertama kali aku mencicipi tonkatsu buatannya bertahun-tahun yang lalu, saat dia masih menjadi wanita baik hati nan keibuan.

Aku menyelesaikan sarapanku dengan menyisakan sedikit kuah dan remah-remah kecil di dalam mangkuk untuk menjaga harga diriku. Aku melirik wanita itu dan melihat mangkuknya yang sudah tandas. Dia berkata kepadaku setelah meneguk air putihnya, "Cutilah malam ini. Ada seseorang yang akan kukenalkan padamu."

Sekarang aku tahu mengapa dia mau repot-repot membuatkan sarapan. Aku memutar bola mataku seraya mendengus. "Apa yang kau inginkan?"

Dia mendelik dan berkata dengan suara yang ditinggikan, "Ikuti saja kata-kataku!"

"Kau bukan ibuku. Jadi, bermimpi sajalah," kataku sambil menyeringai memandangnya lebih dekat.

"Kau anak dari suamiku, maka secara hukum kau ada di bawah kekuasaanku. Jadi, kau yang seharusnya bermimpi bebas dariku," dia mendesis kejam membalik kata-kataku. "Turuti kata-kataku dan hidupmu akan berjalan lancar."

"Tidak. Mau." Setelah berkata begitu aku bangkit dan sengaja mendorong mangkuk makananku hingga membuat kuah di dalamnya tumpah menggenangi meja makan, sebagian turun membasahi lantai.

"TENTEN!"

"Apa?" tanyaku menantang di depan wajahnya yang sudah memerah, kontras dengan rambut coklat kemerahannya. "Mau mengurungku di gudang? Atau menenggelamkanku di air dingin? Silakan saja kalau kau ingin jadi gelandangan."

Wanita itu mencengkeram kepala kursi hingga buku-buku jarinya memutih. Aku harap dia jantungan dan mati saja.

"AKU JUGA MUAK HIDUP BERSAMAMU, TAHU! KAU, ANAK TAK TAHU DIUNTUNG, JIKA KAU INGIN SEGERA TERBEBAS DARIKU, TURUTI PERINTAHKU!"

Dia terengah-engah setelah menyelesaikan kalimatnya. Aku tidak kaget melihatnya seperti ini. Melihatnya lost control seperti ini membuatku senang. Sebentar lagi pasti dia akan memegang pelipisnya sambil berkata–

"Oh, Ya Tuhan, tekanan darahku ..."

Pagi hari terburuk untuk yang kesekiankalinya. Aku tidak tahu apa yang diinginkannya dariku kali ini, tapi aku yakin ini masih berhubungan dengan uang. Saat mendengar kata-katanya tadi aku bertaruh bahwa aku akan berada dalam situasi yang merugikan jika aku menurutinya. Maka dari itu, aku beringsut pergi dari hadapannya tanpa mengeluarkan persetujuan apapun.

"Awas kalau nanti sore kau tidak pulang, kau akan tahu akibatnya!" aku tidak menanggapi ancamannya. Mana mau aku menuruti perintahnya, bahkan untuk menyebutnya ibu tiri pun aku tak sudi. Dia selamanya akan tetap menjadi nenek sihir matre yang harus kusingkirkan sesegera mungkin.


...Neji POV...

"Sekian presentasi saya kali ini. Rapat akan dilanjutkan setelah tim perencanaan mendapatkan kepastian lokasi. Saya, Hyūga Neji, mohon undur diri. Terima kasih."

Aku membungkuk dengan sopan ke hadapan semua orang di ruangan ini. Basa-basi singkat dengan para investor yang memuji presentasiku tanpa ketulusan berarti, aku langsung keluar menuju ruang kerjaku. Leher belakangku terasa sakit ketika aku menggerakannya. Kepalaku berdenyut-denyut menyakitkan sejak aku bangun tidur. Mungkin ini efek kurang tidur yang akhir-akhir ini aku alami.

Aku langsung membuka laci meja kerjaku saat aku sampai di ruanganku. Botol putih kecil itu kutemukan dan hanya tersisa dua butir ketika aku memeriksanya. Sepertinya aku harus menelepon Shizune hari ini, tapi aku segera menyadari tidak ada waktu untuk itu. Dua puluh menit lagi aku ada rapat dengan para pemegang saham.

Badanku bersandar pada sandaran kursi empukku dengan tangan menjadi bantalan bagi kepalaku. Pandangaku menyisiri ruang kerjaku; ruangan ini tak lebih luas dari lapangan bulu tangkis, dinding yang bercat putih dengan bagian bercat hitam melintang di sepanjang bagian dinding ruangan ini. Pintu kayu ek berpelitur, lantai keramik putih dan hitam berpola segi lima di bagian tengah ruangan. Satu set sofa berwarna putih gading di sisi kiri ruangan; berseberangan dengan sebuah aquarium berukuran sedang berisi ikan-ikan hias yang berenang ke sana ke mari.

