Ini merupakan fanfiction pertamaku, semoga dapat menghibur ^-^
ChocolateSenpai18
That Faithful Encounter
~11 Tahun yang Lalu~
Normal P.O.V.
Pagi hari itu merupakan awal dari musim semi, dimana bunga-bunga bermekaran. Jalan raya Kota Magnolia itu telah dipenuhi oleh riuh kesibukan aktivitas penduduk. Disinilah kita bertemu dengan keluarga yang sangat berisik, The Dragneel Family.
"Ma! Dimanakah Happy?" teriak anak lelaki berambut salmon itu seraya berlari keluar dari kamarnya menuju ke dapur, tempat ibunya berada.
"Happy? Er.. Kalo tidak salah tadi ia keluar mencari ikan? Entahlah" jawab ibunya itu yang diketahui bernama Grandeeney itu dengan santai, tanpa memalingkan muka dari masakan yang tengah ia buat.
"HIIII! Ma! Bagaimana kalo Happy diculik? Bahkan lebih parah! Dijadikan sate?! AH!" teriak anak kecil berumur 7 tahun itu sambil berlari kearah pintu dan pergi keluar untuk mencari kucing kesayangannya itu.
"Aduh, pagi-pagi sudah berisik saja.." dengus lelaki tua bernama Igneel
"Dia mendapat energi berlebih itu darimu bukan?'' jawab wanita itu pada suaminya disertai dengan senyum masam.
Lelaki itu hanya membalikan badannya lalu berjalan menuju ruang tengah untuk menonton TV (?) sembari tertawa terbahak-bahak.
Sudah 1 jam berlalu sejak kepergian bocah salmon itu dan ia tak kunjung kembali. Ketika Gradeeney menutuskan untuk mencari anak nya, tiba tiba pintu terbuka menampilkan seoang bocah yang rambutnya tiba-tiba botak sebelah, memegang kucing biru, disertai dengan grins khas nya.
"KYA! PAPA! Ada orang gila di pintu!"
Wanita itu langsung berlari ketakutan ke kamarnya dan mengunci pintu, dapat terlihat juga Igneel keluar dari dapur memegang sepuah frying pan hitam, siap untuk memukul orang gila yang dimaksud.
Bocah salmon itu hanya dapat terdiam dan bersweat drop melihat kelakuan kedua orang tuanya itu yang diluar kendali. Sambil menjadikan kucing biru itu tamengnya, ia mencoba menenangkan ayahnya.
"Pa, ini Natsu!" rengek anak kecil itu kepada papanya.
"Kau! Alien utusan planet mana?! Anakku tak berambut aneh seperti itu!" lanjut ayahnya dalam pose kuda-kudanya.
"Cih.. Tadi ada yang mau gundulin Happy, pas aku loncat mau tolongin, eh malah rambut jadi yang kegundulin ehehehe"
Sambil tertawa, kedua orang tuanya lalu menghampiri Natsu dan melihatnya lekat-lekat, keheningan tersebar di ruangan itu, lalu...
"MUAHAHAHA! Anak bodoh!"
"Hahaha! Natsu, kau terlalu polos hahaha"
"Siapapun yang melihat takkan mengenalimu"
"HAHAHAH!"
Kedua orangtuanya tak berhenti menertawai anak tunggal mereka itu, Natsu pun akhirnya lelah dan kesal lalu berjalan menuju kamarnya dan menutup pintu. Meski begitu, masih dapat tersengar suara tertawa kedua orang tuanya itu yang tak kunjung berhenti.
"Cih..."
Sementara itu, di kediaman Keluarga Heartfilia
Dokter itu melepaskan stetoskop nya,
"Tuan, Nyonya, sepertinya putri keduamu ini tak akan selamat" lalu ia menghembuskan napasnya dan melanjutkan,
"jantungnya terlalu lemah dan tak akan bertahan lama, maafkan aku"
Dokter itu lalu menundukan kepala dan berjalan keluar Heartfilia Estate membawa segala perlengkapannya. Disana tertunduklah Mr. dan Mrs. Heartfilia dengan bercucuran air mata.
