NIGHTMARE INN

Created by BluePrince14

Declaimer

Super Junior isn't Mine

Cast

Member Super Junior in their western name

Leeteuk as Dennis | Heechul as Casey | Hankyung as Joshua | Kangin as Jordan | Yesung as Jerome | Shindong as Mathew | Sungmin as Vincent | Eunhyuk as Spencer | Donghae as Aiden | Siwon as Andrew | Ryeowook as Nathan | Kibum as Bryan | Kyuhyun as Marcus |

Genre

Horror/Humor(?)

Warning!

Alternate Universe. Out of Characters. Miss Typo(s) —Typo(s). Abals.

DON'T LIKE DON'T READ!

—o0o—

.

.

.

"Jangan bilang kau serius dengan ini, kak," komentar sang pemuda yang lebih muda pada sang kakak begitu sampai di tempat tujuan mereka. Tepat di depan sebuah penginapan yang berada di daerah cukup terpencil dari kota terdekat, hampir mendekati hutan. Penginapan yang terlihat tak terawat dengan pagar yang catnya telah mengelupas. Pemuda itu menatap horor ke depan, ke arah sebuah papan bertuliskan 'Night Inn'. Ia memandang kakaknya setelah mengalihkan pandangan dari pemandangan penginapan tua mengenaskan sekaligus mengerikan itu lewat jendela mobil dengan ekspresi mengiba, "Katakan semua ini bercanda," lanjutnya.

Yang diajak bicara malah meninggalkannya dengan cara keluar dari mobil itu, menuju bagasi dan mulai menurunkan barang-barang mereka. Mau tak mau membuat Aiden turun juga.

Sang kakak yang kini sibuk menurunkan koper dan barang-barang lainnya dari bagasi mobil hanya bisa mendesah pelan, "Sudahlah, Aiden. Lagian kita sudah sampai di sini. Kita masuk dan lihat bagian dalamnya dulu," ujarnya.

"Tempat ini mengerikan…," komentarnya lagi sambil meringis. Ia menyesal telah memilih menghabiskan liburan sekolahnya dengan cara datang ke tempat ini bersama kakaknya. Kakaknya itu, entah apa yang ada dipikirannya sehingga mau membeli penginapan di atas bukit berbatu yang di kelilingi hutan begini. Memang ada orang yang mau menginap di tempat seperti ini?

"Jangan begitu," ujar sang kakak sambil menyodorkan tas ransel pada Aiden yang langsung mengendongnya, sementara dirinya sendiri menenteng tas lain. "Dengan sedikit perbaikan tempat ini akan jadi hebat," lanjutnya lagi sambil mulai berjalan masuk setelah membuka pagar yang tak terkunci.

Bahkan suara decitan pagarnya saja mengerikan, batin Aiden.

Ia berjalan pelan mengikuti kakaknya dari belakang melewati jalan setapak sambil terus mengamati sekitarnya. Halaman yang luas, dengan semua rumput yang tumbuh tak terawat di sekitarnya. Ada sebuah ayunan kayu juga, dibuat pada sebuah pohon besar.

Aiden merasakan bulu kuduknya merinding saat melihat ayunan yang terayun sendiri itu. Dengan cepat ia menyusul kakaknya yang sudah mengobrol dengan seorang pemuda lain di depan pintu.

"Aiden, perkenalkan ini Dennis, ia adalah yang bertugas menjaga tempat ini," ujar sang kakak saat Aiden sudah tepat di sampingnya, memperkenalkan pemuda itu. "Dan Dennis, ini adikku, Aiden."

Aiden tersenyum yang dibalas Dennis ramah. "Kau yang menjaga tempat ini?" tanya Aiden kemudian, ia agak sedikit tak percaya. Melihat sosok itu yang sepertinya hanya beberapa tahun terpaut darinya, aneh rasanya ia mau-maunya tinggal di tempat mengerikan begitu. Setidaknya bagi Aiden yang penakut, itu sama saja cari mati.

"Dia anak pemilik tempat ini, Aiden," jawab sang kakak, menjelaskan tanpa di minta. Ia melirik sang adik dengan alis terangkat, "Dan jika kau berpikir dia tinggal di tempat ini maka kau salah. Ia hanya sesekali datang untuk mengecek," lanjutnya lagi. Menatap sang pemuda bernama Dennis itu seakan minta persetujuan.