Aku suka ruangan ini, apalagi jika sinar matahari menembus dari jendela di belakang kursiku. Tetapi aku tidak suka dengan posisiku di perusahaan ini. Menjadi koordinator cabang mall bukanlah tujuan dan impianku; mimpiku lebih besar dari itu. Namun mereka masih tidak percaya padaku, sekeras apapun aku berusaha.

Tatapanku jatuh pada bingkai foto berisi potret pernikahanku. Aku menghela napas, lalu segera membaliknya tertutup ke meja. Kepalaku semakin terasa berdenyut sehingga aku segera menelan obat yang masih tergenggam di tanganku. Aku melirik arloji dan segera keluar sebelum aku terlambat, perlu waktu lima belas menit untuk menuju kantor pusat.

Aku tiba di sana dan melesat masuk ke ruang rapat, lalu membungkuk ke semua orang sebelum aku duduk di kursiku. Sebagian besar sudah datang, mereka telah menempati dua meja panjang yang diposisikan berhadapan satu sama lain; kulihat Tuan Sarutobi telah duduk di deretan ketiga dari kanan dengan anaknya duduk di sebelahnya, lalu Yamanaka Ino di seberang mereka, nampaknya dia mewakili ayahnya dalam rapat kali ini. Yah, kemarin aku baru saja menjenguknya di rumah sakit.

Aku belum menemukan Paman dan Hinata.

"Hai, Neji senpai," aku menoleh dan segera sadar siapa yang ada di sampingku.

"Kiba. Lama tak bertemu," sapaku.

Kiba adalah seorang teman lamaku. Kami berteman saat di unversitas karena kami berada di klub kampus yang sama, aku adalah kakak tingkat yang membimbingnya dalam kegiatan klub pecinta alam. Aku tidak mengerti mengapa bisa ia berada di sini sebagai perwakilan dari Nyonya Inuzuka, karena, yang kutahu, ia tidak berambisi menjadi seorang pengusaha atau sejenisnya.

"Ya," balasnya tersenyum. "Apa kabarmu, senpai? Istrimu? Keluargamu?"

"Aku baik seperti yang kau lihat sekarang," jawabku. "Keluargaku juga. Sebentar lagi kau akan bertemu mereka. Bagaimana denganmu sendiri? Apa Akamaru sudah besar sekarang?"

Kiba nyengir, "Tentu saja! Dia adalah anjing yang pintar dan hebat. Kau tahu, dia sudah sebesar singa sekarang!"

Aku mencebik geli, "Aku tidak percaya. Mana ada anjing sebesar itu."

"Huh, aku sudah duga kau tidak akan percaya," kata Kiba, "tapi itu benar, senpai! Aku bahkan bisa menungganginya seperti menunggang kuda!"

Aku baru saja ingin menanggapinya lagi, tetapi ruangan sudah menjadi sangat hening. Aku baru menyadari Paman dan Hinata sudah berada di kursi mereka. Paman menatapku sejenak dengan sorot matanya yang tajam penuh perhitungan dan aku menganggukan kepalaku sopan, lalu beliau kembali memandang ke depan. Di depan sana berdiri sebuah podium berlabelkan perusahaan Hyūga Group. Beberapa saat kemudian, seorang pria bersetelan jas yang bertugas sebagai moderator naik ke podium. Dia mulai mengucapkan kalimat pembuka berupa penghormatan kepada setiap hadirin. Kemudian dia mulai memersilakan pamanku, Hyūga Hiashi, untuk memberi sambutan dan lain sebagainya.

"Saya berterima kasih atas kedatangan Anda dalam pertemuan yang agak mendadak ini. Saya harap Anda semua tidak berkeberatan karena pembahasan yang akan kita lakukan kali ini sangat penting untuk keberlangsungan Hyūga Group. Mungkin di antara Anda semua ada yang sudah mengetahui alasan mengapa Anda semua saya kumpulkan di tempat ini."

Mulai terdengar bisik-bisik di beberapa tempat. Pastinya mereka memiliki praduga sendiri-sendiri berdasarkan rumor yang mereka dengar. Aku sendiri hanya terus memerhatikan Paman yang masih memberi jeda dalam sambutannya.

"Aku yakin kau sudah tahu, kan, Neji senpai?" gumam Kiba di sebelahku.

"Hm," aku menggumamkan persetujuan.

"Lagipula, kalau boleh aku berpendapat, Hinata kurang cocok mengisi posisi ini. Dia terlalu baik hati dan itu tidak bagus dalam dunia bisnis yang kejam."

Aku terdiam, namun sangat menyetujuinya dalam hati.

"Walaupun ada beberapa rumor yang tersebar," Paman melanjutkan yang membuat semuanya kembali diam, "tetapi sebagian benar dan sebagian salah. Biar saya perjelas di sini kebenaran rumor tersebut. Anakku, Hyūga Hinata, mengajukan pengunduran diri sebagai Direktur."

