Disclaimers:
Naruto © Masashi Kishimoto, miliknya kemarin, sekarang, & nanti
It's Not About Money © Jinsei Megami, cuma ceritanya doang yang Meg punya :'(
Warning: AU, OOC, Typo(s), EYD kurang, & ide yang pasaran
.
Summary:
Haruno Sakura. Dokter lulusan terbaik di fakultas kedokteran Universitas Konoha, bekerja di sebuah desa bernama Uzugakure, di sebuah klinik kecil milik pemerintah dengan fasilitas terbatas. Ya, di sanalah ia kini setelah menolak tawaran dari rumah sakit elite di pusat kota Konoha dengan gaji besar.
Read first, baru boleh nilai suka apa nggak... ^^
Enjoy read, Minna~
.
Jinsei Megami Proudly Present
IT'S NOT ABOUT MONEY
[chapter 1: she didn't know if someday she would regret or not]
.
.
.
.
"Oh ayolah, Sakura. Terima saja tawaran ini. Oto bukan rumah sakit sembarangan. Tentu kau tahu itu, Sakura. Kau pun bisa ikut PPDS*) apapun tanpa mengeluarkan cost sepeser pun."
Sekali lagi Yakushi Kabuto membanggakan rumah sakit tempatnya bernaung. Tak ada salahnya, sih. Asalkan tidak diselipi rayuan akan lowongan itu lagi. Lagipula tentu saja Sakura tahu Oto Premier Hospital sama sekali bukan rumah sakit sembarangan. Itu adalah rumah sakit paling elite di pusat kota Konoha, sekaligus yang paling mahal tarifnya. Mungkin tarif sebesar itu juga untuk membiayai PPDS dokter-dokter mereka. Entah.
Sakura telah menolak tawaran itu entah untuk ke berapa kali. Walau tawaran PPDS itu sungguh menggiurkan. Padahal tadi dia menelepon senpai-nya semasa kuliah itu untuk konsultasi tentang kasus bedah. Ia sama sekali tak menyangka Kabuto masih saja setia dengan tawarannya. Memang posisi itu belum terisi?
"Selalu ada tempat kosong untuk dokter berbakat lulusan terbaik Universitas Konoha di sini. Lagipula...," Kabuto melanjutkan, "Kalaupun posisi itu sudah terisi, kau dan aku bisa menyingkirkannya."
Sakura tercekat. Itu bukan gurauan. Apa tadi katanya? Apa menurut Kabuto, Sakura orang yang seperti itu? Sakura memang orang yang berusaha keras demi mimpinya. Tapi melakukan segala cara dengan mendepak orang lain? Please..., ia tidak sekeji itu.
Sakura menyandarkan tubuhnya di punggung kursi. "Sekali lagi arigato atas tawarannya, Senpai. Tapi nggak. Gomen."
"Sakura, memangnya kau mau terisolasi terus di U..., Uzur..., Um..."
"Uzugakure," sela Sakura.
"Hah? Apa?"
"Nama desa ini Uzugakure," Sakura berkata lebih jelas. Tiap hurufnya. Dan penuh penekanan pada kata 'Uzugakure'.
"Ah! Iya. Aku bahkan sangsi desa itu ada di peta."
Apa?
Sakura langsung menegakkan tubuhnya. Marah.
Dengan seenaknya dia bilang Uzugakure tak ada di peta. Benar-benar tak termaafkan. Memangnya kemana saja dia sampai tak tahu lumbung padi terbesar di Jepang ada di sini? Apa dia benar-benar tak peduli dengan butiran nasi yang melewati lambungnya tiap hari? Dan di mana ia letakkan kotak memorinya saat seluruh media nasional memberitakan tentang banjir bandang yang meluluhlantakkan desa ini setahun yang lalu?
Cukup! Habis sudah kesabaran Sakura. Tak ada gunanya dia menahan diri lagi. Tak perlu ada sopan santun pada orang seperti orang yang sedang bicara dengannya ini. Walaupun dia seniornya di kampus sekalipun. Sungguh menyesal ia sempat kagum dengan orang ini.
"Ah! Sungguh kupikir, kau harus mengganti kacamata bututmu itu, Yakushi-senpai. Dan aku baru tahu kau terlalu arogan dengan gelar dokter elite-mu itu. Kau iming-imingi aku gaji yang banyak atau posisi tinggi di rumah sakit elite-mu sekali pun, aku sama sekali nggak berminat."