"Itu benar." Dennis berujar santai sebelum berbalik dan membuka pintu dengan kunci yang berada di tangannya. Mulut Aiden terbuka membentuk o.

"Aku hanya berkunjung sesekali saat weekend. Ah, masuklah, tempat ini sudah di bersihkan kemarin. Maaf jika masih berantakan," Dennis membukakan pintu dengan sopan untuk kedua tamunya.

Ia terkekeh begitu melihat Aiden masuk dengan cara bersembunyi di punggung kakaknya. Dengan ekspresi aneh yang lucu. "Tidak apa-apa," ujar Dennis kemudian, menyusul masuk. "Tempat ini tidak semengerikan itu kok. Jika sudah terbiasa," ujarnya sambil nyengir.

Tapi sayangnya aku tak akan pernah terbiasa, batin Aiden.

Ia masuk dengan langkah terkesan cerobooh, tak ingin tertinggal dari sang kakak.

"Aku antar ke kamar kalian. Kalian pasti lelah setelah perjalanan jauh. Mari," Dennis sebagai petunjuk jalan berjalan di depan. Diikuti Aiden yang kini heboh ingin berada di tengah karena tak ingin berada paling belakang.

"Kekanakan…," komentar sang kakak. Mengukuti keduanya.

Setelah dilihat-lihat. Aiden akui, tempat ini memang tidak semenakutkan yang ada di pikirannya sedari tadi. Tempat ini lebih terlihat modern di bagian dalam. Meski terlihat klasik, tempat ini seperti penginapan-penginapan lain yang pernah ia kunjungi. Yang membedakan mungkin karena tempat ini telah lama tak berpenghuni, debu-debu masih menempel, sedikit berantakan.

"Apa ada orang lain di sini?" tanya Aiden kemudian saat mereka menaiki tangga menuju lantai atas. Derap langkah kaki menemani perjalanan mereka. Ternyata penginapan ini cukup luas. Aiden menoleh ke arah kakaknya dan sepertinya sang kakaknya itu cukup terkesan dengan penginapan ini. Ia bergidik saat membayangkan sang kakak benar-benar jadi membeli tempat ini dan mulai membisniskannya.

"Ya dan tidak," jawab Dennis setelah jeda cukup lama.

Alis Aiden mengerut, "Maksudnya?"

"Tidak ada orang lain di sini, tapi itu tidak menutup kemungkinan bahwa tidak ada makhluk lain 'kan?" balas Dennis dengan nada biasa yang seakan tidak ada masalah apa-apa dengan kalimat yang ia ucapkan. Meski sebuah senyum ganjal tercetak di wajahnya.

Glup.

Donghae meneguk ludah, wajahnya sudah pucat pasi. Mendengar kata 'Makhluk lain' seketika membuat pikiran dipenuhi hal buruk. Ia melirik kanan dan kirinya takut-takut. Tiba-tiba di sekitarnya seakan kembali menjadi mengerikan. Mencekam.

"…B-benarkah?"

Sang kakak yang melihat itu hanya geleng-geleng kepala. "Ayolah, Aiden…," desahnya malas. Terkadang adik manjanya itu memang benar-benar penakut. "Dennis hanya bercanda," lanjutnya lagi.

Aiden menatap Dennis. Pemuda itu tengah tersenyum menatapnya. Senyum yang terlihat begitu manis, meski di mata Aiden terlihat begitu berbeda.

...senyum itu punya makna lain.

.

.

―o0o―

.

.

"Ini kamarnya. Ini kamar terluas di sini, ada sebuah televisi juga meski hanya bisa menangkap beberapa stasiun tv tertentu."

Aiden langsung menuju ranjang besar di pojok ruangan, menyamankan diri di sana setelah melepas ransel. Matanya berlari ke luar lewat jendela. Tepat ke halaman penginapan itu. Alisnya mengerut heran, "Siapa pemuda di ayunan itu?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan. Matanya sibuk mengamati pemuda berambut hitam dan berbaju putih itu.

Anehnya, ia seakan tak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Buram.

"Pemuda mana?"

Aiden terlonjak begitu tahu Dennis kini tepat di sebelahnya, berbicara tepat di samping telinganya. Melihat keluar jendela yang sama. Meski heran, aiden menunjuk ke luar, "Pemuda i―ehh? Kemana dia?" heran Aiden saat tahu ayunan itu kosong kini, meski terlihat terayun-ayun karena angin.

