Chapter 1: Orang lama yang datang dari Kota biasanya membawa kebiasaan yang tak pernah berubah

Angin berembus menerpa rambut hitam bocah laki-laki yang kepalanya melongok keluar dari timbunan barang-barang di bak terbuka mobil angkutan pindahannya, hampir saja menerbangkan kacamata bening yang bertengger di hidung mungilnya. Ia memegang gagang kacamatanya erat-erat sambil menoleh ke balik pundaknya memanggil adik perempuan satu-satunya.

"Kagura lihatlah! Kita hampir sampai!", serunya bersemangat. Si adik pun ikut-ikutan melongokkan kepalanya keluar, merasakan kencangnya angin menerpa rambut jingganya yang dikuncir manis oleh sang kakak di kedua sisi kepalanya.

Mobil bak terbuka yang menjadi angkutan pindahan dari rumah mereka dari kota sebelumnya menyusuri jalanan sisi persawahan, yang mungkin hanya cukup untuk satu mobil yang melintas. Rumah tempat tinggal mereka selanjutnya, berada di ujung desa, di sebelah hutan, di dekat kuil dengan pepohonan lebat dan rimbun yang menyelimutinya. Shinpachi ingin tahu seperti apa tempat tinggal mereka selanjutnya.

"Shinpachi! Anginnya kencang sekali-aru!", Kagura berteriak tak mau kalah dari kakaknya, Shinpachi. Ia membuka lebar mulutnya, merasakan terpaan angin yang masuk ke rongga mulut.

"Oi, panggil aku kakak", sahut Shinpachi datar, nampaknya Kagura tak mendengar karena ia tidak menengok ke arah Shinpachi sedikit pun. Kebiasaan sang adik yang tak pernah memanggilnya kakak tak juga hilang, bahkan dengan kepindahan rumah mereka ke desa ini, Kagura tak tampak berniat menghilangkannya.

"Ini, karamel", sambung Shinpachi sembari menyodorkan bungkusan permen karamel ke Kagura. Tetap saja, ia tak tahan berlama-lama kesal terhadap adik perempuannya yang manis itu.

Kagura mengambil sebutir dan melahapnya bersamaan dengan Shinpachi. Lalu, Shinpachi mencodongkan tubuhnya hingga mencapai pintu kursi penumpang (yang tidak berpintu).

"Tousan, karamel?", tawar Shinpachi kepada ayahnya di kursi penumpang, di saat bersamaan Hijikata Toshiro, sang ayah sedang berbincang dengan pak supir yang tak lain adalah paman mereka sendiri, Kondo Isao, kakak ipar Hijikata.

"Ah, tidak terimakasih, tawari aku jika ada yang rasa mayonnaise... OIII BAHAYA, KAU BISA JATUH BODOH!", teriak Hijikata yang baru menyadari 'pose berbahaya' sang anak. Wajahnya tampak sangat shock hingga tanpa sadar ia membelalakkan kedua matanya.

Si supir yang sudah meredakan rasa terkejutnya hanya bisa tertawa melihat refleks heboh Hijikata.

"Hahaha, Shinpachi kau harus mendengarkan perkataan ayahmu. Bagaimana kalau kau jatuh? Kau bisa terluka tahu, ibumu akan sedih nanti. Ah, aku tidak bisa membayangkan ekspresi sedih menghiasi wajah cantik O-!", celotehannya dihentikan dengan sebuah tinju di pipi kiri disebabkan oleh Hijikata, pukulan keras di kepala oleh Shinpachi (dengan bagaimanapun caranya ia berhasil melakukan hal tersebut), dan tendangan di wajah oleh Kagura (yang dengan keajaiban melalui kaca depan mobil).

"Hentikan, hentai(Shinpachi)/gorilla(Kagura)/siscon(Hijikata)…", ucap mereka bertiga bersamaan. Kebiasaan Kondo, yang akrab dipanggil Paman Gorilla oleh kedua keponakannya, pun tak kunjung hilang, sikap siscon yang ia miliki terhadap adiknya tampak tak akan berkurang meski adik tercintanya sudah menikah dan punya dua anak.