Sakura mendengar suara dengusan dari seberang telepon. Setelah beberapa saat, suara Kabuto terdengar lagi. "Kau belum lama jadi dokter. Sombong sekali kau!"
"Aku sama sekali nggak merasa demikian," ucap Sakura berusaha kembali menata kesabarannya. "Aku hanya berusaha teguh dengan pendirianku dan berpihak kepada sisi humanisku."
"Huh! Idealisme jiwa muda. Tunggu saja! Kau pasti akan menyesal menolak tawaran ini, Haruno Sakura!" Dan Kabuto langsung memutuskan sambungan telepon mereka. Membuat Sakura terkejut dengan suara hentakan, efek dari gagang telepon yang dibanting di seberang sana.
Sakura menatap gagang teleponnya sendiri. Kepalanya digelengkan. Masih tak percaya dengan sifat sebenarnya dari si senpai. Diletakkannya gagang telepon itu pada tempatnya. Tubuhnya di sandarkan ke punggung kursi dengan mata yang terpejam, menyembunyikan sepasang bola emerald di balik kelopaknya.
Sakura menghela napasnya. Ini bujukan entah keberapa kali dari senpai-nya semasa kuliah dulu. Bahkan bukan hanya dari Kabuto saja. Tawaran menempati posisi bagus juga pernah datang dari beberapa rumah sakit besar sekitar Konoha. Hanya karena rekomendasi lisan dari Tsunade, profesor di Rumah Sakit Umum Pusat Konoha sekaligus dosennya dulu. Padahal dia sama sekali tak merasa ia sehebat itu. Ia hanya berusaha menjalankan profesinya saja.
.
.
.
.
*TOK. TOK. TOK.*
Ketukan di pintu ruangannya mengejutkannya.
"Masuk!" perintah Sakura pada siapapun yang mengetuk pintunya. Salah satu perawat di klinik itu, Amaru, muncul bersamaan dengan terbukanya ruang praktek Sakura. "Ya?"
"Haku datang Dok, bersama dengan Momochi-san." Gadis berambut coklat kemerahan itu menyebutkan nama salah satu pasiennya yang suka ngeyel. Tingkahnya yang seakan tidak peduli dengan penyakit yang dideritanya kadang membuatnya dan paramedis di klinik tersebut gemas.
Ah, akhirnya. Mungkin setelah ini Momochi Zabuza mau dengan ikhlas menjalani pengobatannya yang tinggal dua bulan itu.
Sakura berdiri. Menerima map status rekam medik pasiennya dari tangan Amaru.
"Suruh mereka masuk!" perintah Sakura sambil memakai kembali maskernya. Ia sedang mencuci tangannya dengan cairan campuran gliserin dengan alkohol 70% yang dibuat dengan perbandingan 1 banding 50, ketika dua orang yang ditunggu itu masuk.
"Dokter takut tertular penyakitku, kan? Dokter bahkan memakai masker," kata Zabuza tiba-tiba. Pria dengan paras sangar itu pun langsung duduk bahkan tanpa terlebih dulu dipersilakan. Pria ini sungguh gampang tersinggung.
"Justru aku nggak mau penyakit Momochi-san bertambah gara-gara aku." Sebenarnya apa yang dikatakan Zabuza barusan memang benar, walau apa yang dikatakan Sakura sekarang pun bukan sebuah kebohongan.
Infeksi nosokomial*) itu bukan hanya penularan dari pasien, kan? Namun juga dari petugas dan dari lingkungan. Maka dari itu segala bentuk tindakan pencegahan infeksi harus ditegakkan tanpa kecuali oleh tenaga kesehatan mana pun.
Zabuza mendengus. Ia lalu meminta selembar masker untuk ia pakai sendiri kepada Sakura. Sakura hanya tersenyum di balik maskernya.
Sakura membuka map status itu dan membacanya. Setelah itu ia memakai stetoskopnya dan mulai memeriksa Zabuza, sambil bicara pada pasiennya itu. "Terakhir kali Haku ke sini untuk mengambil obatmu sudah lama sekali. Seharusnya obatmu diambil sebulan yang lalu untuk konsumsi sampai bulan ini. Apa yang terjadi?"