Bisik-bisik terdengar lebih riuh kali ini. Aku melihat Hinata tetap duduk tegak mengabaikan tatapan-tatapan yang menuju ke arahnya. Aku bertaruh sebagian besar dari para pemegang saham menyetujui Hinata mengundurkan diri karena menganggap Hinata, seperti kata Kiba, tidak cocok untuk posisinya saat ini. Namun aku juga bisa melihat di antara mereka ada yang tidak sejutu karena merasa khawatir pemimpin yang baru akan lebih sulit digulingkan.

"Saya tahu banyak dari kalian yang tidak menyetujui pengangkatan Hinata sebagai Direktur baru yang menggantikanku lantaran anggapan bahwa Hinata belum mampu memimpin dengan usianya yang masih terlalu muda dan sifatnya yang terlalu lembut terhadap pesaing kita. Yah, saya juga merasakannya. Dan saya rasa kalian memang benar, Hinata masih belum cukup mampu melakukannya."

Hinata telah memimpin perusahaan ini sejak pelantikannya satu tahun yang lalu. Namun belum ada kemajuan signifikan yang perusahaan ini peroleh, bahkan saham perusahaan ini menjadi turun hingga menempatkan Hyūga Group di bawah peringkat pesaing terberat kami, Uchiha Group, dalam bursa saham mingguan. Awalnya aku menentang rencana ini karena telah memprediksi apa yang akan terjadi, tetapi para pemegang saham tampak enggan ambil risiko jika aku yang menjadi pemimpin.

"Selain itu," suara Paman bergema, "ada alasan lain mengapa Hinata memilih mengundurkan diri dan tak bisa kujelaskan saat ini. Maka dari itu, dalam rapat ini, saya menyatakan dicopotnya jabatan Hyūga Hinata sebagai pemimpin Hyūga Group."

Palu diketuk tiga kali. Aku melirik Hinata yang sedang menghela napas, nampaknya dia sudah merasa lega dengan vonis itu. Aku tak bisa menahan diri untuk tidak menyunggingkan seringaiku. Ini akan menjadi peluang terbesarku.

"Kekosongan pemimpin yang Hyūga Group alami saat ini membawa saya ke hadapan Anda semua untuk meminta pendapat mengenai siapa yang pantas menjadi kandidat calon Direktur yang baru."

Rahangku menggeletuk di dalam mulutku. Apa Paman masih belum percaya pada kemampuanku atau ia masih takut dengan opini publik? Dari segi manapun, akulah yang paling cocok mengisi jabatan ini, tetapi semua orang selalu mengungkit-ungkit masa laluku yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan bisnis.

Aku sudah tidak bisa menunggu lagi. Aku segera berdiri dan segala tatapan mulai ditujukan ke arahku. Tatapan mereka bahkan masih sama dinginnya terhadapku, seakan aku hanyalah serangga pengganggu yang tidak patut diperhitungkan. Paman Hiashi masih menatapku dengan sorot yang sama, menungguku bicara. Hinata nampak mulai cemas sekarang.

"Semua peserta yang hadir dalam rapat ini memiliki hak suara, kan?" suaraku bergema memenuhi ruangan, "Maka, izinkan saya, Hyūga Neji, mencalonkan diri sebagai kandidat Direktur yang baru."

Keterkejutan mulai terpancar dari puluhan pasang mata. Gumam-gumam ketidak-percayaan terdengar di seluruh penjuru meja. Aku tak peduli, kali ini jabatan Direktur harus jadi milikku apapun yang terjadi, dan mereka semua harus menerimanya.

"Aku tidak setuju."

Aku tetap memasang wajah tenangku ketika penolakan itu terlontar. Sepasang bola mata coklat di wajah menjijikkan pria tua itu memandangku remeh.

"Kita semua tahu, bukan, citranya di mata publik?" pria tua itu melanjutkan. "Apa kalian ingin saham Hyūga Group semakin terpuruk?"

Raut-raut persetujuan mulai bermunculan akibat provokasi itu. Tanganku mengepal erat hingga buku-buku jariku memucat. Entah apa pria itu membenciku atau bukan, tetapi sepertinya tujuan hidupnya hanyalah menjatuhkanku karena dendam masa lalu terhadap ayahku yang tak sempat dilaksanakannya.

"Saya mohon, percayalah padaku sekali ini saja," kataku bersungguh-sungguh. "Masa laluku tak ada hubungannya dengan ini. Saya akan bekerja keras untuk perusahaan ini dan membuat kalian tidak menyesal karena telah memilihku."

Pria tua itu mencebik, "Bocah ingusan. Kau bilang tidak ada hubungannya, katamu? Jangan buat aku tertawa."

"Saya tidak akan menyerah," aku menatap tajam pria di seberangku. "Saya baru akan menyerah jika kalian tidak puas terhadap pengabdianku pada perusahaan ini."

Pria tua itu semakin geram," Benar-benar anak ini," gumamnya. Dia kembali duduk sembari memukul meja dan berseru, "Sebagai pemegang saham terbesar keempat, pokoknya aku tidak setuju!"