"Tidak ada siapa-siapa di sini, Aiden," balas sang kakak yang kini sibuk mengeluarkan barang-barang dari tas.

"Mungkin kau salah lihat?" tebak Dennis, menyetujui apa yang kakaknya ungkapkan tadi. Memberi solusi yang sudah pasti ditentang Aiden dalam hati. Tidak mungkin ia salah lihat 'kan? Tadi memang ada seseorang di ayunan itu!

Baru saja Aiden ingin membantah saat ia melihat tatapan tajam sang kakak yang seakan menyuruhnya untuk bungkam.

"Kau hanya kelelahan, Aiden. Istirahatlah."

Aiden cemberut. Tapi ia benar-benar melihat pemuda itu!

Dennis berbalik kemudian, melangkah menuju pintu. "Aku ada di bawah jika kalian mencariku, ada sesuatu yang harus aku bereskan," pamitnya.

"Terimakasih, Dennis."

Dennis tak menyahut, ia hanya tersenyum lalu keluar sambil menutup pintu ruangan itu lagi.

Aiden diam saja.

Meski Dennis telah tak terlihat, Aiden masih penasaran dengan senyum dan kilatan mata sang pemuda yang sempat dilihatnya tadi saat Dennis menutup pintu. Ada yang tidak beres di sini, ia tahu. Ia yakin dengan hal itu. "Kak?"

"Hm?"

"Bisakah kita pulang saja?" Jujur, Aiden merasa amat tak nyaman di sini.

"Besok, setelah semua urusan pembelian penginapan ini selesai," balas sang kakak. Masih sibuk dengan laptopnya.

Apa? Besok? Tidak mau! "Tapi―"

"Sekarang istirahatlah," potong sang kakak cepat.

Aiden merengut. Meski enggan dan hendak protes, nyatanya tak lama setelah itu ia tertidur juga.

.

.

―o0o―

…Di mana ini?

Aku sama sekali tak tahu di mana aku sekarang. Yang kulihat sekarang hanyalah sebuah ruangan kosong. Dengan cahaya yang menyilaukan yang membuatku enggan membuka mata.

Perlahan namun pasti, mataku terbuka.

Dan hal pertama yang aku lihat adalah sesosok lain dengan senyuman lebar memenuhi pandangan.

"Hai."

―o0o―

.

.

Mimpi.

Aiden bermimpi bertemu dengan seorang pemuda. Pemuda yang ia yakini yang ia lihat di ayunan kemarin. Ia datang―kali ini wajahnya terlihat begitu jelas. Yang Aiden ingat adalah senyumnya yang lebar sekali sampai gusinya terlihat. "Namanya Spencer, Kak," ujar Aiden begitu mengakhiri ceritanya tentang mimpi aneh yang ia alami semalam.

Sang kakak menatap adiknya heran. Ia menaruh sebelah tangan pada dahi sang adik guna mengukur suhu tubuhnya, "Tidak panas."

"Ya!" Aiden menepis tangan sang kakak dengan kesal. "Aku engga sakit," keluhnya lagi.

"Tapi kau mengigau," balas sang kakak.

Aiden diam saja, enggan membalas. Kakaknya itu memang selalu meragukannya. Tidak pernah percaya pada adik tertampannya ini, batinnya narsis.

Diam-diam Aiden berfikir, bukankah sangat ganjal? Ia kemarin baru melihat sosok itu di ayunan―tiba-tiba menghilang dan semalam ia memimpikannya?

Tidak masuk akal.

Atau jangan-jangan... dia memang benar ada dan yang semalam itu bukanlah mimpi?

"Oh iya Aiden, kau tunggu di sini. Kakak harus ke kota untuk mengurusi beberapa surat tentang pembelian penginapan ini. Lagipula hanya sebentar―"

"TIDAK BISA!" Aiden protes. Ia tak mau ditinggal sendiri di tempat ini. "Aku ikut," putus Aiden sambil bangkit dari tidur-tidurannya. Ia menguap saat bangkit dan ia heran. Memang ia tidur jam berapa semalam hingga mengantuk begini? Aiden menggelengkan kepalanya tanda tak mau memikirkannya.

"Kau mengantuk, lebih baik kau tidur lagi. Lagipula kakak harus cepat, tidak ada waktu menunggui pemalas sepertimu bersiap."

