Case_Prologue

.

.

Cinta.

Begitu banyak cara untuk menjelaskan tentang cinta, begitu banyak analogi yang dapat dibuat oleh cinta.

Bagi Shinji, cinta itu seperti menyesap kopi.

Pertama, aroma kopi akan menggoda seluruh syarafmu untuk menghirupnya dalam-dalam. Semakin lama kau terbuai dengan godaan-godaan yang ada dan aromanya akan terus menenggelamkanmu. Hingga kemudian kamu akan mulai menyesap kopi dari ujung cangkirmu, sedikit demi sedikit. Ada rasa manis ketika kopi itu mengecap lidahmu, memenuhi mulut dan mengalir jauh melewati kerongkongan.

Ketika kopi itu sudah tak menyentuh indra pengecapanmu lagi, ada rasa getir merambat. Meninggalkan bekas rasa pahit dalam ruang mulutmu. Tapi, tak membuatmu jera untuk mencoba lagi. Menyesap cairan kopi terus menerus. Menyesapi kenikmatan dalam perpaduan aroma, rasa manis dan pahit yang membuatnya merasakan 'candu'.

Karena analogi itulah yang didapatkannya pada saat ia bertemu dengan seorang bariste di sebuah kedai kopi.

Yang bernama… Hiyori Sarugaki.


Bleach © Kubo Tite—not mine

Coffee © Silver Andante

Pairing: Shinji x Hiyori

Genre: Drama/Romance

Rated: ngg… T+?

Warning: AU (Alternate Universe), OOC (Out of Character), Plot Cepat, Absurd, Feel Tak Dapat Terdefinisi.

.

.

Sebuah Fanfiksi untuk Hira-Hikashi Dark Butterfly

dan sapaan khusus dariku untuk Cassandra A. R. Lynn

.

"Tentang aku, kau, dan analogi dalam secangkir kopi"


Page_01

Ini dimulai pada malam dingin di bulan November.

Malam itu angin berhembus kencang, menerbangkan dedaunan tua dari dahan-dahan pohon. Suasana di jalan-jalan sudah mulai sepi.

Shinji terus berjalan dengan mantel hangatnya meski cuaca sedang memburuk saat ini. Selepas bekerja seharian, Shinji akan selalu menyempatkan waktu untuk mengunjungi sebuah café sebelum pulang ke apartemennya.

Coffee—adalah nama café itu. Bangunannya yang kecil dan sederhana membuatnya terlihat berbeda dari café-café lainnya.

Kedai yang utamanya menyediakan berbagai jenis coffee dan dessert itu menarik perhatiannya seminggu yang lalu, ketika awal mula ia berjalan tak tentu arah di sekitar taman perkotaan pada malam itu.

Dan yang lebih special lagi, ia bertemu dengan cinta pertamanya di café itu.

.

.

.

Malam itu saat Shinji sedang suntuk berada di apartemennya yang pengap. Sampai ia memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar apartemennya. Jam besar yang tergantung di sebuah gedung menunjukkan pukul 8 malam. Masih cukup sore untuk mengunjungi beberapa toko ataupun minimarket 24 jam, tapi sepertinya cuaca mempengaruhi waktu. Ia menghela napas. Uap putih keluar dari mulutnya. Ternyata udara semakin dingin tanpa ia ketahui.

Pemuda itu masih berjalan sampai di sebuah perhentian bis, dia mendongak menatap sebuah café—satu-satunya—yang masih buka dan terang benderang di seberang jalan. Dengan rasa penasaran, ia mencoba untuk datang ke tempat itu sambil menghangatkan diri.

Suasana sepi terlihat dari depan jendela café, hanya ada segelintir orang yang duduk tenang sambil meminum kopinya. Shinji bergerak membuka pintu kaca café itu. Aroma kopi yang pekat memenuhi indra penciumannya seketika. Ia memilih duduk di meja dekat jendela, pandangannya menyapu seluruh ruang café. Hanya ada dua orang pelayanyang ada di sini. Satu perempuan berambut hijau terang dan satu orang lagi berdiri di dekat mesin espresso—seorang barista sepertinya.

Perempuan berambut hijau berjalan mendekati mejanya. Dengan gayanya yang ramah dan sopan, ia berbicara.

"Selamat sore, tuan. Perkenalkan, nama saya Mashiro. Apakah anda ingin memesan sesuatu?" Shinji tersadar, ia bahkan belum membuka buku menunya. Ia membuka buku menu dan melihat-lihat sekumpulan jenis kopi yang disajikan café ini.

"Aku ingin pesan cappuccino saja," jawab Shinji setelah melihat-lihat daftar menu.

"Baik, mohon ditunggu…" pelayan itu pun berlalu dari hadapannya. Shinji melihat keluar jendela, café ini tidak seburuk yang ia kira. Setidaknya ia bisa menghangatkan diri dan menghilangkan kebosanannya di sini.