"Ayolah Paman Gorilla sadar dirilah. Ibu kan sudah menikah, lagipula kau itu kakaknya, kalian saudara, kenapa kau masih bersikap seperti itu. Awas saja, akan kami laporkan Ibu nanti.", rengek Shinpachi kesal dari bak mobil, setelah ia dan Kagura berhasil ke posisi semula.

Hijikata mendengar hal tersebut hanya mengangguk sambil menghembuskan rokok yang bertengger di bibirnya, sementara Kondo tersenyum gugup merasakan keringatnya bercucuran begitu deras mendengar ancaman keponakannya itu.

Mereka lalu menepi ke dekat bukit di sebelah sawah, di atasnya ada sebuah rumah. Di depan rumah tersebut, tampak seorang anak laki-laki berambut coklat muda seperti warna pasir sedang mengangkut tumpukan jerami ke atas gerobak menggunakan garpu rumput. Ia menggunakan topi pelaut, berpakaian hanya kaus tanpa lengan dan celana pendek dengan sabuk melingkar di pinggangnya, dan beralaskan sandal jepit. Ia berhenti melakukan pekerjaannya ketika melihat mobil pick-up berhenti di depannya, atau lebih tepat di bawahnya.

Kondo melongokkan kepalanya sambil melambaikan tangan kepada anaknya itu sebelum akhirnya turun dari kursi supir.

"Oi, Sougo! Aku pulang!," serunya sambil tersenyum lebar. Sougo, si anak yang tadinya tampak bingung dengan kehadiran mobil tersebut menampakkan senyumnya dengan girang, menyadari orang yang ditunggu sudah pulang dari menjemput 'tamu' yang datang.

"Selamat datang, ottou-san!", sahut Sougo membalas lambaian sang Ayah.

Hijikata pun mengikuti apa yang dilakukan si supir, ia turun dari mobil dan membungkukkan badan menyapa bocah tadi. "Selamat siang, senang bertemu denganmu. Di mana ibumu berada?", tanyanya lembut, rokok yang tadinya bertengger di bibirnya sudah mati dan ia simpan ampasnya di kantong celana.

Sougo membalas dengan membungkuk kikuk, nampak dari raut wajahnya bahwa ia gugup dengan orang baru tersebut. Ia lalu mengacungkan jari telunjuknya yang mungil ke arah sawah, di mana tampak beberapa orang dewasa sedang berkumpul mengerjakan apapun yang sedang mereka kerjakan di sana. Setidaknya itulah yang Hijikata pikirkan, ia tidak begitu tertarik mengetahui apa yang orang-orang tersebut kerjakan.

Hijikata pun menuju tepi sawah dan berdiri di sana bersebelahan dengan Kondo yang sedang menyapa istrinya yang berada di tengah sawah.

"Oooiii, Mitsuba-dono! Aku pulang dengan orang kota yang baru kembali setelah sekian lama!", serunya dengan senyum yang lebih lebar dan lambaian yang lebih heboh dibanding sebelumnya.

"Kau masih memanggilnya dengan sebutan –dono? Cih, dasar tak sadar diri. Kau kan suaminya.", ucap Hijikata sambil berdiri dengan kedua tangannya yang berada di saku celana. Kemungkinan ia menggenggam puntung rokoknya barusan.

"Heheh, maaf maaf, kebiasaan tak kunjung hilang. Lagipula, ia bisa mengerti.", jawabnya dengan senyum lembut sambil memandang ke arah istrinya yang sedang melambai balik.

"Ara, kau sudah pulang. Selamat datang, Anata. Ah, dan selamat datang pendatang lama baru!", sahutnya dengan senyuman lembut. Ia menghentikan kegiatannya sejenak, yang berupa membagikan makan siang kepada para pekerja sawah, dan menyambut 'tamu' mereka.

Hijikata menyeringai, "Heh, apa maksudnya itu", bisiknya mengejek.

