Sakurai membiarkan sepuhan semilir angin malam yang membelai lembut surai coklatnya.

Agak canggung sepasang bola mata kembarnya melirik atmosfer sekeliling, karena ini merupakan hari pertamanya menjarah sebuah jalan yang tak pernah dia tapaki sebelumnya.

Salahkan dirinya, karena dia kelaparan sepulang latihan bersama tim basket Tōō, sedang bento yang sehari-hari dibawanya telah kandas dilahap sang Ace, The King of Buluk, Aomine Daiki (coret julukan terakhir). Beruntung sekali Imayoshi-senpai merekomendasikan sebuah restoran fast food padanya di saat situasi genting.

Antara meminta maaf atau berterimakasih padanya, Sakurai masih bingung.

"A-ah, ini Maji Burger itu ya?" bisiknya pada diri sendiri, dengan sebuah decak kagum dan segaris kurva manis di wajah tampannya.

Dia menengok ke dalam resto yang masih dipenuhi kalangan pelajar walau hari sudah larut. Lupa diri akan rasa lapar yang menggerayangi perut, Sakurai malah menciut saat melihat orang-orang di dalamnya. Seketika tampangnya mengkerut keriput dipenuhi rasa kecut.

Ah, masa bodoh sih.

.

.

.

pindanglicious proudly present
a fanfiction dedicated for Fujo(dan)shi Independence Day 2013

disclaimer
Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi
I didn't take any profit by making this fanfiction eue

Warning
OOC:IC = 50:50 (?), BL, humor garing, semi canon (skip time, meureun? /ngek), crack, bumbu romance cuma implisit, Kuroko jadi seme—aduh!

.

.

.

Dengan menggenggam nampan berisikan sebuah burger‒lengkap dengan soft drink-nya, Sakurai yang masih mematri ekspresi awkward di wajahnya berjalan kikuk. Dia menghampiri sebuah bangku yang berhimpitan dengan dinding kaca di pojok restoran, guna menghindari perhatian orang-orang di sekelilingnya.

Shooting guard tim Tōō bernomor jersey 9 itu menghempaskan bokongnya di kursi panas. Ditaruhnya nampan berisi makan malamnya di atas meja, dan mulai membuka bungkus merah yang menyelimuti seluruh permukaan burger deluxe tersebut. Sakurai yang kelaparan di malam hari sepulang latihan menggigit ujung permukaan roti burger dengan penuh penghayatan. Sang delusional self-blamer itu tak menyadari sepasang mata yang sedari tadi memperhatikannya.

"Dōmo. Sakurai-kun,"

Tiba-tiba sebuah suara datar berujar—diiringi dengan suara seruputan sedotan yang menghisap tetesan terakhir vanilla shake di dalamnya.

Ryō Sakurai tak bergeming sejenak. Dia memberhentikan makan malam di tengah kegaduhan dalam lambungnya (baca: keroncongan). Namun sedetik kemudian sklera yang terpasang kokoh dalam rongganya itu terbelalak, melebarkan sepasang iris matanya yang senada dengan belgian chocolate. Dia mengenal sosok laki-laki bertampang straight face yang baru saja menyapanya dengan intonasi monoton tersebut.

"GYAAAA! K-KUROKO-SAAAN?! SEJAK KAPAN KAU—AH! MAAF! AKU TIDAK MELIHATMU!" jeritnya panik, hendak memindahkan barang jarahannya ke meja lain. Orang-orang di sekitarnya melirik dua remaja pria itu dengan tatapan terkejut dan bingung.

Ayolah, mana mungkin Sakurai tak mengenal laki-laki setengah makhluk supernatural di hadapannya ini? Kuroko Tetsuya adalah pemain tim Seirin yang sempat dua kali melawan timnya, dan mengalahkannya di pertandingan Winter Cup kemarin.