Baru beberapa bulan ia pindah ke Karakura, ia tidak tahu ada tempat seperti ini. Ah, sepertinya kota ini lebih menyenangkan daripada yang ia kira. Pikirnya. Kerlap-kerlip lampu kendaraan yang melintas membuat malam lebih indah, apalagi dengan dibubuhi alunan musik klasik yang perlahan mendayu-dayu dari pojok ruangan.

"Yah! Bagaimana kau bisa mengatakan hal seperti itu?!" seorang yang sedari tadi berada di dekat mesin espresso mulai membuat keributan dengan teriakannya. Sementara sang pelayan bernama Mashiro itu mengatupkan kedua telapak tangannya, memohon. "Kali ini saja, ya?"

"Ijinkan aku pulang cepat…" Setelah beberapa menit, Mashiro pergi dengan senyuman lebar di wajahnya meninggalkan seseorang yang sedang menghela napas di dekat jendela pantry. Sejenak keributan itu mereda, para pelanggan mulai tak menghiraukannya dan mulai menyesap kopi hangat mereka.

Shinji yang sedari tadi melihat keributan itu, mengalihkan pandangannya kembali. Ah, mana pesanannya? Tak kunjung datang kah?

"Bon soir, Monsieur. (Selamat malam, Tuan) Ini pesanan anda." Bunyi cangkir yang beradu dengan meja kayu di depannya terdengar. "Je vous remercie pour votre patience." (Terima kasih atas kesabaran anda)

Shinji membuka bibirnya, mengucapkan kata terima kasih. "Merci." (Terima kasih) Jawabnya singkat. Ia tak pernah mengalihkan pandangannya sekedar untuk melihat orang yang mengantarkan pesanannya itu.

Malam mulai larut, pelanggan pun semakin berkurang. Hingga tinggal satu orang pelanggan saja yang tersisa di café itu. Pemuda itu tetap memandang ke arah luar jendela kaca, sambil sesekali menyesap kopinya. Entah mengapa kopi itu tak pernah habis untuk disesapnya.

Suasana malam di luar dengan udara dingin serta lampu temaram di sekitar jalan dan taman kota di depannya begitu indah. Musik mengalun merdu seiring hembusan nafasnya yang berhembus perlahan menikmati suasana. Seseorang yang sedang berjalan mendekati pun tak bisa mengalihkan pandangannya. Ah, mungkin pelayan tadi.

"Permisi, tuan…"

Suara pelayan itu terdengar lembut di gendang telinganya. Ia memejamkan matanya sejenak sambil menyenderkan punggung tegapnya pada kursi. Entah mengapa suasana ini membuatnya nyaman. Ah, ingin sekali ia tertidur. Namun Shinji tidak tahu bahwa orang yang memanggilnya barusan sudah geram karna tak dihiraukan, orang itu berteriak agar Shinji menolehkan wajah padanya.

"YAH! Kau tidak dengar aku berbicara denganmu!"

Shinji yakin sangat menikmati suasana café ini. Sebelum orangitu datang.

"Ada apa?" pemuda itu perlahan membuka matanya, menolehkan kepalanya menatap orang itu.

Ah!

Wajah pelayan itu berbeda dengan bayangannya, ia kira orangitu sama dengan pelayan yang tadi menanyakan pesanannya.

Wajah itu bersinar dikala lampu remang-remang di atas sana berpijar, bibir itu melengkungkan sebuah senyuman dengan gigi taring yang menonjol. Hey, bukankah seseorang bernama Mashiro itu telah pergi? Siapa yang ada di hadapannya saat ini?

Apron hitam itu, topi kain yang menyembunyikan rambutnya itu. Bukankah ia yang ada di dekat mesin espresso itu tadi?

Berarti dia yang meracik kopi kan? Dan, dialah sang barista—ah, bukan—bariste di sini.

"Kukira kau laki-laki, ternyata kau perem" sebelum menyelesaikan pernyataannya, kerah kemejanya sudah ditarik oleh bariste itu.

"APA YANG KAU BILANG?" wajah bariste itu yang berubah seram mendekati wajah Shinji. "E-eh, ti-tidak. Bukan apa-apa." Shinji menggelengkan kepalanya.

Sang bariste melepaskan genggamannya, "Bagus. Sekarang café ini sudah mau tutup. Pergilah!"

"Baik–baik. Aku pergi…" Shinji bangkit dari tempat duduknya dan melangkah menuju puntu keluar namun ia sempat menggumam, "Che, mana ada pelayan yang mengusir pelanggannya pergi. Pelanggan kan, raja yang harus dilayani."

Shinji langsung berlari keluar sebelum terkena lemparan sapu dari bariste itu.

.

.

.