Aiden cemberut, ia dikatai pemalas oleh kakaknya sendiri. Menyebalkan. "Tapi..."

"Kau juga punya tugas libur musim panas 'kan? 100 soal Matematika, eh?"

Oh, Aiden bahkan hampir melupakan tugas menyebalkannya itu. Kenapa menyebalkan? Tentu saja karena ia tidak bisa mengerjakannya! Aiden melihat sang kakak telah selesai memakai sepatunya, kini tengah memasukkan beberapa dokumen dan laptop ke dalam tas.

"Tapi aku mau ikut…," ujarnya mengiba.

"Dan mendapat hukuman membersihkan toilet sepanjang tahun ajaran? Itu terserah padamu
saja sih. Aku tidak tanggung jawab jika waktumu tidak cukup. Ingat? Liburan tinggal beberapa hari lagi."

Ingin rasanya Aiden memukul wajah sang kakak yang penuh dengan ekspresi kemenangan itu.

Skak Mat.

Aiden tak bisa berkutik, apalagi membantah. Salahnya yang selalu menunda-nunda tugasnya itu. Ah, bukan. Lebih tepat jika ini disebut salahnya karena harus bercerita pada sang kakak tentang tugasnya.

"Baiklah, aku kalah," desah Aiden, kembali mendudukkan dirinya di ranjang. Menguap lagi. Sepertinya tidur lagi bukan ide buruk juga.

"Aku pergi."

"Kalau kau belum kembali saat malam tiba, aku benar-benar akan mati," ancam Aiden.

"Iya-iya." Aiden mendelik saat rambutnya diacak sang kakak, "Berapa umurmu eh? 16? Ahhh aku rasa 5 tahun. Dasar penakut."

Aiden menjulurkan lidahnya tanda tak peduli pada sang kakak yang menghilang di balik pintu.

Ia sendirian.

…Benarkah?

.

.

―o0o―

.

.

"Bosaaaaan…," keluh Aiden sambil kembali membaringkan tubuhnya di ranjang. Ia melirik jam di ruangan itu, masih sekitar pukul dua siang. Ia memang tidur lagi tadi semenjak kepergian sang kakak, baru benar-benar bangun pukul sebelas saat ia mandi dan memakan sarapannya yang sudah dingin. Sudah sekitar dua jam ia berkutat dengan tugasnya dan baru 7/100 sekarang. Ck. Ia memang tak berbakat dalam hitung-menghitung.

"Tv?" gumamnya pada diri sendiri, mencoba memberi solusi agar rasa bosannya menguap. Tapi sedetik kemudian ia menggeleng. Bukankah ia sudah mencoba menyalakan Tv tadi? Dan tak ada satupun program bagus. Kebanyakan berita. Berhubung dia bukan orang yang senang dengan program itu (ia bahkan lebih memilih film kartun), ia yakin dirinya malah akan semakin kebosanan.

"Tidur?" ―Tidak, tidak. Ia sudah terlalu banyak tidur hari itu.

"Cemilan?" gumamnya lagi. Sepertinya ini ide bagus. Ia butuh asupan makanan agar otaknya bisa berfikir.

Tapi... tunggu―

Mengambil cemilan berarti dirinya harus ke luar dari ruangan ini dan menuju dapur 'kan? Tadi memang sarapannya sudah disiapkan sang kakak jadi ia tak perlu keluar. Sementara sekarang... Ia tak mau ambil risiko dengan melakukannya. Bisa-bisa ia mati ketakutan dalam perjalanan karena harus menjelajahi penginapan ini demi cemilan.

Tapi...

Ayolah. Setelah dipikir-pikir ini masih siang 'kan? Mana ada hantu muncul di siang hari begini? Ia sama sekali belum pernah mendengarnya. Lagipula bukankah dengan pergi ke luar kebosanannya akan sedikit berkurang?

"Hmmm... baiklah, Aiden. Mari tunjukkan bahwa kau bukan penakut!" ia turun dari ranjangnya dan memberanikan diri membuka pintu yang ia kunci sedari tadi.

...krieeeettt.

Kepala Aiden melongok ke luar lewat celah pintu yang terbuka. Perasaan ragu-ragu muncul lagi di hatinya saat melihat koridor itu sepi, sunyi senyap. Aiden ke luar dari ruangan itu dan kembali menutup pintu. "Tidak apa-apa. Tidak akan ada apa-apa. Kau hanya harus pergi ke dapur lalu kembali ke kamar secepat mungkin," bisik Aiden pada dirinya sendiri.