"Suaramu terlalu kencang, Sakurai-kun,"

Kuroko kembali melantunkan sebuah teguran tak berintonasi. Dengan tampang paniknya, Sakurai masih saja berdiri dengan sekujur tubuh yang menegang. Detak jantungnya berdebar kencang meruntuhkan pilar ego dan merobek urat malu. Ups.

"Ya ampun maafkan ketidaksopananku! Ma-maaf! Maaf, Kuroko-san! Maaf! Aku tak melihatmu duduk di situ, maaf! A-aku akan pindah—sekali lagi maaf!" kalapnya dengan suara berat yang direndahkan satu oktaf.

Hendak sang jamur pengemis maaf itu melangkahkan kakinya keluar arena, dia merasakan sebuah tangan dingin yang menahan pergelangan tangannya. Laki-laki itu menoleh, melihat sosok yang sangat dihormatinya—setelah peristiwa kekalahan timnya—dengan senyuman extremely awkward. Ditambah aliran bulir keringat dari pelipisnya, memperekstrem suasana kikuk bercampur malu yang luar biasa kentara. Sakurai berdoa agar Tuhan mengirimkan malaikat pencabut nyawa untuk segera memungut ruhnya dan melemparnya ke dalam zona nirwana.

"Tak apa, kau bisa duduk di sini kalau mau, Sakurai-kun. Kau bebas memilih tempat," tawar sang surai biru cerah, masih dengan suara baritone datar dan wajah wibawa. Segaris kurva tampan tak kasat mata (namun Sakurai dapat melihatnya) terukir indah di wajah sang pemain dengan tinggi badan terpendek di tim Seirin tersebut. Si jamur tak mengetahui asal usul darimana datangnya degupan jantung yang menghujam dada.

'Kuroko-san keren sekali—ehh?'

Sakurai menggeleng-gelengkan kepalanya dengan wajah manis yang sedikit bersemu. Alah, mana mungkin dia maho. Dia masih senang memperhatikan lekuk tubuh dan dada bohai si pinky manager—yang kerap mengklaim dirinya sebagai pacar Tetsu-kun—dan membaca segudang artikel Mai-chan bersama Aomine. Tunggu, apa ini!

'Pantas Momoi-san menyukainya,'

.

.

.

"A-anu, maaf,"

Sakurai kembali membuka suara dengan gelagat canggung dan garukan di pipi yang tak gatal. Dia tak tahu harus tertawa (tidak, ini tidak sopan) atau menegur laki-laki setengah hantu di hadapannya ini. (Kuroko tak berhenti menghisap sedotan vanilla shake-nya dengan khidmat padahal nyatanya sudah habis sedari tadi).

Pantas badannya tidak tumbuh setinggi pebasket lain. Harus bilang kasihan atau maaf ya?

"Hn? Kenapa anumu?"

Kuroko hanya merespon laki-laki itu dengan tolehan wajah super flat dan sebuah kalimat ambigay. Sakurai lagi-lagi tersenyum bingung, antara ingin tertawa terbahak-bahak (lagi, lagi, dan lagi) atau merasa bersalah, sebab dia berpikir kalau Kuroko tengah brokoro(1) karena kalimatnya tadi soal tinggi badan. Makanya intonasinya tidak jelas begitu.

'Aduh Kuroko-san dari tadi membuatku ingin tertawa melulu sih,'

"I-itu, maaf! Bu-bukan soal 'itu'. A-aku tidak bermaksud meninggikan diri tapi—suatu kehormatan bagiku bisa bertemu langsung dengan Kuroko-san seperti ini, sungguh!" gagap Sakurai, nyengir kuda. Menampilkan sebiji wijen bekas burger yang tadi dimakannya tersemat di balik gigi putihnya.

Pemain Seirin nomor 11 sekali ini mengangkat sebelah alis biru mudanya bingung. Lelaki manis di hadapannya kembali merasakan heart attack melihat kekerenan seorang Kuroko Tetsuya yang (katanya) universal uke. "Terhormat?" tanyanya heran. Akhirnya laki-laki penjaga perpustakaan Seirin tersebut bisa menampakkan secercah ekspresi kebingungan.

