Sudah hampir dua bulan nggak publish fic Kurobasu. Kangen banget karena fandom Kurobasu udah kayak rumah buat saya. XD Kangen juga sama manga-nya yang baru tamat berminggu-minggu lalu, hiks. So, let me guide you to Akashi and Furihata's little story. Enjoy. ^^
Kuroko no Basuke and all identifiable characters and situations are created and owned by Fujimaki Tadatoshi. The author of the fan fiction does not, in any way, earn profit from the story and no copyright infringement is intended.
Akashi Seijuurou adalah cintanya.
Ia menyukai lelaki itu, tidak pernah berhenti barang sedetik pun sejak pertemuan pertama mereka yang kurang menyenangkan. Karena meski lelaki itu menguarkan aura tidak bersahabat padanya, lelaki itu juga lah yang membuat hatinya berdetak cepat. Membuatnya gugup dan panik. Bodoh memang, tapi ia menyukai sensasi yang diciptakan lelaki itu terhadapnya—Akashi-san, aku menyukaimu.
Akashi Seijuurou adalah cahayanya.
Hidupnya tidak istimewa. Datar. Tidak ada memori khusus yang dapat membuatnya tersenyum senang atau pun menangis sedih. Bagai terombang-ambing di tengah gelapnya samudera. Dan lelaki itu adalah orang yang menyalakan lilin di tengah kegelapannya. Berdiri di atas sana, nun jauh di tepat yang tidak mampu ia jangkau, dikelilingi cahaya yang terdiri dari tujuh gemerlap pelangi yang indah—Tetaplah di sisiku. Tolong.
Akashi Seijuurou adalah segalanya.
Ia—Furihata Kouki—tidak mampu membayangkan hidupnya tanpa lelaki itu. Ia tahu ia sudah hidup selama enam belas tahun, baik-baik saja dan tidak kurang suatu apa pun meski lelaki itu tidak ada. Tapi kini segalanya berbeda. Lelaki itu mencuri hatinya, mengambil napasnya, dan terus bermain di pikirannya. Akibatnya ia mulai merasakan ketergantungan. Mungkin ini lah yang dirasakan seorang pecandu terhadap narkotika—Aku menyukaimu.
Kedatangan Akashi di gedung olahraga SMU Seirin yang tengah dipenuhi anggota klub basket jelas menggemparkan. Tidak ada satu pun dari mereka yang menyangka tamu tak diundang itu akan mendatangi mereka di sekolah. Mereka sudah tidak tahu mana yang lebih parah: Akashi mengunjungi Seirin, atau Akashi mengunjungi Seirin untuk bertemu Furihata. Pikiran mereka dipenuhi satu pertanyaan yang sama, sejak kapan hubungan Akashi dan Furihata jadi akrab?
Point guard cadangan Seirin tersebut tahu mana yang lebih parah, yakni bahwa mereka semua tertipu dengan alasan kedatangan Akashi. Lelaki bersurai merah itu tidak mengunjunginya melainkan mengunjungi orang lain. Lelaki itu memanggil namanya namun menatap pada orang lain. Lelaki itu tersenyum saat ia menyapa tapi sejujurnya senyum itu ditujukan untuk orang lain.
Tidak apa. Ia sudah biasa mengalami yang lebih parah dari ini. Seperti ketika mereka berjalan pulang bersama dan kebetulan melewati jalan yang sepi. Lelaki itu akan menggandeng tangannya ke tempat yang ditutupi bayangan, kemudian mengecup mesra bibirnya. Ia bahagia. Andai saja lelaki itu tidak selalu mendesiskan nama orang lain setelah mereka bertukar ciuman.
Ada kalanya, tentu saja, ketika ia lelah menghadapi Akashi. Ada kalanya ketika ia akan menolak segala kemesraan yang ditawarkan lelaki itu. Ada kalanya ketika ia ingin berhenti bersandiwara, membahagiakan lelaki itu dengan berpura-pura menjadi orang lain dan mengorbankan kebahagiaannya sendiri. Ada kalanya ketika ia berharap lelaki itu akan melihat dirinya seorang.
"Akashi-san, tolong." Tenggorokannya tercekat menahan isakan. Kedua tangannya meremas kerah baju Akashi dengan erat, berusaha menghentikan upaya lelaki itu untuk meraup bibirnya. Ia tidak begitu berhasil karena lelaki itu tetap saja dapat menciumnya.
"…"
Bulir-bulir cairan bening mengalir menuruni wajahnya ketika sebuah nama yang bukan namanya lagi-lagi terucap dari bibir Akashi. Sebenarnya harus sampai kapan ia diperlakukan semena-mena seperti ini? Harus sampai kapan ia diam sampai Akashi sadar dengan perasaannya?
Perlahan-lahan—karena ia makhluk yang sangat bodoh—ia balas mencium Akashi. Tidak peduli seberapa dalam ciuman itu akan melukainya nanti, ia tetap balas mencium. Ia tidak peduli sebab yang ia pedulikan hanya satu: kebahagiaan lelaki itu. Ia ingin lelaki itu bahagia maka ia berkorban. Meski lelaki itu menganggapnya orang lain, ia senang lelaki itu menciumnya. Meski jantungnya berdenyut nyeri, ia pikir ia ikut bahagia. Semua sandiwara yang ia lakoni sudah lebih dari cukup untuknya, sungguh.
"A-Ah…."
Sentuhan jemari Akashi yang bukan untuknya tapi ia terima. Kehangatan tubuh Akashi yang bukan untuknya tapi ia rasakan. Kenikmatan pemberian Akashi yang bukan untuknya tapi ia dapat. Entah sudah berapa kali mereka melebur menjadi satu di gang-gang kecil, gelap, dan sembab; lagi-lagi sesuatu yang tidak pantas ia terima.