Dan dari saat itulah, Shinji selalu datang ke café itu sepulang kerja bahkan hari libur dan tetap di sana sampai café itu tutup. Dan disinilah ia, duduk dengan ditemani secangkir kopi kesukaannya. Pemuda itu selalu memilih tempat duduk di dekat jendela karena ia merasa nyaman disana. Ia dapat melihat indahnya malam musim gugur sambil tak perlu memperdulikan udara yang sangat dingin di luar sana.

"Monsieur, apa kau mau menambah pesanan lagi?" Mashiro bertanya kepada Shinji yang larut dalam lamunannya. Shinji tersenyum lalu menggeleng. Ia membiarkan pelayan itu pergi melayani pelanggan lain yang baru datang.

Pelayan-pelayan yang ada di café ini sudah hafal wajah Shinji walaupun baru satu minggu berturut-turut ia selalu berada disana. Ini dikarenakan Shinji selalu berada di tempat yang sama dan memesan pesanan yang sama selama satu minggu itu. Jikalau pun ada yang berbeda, itu dari dessert yang ia pesan.

Shinji meminum kopinya sembari memperhatikan jendela pantry yang memperlihatkan wajah bariste yang disukainya. Ah, selama seminggu ini, ia belum melakukan pendekatan sama sekali dengan gadis itu. Sekalipun ia dekat dengannya, mereka akan berkelahi mempermasalahkan café yang mau tutup—seperti malam dimana mereka pertama kali bertemu. Yang ia tahu hanya nama gadis itu yang begitu indah dalam pendengarannya—Hiyori Sarugaki.

Malam semakin larut, para pelanggan pun mulai beranjak dari kursi kayunya dan pulang. Kini hanya tinggal Shinji yang masih tetap bertahan dengan secangkir kopi pesanannya yang baru. Ia mengulas senyum ketika Hiyori keluar dari pintu pantry sambil mengeringkan tangannya yang basah dengan apron hitam yang dipakainya. Hiyori menatapnya sinis.

"Kau lagi, apa kau tidak bosan selalu membuatku harus mengusirmu?" Gadis itu meraih saklar lampu dan menekannya, membuat café itu gelap gulita dan hanya diterangi oleh cahaya dari lampu taman kota. Kemudian gadis itu berjalan ke arah Shinji yang sedang memasang senyuman di wajahnya.

"Mengapa harus merasa bosan? Itu kesenangan tersendiri untukku…"

Bariste itu menghela nafas setelah sampai di dekat meja Shinji, "Baiklah, akan kuulangi perkataanku yang kuucapkan seminggu ini."

"Café ini mau ditutup. Kalau kau ingin menginap, maaf, ini bukan hotel. Jadi, pergilah!"

Sebelum bariste itu melenggang jauh, tangan Shinji menahannya. Hiyori berbalik, lalu pandangannya bertemu dengan kedua bola mata Shinji.

"Temani aku sebentar…"

Mata tajam gadis itu mengerjap, ia tak pernah mendengar permintaan aneh dari para pelanggannya selain dari pemuda di hadapannya saat ini. Namun seketika perasaannya sebagai perempuan mengalihkan pikirannya dengan berbagai macam hal yang biasa disiarkan para pembawa berita di televisi. Ia menjauhkan dirinya dan memasang kuda-kuda.

"A–apa yang kau i—inginkan?"

Mendengar pertanyaan terontar dari mulut Hiyori, Shinji tersenyum dan menjawab dengan santai. "Hanya menemaniku menikmati malam."

"Jawabanmu itu ambigu tahu!"

Sejenak suasana menjadi canggung, Hiyori yang keherananan dan Shinji yang terkejut karena kata-kata polos gadis itu. Sesaat mereka saling menatap, namun suasana canggung itu terpecah ketika Shinji mulai menertawakan kata-kata Hiyori barusan. Sedangkan Hiyori, ia terpesona. Sungguh, ketika ia melihat pemuda itu tertawa, sesuatu dalam dirinya mulai bergetar. Dan entah mengapa, ia tak pernah bisa mengalihkan pandangannya wajah bahagia itu.

Ketika melihat Shinji mulai tenang, ia segera melepaskan genggamannya. "Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu takut."

"Kau tidak mabuk hanya dengan meminum kopi, kan?" tanya Hiyori yang masih dalam keadaan waspada.

Tentu saja tidak, mana mungkin ada yang mabuk hanya dengan meminum kopi. Jika kecanduan, mungkin saja. Namun, mabuk? Ah, gadis yang berada di hadapannya ini begitu polos dan menyuarakan apa yang ada dalam pikirannya begitu saja. Shinji tersenyum lembut sambil menatapnya. Ia suka, sangat menyukai gadis ini—Hiyori.

"Sepertinya…"

Bukan, tapi mabuk karena cinta, ah…

.

.

Continuará