PUTRA © Bosondeicus
Hetalia © Hidekaz Himaruya
Putra Bayu Dirgantara © Bosondeicus
Genre: Humor, Hurt Comfort, Parody, Angst, Family.
Rated: M-antap Djiwa
Warning: Mungkin OOC tapi charanya kan OC semua ya… OC male Indonesia, OC kerajaan-kerajaan Indonesia, deskripsi merajalela, typo(s), Oneshot , alurnya gak jelas, dan semua kekurangan lainnya. Benda ini jauh dari kata sempurna.
#
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
#
Kalau kau mau tahu, sebenarnya aku sudah malas berurusan denganmu.
Pastikan saja dirimu berada dalam keadaan baik-baik saja, itu sudah cukup.
Kau juga sudah dewasa, tahu mana baik mana buruk. Tahu mana yang harus diperhatikan, mana yang harus diabaikan. Aku tidak perlu lagi repot-repot mengingatkan, apalagi menyuarakan pendapat dan bersikap menyebalkan.
Kau juga pasti senang dengan pilihanku.
Putra.
Tapi… aku tidak bisa.
Aku ingin mendengar suaramu.
#
.
.
.
.
.
#
21xx | Indonesia
Putra mendongkak dan melemaskan ototnya yang kaku.
Hampir tengah malam, dan ia masih ada di sini. Di ruang kerjanya yang ada di rumah pribadinya. Harusnya ia sudah terbang ke alam mimpi, mengingat besok akan jadi hari yang sangat sibuk dan ia tidak boleh menghancurkannya dengan bangun kesiangan atau ngantuk seharian.
Tapi… ia sedang menunggu sesuatu. Lagi pula ia tidak pernah benar-benar bisa tidur.
Netranya melirik jam yang mengantung di dinding dengan datar. Pukul 11 lewat 45 menit. Punggungnya yang menempel pada sandaran kursi terasa panas.
Lima belas menit terlama selama hidupku.
Pemuda itu menggulirkan matanya dan menatap bingkai foto di sudut meja, lalu beralih pada lukisan di atas sofa, dan berakhir pada kacamata di atas meja.
Kali ini, apa yang akan kau berikan padaku?
Ia mendongkak lagi dan menutup sebagian wajahnya.
Menunggu selama ini saja aku sanggup, tapi kenapa tiap hal ini terjadi aku merasa bisa mati kapan saja?
—Ding!
Kelopak matanya yang sempat tertutup segera terbuka setelah mendengar suara yang berasal dari laptopnya. Ada email masuk. Email yang ia tunggu-tunggu. Segera saja, tremor menyerangnya. Tangan Putra yang bergerak untuk membuka email itu gemetar, meski ini bukan yang pertama kali namun ia tidak pernah bisa membiasakan dirinya.
Ia selalu… menunggunya.
—klik. Klik. Klik.
Dari .com. Kosong. Tak ada apa pun di badan emailnya. Kening Putra mengerut sedikit. Ia angkat tubuhnya dari sandaran kursi dan memeriksa kotak masuknya dengan seksama.
—ah, ada lampiran.
Tanpa sadar, ia menggigit bibirnya dengan keras hingga ia bisa mengecap sedikit rasa besi dari sana.
Badan emailnya memang kosong. Tapi ada lampiran yang ditambahkan. Jadi, tahun ini berbeda dengan tahun yang lalu. Batinnya sambil menunggu unduhan lampiran itu. Sebuah video. Air matanya mulai menggenang.
Selesai. Ia segera mengarahkan kursornya untuk memainkan video itu dan—
—klik.
"Hei, Putra."
Ia mengulum senyum kaku. Ah, betapa Putra sangat merindukan suaranya.
"Kau sudah makan? Minum? Mandi? Bagaimana harimu hari ini? Apa ada orang yang membuatmu kesal?"
Pemuda bermata hitam itu menghela napas dan menyenderkan punggungnya pada sandaran kursi. Netranya tidak lepas dari pria yang berbicara di layar laptopnya.