"Harap Tuan Watanabe untuk tidak membuat keributan," suara moderator di sudut panggung.

Aku kembali duduk, masih membalas tatapan tajam pria tua itu.

Paman Hiashi berdeham sebelum berkata, "Apa di antara Anda semua ada yang memiliki kandidat lain yang juga berasal dari Hyūga? Aku tidak ingin memutuskan secara sepihak. Aku akan menguji para kandidat sebelum memutuskan siapa yang benar-benar memenuhi kriteria."

Semuanya hening, bahkan pria tua Watanabe itu. Cih, menentangku habis-habisan, tapi dia sendiri tidak ada kontribusinya. Hanya bermodalkan saham 15%, bisa apa dibandingkan dengan 34% milikku? Apa dia lupa kalau aku pemegang saham terbesar kedua?

"Tidak ada?" kata Hiashi setelah menunggu beberapa detik.

Aku semakin tidak bisa menahan seringaianku sekarang. Dengan tidak adanya kandidat lain, mau tak mau mereka harus menerimaku. Aku berdiri.

"Kalau begitu, bukankah hanya saya, calon yang satu-satunya memungkinkan, Presdir?" mataku menatap Hiashi mantap. "Saya akan menerima latihan uji coba selama tiga bulan jika Anda dan kalian semua," aku menatap semua peserta rapat, "masih meragukan kemampuanku. Saya akan bekerja keras memajukan perusahaan ini, saya akan membuktikannya."

Pandangan Hiashi menyiratkan pemikiran berat dan dalam yang tengah dialaminya. Ini memang keputusan yang sulit; citraku yang kurang baik karena latar belakangku bukanlah hal yang bisa diremehkan. Opini publik juga sangat memengaruhi nilai saham. Namun, seperti ucapanku sebelumnya, aku akan bekerja keras. Aku akan membalikkan citra burukku dan membuat kata-kata kasar mereka tentangku disumpalkan lagi ke dalam pantat mereka.


...Tenten POV...

"Come on, everyone, we have been arrived! Let's do your great day here! Thank you very much, Ladies and Gentlemen!"

Semua penumpang bersorak dan bertepuk tangan, lalu mulai berdiri dan mempersiapkan barang-barang yang akan mereka bawa untuk turun. Aku saat ini tengah berada di salah satu museum tradisional Konoha yang terkenal, Museum Shinobi. Museum ini merupakan tempat di mana semua orang bisa melihat peninggalan-peninggalan bersejarah dari para ninja petarung yang disebut shinobi. Berbagai artefak ninja yang dipajang di sini begitu memancing perhatian dari berbagai turis yang berkunjung ke Konoha.

"Kau mau menunggu di situ saja?" tanyaku pada Lee yang bertugas sebagai pengemudi.

"Ya, Tenten. Kau masuk saja," jawabnya, lalu kembali melanjutkan kegiatannya menghitung uang.

Para pengunjung yang kubawa telah memasuki dan mengamati seluruh penjuru ruang museum bersama seorang guide menyertai mereka. Aku sendiri ikut menikmati kunjungan ini. Aku begitu bersemangat kalau sudah melihat senjata-senjata keren itu. Bahkan aku hafal beberapa nama, seperti kunai, shuriken, pedang kusanagi, dan lain sebagainya.

Omong-omong, aku bekerja sebagai tour guide di usaha traveling milik seorang temanku. Hanya usaha kecil dan independen sih. Temanku membuka usaha ini bermodalkan sebuah bus dan uang sebesar 200 dolar hasil tabungannya. Aku yang tengah putus asa dengan pekerjaan serabutanku di pasar ikan, membuatnya memutuskan merekrutku sebagai partnernya untuk membangun usaha ini dari nol. Awalnya aku menolak karena merasa pesimis akan berhasil atau tidak, tetapi temanku adalah seseorang yang pantang menyerah. Ia menyemangatiku tanpa bosan setiap hari agar aku bisa lebih optimis. Akhirnya kami menjalankan pekerjaan ini sampai dua tahun dan hasilnya tidak terlalu buruk.

Aku bekerja sebagai pemandu, sedangkan temanku yang bertugas sebagai supir. Ya, dia adalah Lee, teman semasa SMA-ku. Bisa dibilang dia adalah satu-satunya sahabat baikku.

Setelah lulus SMA, kami memutuskan untuk tidak kuliah. Lee berkata, dia sudah lelah berkutat dengan buku, ia menginginkan kehidupan luar yang menantang, sementara aku tidak kuliah karena tiadanya biaya. Tidak–bukan tidak ada sebetulnya, tetapi uang asuransi pendidikanku–beserta asuransi kematian Ayah–terpaksa dikorbankan demi mempertahankan rumah yang telah kutinggali sejak aku lahir. Rumah yang Ayah wariskan untukku.