"Aku sudah sembuh, Dok. Buat apa lagi aku minum obat? Aku sudah merasa lebih segar. Aku sudah nggak batuk-batuk lagi," jawab Zabuza dengan gaya slengean.
Sakura sudah selesai melakukan pemeriksaan fisik pada Zabuza. Dia langsung mencuci tangannya lagi dengan larutan aseptik yang sama seperti tadi, sebagai salah satu langkah pencegahan infeksi. Ia kemudian mengambil sebuah flipchart dari rak di samping mejanya. Sebuah flipchart dengan tulisan Tuberculosis Paru tercetak besar di lembar depan dengan gambar seorang pria yang sedang batuk. Sakura ingat saat pertama kali ia bertemu dengan Zabuza juga saat pasien itu nyaris drop out pengobatan TBC-nya. Saat itu juga Sakura telah menjelaskan tentang penyakit Zabuza dan pentingnya pengobatannya. Tapi Sakura juga tahu bahwa orang seperti Momochi Zabuza takkan pernah bisa diberikan pemahaman hanya sekali saja.
Sakura membalik lembaran flipchart-nya.
"Setelah dua bulan pengobatan, Momochi-san memang akan merasa lebih baik. Berat badanmu juga akan naik. Momochi-san sudah nggak menularkan lagi. Seperti yang sebelumnya pernah kukatakan. Tapi pengobatan TB nggak bisa sampai di situ saja. Karena sebenarnya bakteri tuberculosa-nya belum mati. Kau harus menyelesaikan pengobatan sesuai anjuranku. Tinggal dua bulan lagi. Bersabarlah, Momochi-san."
"Asal Dokter tahu ya, minum obat selama itu setiap hari benar-benar membuat muak. Dan Dokter menyuruhku bersabar? Menggelikan!" Zabuza masih tetap ngeyel.
Sakura tetap memasang wajah ramahnya. Padahal inner-nya sudah gemas dengan tingkah Zabuza. Inner-nya berteriak, 'BUAT KESEHATAN SENDIRI SUSAH AMAT! MENURUT SAJA, KENAPA SIH?'. Tapi tentu saja Sakura tidak merealisasikannya. Dia tidak bisa begitu dengan pasien, kan?
Alih-alih berteriak demikian, Sakura berkata, "Nggak ada cara lain agar Momochi-san sembuh jika bukan dengan minum obat-obat itu. Memang membosankan. Memang merepotkan. Memang membuat muak. Tapi jika kau nggak disiplin minum obatnya, TB-nya bisa makin parah dan nggak bisa lagi diobati dengan obat-obat ini. Momochi-san akan disuntik Streptomisin setiap hari selama dua bulan tanpa jeda. Baru dilanjutkan dengan terapi oral lagi. Dan jika pengobatan tipe B tersebut kau juga nggak disiplin, kau akan resisten terhadap obat dan harus menjalani pengobatan MDR, Multi Drugs Resisten. Jika sudah yang terakhir itu, kau harus ke kota ke tempat pelayanan kesehatan yang menyediakan pelayanan itu dan kau terpaksa harus diisolasi."
"Dokter menakutiku."
"Bukan menakuti, tapi memberikan gambaran." Sakura menutup flipchart-nya. Merasa misinya hampir selesai. "Dan apa kau tahu bahwa TB nggak hanya menyerang paru-paru?"
"Tentu saja. Aku tahu TBC juga menyerang kelenjar. Dan kurasa limfa-ku baik-baik saja. Nggak bengkak."
"Nggak hanya itu, TB juga bisa menyerang kulit, lho. Dan tulang. Bahkan juga organ genital."
"Genital?"
Sakura mengangguk lagi. Dan ia juga melihat Zabuza tak nyaman di kursinya. Entah apa yang ada dalam pikiran pria itu. Terserah saja. Yang penting Zabuza mau disiplin meminum obatnya.
"Baiklah! Kalau kau memaksaku meminumnya, aku akan minum!" serunya.
"Aku nggak memaksa," balas Sakura dengan nada suara yang diulur-ulur.
"Iya! Tadi! Tadi kau memaksa! Sekarang berikan padaku obat-obat sialan itu!" seru Zabuza lagi. Di sampingnya, Haku yang sejak tadi hanya diam saja terlihat menahan tawanya. Mungkin lucu melihat pamannya seperti itu. Dan bagi Sakura pun, itu lucu.