"Pa, bagaimana ini... Hiks.. Hiks" sambil tersedu-sedu, Nyanya Layla itu membenamkan dirinya dalam dekapan suaminya
"Ma, dia merupakan dokter terbaik dan kesepuluh.. Papa tak tahu harus bagaimana" lanjut Jude dengan suara yang terdengar hampir berbisik.
Seketika itu rungan tersebut hanya dipenuhi oleh tangisan kedua orang tua itu pada putri keduanya yang berumur 3 tahun, harapan mereka sudah semuanya sirna. Mereka pun tak tahu apa yang harus dilakukan untuk memberi tahu putri pertamanya, Lucy, mengenai adiknya yang tak akan berumur lama.
Untuk pertama kalinya, keluarga yang penuh canda tawa ini dipenuhi dengan kesedihan yang mendalam tanpa sedikitpun harapan tersisa.
Jam telah menunjukkan pukul 06.00, Lucy Heartfilia baru saja sampai di rumah setelah mengunjungi teman-temannya.
"Tadaima!" teriak perempuan berumur 6 tahun itu sembari berjalan masuk rumah bersama bibi yang paling disayanginya, Mrs. Spetto.
Lucy segera menuju ke kamar adiknya. Kamar itu dipenuhi lampu kuning dan lantai marmer putih, dan dapat dikatakan terlalu besar untuk anak berusia 3 tahun. Lucy duduk di dekat adiknya dan tersenyum manis.
"Michelle, bagaimana keadaanmu?' tanya Lucy sembari memegang tangan adiknya yang terasa agak dingin. Tangan lainnya ia gunakan untuk mengelus kening adik kecilnya itu dengan penuh kasih sayang.
"Kamu pasti bisa sembuh.. Nanti kalo sudah sembuh kita bisa main lagi!" lanjut Lucy dengan penuh antusias kepada adiknya yang tak sadarkan diri itu.
"Kita bakal main boneka, masak-masak, dan jalan-jalan lagi sama Mama Papa!"
Lucy dapat merasakan air matanya mulai bercucuran mengenang saat saat bersama adiknya, seketika itu pun ia sadar kalau menangis tak akan menyelesaikan masalah. Ia raih tngan adiknya lalu melingkarkan jari kelingkingnya dengan adiknya.
"Ne, Michelle, janji ya kamu sembuh! Lucy janji ga akan nangis lagi!" ia lalu tersenyum dan memluk adiknya dengan erat.
"Nah sekarang Lucy bacain cerita ya! Judulnya Fairy Tale"
1 jam pun berlalu sejak saat itu, Lucy memutuskan untuk menemui kedua orang tuanya. Ia berjalan pelan keluar dari kamar itu menuju ruang kerja ayahnya. Sesampainya ia di depan pintu putih besar, ia tak sengaja mendengar pembicaraan kedua orang tuanya.
"Layla, bagaimana ini?" tanya Jude dengan perlahan
"Kita harus segera memberitahu Lucy" jawab Layla pasrah sambil menahan tangisnya keluar.
Lucy yang menunggu di depan pintu pun tak mengerti maksud kedua orang tuanya
"Michelle... Mengapa ini harus terjadi pada dirinya!" lanjut Layla yang akhirnya tak dapat membenamkan kesedihannya. Mata Lucy pun membelalak,
'apa yang terjadi pada Michelle?' batin Lucy
"Maafkan aku Layla, tak semua hal berjalan sesuai kehendak kita" jawab Jude dengan sendu, ia membenamkan kepalanya di meja kerjanya, merasa frustasi.
"Waktu Michelle tak akan lama, Pa!" seketika Layla menjerit, kalimat itu seakan menusuk diri Lucy, meskipun hampir semuanya terasa hancur, Lucy mencoba membuka pintu menghadap kedua orangtuanya.