"I-iya benar! Maaf sekali kalau aku sangat lancang mengatakan ini, tapi … aku senang! Aku senang sekali bisa mengobrol langsung dan mendengar Kuroko-san memanggil namaku dengan panggilan 'Sakurai-kun'. Aku bahkan mengenal Kuroko-san sejak lama sebelum pertandingan pertama kita. Aomine-san dan Momoi-san sering membicarakanmu," tuturnya panjang lebar, namun beruntung karena Kuroko bersabar mendengarnya dari awal hingga ke akhir. As people said he's truly a gentleman.

"Ng-ngomong-ngomong, maaf aku terlalu cerewet hari ini. Tapi, darimana Kuroko-san mengenal namaku dan menyadari kehadiranku?" si pemuda bermanik hazel melanjutkan sepatah kalimatnya yang sempat terpotong, khawatir dicap sebagai fussy freak oleh orang yang sangat diseganinya ini.

Netra milik Kuroko menatapnya intens, tak menyadari kalau sedari tadi dirinya membuat kokoro sang delusional self-blamer jagoan Tōō itu berdoki-doki. (Tenang, ini bukan love at the first sight, cuma awkward kok. Awkward.)

Si bayangan tim Seirin tersenyum awesome. Jati diri sebagai seorang lelaki seme kembali muncul dalam benaknya. Shooting guard tim Tōō menelan ludahnya, tak tahu harus berkata apa.

"Tak apa, aku juga senang bisa mengobrol langsung denganmu seperti ini," —dia menjeda. Dengan satu tarikan napas seksi. "Aku mengenal semua pemain Tōō. Termasuk Sakurai-kun. Suatu kehormatan juga untukku bisa bertemu dengan shooting guard unggul sepertimu, Sakurai-kun (Ajari aku sesekali, ne?),"

Sakurai tidak bisa membalas pernyataan sama yang dilontarkan oleh Kuroko. Dia sangat merasa tersanjung oleh pujian si manis hantu Seirin ini. (Sekali lagi kokoro-nya berdoki-doki ambigay)

Hening sejenak. Rasa canggung kembali menyelimuti atmosfer antara Sakurai dan Kuroko. Entah kecanggungan ini hanya one sided semata atau bukan, tetapi Sakurai dapat merasakannya.

Kuroko memperhatikan orang-orang di sekelilingnya yang mondar-mandir sana sini.

Merasa tak enak hati, si lelaki jangkung bertampang semanis madu cuma menundukkan kepalanya, menatap kosong permukaan meja makan yang ditempatinya sebagai media kencan (uhuk) bersama Kuroko. Mau mengakhiri perjumpaan dan asal selonong pun, rasanya tidak sopan. Dia bukan laki-laki pelanggar norma dan selalu menjunjung tinggi kesopanan. Manner is everything. Ngek.

"Oh iya,"

Selang beberapa detik berikutnya mantan pemain Teikō tersebut berani membuka pembicaraan. Sakurai memekikkan kata maaf dan refleks mendongakkan kepalanya menatap mata the phantom sixth man player dari kiseki no sedai yang sebening air laut. 'Apa Kuroko-san mulai merasa bosan?' batinnya menuding-nuding diri.

"Aku baru pertama kali melihat Sakurai-kun di sini."

"E-eh, itu,"

Sakurai menganggap tatapan mata bulat itu sebagai intimidasi. Dendrit sarafnya menerima sebuah rangsang yang membuat hatinya bergetar. Ini baru pertama kali berhadap-hadapan dengannya, lho. Tetapi entah mengapa dia merasa senang melihat dan bertemu—bahkan mengobrol—dengan Kuroko, bukan sebagai lawan, melainkan kawan yang menemani makan malamnya hari ini.