"Kau harus makan, jangan sampai lupa hanya karena tidak ada aku yang mengingatkan. Minum juga, jangan sampai kau mati tersedak."
"Dan kau harus selalu tersenyum. Tapi kau juga harus tahu tempat, kau itu mudah diculik jadi jangan sembarangan menebarkan pesona."
"Berapa tinggimu sekarang? Ah, pasti kau sudah lebih tinggi dari terakhir kita bertemu, kan? Atau kau justru masih sependek dulu? Sudah kubilang minumlah susu tiap malam—ah, ya, kau benci itu ya."
"Kau jangan pernah berpikir bahwa kau sendirian tanpaku. Mengerti? Banyak orang yang menyayangimu, bukan hanya aku."
"Bukan hanya aku."
"Ah, aku tahu sifatmu."
"Baiklah. Apa kau menunggu sesuatu? Haha."
"Selamat ulang tahun."
"Selamat ulang tahun Putra. Panjang umur, sehat selalu. Aku menyayangimu."
"Terlalu singkat? Hahaha, kau berharap apa dariku?"
"Menurutku, yang terpenting itu doa yang diucapkan di dalam hati. Bukan yang disuarakan keras-keras, setuju?"
"Aku menyayangimu, aku sangat menyayangimu."
"Meski begitu, aku tidak bisa selalu ada di sampingmu. Aku harus pergi. Dan ketika aku pergi, itu artinya kau sudah menjadi negara maju. Kau mengerti? Itu artinya kau harus bahagia. Tugasku selesai."
"Aku… bisa pergi dengan damai."
"Aku… bisa pergi dengan perasaan bangga. Kau sudah tumbuh menjadi pemuda dewasa, aku tahu kau sudah dewasa."
"Kau… bukan anak-anak lagi."
"Hidupmu pasti sulit, ya? Banyak orang yang mulai terang-terangan membencimu."
"Tapi aku yakin, kau pasti baik-baik saja."
"Karena aku tahu… kau itu kuat."
"Ehm."
"Selamat ulang tahun, selamat ulang tahun, selamat hari ulang tahun, selamat ulang tahun Putra… selamat ulang tahun sayang."
Videonya selesai.
Putra menutup matanya dan menghela napas. Ia menutup laptopnya dan menelungkup di atas meja.
Lalu menangis semalaman di sana.
"Putra, anakku, dia sudah tumbuh sebesar ini astaga demi Sang Hyang Widhi aku ingin menangis—"
"Singkirkan wajah bodohmu itu, Kalingga. Jangan membuatku malu."
"Kau ingin kubunuh Sriwijaya sialan—"
"Ah, lihat dia. Sekarang sudah sebesar ini, kakek Samudera Pasai bangga padamu nak."
"… kek, berhenti pakai bahasa lawas begitu, telingaku geli ndengernya."
—BLETAK! "Kau yang jaga mulutmu itu. Kau mau mengikuti orang gaul, hah? Mau kusembelih kau, HAH?"
"…"
"… Cirebon, plis, jangan tidur dulu—upacaranya baru mau mulai!"
"Majapahit, dari pada mendelik pada Sriwijaya seperti itu—mending kamu urus kakakmu yang memasang wajah mengerikan seperti itu."
"Biarkan saja dia. Dia sedang bernostalgia. Disadarkan juga percuma, nanti kita dibantai yang ada."
"… astagfirullah."
"Efek baju seragam memang luar biasa, ya…"
"Yo, Putra jadi 360 derajat lebih macho dari biasa."
"Tapi…"
Semua telinga di sana menunggu kelanjutan kalimat ini.
"… Putra, semalam begitu lagi ya?"
Tidak ada yang menjawab. Tidak ada yang membuka mulut. Semua kepala di sana menghadap pada arah yang sama. Semua manik di sana menatap pada titik yang sama. Anak itu memang sudah tak lagi berdiam di tempat yang sama, tapi mereka semua tahu.
Putra… masih sangat terluka.