"Pa, ma... Itu ga bener kan?" tanya Lucy perlahan, tubuhnya bergetar hebat.
Kedua orang tuanya hanya dapat terdiam dan terisak, Lucy yang merasa tak didengar bertanya sekali lagi, suaranya mulai terdengar agak goyah
"Pa.. Ma.. Jawab Lucy.." pinta Lucy
Jawaban yang dia dapat hanyalah isakan kedua orang tuanya yang semakin menjadi-jadi.
Seakan mendapat jawaban, Lucy segera berlari keluar dari ruangan itu, rasa sesak meliputi seluruh tubuhnya, lampu lampu koridor yang hangat terlihat dingin dan air matapun tak dapat dibendungnya lagi.
Michelle tak dapat memenuhi janjinya, begitupun Lucy. Ia berlari keluar rumah tanpa arah, tak ada seorangpun pembantunya yang menyadari. Sesampainya ia di luar, udara malam terasa begitu menusuk sehingga membuatnya susah bernapas. Tanpa sadar langkahnya itu membawa dirinya pada sebuah bukit kosong yang begitu gelap. Disanalah, ia melepas segala tangisnya
"Hiks.. Michelle.. Hue!" tangisnya pecah semakin keras dan a tak peduli akan apapun pada saat itu.
Di kediaman Dragneel
"Ma, Pa, aku pergi main sama Gray dan Jellal!" teriak Natsu pada kedua orang tuanya. Sebelum berhasil membuka pintu, papanya berteriak dari kejauhan,
"Jangan lupa pakai topi kalo gamau diketawain" kata papanya dengan santai tanpa melepaskan pandangan dari Tvnya.
Grandeeney hanya tertawa melihat hal itu sambil mengambil topi berwarna hitam dari kulit dan memakaikannya pada anaknya tersebut.
"Hati-hati Natsu" kata mamanya sambil membukakan pintu.
Natsu memberikan grins khas nya lalu pergi bertemu dengan kedua sahabatnya tersebut.
"Oy Natsu, ngapain pake topi?" tanya lelaki berambut biru sembari bermain ayunan.
"Eh, gapapa" jawab Natsu singkat seraya mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Guys, liat deh! Aku dikasih gelang sama sodara!" sahut Gray dari kepada kedua temannya itu.
Natsu dan Jellal sontak menoleh dan berjalan kearah Gray yang sedang duduk di bangku taman tak jauh dari ayunan itu.
"Wah.. Ada tulisannya!" kata Jellal seraya meneliti gelang itu. Ia berusaha membaca tulisan yang tertera pada gelang itu
"Gray... Gray! Itu namamu!" kata Jellal riang seraya mengambil gelang itu dari genggaman Gray.
Gray tersenyum bangga kedua temannya itu, ia merasa senang memiliki hal yang tak dimiliki kedua temannya itu. Beberapa lama kemudian Gray melihat Natsu yang mencoba mengambil gelang itu dari Jellal.
"Oy, kepala api! Jangan kau apa-apakah barang itu ya!" kata Gray tegas
Tentu saja menerima barang utuh dari tangan Natsu merupakan hal yang hampir tak akan pernah terjadi. Natsu yang merasa kesal dengan ucapan Gray tersebut lalu mengambil gelang itu dari tangan Jellal.
"Nah, ambil kalo bisa, wlee" teriak Natsu seraya berlari menjauh dari mereka.
Gray dan Jellal hanya dapat melongo sebelum akhirnya mengejar Natsu
"Oy Natsu!" teriak keduanya sembari terus berlari ke arah perginya bocah salmon itu.
"Gray, sepertinya Natsu hilang jejak" kata Jellal kepada Gray setelah menemukan perempatan jalan tanpa jejak.
"Jellal, kamu lewat sana!" sahut Gray sambil menunjukkan kearah kiri
"Dan aku ke arah sana" lanjutnya sambil menunjukkan arah kanan
"Oke!"
Mereka bertiga pun akhirnya berpencar kearah berlawanan.