Ayahku meninggal delapan tahun yang lalu karena kecelakaan saat mengejar penipu yang membawa lari uangnya. Waktu itu adalah masa-masa paling sulit dalam hidupku. Ayah kena tipu seorang temannya hingga perusahaan akhirnya mengalami kebangkrutan, lalu Ayah meninggal dunia dan meninggalkanku bersama utang-utang perusahaan yang menumpuk. Akhirnya aku harus merelakan seluruh aset keluarga untuk membayarnya–beruntung aku masih bisa mempertahankan rumah berkat uang asuransi. Walaupun sebenarnya itu masih belum cukup untuk menebusnya total, tapi ibu tiriku memohon hingga akhirnya pihak bank bersedia memberi keringanan (karena perusahaan ayahku tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan Hyūga atau Uchiha Group yang terkenal itu) dengan menerima setoran pembayaran melalui kredit.

Omong-omong, ibu tiriku–atau aku biasa menyebutnya nenek sihir matre–bernama Mei Terumi. Dia wanita berusia empat puluh lima tahun yang sangat cantik. Ia sudah menjadi ibu tiriku sejak aku masih kelas satu SMP. Sikapnya sangat baik padaku saat dulu kami baru menjadi keluarga. Aku pikir kebangkrutan perusahaan tidak akan memengaruhi hubungan kekeluargaan kami, namun rupanya aku salah besar. Dia semakin menunjukkan sifat aslinya hingga puncaknya saat aku lulus SMA. Mei menjadi lebih dingin padaku, tidak peduli apa yang aku lakukan, aku selalu salah di matanya. Dia selalu menyinggungku yang belum mendapatkan pekerjaan dan suka mengungkit-ungkit segala kebaikan yang pernah ia lakukan untukku. Aku kerap mendapat hukuman jika tak patuh atau melakukan suatu kesalahan.

Sampai suatu hari aku tak sengaja menguping pembicaraannya dengan pengacara keluarga kami. Dia benar-benar ingin menyingkirkanku dari rumah. Dia berusaha menyuap Pak Pengacara untuk mengubah surat wasiat agar ia bisa memiliki rumahku dan mengusirku ke jalanan. Aku bertanya-tanya apakah ini tujuannya sejak awal.

Mei tahu bahwa aku telah mengetahui niat busuknya dan dia sungguh telah menabuh genderang perang denganku. Dia melancarkan segala cara yang dia bisa untuk menyogok Pak Pengacara sampai setahun yang lalu, namun sayangnya tak berhasil. Aku bersyukur hingga surat wasiat itu dibacakan (usiaku dua puluh satu tahun), rumah ini resmi menjadi milikku dan membuat Mei Terumi mengemis agar aku tak mengusirnya ke jalanan seperti yang pernah ingin ia lakukan padaku.

Namun sepertinya nenek sihir itu memiliki seribu satu cara untuk menyengsarakanku. Dia menggunakan perannya sebagai ibu tiri untuk mengendalikanku. Sampai akhirnya dia mencoba bernegosiasi denganku bahwa jika aku ingin Mei Terumi mengangkat kakinya dengan sukarela dari rumahku, maka aku harus memberinya sejumlah uang sebagai ganti atas kebaikannya mengurusiku selama delapan tahun plus tebusan yang ia keluarkan untuk mempertahankan rumah sangat membencinya hingga ke sum-sum tulang. Jadi, aku ikuti permainannya. Aku harus bekerja keras untuk mendapatkan uang banyak agar bisa cepat melunasi utang-utangku dan segera menendangnya keluar dari rumahku. Bagaimana pun, aku akan mengumpulkan uang banyak, bahkan jika harus menjual jiwaku pada iblis sekalipun.


...Neji POV...

Aku memilih kembali ke kantorku dan melanjutkan pekerjaanku sampai waktu kerja berakhir. Kepalaku sudah tidak sakit lagi saat aku membereskan barang-barangku, bersiap untuk pulang. Ino menelepon ketika aku sampai basement. Apa yang dia inginkan? Apa dia memintaku menjemputnya lagi dari rumah kekasihnya?

"Halo, ada apa, Ino?"

"Neji, bisa jemput aku sekarang?"

Tuh, kan. "Di tempat yang sama seperti tiga hari lalu?"

Ino membenarkan dan aku segera memacu mobilku menuju kompleks perumahan Ne. Hari sudah semakin gelap ketika aku hampir tiba di sana. Aku mendekati rumah yang aku tuju, hampir saja aku salah rumah sebelum mendapati sepasang muda-mudi yang kukenal tengah bercumbu satu sama lain. Cih, apa pantas orang seperti mereka melakukan hal seperti itu di tempat umum semacam teras? Di mana otak mereka?

Aku mengklakson mobilku keras dan tiba-tiba untuk mengagetkan mereka, dan aku berhasil. Mereka memisahkan diri cepat-cepat dengan wajah memerah di bawah sinar lampu. Ino memeluk laki-laki itu sekali lagi, lalu melambai padanya dan segera berjalan memasuki mobilku. Aku segera meninggalkan tempat itu.