"Selamat siang, mulai hari ini kita akan menjadi tetangga. Senang bertemu denganmu eng.. lebih tepatnya lama tak berjumpa, mohon bombing kami.", serunya sambil membungkukkan badan menunjukkan sopan santunnya kepada orang-orang di sawah. Ia mendapat balasan dengan bungkukkan serupa dari orang-orang tersebut dengan senyum mereka yang menyaratkan rasa kekeluargaan yang hangat.

"Tentu saja, katakan saja apa yang kau perlukan. Kami dengan senang hati akan membantu. Terlebih melihat teman lama yang kembali lagi.", sahut Mitsuba ramah.

'Ia tak banyak berubah', pikir Hijikata. Selain memendek dan tak ada lagi kunciran kuda yang menghiasinya, rambut coklat pasirnya tetap mencirikan dirinya sebagai Okita Mitsuba atau lebih tepatnya sekarang sebagai Kondo Mitsuba. Matanya yang berwarna merah darah tetap memancarkan tatapan hangat dan keibuan seperti dahulu kala.

"Anak tadi, Sougo-kun, ya? Benar-benar mirip dengannya.", ucap Hijikata kepada Kondo sembari mereka berdua kembali ke mobil hendak meneruskan perjalanan.

"Yeah, dia anak yang baik. Mitsuba mendidiknya dengan benar. Anak itu sangat menghormatiku.", ucap Kondo lembut, ia mengusap belakang kepalanya dengan senyum tersipu-sipu.

"Kau seorang ayah yang hebat, Kondo-san.", sambung Hijikata tersenyum tipis.

Dari bak mobil di belakang, Shinpachi dan Kagura mulai memunculkan kepalanya dari persembunyian mereka. Mereka menyangka mobil berhenti karena dihentikan oleh polisi dan Ayah mereka harus berhadapan dengan mereka. Sebab, Ayah mereka memerintahkan untuk bersembunyi apabila ada polisi terlihat. Sebelumnya dalam perjalanan, mereka sempat menyangka tukang pos yang sedang mengantar dengan bersepeda adalah seorang polisi yang melintas.

"Sepertinya tidak ada polisi,", bisik Shinpachi sambil menengok ke kanan dan kiri, melihat keadaan. Kagura pun mengikuti langkahnya, ia menengok ke kanan dan kiri sampai pandangannya terpatung ke atas, lebih tepatnya ke arah anak lelaki dari atas bukit rerumputan yang juga sedang mematung dan menatap ke arahnya. Anak lelaki tersebut tak lain dan tak bukan adalah Sougo.

Mereka seakan tak beranjak melepas tatapan satu sama lain hingga akhirnya mobil mereka mulai bergerak. Shinpachi tampak tidak menyadari apa yang dilakukan oleh adiknya, ia melongokkan kepalanya keluar merasakan angin seperti yang ia lakukan sebelumnya dengan senyum lebar terpasang di wajahnya. Kagura bagaimanapun masih beradu tatapan dengan Sougo (begitu pula sebaliknya), sampai akhirnya tatapan mereka terputus dengan menghilangnya mobil dan rumah Sougo dari jarak pandang.

Perjalanan mereka segera berakhir dengan mulai nampaknya rumah tujuan mereka di ujung jalan. Rumah sederhana yang cukup luas dan tampak tua, mungkin lebih tepat dengan beberapa reyot di sana sini. Rumah yang membawa kenangan bagi Hijikata dari masa lalunya. Rumah bersejarah yang membatasi desa tersebut dengan hutan rindang yang penuh dengan pohon lebat dan rimbun. Rumah yang hanya berjarak beberapa kaki dengan kuil yang tersembunyi di balik lebatnya dedaunan pohon-pohon hutan.

Rumah yang selanjutnya akan menjadi tempat tinggal keluarga Hijikata, orang kota yang merupakan wajah lama di desa tersebut yang kembali dan menetap di desa yang membawa begitu banyak kenangan dan misteri baginya.