Sakura langsung menulis resep paket obat yang harus diminum Zabuza selama sebulan dan menulis catatan pemeriksaan di status rekam medik Zabuza. Kemudian memberitahunya bahwa obatnya bisa diambil di bagian farmasi klinik tersebut. Juga menekankan pentingnya kedisiplinan dalam meminum obat. Lalu menambahkan, "Seperti biasa, Haku akan jadi perpanjangan tanganku dalam mengawasimu minum obat."
"Haku terlalu bodoh untuk bisa memaksaku. Mungkin kalau dr. Sakura yang datang untuk mengingatkanku, aku akan mau minum obat."
Sakura mengangkat sebelah alisnya. Entah kenapa rasanya Zabuza sedang menggodanya. Sakura mendengus di belakang maskernya. "Tapi kudengar kau menolak bertemu Shinnou-san saat dia home visit ke rumahmu dan kau nggak mau menerima obatmu."
"Kakek tua gondrong itu? Yang benar saja! Aku malah jadi malas minum obat."
"Kakek tua gondrong itu adalah paramedis senior di sini. Dia baru 60 tahun, kok. Dia pribumi. Dia yang merintis klinik ini. Dan dia bahkan lebih berpengalaman dibandingkan aku."
"Kau yang home visit, bagaimana?" Zabuza masih tawar menawar dengan Sakura, seolah tak mendengar perkataan Sakura barusan. Dia seperti anak kecil yang merajuk. Tapi dengan posturnya yang kekar ditambah dengan wajahnya yang tak ramah, sulit membayangkan dirinya sebagai 'anak kecil yang merajuk'. Benar-benar tidak seperti wataknya. Ada apa dengannya?
Sakura tidak mengerti. Apalagi saat Haku yang masih diam di samping pamannya itu melakukan gesture aneh yang makin membingungkan Sakura. Tanpa dilihat pamannya, pemuda itu menganggukkan kepalanya cepat-cepat dengan wajah sedih. Baru beberapa detik kemudian Sakura ingat. Bodohnya dia. Lusa, tepat setahun peringatan bencana banjir bandang itu. Dua hari lagi, tepat setahun yang lalu pria paruh baya di depannya ini kehilangan istri, anak, dan ayahnya, rumahnya pun rata dengan tanah. Praktis saat itu ia tak memiliki apapun dalam hidupnya. Hanya tinggal Haku yang kembali dari rantau hanya untuk membantu menata hidup pamannya dari awal. Kata Amaru, perangai Zabuza makin buruk sejak bencana itu. Kasihan.
Sakura prihatin. Ia mengerti. Pria paruh baya di depannya hanya ingin mendapatkan sedikit perhatian. Dia memang pria sejati. Dia sudah lebih dari dewasa. Dia sangar. Tapi Momochi Zabuza pun juga seorang manusia biasa.
Sakura menghela napas. "Aku akan memasukkan jadwal home visit ke rumahmu dalam agendaku. Bagaimana?"
"Karena kau memaksa, jadi baiklah."
Sakura ingin tertawa terbahak-bahak sekarang. Memaksa? Bukankah dia yang sejak tadi ingin di-visit Sakura? Sakura hanya menggelengkan kepalanya. Dengan nada ceria ia berkata, "Iya. Aku memaksa. Jadi minum obatnya secara teratur, ya. Tanggung. Tinggal separuh jalan lagi."
"Aku mengerti," kata Zabuza akhirnya.
Zabuza bangkit diikuti oleh Haku, lalu Sakura yang juga bangkit dari kursinya. Gadis itu membalas jabat tangan Zabuza dan Haku, kemudian mengantar mereka sampai pintu ruang periksanya.
Haku mengambil sesuatu yang sepertinya ia letakkan di luar, dekat pintu ruang periksa. Sebuah kantong plastik transparan berisi air dan udara berikut beberapa ekor ikan di dalamnya.
"Hasil dari tambak kami, Dok. Jangan digoreng, lebih enak jika dibakar atau di-steam saja," kata Haku. Kalimat pertamanya yang ia lontarkan sejak ia datang.