.

.

.

.

.

.

Dan memang tak ada yang terjadi. Ia menemukan dapur dengan mudah di lantai dasar dan dengan cepat meraih beberapa snack serta cemilan lain. Banyak-banyak, agar ia tak usah repot kembali lagi. Ia juga membawa sebotol air minum yang kini tengah ia buka tutup botolnya.

Aiden menaiki tangga dengan cukup kesusahan, meski begitu ia teruskan acara minumnya.

"Hei, boleh aku minta cemilannya?" sebuah interupsi terdengar begitu ia sampai di anak tangga tertinggi. Ia meneguk air minumnya lagi sambil celingak-celinguk mencari asal muasal suara itu.

Tapi nihil.

Tak ada orang di situ.

Mungkin hanya perasaannya sa―

"Aku di atas sini."

Aiden menyerhit mendengar kata 'atas' sebelum mendongak. Dan― "Uhuk!" ia merasa air yang ia minum telah salah dan masuk ke paru-parunya hingga membuat ia terbatuk.

Matanya membulat sempurna melihat sosok gempal yang duduk-melayang (APA?!) itu mencoba mendekati Aiden yang menatap horror. Meraih snack dalam pelukan Aiden.

Plasssshh.

Tangan itu menembus tubuhnya.

Puk.

DEG DEG DEG

Botol minum beserta isinya itu jatuh dan tumpah begitu saja menggenangi area sekitar tangga tanpa Aiden sadari. Sementara Aiden hanya bisa terdiam dalam keterkejutan.

"Ah aku lupa aku sudah jadi hantu..."

Apa katanya tadi? H―hantu... hantu? HANTU?!

"AAAAAAAAAAAAAAAAA!"

―Seketika itu juga Aiden lari secepat kilat dari sana ke arah ruangannya sambil berteriak histeris. Takut setengah mati.

"AAAAAAAAAAAAAAAAA! HANTUUUUUU!"

Meninggalkan sosok hantu gemuk yang nampak begitu murung. "Aku 'kan hanya minta snacknya…," lirihnya. Kembali ke posisi duduk-melayang dengan bertopang dagu. Menyesali dirinya yang takkan pernah bisa lagi mencicipi makanan. Semenjak ia… menjadi hantu.

.

.

.

.

.

.

BRAAAAAAAAAAAK!

...Cklek.

"Hoshh… Hossshhh… Hosshhh…"

Aiden tersandar di balik pintu yang telah ia kunci dengan peluh bercucur. Demi celana dalam kakaknya! Ia baru saja menemui hantu! Di siang hari! Meminta snacknya! "Tempat mengerikan apa ini?!" teriaknya frustasi. Memikirkan kapan kiranya sang kakak kembali dan mereka bisa pulang. Secepatnya.

Bruughh.

Tubuhnya ia hempaskankan di ranjang. Jantungnya masih berdetak cepat. "Aku pasti sedang mengingau tadi," alibinya. "Karena takut aku jadi membayangkan hal-hal aneh."

Aiden bangkit kemudian menggelengkan kepalanya. Ia mengambil salah satu dari snack yang dibawanya tadi dan kembali membuka buku tugasnya.

…Masih ada 93 soal lagi.

"Aku bisa maaaaati…," keluh Aiden lemas.

"Kau tidak akan mati dengan hanya dengan mengerjakan soal Matematika," sebuah suara lain menyahutinya.

"Tapi kepalaku bisa pecah! Otakku bisa mendidih! Kemudian aku gila dan bunuh diri!"

Krik.

Aiden menurunkan tangannya yang tadi ia gunakan untuk mengekspresikan ucapannya dengan menjambaki rambut hitamnya.

"Hiperbolis," ejek suara itu membuat Aiden tersindir. "Matematika itu mudah…" lanjutnya.

Aiden yang geram, membanting buku dan pensil di tangannya kasar. "KALAU BEGITU KENAPA TIDAK KAU SAJA YANG MENGERJAKAN SISA TUGASKU!" amuknya. Aish.

Jeda…

"Sebenarnya aku mau."

Jeda…

"…Tapi aku tidak bisa."

Ck.

"Dasar plin-plan. Tadi kau bilang gampang, sekarang kau bilang tidak bisa. Mana yang benar?" tanya Aiden kesal. Ia membaringkan tubuhnya dan menutup matanya dengan tangan.