Antara berkata "Sebenarnya aku kelaparan," atau "Aomine-san memakan bento-ku sampai habis, jadi aku makan malam di sini,", kalimat mana ya yang pas untuk digunakan sebagai jawaban?

Oh. Sakurai tak bisa menyalahkan Aomine. Aomine pantas menghabiskan bekalnya. Lagipula, dia menganggap dirinya dan Aomine bagaikan babu terkutuk berpakaian buluk sana sini dan majikan fabulous-nya (yang sama-sama buluk). Oke, jangan diambil hati. Itu menurutnya, lho. Menurut Sakurai pribadi. Entah mengapa lelaki ini hobi menganggap setiap hari adalah lebaran dan selalu menyalahkan diri sendiri.

'Ayo Ryō, jangan sembarangan menuding orang!'

"A-aku memberikan semua bento -ku pada Aomine-san, kukira tak akan ada latihan basket sampai selarut ini, jadi a-aku…. Ah, ma-maaf, aku tak bermaksud menyalahi Aomine-san!"

"Aomine-kun merampas bento-mu?"

"E-eeh bukan begitu, aku sendiri yang memberikannya. Setiap hari begitu, kok. He … hehehe …"

Sakurai tertawa garing. Seems legit. Kuroko kembali menghujamnya dengan tatapan datar and his usual straight face. Eh, tidak. Alisnya (kembali) sedikit bertaut. Sepertinya otak si pemuda hitam ini telah mengambil sebuah konklusi. "Sebenarnya kau bisa menolaknya," paparnya seraya menyilangkan kedua jari telunjuknya di depan si pemuda coklat.

"E-eh, tidak bisa, m-maaf, sungguh, aku tidak bi—"

"Kau bisa, Sakurai-kun. Hanya dengan menyertakan alasan, Aomine-kun pasti mengerti,"—kali si pendek berambut biru menopang dagunya dengan pose detektif. Asdfghjkl. "Tak ada salahnya membantu orang lain, tapi kau juga harus melihat kondisi dirimu sendiri. Jangan berat sebelah,"

Sakurai menegak saliva yang menyangkut dalam rongga mulutnya.

"A-aku lebih baik sakit daripada teman-temanku yang sakit,"

"Masalahnya kalau kau sakit, yang lain juga kerepotan menanganimu. Pilih mana?"

Skak mat.

Pemuda bersurai coklat muda itu tak henti-hentinya melantunkan berbagai macam admirasi dan puji-pujian dalam sanubari pada sosok di hadapannya ini. Di balik kelemahannya bermain basket, pemuda ini memiliki watak bijaksana nan wibawa yang sangat tinggi. Entah Sakurai hanya mendramatisir atau memang realita, tapi dia melihat sosok (yang kata orang) payah ini dengan pandangan lain.

"I-itu m-maaf…. Aku memilih opsi kedua. M-maaf," jawabnya ragu. Bola matanya bergerak menghindari tatapan Kuroko yang terus-terusan mengintimidasi. Butuh suplai oksigen untuk menormalisasikan degup jantung yang mengoyak dada. Sampai sekarang Sakurai tak mengerti apa maksud dari degup ambigu ini, yang jelas dirinya sangat merasa nyaman bisa menumpahkan apa yang ditampungnya dalam kantong emosi selama hidupnya. Weis, lebay.

'Grep'

Kuroko tiba-tiba menggenggam punggung tangan Sakurai yang tertelungkup di atas meja, dan meremasnya pelan. Hal yang tidak biasa dilakukan oleh dirinya pada siapapun—bahkan Kagami saja tidak pernah dibeginikan. Dia menatap serius sosok Sakurai yang wajahnya sudah bersemu merah di hadapannya. Laki-laki bersurai coklat itu benar-benar gugup dan bingung.

"Sakurai-kun juga harus berhenti meminta maaf jika tidak merasa bersalah,"

"E-eh?"