Sakura tersenyum. Walau tak ada yang melihatnya tersenyum karena dia masih memakai maskernya. Ia suka sekali ikan. Apalagi yang masih segar begini. Meskipun tak ada yang melihat senyumannya, matanya yang berbinar jelas terlihat. Termasuk oleh Zabuza dan Haku.
"Lebih banyak ikan menanti dr. Sakura saat Dokter home visit ke rumahku."
"Arigato gozaimasu, Momochi-san..." Sakura membungkukkan tubuhnya. Zabuza dan Haku pun demikian, disertai dengan ucapan permisi dari mereka.
Sakura melihat mereka yang meninggalkan klinik dengan sepeda.
"Ditambah dengan kubis, wortel, dan ketela rambat, akan lebih enak lagi, dok." Suara parau Uchiha Uruchi membuat Sakura menoleh ke wanita tua yang sedang diukur tekanan darahnya oleh Amaru. Dia mengangkat bungkusan kertas begitu Sakura melihatnya. Kemungkinan besar kantong kertas itu berisi kubis, wortel, dan ketela rambat.
Dengan ragu, Sakura menerimanya, "Seharusnya kau nggak perlu repot-repot begitu, Baa-san."
"Jangan sungkan, dr. Sakura! Asupan gizi kalian juga harus bagus, kan? Kalian harus tetap sehat. Kesehatan penduduk Uzugakure bergantung pada kalian. Lihat dirimu, Yugao!" Yugao yang saat itu sedang duduk termenung di loket farmasi terkejut namanya disebut tiba-tiba oleh Uruchi . Yugao menegakkan posisi duduknya. Uruchi melanjutkan, "Kau makin hari semakin kurus saja. Kau benar-benar butuh makan, Nak. Bagaimana bisa kau menolong persalinan jika tubuhmu kurus kering kerontang begitu?"
Ocehan Uruchi membuat Sakura, Amaru yang tengah menulis hasil tekanan darah di status, dan Juugo yang baru muncul terkikik.
"Aku nggak kurus kering kerontang, Baa-san! Aku memang sedang diet," kilah Yugao.
"Hayate yang menyuruhmu diet? Biar kuhajar bocah itu. Aku nggak peduli walau dia polisi!"
"Uruchi-baa-san...," ucap Yugao lunglai.
Sakura tertawa bersama yang lainnya. Untungnya dia cepat menguasai dirinya. Dia menarik napas dan berdehem sekali. Ia memberikan dua kantong itu ke tangan Amaru, sementara Amaru menukarnya dengan map status Uruchi. Gadis yang memakai snelli itu membacanya sejenak dan menulis di pengantar laboratorium yang kemudian diserahkannya pada Juugo. Si analis perpostur tinggi itu mengajak Uruchi ke sarangnya. Laboratorium maksudnya.
Sakura sedang mengobrol dengan Amaru di meja perawat di depan ruang periksanya ketika Juugo dan Uruchi keluar dari laboratorium. Juugo memberikan kertas hasil pemeriksaan laboratorium pada Amaru untuk kemudian di masukkan ke dalam map status Uruchi. Perawat itu memberikan map status tersebut kembali kepada Sakura.
"Yuk, Baa-san!" Sakura mengajak Uruchi masuk dan mempersilakan lansia itu duduk di depannya. "Jadi, apa keluhanmu sekarang?" Sakura memulai anamnesisnya.
"Aku bukan wanita tua yang suka mengeluh, Nak Dokter."
Sakura terkekeh sedikit. Jelas bukan itu maksud pertanyaannya. Maka ia ulangi pertanyaannya, "Maksudku, apa ada yang kau rasakan, Baa-san? Seperti pusing, pegal, lemas, atau yang lain?"
"Ooh..., itu maksudmu?" Sang nenek mengangguk sedikit. Ia sudah mengerti pertanyaan Sakura. Tangannya terangkat dan menyentuh bahunya sendiri. "Iya sih, bahuku sering pegal. Lututku juga. Apalagi telapak tangan dan kakiku sering terasa kaku."
Selagi Uruchi bicara. Sakura tidak diam saja. Tangannya bergerak menulis data subjektif di status rekam medik di bawah tangannya. Setelah Uruchi tidak lagi bicara, Sakura bertanya lagi apakah ada keluhan lain dan Uruchi menjawabnya dengan gelengan kepala. Lalu Sakura mencuci tangannya dan mulai memeriksa Uruchi.