"Jangan remehkan aku, bodoh! Aku bisa mengerjakan soal segampang itu," protesan tak terima kembali terdengar.

Snut. Snut.

Aiden diam saja. Meski cukup tersinggung dengan panggilan bodoh yang sukses membuat persimpangan jalan di dahinya.

Jeda lagi…

"Yang tidak aku bisa adalah memegang pensil untuk mengerjakannya."

Aiden menyerhit, kembali mengambil satu snek untuk mengisi mulutnya. Masih menutup mata. "Kenapa?" tanyanya malas.

"Karena hantu tidak bisa memegang pensil, bodoh!"

Ah, benar juga. Hantu 'kan tidak bisa memegang pensil...

.

.

.

.

.

.

...Loh?

Hantu?

Gluk.

Aiden meneguk air liurnya saat kata sakral itu mulai kembali memenuhi otaknya.

Hantu… Hantu… Hantu…

Seketika juga ia baru sadar. …Sedari tadi dirinya bicara dengan siapa? Bukankah tak ada orang lain di ruangan ini?

DEG DEG DEG

Aiden menoleh ke samping dan mendapati sosok duduk-melayang (JANGAN LAGI!) lain di samping tempat tidurnya.

Kali ini seorang pemuda berambut coklat ikal.

"S―siapa kau?"

Aiden merutuk bibirnya yang berujar tanpa berpikir. Sudah jelas dia itu…

Sosok itu menunjuk dirinya menggunakan jari, "Aku? ―Aku Marcus," balasnya santai. Ia mengulurkan tangannya dan bertanya, "Kau?"

"A-aid..."

Plaaaaaaashhh.

Tangan itu tak bisa ia genggam. Tembus.

"Aid?" tanya Marcus heran karena ucapan tak selesai itu.

Melayang... Tembus...

.

.

.

.

.

.

.

"AAAAAAAAAAAAAAAAA!"

Aiden berlari tergesa menuju pintu, mencoba membukanya.

Klek. Klek. Klek! Klek! KLEK!

Terkunci.

Kunci mana kunci? Aiden mencoba mencari kunci ke bawah karpet dengan kalut.

Tidak ada.

"DIMANA KUNCINYA?!" Aiden semakin panik mencari kunci ke segala tempat yang ada di ruangan itu.

"…"

"KUNCI MANA KUNCI?!"

"…"

"YA TUHAN DIMANA KUNCINYA AAAAAA!"

"….."

Aiden beralih ke kasur dan mencarinya di bawah bantal. Ia bahkan lupa alasannya mencari kunci dan bertanya pada Marcus yang masih berdiri melayang di sampingnya. "Kau lihat kunci tidak?" sambil terus mencari ke kolong kasur.

Marcus menghela napas (itupun jika ia masih memiliki napas setelah menjadi hantu) dan berujar pelan. "Bukankah tadi kau menyimpannya di saku jaket?"

Triiing.

Betul juga. Aiden merogoh saku jaketnya dan taraaaa kunci itu ia temukan. Ia tersenyum senang sambil kembali menghadap Kyuhyun, "Terimakasih sudah mengingatkanku."

"Sama-sama."

Eh?

Jeda…

EHHHHH?

Aiden sadar beberapa detik kemudian. Ia menatap lekat-lekat Marcus yang masih dalam posisi melayang. Marcus yang heran (dan grogi) ditatapi seperti itu bertanya, "A-apa?"

Aiden tiba-tiba merasa asmanya kambuh. "Ha―Ha―Ha―HANTUUUUUU!"

Dan kali ini Aiden benar-benar kabur.

BLAM!

.

.

.

.

.

.

.

Marcus berkedip.

Sekali…

Dua kali…

Tiga kali…

"Dasar orang aneh…," ejeknya di sela senyum gelinya.

"Siapa namanya tadi? Aid-AAAAAAA?" Marcus terkekeh saat menirukan suara Aiden tadi . "Namanya aneh sekali."

.

.

―o0o―

.

.

Gila!

Ini benar-benar gila! Ia sudah menemui dua hantu! di siang hari! Demi celana dalam kakaknya.

Aiden terus berlari, namun karena lelah akhirnya ia memilih rehat sejenak. Masih di lantai dua, tak jauh dari ruangannya tadi. "Aku harus pergi dari sini…," gumam Aiden penuh tekad. Setidaknya ia akan menyusul sang kakak ke kota.