Setelah 15 menit berlalu, Natsu menyadari dirinya berada di tempat yang begitu gelap
'Di daerah bukit ya' batinnya seraya mengusap keringat yang mengucur. Hal yang dapat dilihatnya hanya langit malam penuh bintang dan beberapa pepohonan besar. Di dalam kesunyian itu tiba-tiba ia mendengar suara seseorang menangis. Seketika itu ia merasa ketakutan,
'suara hantu..kah?' tanya Natsu dalam pikirannya.
Ia akhirnya memutuskan untuk mencari sumber suara itu. Setelah ia dengar, suara itu berasal dari belakang pohon- pohon besar. Dengan berani ia menelusuri belakang pohon dan menemukan pemandangan yang indah, langit penuh bintang dan bukit yang begitu terang serta seorang anak perempuan berambut, blonde?
'Jadi dia yang menangis?' ia bertanya lagi pada dirinya sendiri.
Natsu memutuskan untuk menghampiri gadis itu dan duduk di sebelahnya. Salah satu tangannya masih memegang gelang milik Gray itu
"Hey" kata lelaki rambut bertopi itu secara pelan
Gadis itu memalingkan muka dari dekapannya dan menatap lelaki disebelahnya. Ia tersenyum sendu sembari menatap Natsu.
"Kenapa nangis?" tanya Natsu dengan polos, tak mengerti apa yang terjadi.
Perempuan itu menatap langit penuh bintang kemudian menjawab, "Mengetahui seseorang yang penting mau meninggalkan hidupmu itu sedih ya"
Seketika itu Lucy kembali merasakan air mata membasahi pipinya, Natsu panik melihat itu
'aduh, bagimana ini?' batin Natsu
Kemudian dengan reflek ia mengangkat tangannya dan menghapus air mata dipipinya itu, gadis di sampingnya hanya dapat menatapnya, kaget dengan reaksi seseorang bertopi itu.
"Aku tak tahu apa-apa" kata Natsu dengan pelan
"Aku tak pernah merasakan diriku ditinggal siapapun" lanjutnya lagi, namun kali ini ia mengarahkan pandangannya pada langit berbintang.
"Tapi mamaku selalu mengatakan, kita harus belajar seperti bintang" ia berhenti sebentar untuk menatap gadis blonde di sampingnya
"Meski mereka berada di tempat tergelap sekalipun, mereka tetap bersinar terang. Seakan keadaan apapun mereka akan selalu kuat" dengan grins khasnya, ia menggenggam tangan gadis itu seakan memberi semangat.
Gadis blonde itu akhirnya membiarkan dirinya menangis keras di samping lelaki itu.
Sedangkan Natsu, akhirnya, dapat bersikap rasional dan bijaksana, ia senang dapat membantu seseorang yang sedang membutuhkan bantuan.
Mereka terdiam dalam keadaan itu selama beberapa menit, sebelum akhirnya gadis itu mengeluarkan suaranya
''Arigatou" katanya singkat sembari tersenyum hangat pada Natsu
Natsu menatap gadis itu dan memberikan senyum terbaiknya,
"Boleh kutanya, namamu?" tanya Natsu dengan berhati- hati
"Namaku L—"
"Oy, kepala api! Keluarlah!"
Terdengar teriakan dari balik pepohonan yang memotong kalimat gadis blonde itu. Dengan sigap Natsu berdiri
"Aku harus pergi, sampai bertemu lagi gadis blonde, tetap semangat, aye!" sahut Natsu seraya berlari meninggalkan tempat itu.
Gadis itu hanya dapat melihat kepergiannya dari jauh, sebelum menyadari ada sebuah benda di sebelahnya, ia mengambil benda itu yang rupanya adalah sebuah gelang bernama.
"Gray?" kata Lucy pada dirinya sendiri, lalu ia menatap langit penuh bintang itu dan tersenyum penuh semangat.
"Terima kasih Gray, sampai bertemu lagi, aku akan mencarimu" kata Lucy dengan pelan
~To Be Continued~