"Mari kita lihat hasil pemeriksaan penunjangmu," ucap Sakura sambil membuka map warna kuning itu, setelah ia mencuci tangannya. Mata Sakura sejenak menelusuri kertas hasil laboratorium dan berkata, "Pantas saja."
"Tekanan darahku masih tinggi ya, Dok?"
"Itu sih memang sulit diturunkan mengingat umur Obaa-san berapa. Lagipula tekanan darah Obaa-san nggak boleh terlalu rendah. Obaa-san memang harus terus minum obat antihipertensi, tentunya dengan pemantauan tekanan darah secara rutin. Tadi tekanan darah Obaa-san, 160 per 110. Nifedipine-nya diminum seperti biasa, ya. Dua kali sehari. Obaa-san sudah mengurangi minum kopi, kan?"
"Sudah, Dok," jawab Uruchi, "Tenang saja..."
"Bagus! Kalau udang, cumi, gurita, dan kepitingnya bagaimana? Kuning telurnya?"
"Sulit Dok. Tapi memang sudah nggak makan itu, sih."
"Bagus, Baa-san! Tapi kolesterolnya masih 230. Masih terus dipantang ya, Baa-san."
"Nanti kalau sudah di bawah 200, boleh makan seafood lagi, kan?" tanya Uruchi lagi. Lewat matanya Sakura tahu, Uruchi sangat merindukan rasa hewan laut itu di lidahnya. Menghindari jenis makanan itu bagi orang Jepang jelas sangat sulit, mengingat kultur bangsa Jepang yang konon selalu lekat dengan seafood.
"Maafkan aku," jawab Sakura. Tangan mulus gadis itu bergerak ke depan. Menggenggam lembut tangan keriput Uruchi Melanjutkan berkata dengan nada lembut, "Tapi aku harus melarang Obaa-san makan itu. Di antara semua jenis makanan, yang kusebutkan tadi yang banyak mengandung kolesterol. Terakhir kali sebelum ini kadar kolesterol Obaa-san mencapai 510. Obaa-san tahu kan, kolesterol itu berkaitan erat dengan penyakit jantung? Aku nggak mau Obaa-san begitu. Dan asam urat Obaa-san yang terakhir kali bagus kenapa jadi 7?"
Uruchi meringis. Dia menjawab dengan volume rendah yang tak mampu ditangkap oleh gendang telinga Sakura. Jadi Uruchi mengulangnya lagi, "Acar kubis."
Sakura melepas genggaman tangannya di tangan Uruchi Memindahkannya di depan dadanya. Melipatnya. "Obaa-san nakal," ujarnya.
"Selanjutnya aku nggak akan jadi nenek tua yang nakal lagi. Maafkan aku."
"Minta maaf dan berjanjilah pada diri Baa-san sendiri. Aku hanya dokter. Aku nggak akan berhasil menjaga kesehatan pasien-pasienku jika nggak ada kerjasama dan keinginan untuk sehat dari diri mereka sendiri. Obaa-san harus memikirkan diri Obaa-san dan betapa sedihnya keluarga Obaa-san jika Obaa-san sakit."
"Terima kasih sudah menasihati nenek tua nakal ini, dr. Sakura."
Sakura tersenyum. "Jangan dipikirkan. Ini kan memang tugasku sebagai dokter. Lagipula aku mulai menganggap Obaa-san seperti nenekku sendiri."
"Dokter yang dinas di sini sebelum dirimu nggak seluwes dirimu, Nak. Terlalu kaku. Bahkan si Shinnou paramedis tua itu pun juga."
Sakura masih tersenyum. Kini jemarinya menggoreskan tinta di atas kertas resep, menuliskan nama obat-obat seperti Nifedipine, Simvastatin, dan Allopurinol. Dan berkata lagi, "Setiap orang, termasuk dokter dan paramedis punya gayanya masing-masing, kan? Tapi bukan berarti mereka nggak kompeten. Nah ini resep obatnya. Seperti biasa, Baa-san berikan resep ini pada Yugao, dia akan berikan obat-obat Baa-san. Minum obatnya yang teratur ya, Baa-san. Jangan lupa apa yang boleh dan yang nggak boleh dimakan oleh Obaa-san."
"Terima kasih sekali lagi, Nak Dokter," ucap Nenek sambil bangkit berdiri, diikuti Sakura.