Tapi masalahnya… ia tak tahu jalannya.

Dan Tuhan yang sepertinya mendengar doa hamba yang teraniaya ini pun mengabulkan permintaannya. ―Ah benarkah?

Aiden tersenyum lebar saat melihat seorang gadis dengan gaun victoria merah elegan khas para putri bangsawan eropa di depan sana. Setidaknya aku bisa menanyainya arah menuju kota, batin Aiden girang.

(Sepertinya ia melupakan sesuatu. Lagi.)

"Permisi nona," sapa Aiden sopan begitu ia mendekati sang nona-bergaun-merah itu.

Bukannya membalas sapaan, sang nona malah terlihat kesal. "Apa?" tanyanya dengan nada ketus.

Aiden berjengik mendengar nadanya sebelum tersenyum kecut. "Aku ingin bertanya bagaimana supaya bisa ke kota. Kau tau arahnya nona?" tanya Aiden lagi.

"Itu bukan urusanku," balas sang nona acuh tak acuh. Memunggungi Aiden.

"Aku mohon nona..."

"Tidak."

"Nona..."

"Tidak. Sekali tidak tetap tidak."

"Tapi noona―"

Geram.

Sang nona berbalik dengan tatapan tajam ia berteriak, "NONA, NONA! AKU INI LAKI-LAKI TAHU!"

JDEEEEEEERRR BZZZZZZTTT

Aiden merasa dirinya tersambar petir dan tersengat di saat bersamaan saat mengetahui fakta itu. "T―tapi..., anda telihat seperti w―wanita."

Tiba-tiba saja wajah wanita―eh―pria―eh―entah apalah gendernya itu berubah sendu. "Namaku Casey, aku adalah salah satu pemain teater berbakat yang pernah ada di tahun 1999."

Ohh. Tahun 1999?

"Itu adalah hari naasku, saat aku mendapat peran sebagai Juliete dalam teater. Aku tertimpa besi penopang saat pertunjukan berjalan. Aku mati dengan tampilan Juliete," sesalnya. Mulai mengusap matanya dengan lengan baju.

Itu terdengar menyedihkan…

Aiden menatap sosok itu dengan iba.

.

.

.

Tapi…

.

.

.

Apa ia tak salah dengar tadi wanita―eh―pria―eh―entah apalah gendernya ini bilang ia mati tertimpa lampu saat pertunjukan?

Mati? MATI? MATI?!

"Eum, nona―"

"AKU INI LAKI-LAKI!"

Aiden tersentak dan mengumamkan maaf. "Casey, boleh aku menyentuhmu?" izin Aiden.

Casey mengangguk, masih meratapi nasibnya dengan menangis sesegukkan.

Aiden menjulurkan tangannya untuk menyentuh bahu Casey tapi...

Plaaaaaaassshhh

Tembus.

Seketika wajah Aiden menjadi dingin, tanpa ekspresi.

Hantu yang lain, batinnya bosan.

Kenapa harinya ini dipenuhi dengan hantu-hantu? Bisa akhiri ini secepatnya? Ia lelah…

"Baiklah. Sampai bertemu lagi nanti Casey. Aaaaaaaaa," Aiden pamit diakhiri teriakan datar yang sama sekali tidak semangat sambil berjalan gontai meninggalkan Casey, yang tentusaja kebingungan dengan sikapnya.

"Pasti tenggorokannya sedang sakit," tebak Casey asal sambil memandang punggung Aiden iba.

.

.

.

.

.

.

.

"Oi, nona Casey. Kau punya cemilan tidak?" tanya sosok gempal itu begitu datang dengan cara melayang.

Casey yang mendengar itu seketika menggeram, "SEKALI LAGI KAU MEMANGGILKU NONA MAKA KAU AKAN MATI MATHEW!" dan Casey pergi sambil mengibaskan roknya.

Jeda.

Jeda.,

Jeda….

"...bukannya aku memang sudah mati?" gumam Mathew heran.

.

.

To be Continued―

.

.

Kembali dengan story baru~~ dan masih bersambung, Ini twoshot. -,- bukannya lanjutin story yang on going hehe *ditampar*

Yang kangen Aiden (sama kangen author abal ini kalo ada :P) dan kawan-kawan review yaaa ^^

W?