Namun ia pantas merasa perih dan sakit, ia pantas terkulai lemas tanpa topangan kedua lengan Akashi, ia pantas dibiarkan teronggok begitu saja sementara Akashi merapikan diri. Sudah menjadi tugasnya untuk berbaring di aspal yang mengotori pakaiannya, diam tak bergerak ketika Akashi mengecup bibirnya sebagai makanan penutup, menahan air mata saat Akashi membiarkannya.
Sekali lagi, tidak apa-apa. Ia sudah biasa. Karena biasa, maka rasanya tidak sesakit pertama kali. Karena biasa, maka air matanya sudah hampir kering. Karena biasa, maka ia akan tersenyum seolah tak ada hal baru yang terjadi. Memang tak ada hal baru karena yang mereka lakukan sudah menjadi sebuah kebiasaan. Ia hanya berharap Akashi akan menunjukkan sedikit perhatian padanya. Satu kalimat 'sampai jumpa' pun tak masalah.
"Aka—"
Kedua iris merah yang satunya terkadang berubah kuning menusuk lembut ke iris biru langitnya. Ya, iris biru langit. Ia tahu seberapa besar Akashi menyukai warna mata orang itu, maka ia menirunya. Dengan lensa kontak.
Tubuhnya gemetar saat jemari Akashi menyentuh wajahnya. Jantungnya berdegup cepat saat Akashi memberinya seutas senyum. Dirinya sendiri ikut tersenyum. Ia merasakan… harapan.
"Akashi-sa—"
"Tetsuya."
Harapan yang tidak pernah bertahan lebih dari sepersekian detik. Harapan yang diciptakan dan dihancurkan oleh satu orang yang sama—Akashi. Tubuhnya sakit namun hatinya jauh lebih sakit. Rupanya ia salah. Air matanya sama sekali tidak hampir kering. Air matanya tidak akan pernah kering selama Akashi masih hidup. Selama dirinya masih hidup.
Dan ia menangis, mengeluarkan bendungan air matanya yang kelewat banyak. Menangis tanpa menahan suaranya hingga lelaki bersurai merah itu agak terkejut. Lelaki itu agaknya sadar bahwa ia bukan 'orang itu'. Ia bisa melihat iris merah itu membeku, dingin.
"Kenapa menangis?" Datang pertanyaan dari suara yang tidak kalah dingin dengan kedua iris merah tersebut. "Apa kau mau berhenti—"
"Tidak!" Ia menggeleng cepat. "Aku… tidak mau berhenti." Sebab kalau ia berhenti, ia tidak bisa merasakan kehangatan Akashi lagi. Kalau ia berhenti, ia yakin Akashi akan mencari penggantinya.
"Kenapa menangis?"
Akashi mungkin tidak berperasaan, tapi Furihata sudah tahu itu sejak lama. Jadi ia tidak keberatan dengan pertanyaan bodoh dari jenius macam Akashi. Lelaki itu tahu kenapa ia menangis namun masih bertanya seolah tidak tahu apa-apa. "B-Badanku sakit." Bila Akashi ingin basa-basi, maka ia akan meladeninya. Lagipula ia tidak berbohong. Sekujur tubuhnya memang sakit sekali. "S-Sepertinya lecet." Oh, bagaimana mungkin tidak lecet bila Akashi memperlakukannya dengan kasar? Dengan orang itu, Akashi pasti akan bertindak jauh lebih lembut.
Lelaki itu tampak bosan dengan jawabannya. Apa tidak ada sedikit pun rasa peduli di hati Akashi? Apa setelah berminggu-minggu lamanya mereka bersama, Akashi tidak pernah melihatnya sebagai Furihata Kouki?
"Lensa kontakmu geser."
Ah, benar juga. Yang dipedulikan Furihata hanya lah kebahagiaan Akashi, namun yang dipedulikan Akashi hanya lah Kuroko Tetsuya.
"Akashi-san…." Pandangannya buram, terlalu banyak cairan bening menggenangi matanya. "Aku suka—"
"Kau," potong lelaki itu, seakan tidak ingin mendengar kelanjutan kalimat Furihata. "Tidak akan pernah bisa menyaingi Tetsuya."
Furihata tahu Akashi tidak berperasaan. Ia tahu.
"Semakin kau berpura-pura menjadi dia, semakin aku menginginkannya."
Tidak kah Akashi mengerti bahwa Furihata juga demikian? Semakin Akashi mendekapnya, semakin ia menginginkan Akashi. Tidak peduli Akashi menganggapnya sebagai orang lain atau tidak.
"Aku tidak butuh perasaanmu."
Tidak, Akashi bukannya tidak berperasaan. Lelaki itu kejam.
"Tapi aku—" Dirinya kacau. Tangisannya semakin tidak terkontrol. "—bukan Kuroko Tetsuya."
"Kalau begitu kau mati saja, Furihata Kouki."
Keheningan meliputi mereka berdua. Teganya Akashi berkata seperti itu padanya. Teganya lelaki itu memintanya mati semudah itu. Tidak ada orang lain di dunia ini yang mampu menandingi kekejaman Akashi. Tidak ada.
"Apa kau… memintaku mati, Akashi-san?"
Pergilah Furihata. Diantar Akashi dengan senyuman.
.
The impression of seeing you for the first time
As if the time has stopped, my eyes has got only you
Even if there are so many aching wounds and painful recollection
Although I could turn back in time, I won't change anything
Those exhausted days…
For the sake of you, I will forget
Should I make a sequel in Akashi's POV? :D