Pemain Tōō itu berkedip. "Ma-maaf, tapi ini sudah menjadi kebiasaan, ma-maksudku maaf! Maaf, aku tak bermaksud melawanmu, maaf Kuroko-san!" —dia membuang muka canggungnya ke sembarang arah—mungkin ke nampan bekas makannya yang sedari tadi tak bergeming di atas meja. "M-maaf, maaf, maaf, aku benar-benar tak bermaksud membangkangmu, maaf," bisiknya lelah.

"Sakurai-kun memang tidak bersalah. Kenapa dari tadi mengucapkan maaf tiada henti? Bahkan saat pertandingan pun kau selalu seperti itu. Bebaskan perasaan hatimu, ne, Sakurai-kun. Maksudku, jangan selalu merasa terkekang oleh sesuatu."

"E-eh? M-maaf, ta-tapi, masa sih aku tidak bersalah? Benarkah?"

"Hu'um,"

Sebuah anggukan pelan yang dilontarkan Kuroko cukup membuat Sakurai terpekur dengan mulut yang sedikit menganga. Satu lagi pujian untuk tuan muda miskin ekspresi. Dia adalah orang pemaaf (bagi Sakurai) dan baik hati.

"Sakurai-kun hanya melakukan satu kesalahan padaku hari ini," sambungnya (yang seketika membuat pilar penyokong kalbu sang pemain Tōō runtuh). Anehnya, laki-laki bertinggi badan 168 cm itu malah tersenyum lebih lebar dari yang sebelumnya. Sakurai bingung, benar-benar bingung.

"Be-benarkah? Maafkan aku, Kuroko-san! Maafkan aku kalau begitu! Sumpah, demi apa pun aku sudi menerima hukuman darimu, asal kau memaafkan—"

"Tidak perlu meminta maaf, sudah kubilang,"

Masih dengan seulas senyum tulus di wajahnya, Kuroko menginterupsi kalimat panjang permintaan maaf edisi lebaran dari mulut Sakurai. Benar, 'kan? Isi hati Kuroko selalu misterius.

"Tapi, aku sudah melakukan kesalahan—"

"Ya, Sakurai-kun sudah membuatku tersenyum seperti ini. Menurutku Sakurai-kun itu lucu,"

"Maa—e-eehh?"

.

.

.

Satu kecupan singkat di pipi si pemuda coklat sebagai hukuman.

[end] /digiling

Brokoro = broken kokoro /ngek /apaini

HAI :D debut kedua saya nih di fandom KnB wkwkwkwk XD salam kenal lagi ya :D /krik

Saya ambil setting setelah seirin ngalahin Tōō pas WC (WINTER CUP OY /krik) sebenernya. Agak awkward sih == terus terus saya ngga tau berapa jarak dari maji burger ke Tōō D: jadi anggap aja jauuuuh banget ya kan namanya juga fanfic :p /dibuang (kalau gak salah ada yang bilang di Tokyo, tapi masih ragu QwQ)

Terus terang saya nggak berniat bikin Kuroko yang seenaknya kissu pipi Sakurai di ending seperti itu :DDDD /dikepret
Tapi sejak pertama kali liat hints Seirin vs Tōō untuk yang pertama kali, di benak saya, saya mikir, duh ini uke sama uke kalau disatuin gimana ya? Dan ujung-ujungnya saya malah ngeship pair crack unyu ini karena keisengan membayangkannya—/dikepretlagi

Well, happy fujo(dan)shi independence day hehehe :D salam kenal juga untuk semua penghuni fandom ini~ senang bertemu kalian :D /ojigi
maaf kalau ada kengacoan yang tertoreh lewat fic absurd ini. Hihihi.

(anw saya baru tau kalau FID kali ini harus bersangkutan sama 'kebebasan'. Jadilah saya menyematkan beberapa kata 'bebas' yang bermakna luas di dalamnya www gomen /diinjek)

.

=pindanglicious