Aku menyetir dalam diam. Enggan bicara apapun setelah segala yang terjadi hari ini. Ino akhirnya menyerah dengan kekakuan suasana dan mulai membuka pembicaraan, "Kau mengagetkanku tadi."

Aku berdebat dalam hati apakah aku harus membalas perkataannya atau tidak. "Kalau tidak begitu, kalian tidak akan berhenti."

Pasti Ino merengut saat ini. "Kau bisa memanggilku atau apa, kan? Tidak perlu klakson sekeras itu."

"Yah, maafkan aku," ujarku malas-malasan dan aku bersyukur Ino tidak memermasalahkan ini.

"Omong-omong, kau sungguh-sungguh terhadap ucapanmu di rapat tadi?" tanya Ino

"Tentu saja," aku mencebik pelan. "Aku sudah pernah bilang padamu, kan."

Ino menarik napas, "Ya, aku senang jika kau melakukannya. Kalau kau berhasil, aku yakin Ibu tidak akan memandangmu sebelah mata lagi."

Tak terasa kami sampai di rumah. Rumahku adalah sebuah rumah bergaya tradisional yang mewah. Para bangsawan Hyūga di zaman Shinobi juga pernah menempati rumah ini dan diturunkan secara turun-temurun hingga Hyūga yang sekarang. Barang-barang antik menghiasi hampir setiap sudut rumah–nyaris terlihat seperti museum.

Paman Hiashi sudah duduk di ruang keluarga ketika aku dan Ino masuk. Kami membungkuk hormat sebelum kami duduk di hadapannya. Paman menyesap minuman di cangkirnya, lalu menyuruh Ino untuk masuk ke kamarnya. Kelihatannya ada yang hendak Paman bicarakan denganku. Aku yakin ini ada hubungannya dengan rapat tadi.

"Neji," Paman menatapku serius, "kau sudah tahu, kan, apa yang akan kubicarakan sekarang?"

Aku mengangguk tanpa melepaskan pandanganku dari Paman.

"Aku hanya bisa mendukungmu jika kau sudah mengambil keputusan," katanya. "Kau tahu, kan, aku hanya tidak ingin kau terluka lagi. Aku telah bersumpah pada adikku untuk menjagamu."

"Ya, aku tahu," jawabku. "Aku sudah terbiasa dengan itu, Paman. Jadi, aku mohon percayalah padaku sekarang."

Hal selanjutnya terjadi membuatku terkejut. Ayah mendekat dan memberi tepukan lembut di kepalaku, seperti yang sering dilakukan ayahku ketika aku masih anak-anak. Wajahnya yang sangat mirip membuatku seakan melihat Ayah dan secara tiba-tiba aku merasa sangat bahagia.

"Berjuanglah, Anakku," lalu beliau berlalu dari hadapanku.

Ya, aku akan berjuang, Paman. Selama mataku masih hitam, sampai titik darah penghabisan.


...Tenten POV...

Aku menyelesaikan pekerjaanku tepat waktu. Aku bersyukur pekerjaanku hari ini berjalan lancar. Aku sangat menikmatinya hingga ancaman nenek sihir tadi pagi tidak berhasil mengacaukan pikiranku. Aku tidak pernah benar-benar takut akan ancamannya selama delapan tahun. Aku menyandar pada kursi penumpang sambil menghela napas, Lee fokus menyetir.

Aku sampai rumah dua menit kemudian, lalu mendapati sepasang sepatu asing di teras. Aku bertanya-tanya dalam hati. Apakah itu nenek sihir itu mulai lancang lagi dengan membawa orang asing masuk ke rumahku? Aku masuk dan segera menangkap sosok ibu tiriku yang tengah duduk di sofa ruang tamu dengan seorang tamu–laki-laki?–yang duduk membelakangiku.

"Siapa bilang kau bisa seenaknya membawa orang asing ke dalam rumahku, huh?" aku langsung melemparkannya kata-kata tajamku tanpa peduli adanya tamu. Itu tamunya, bukan tamuku. Jadi, peduli setan!

Mei mendelik sejenak dan segera digantika dengan ekspresi tak enaknya pada si tamu. "Ehm, maafkan anak saya. Dia memang agak sensitif orangnya," katanya dengan senyum canggung, lalu dia berpaling kepadaku dengan wajah sok manis, "Ah, Tenten, kemarilah. Ini orang yang mau kukenalkan padamu."

Aku mengerutkan alisku dalam-dalam. Jadi, ini yang dimaksud dengan 'akibat' yang dia katakan jika aku tidak ambil cuti? Sialan kau, Mei! Namun sebelum aku bisa mengeluarkan kata-kata protesku, Mei segera menarikku duduk di sampingnya, di hadapan tamunya.

Adalah seorang pria berumur sekitar tiga puluh tahunan, berambut hitam klimis yang wanginya menyengat hidung, mengenakan setelan tuksedo hitam dengan dasi pita yang senada dengan warna tuksedonya. Matanya berwarna coklat dengan sedikit kerutan di sudut bingkai matanya. Dia memandangku dengan senyuman miring, yang sukses membuat tanganku gatal ingin menonjoknya.