Seperti pada pasiennya yang lain, Sakura akan selalu menemani pasiennya minimal sampai pintu ruang periksa. Seperti sekarang. Sekarang Sakura malah memperhatikan Uruchi mengambil obat di loket farmasi yang dijaga oleh Yugao. Setelah itu sang nenek tidak langsung pergi. Dia malah menghampiri Sakura lagi. Hanya untuk bertanya apakah Sakura dan staf klinik yang lain suka acar mentimun dan acar lobak.
"Kami suka apa saja yang bisa dimakan, Baa-san. Memangnya kenapa?"
"Kalau begitu, nanti akan kubuatkan dan kubawakan acar mentimun dan acar lobak. Sekitar satu atau dua minggu lagi kami akan panen mentimun dan lobak." Ternyata Uruchi menawarkan acarnya yang enak itu rupanya.
Tentu saja Sakura menyambut baik tawaran Uruchi. "Wah, terima kasih, Baa-san."
Dan Uruchi kembali pamit pulang.
"Hati-hati di jalan, Baa-san! Salam buat Teyaki-jii-san dari kami semua."
Sakura menghela napas ketika menatap punggung Uruchi yang sudah menjauh. Matanya menyapu langit biru yang memayungi ladang-ladang penduduk yang berbukit-bukit. Hidungnya menghirup udara segar pedesaan. Menghembuskannya perlahan. Kini matanya beralih ke papan nama klinik yang ditancapkan ke tanah sekitar dua meter darinya.
Klinik Umum Uzugakure memang tidak menarik biaya apapun untuk pelayanannya. Mereka pun tak pernah meminta apapun dari para pasien. Toh semuanya sudah disubsidi oleh pemerintah. Tapi sering kali orang-orang itu membawakan mereka sesuatu. Seperti hari ini. Ikan dan sayuran.
Bagi Sakura sendiri, kesehatan penduduk Uzugakure sudah lebih dari cukup. Melihat pasien-pasiennya sehat sudah sangat membahagiakan baginya. Itu juga bayaran baginya, walau bukan berbentuk materi.
"... Kau pasti akan menyesal menolak tawaran ini, Haruno Sakura!"
Terngiang suara Yakushi Kabuto beberapa hari yang lalu. Sakura tidak tahu suatu saat dia akan menyesal atau tidak dengan keputusannya saat ini. Tapi yang pasti tidak untuk sekarang.
Gadis itu berbalik. Wajahnya ceria saat berseru, "Amaru... Juugo... Yugao... Kita barbeque nanti malam! Dan Juugo, tolong nanti jemput Shinnou-san agar dia ikut makan malam di sini saja. Yugao, kau juga bisa ajak Hayate kalau kau mau."
"Oke, Dok!" seru Juugo, si analis merangkap supir ambulance.
Sementara Yugao terlihat meraih handphone-nya dan menekankan ibu jarinya di sana. Mungkin gadis itu sedang mengirim pesan pada pacarnya.
"Aku akan membuat arang dulu kalau begitu," kata Amaru, ketika dia selesai bicara, dua orang datang dengan salah satu dari mereka membopong seorang anak kecil berlumuran darah dari dahinya. "Setelah aku membantumu menangani anak ini, tentunya."
Dan Amaru menggiring mereka ke ruang gawat darurat. Diikuti oleh Sakura di belakang mereka.
.
.
.
.
[to be continued]
[a/n]
Holla, readers... Meg kembali!
Kali ini main chara-nya Sakura. Setelah yang lain udah dapet bagian, kayaknya emang nggak adil kalo Meg belom bikin tentang si pinky ini. Dan Sakura tanpa Sasuke, rasanya ada yang kurang, kan? Selanjutnya, Sasuke juga akan Meg munculin di fic ini.
Istilah-istilah medis di sini akan Meg akan buat se-simple mungkin, karena emang Meg bukan dokter. Jadi tolong koreksi Meg kalau ada istilah, penjelasan, jenis obat, & terapi yang salah. Meg akan senang hati minta maap & nge-edit fic-nya.
Jangan biarin kolom review di bawah sia-sia. Jadi silakan ketik apapun di situ. & maksud Meg dengan apapun, yaa... apapun.
*) PPDS: Program Pendidikan Dokter Spesialis
*) Infeksi nosokomial: Infeksi silang