"Beri salam!" Mei berbisik tajam di telingaku dan aku membalasnya dengan pelototanku. Cih, aku tidak biasa bersikap ramah pada orang yang baru kukenal, terlebih dengan pria tua sok keren di hadapanku ini. Mei dengan tingkah canggung-sok manisnya kembali meminta maaf atas sikapku pada pria itu.

"Tak masalah," katanya dengan nada yang terdengar menjijikkan.

"Ehm, baiklah, bagaimana jika kutinggal kalian berdua. Jadi, kalian bisa saling mengenal lebih dalam. Bagaimana?"

Aku mendelik terkejut. Tanpa berpikir aku segera berseru, "Hei, apa-apaan ini? Kau mau menjualku pada orang ini, huh?" kata-kataku lantas membuat Mei membelalak tak percaya.

"Apa yang kaubicarakan? Cepat duduk!" Mei menekan bahuku, tetapi aku mengelak dengan cepat.

"Aku benar, kan?" tanyaku menantang. Pria itu hanya memandang kami penuh kebingungan. "Dasar wanita menjijikkan!"

Aku segera merasakan pipiku terbakar. Mei menamparku. Aku menatap Mei penuh kemarahan. Huh, setidaknya ini akan menjadi opera sabun yang seru untuk pria itu, meskipun aku ingin sekali mematahkan tangan kotor yang telah berani menamparku.

"Dengar, ya, Tuan," kataku pada pria itu setelah beberapa detik aku berusaha mengendalikan diriku, "saya bukan barang yang bisa dijual dan dibeli seenaknya. Dan Anda harus tahu, wanita ini bisa memerasmu sampai depositomu kering kerontang. Jadi, berpikirlah seribu kali jika ingin berbisnis dengannya!"

Aku langsung beranjak pergi ke kamarku tanpa memedulikan teriakan-teriakan Mei memanggilku. Aku tahu bahwa hari ini akan menjadi hari terburukku jika aku sampai menuruti keinginan wanita itu. Enak saja dia mau menjualku. Kenapa dia tidak menjual dirinya sendiri saja jika dia begitu cinta pada uang? Meskipun dia belum mengatakan tujuannya mengenalkanku pada pria itu, tetapi aku bisa langsung tahu kalau semua itu masih berhubungan dengan uang–mungkin dia sudah tidak sabar untuk aku segera melunasinya.

Aku sejenak merasa aman setelah berhasil menyingkirkan pria genit tadi, tetapi saat pintu kamarku didobrak keras oleh Mei yang nampak naik pitam, aku merasa nyawaku menghilang setengah. Shit! Kau tidak usah takut padanya, Tenten!

"PUAS KAU?" dia berteriak. "PUAS KAU MENGHANCURKAN SEMUANYA?"\

"Kau mau menjualku, masa aku diam saja?" kataku cuek, berusaha menahan emosi yang sedari tadi bergejolak di dadaku. Aku masih memegang prinsip bahwa tak ada gunanya meladeni orang kalap dengan kekalapan.

"AKU TIDAK MENJUALMU!"

"Apapun bentuk pertukaran dengan uang, itu sama saja dengan jual-beli," kataku. "Dan perdagangan manusia dilarang di Negara Hi."

"Jangan sok tahu kau, anak kecil!" sahutnya, sudah tidak berteriak seperti tadi lagi. "Kau tahu, pria tadi itu adalah direktur perusahaan percetakan yang ingin menikahimu. Dia menjanjikan sebuah vila elit di Okinawa setelah kalian menikah. Tapi kau dengan tololnya memulai pertengkaran di hadapannya! Kata-katamu tad–"

"Diam!" aku menyelanya. Aku sudah benar-benar muak dengan perkataannya. "Persetan dengan pria itu! Sampai kapanpun aku tidak akan mau kau jodoh-jodohkan dengan pria-pria tak jelas itu!"

"Tak jelas, katamu? Ka–"

"Kalau kau begitu tidak sabar, baik. Aku akan segera melunasi utang-utangku selama delapan tahun! Kau dengar itu?" kataku keras.

Mei menyeringai meremehkan, "Dengan pekerjaanmu itu? Jangan mimpi satu juta delapan ratus ribu bisa kaukembalikan!"

Aku bangkit berdiri, lalu melangkah mendekatinya, "Pegang kata-kataku. Berikan aku waktu dua minggu. Jika sampai waktu itu aku belum memberimu seratus delapan puluh ribu ryo, maka kau boleh menikahkanku dengan pria kaya manapun yang kau inginkan."

Mei mendecih, "Seratus delapan puluh, katamu? Sembilan puluh ribu pun aku tidak yakin kau bisa megumpulkannya."

Aku menjadi sedikit gentar dengan kata-katanya, tapi aku harus berhenti berpikiran pesimis!

"Pegang kata-kataku," kataku sekali lagi dengan mantap. "Dua minggu lagi akan aku transfer Seratus delapan puluh ribu ryo ke rekeningmu."

"Lalu sisanya?" tanyanya masih dengan nada remeh.

"Tentu akan aku lanjutkan terus sampai lunas."

"Percaya diri sekali," gumamnya. "Baiklah, aku ikuti permainanmu. Bersiaplah untuk pria berikutnya."

Setelahnya wanita itu keluar dari kamarku. Meninggalkanku dengan sejuta pemikiran. Seratus delapan puluh ribu dalam waktu dua minggu? Janji bodoh apa yang kuucapkan?–Sssttt, tidak, tidak, Tenten, kau harus optimis! Yakin pada dirimu sendiri bahwa kau bisa melakukannya! Aku tidak akan kalah begitu saja dari nenek sihir mata duitan itu.

Yah, kau harus berjuang, Tenten.


...Neji POV...

"Neji."

Ino memanggil dan aku memilih mengabaikannya. Aku tidak punya waktu untuk pillow talk, sementara jam tidurku sangat minim. Malam ini adalah satu dari sedikit waktu yang bisa kudapatkan untuk tidur nyenyak. Dan aku tak ingin Ino mengacaukannya.

"Neji, kau dengar aku?"

Aku masih tidak menghiraukannya sampai akhirnya aku menyerah karena Ino mulai mengguncang-guncang tubuhku. Aku segera berbalik dan memberinya tatapan kesal disertai mata kantukku.

"Aku mau bicarakan sesuatu denganmu. Bisakah kau mendengarnya?" kata Ino ikutan kesal.

"Simpan saja untuk besok di makan malam keluarga."

Ino malah menarikku kembali ketika aku ingin berbalik. Aku mendecak kesal tak bisa berbuat apa-apa karena Ino memegangi tanganku.

"Itulah yang ingin aku bicarakan, Neji," katanya. "Jadi, dengarkan aku karena ini sangat penting dan darurat!"

Apa kata-katanya tidak terdengar berlebihan? "Cepat katakan dan jangan ganggu aku lagi."

"Iya, iya," katanya. "Makan malam besok, ayahku mengusulkan kita untuk segera punya anak. Bagaimana menurutmu?"

Aku segera tertarik pada pembicaraan ini. Jantungku berdegup lebih cepat.

"Kau menyetujuinya?"

Ino menggeleng. "Aku bilang, aku mau minta pendapatmu dulu."

Aku terdiam sejenak. Oh, ya, apa aku belum menceritakan tentang Ino? Ya, Yamanaka Ino yang tadi hadir dalam rapat. Dia adalah istriku. Kami sudah dua tahun menikah dan selama itu pula tidak saling mencintai. Kalian sudah tahu, kan, tadi aku memergokinya bercumbu dengan pria lain? Kami menikah karena perjodohan. Biasa, untuk mempererat hubungan bisnis antara Hyūga dan Yamanaka (meskipun sebenarnya ibu Ino tidak merestui). Aku dan Ino tidak bisa menolak.

Namun kami memiliki kesepakatan kotor di balik punggung keluarga kami.

"Aku menolaknya dan kau juga harus," kataku mengultimatum.

"Kalau aku mau jujur, aku juga pasti menolaknya," kata Ino menghardik. "Tapi bagaimana kalau mereka memaksa? Aku harus bilang apa, Neji?"

"Bilang saja kita sibuk," kataku. "Kau masih ingin berkarir, kan? Aku juga masih harus uji coba untuk promosiku. Mereka akan mengerti.

Ino mendengus, "Terserahlah. Oyasumi."

Aku kembali berbalik memunggungi Ino. Aku belum bisa langsung pulas karena memikirkan hal ini. Selama dua tahun ini tak ada yang tahu mengenai hubungan pernikahanku yang sebenarnya. Sekarang mertuaku meminta cucu dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan jika mereka tetap ngotot meski telah kuberi pengertian.

Apa semuanya akan terbongkar sebelum lima tahun?

-To be continued-


A/N

Fanfic ini dipublish hanya untuk menambah archive NejiTen aja. Saya gak tahu bakalan dilanjut sampai tamat atau malah discontinue T.T #pleasejangantimpuksaya

Masalahnya saya nulisnya mood-mood-an(?) Kalo gak mood/gak ada ide/gak ada waktu, ya saya gak bakal lanjutin. Saya cuma lagi pusing mikirin kerjaan dan dua fanfic saya (SasuSaku dan Harry Potter) yg gak ada ide-mood-waktu untuk dilanjutin T.T Jadi, please jangan paksa saya untuk melanjutkan ini karena saya gak tahu bakalan jadi apa fanfic ini T.T

Yasudahlah, semoga kalian gak dendam ama saya dan suka sama cerita ini. Terima kasih sebesar-besarnya untuk kalian yang sudi membaca fanfic mainstream ini dan masih bersabar menunggu 'Complicated' dan 'The Black Princess' #tebarkiss&hug