Nevada to California (Baby, We Can Drive My Car)
.
Sehunblackpearl
.
NCT © SM Entertainment
Jung Jaehyun x Kim Doyoung. Yaoi. Highschool to College!au
Setting: Winnemuca, Nevada and Burbank, California
plot is mine
.
I made playlist for this fic, tapi karna gabisa share link, jadi aku sebutin aja ya wkwk. Itu juga kalau kalian suka :))
I wish you would by Taylor Swift, Drive by Halsey, Sleep on The Floor by The Lumineers, All Too Well by Taylor Swift
PS: Sebelum baca please perhatikan. Setting cerita ini di Amerika jadi maklumi kehidupannya yang gak kayak Korea. SMA nya empat tahun, nanti jangan heran sama timelinenya. Alurnya maju mundur, perhatikan tanggal ceritanya baik-baik. Cerita ini dibuat sambil baca google map, aku belum pernah ke Nevada maupun California XD And actually this is utter trash, jangan terlalu berharap lol. Many non NCT Cameo i guess (?)
Ada satu nama spesifik yang akan selalu sarat dengan cita rasa penyesalan dan asam lambung di lidah Doyoung. Kalau dia meminta orang lain untuk mendeskripsikannya, Sooyoung misalnya, gadis itu akan membuat satu file presentasi penuh slide berisi hal-hal manis yang dianggapnya serupa dengan Jaehyun.
Dengan mata yang menatap jauh entah sampai lapisan ke berapa atmosfer, Sooyoung menyebut Jaehyun—letakkan tanda kutip dan putaran mata jengah di sini—seperti sofa empuk di rumah ibunya yang memeluk tubuh—nyaris seratus tujuh puluh sentimeter—nya pada hari-hari berat masa sekolah dulu. Selalu menjadi sudut terbaik untuk menghilangkan penat.
Doyoung tidak akan menyalahkan Sooyoung untuk opininya itu. Biar bagaimana pun Jaehyun sudah menjadi segala sesuatu yang baik selama empat bulan terakhir gadis itu mengenalnya. Selama empat bulan terakhir Doyoung melihatnya kembali secara reguler di kampus. Di apartemen Johnny yang mereka jadikan basecamp—tidak resmi. Di pesta-pesta akhir minggu yang akan digelar Taeyong di flatnya secara rutin. Di sudut kafetaria tertawa bersama teman-teman yang seharusnya adalah squad Doyoung dan 'Jaehyun-free'. Di starbuck dekat kampus nongkrong santai dengan teman-teman satu geng '97 nya.
Jaehyun punya lesung pipi yang sangat dalam di kedua sisi pipinya. Dan bukannya ingin melebih-lebihkan, tapi setiap kali dia tersenyum, namanya mungkin boleh diselipkan ke deretan para malaikat. Di suatu tempat di antara Gabriel, Michael, Raguel, Raphael, Uriel dan para 'el' lainnya, Jaehyuniel mungkin cocok disandingkan.
(Namun Doyoung berpikir berbeda. Katanya Jaehyunifer terdengar lebih sesuai dan dia boleh kembali ke malaikat jatuh yang diinkarnasinya—Lucifer. Well secara teknis dia tetap malaikat.)
"Aku tidak mengerti." Kalau Sooyoung mengawali kalimatnya seperti ini, ada 99,99% kemungkinan lawan bicaranya tidak akan menyukai hal yang tidak dia mengerti itu. Yang untuk kasus ini, orang itu adalah Doyoung. Sooyoung melihat ke arahnya dengan kepala ditelengkan dan tampang bingung. "Kenapa wajahmu selalu terlihat tidak bahagia kalau berdekatan dengan Jung Jaehyun, atau ketika namanya disebut?"
"Aku tidak begitu," sangkal Doyoung.
"Ya, kau begitu, kau selalu terlihat seperti dia sudah membuatmu tersinggung secara personal. Apa ada alasan tertentu?"
Doyoung melambaikan tangannya malas, seolah memberitahu Sooyoung untuk melupakan masalah itu. "Aku bahkan tidak mengenalnya secara pribadi. Bagaimana mau tersinggung? Jangan terlalu memusingkan kepalamu dengan itu."
"Masuk akal."
Sooyoung tersenyum dan kembali mengetik sesuatu di komputernya. Menuruti Doyoung untuk melupakan masalah itu. Sementara Dooyoung meraih gelas iced americanonya dan menyesap seluruh rasa pahit yang bisa dia dapat. Tapi rasa pahit itu tidak bisa mengimbangi percampuran segala rasa tidak nyaman di lidahnya.
Doyoung mungkin merasa bersalah karena tidak sepenuhnya jujur tapi Sooyoung tidak perlu tahu itu.
Dan kalau Jaehyun sebenarnya lebih dari sekedar junior yang entah bagaimana merangkak cukup tinggi untuk masuk dalam lingkaran pertemanan para senior, Sooyoung juga tidak perlu tahu itu.
.
.
28 Agustus 2012
Ketika Doyoung pertama kali mencoba nama Jaehyun di lidahnya, itu terasa seperti asam lambung tanpa penyesalan. Seperti asam lambung yang sesungguhnya, ketika kau muntah, seluruh isi perutmu keluar melalui kerongkongan dan mengotori seluruh lantai kamar mandi entah siapa. Bukan hanya sekedar kiasan supaya dia terdengar cukup puitis lantas menjadi konten material untuk dimasukkan ke blog-blog quotes aesthetic di tumblr.
Itu adalah pada tahun keduanya di Albert M Lowry Highschool. Doyoung mendatangi pesta dan meminum alkohol pertamanya pada usia tidak legal. Sebagai pengkonsumsi alkohol amatir di bawah umur, Doyoung tidak berbeda dengan remaja lainnya. Selalu terlalu berani, naif, dan percaya diri. Itu adalah pesta yang diadakan oleh anak-anak keren dari sekolah. Semua orang menjadi liar, tidak ada yang peduli dengan aturan, mereka juga tidak peduli dengan usiamu. Seseorang memberinya alkohol dan Doyoung minum gelas pertamanya, minuman itu terasa pahit di ujung lidahnya tapi berubah manis ketika mencapai pangkal. Jadi begini rasanya alkohol.
Setelah tegukan pertama itu, dia berjalan tanpa betul-betul tahu apa dan siapa yang dicarinya. Berhenti di dapur, di atas meja ada lebih banyak lagi alkohol. Dia mengambil satu mangkuk kemudian menenggelamkan seluruh isinya ke kerongkongan. Ada sedikit rasa panas ketika dia membiarkan cairan itu masuk ke dalam sistemnya. Dan itu secara aneh terasa sangat menyenangkan. Aku bisa mengatasi ini, pikir Doyoung. Sedetik kemudian dia mengambil minuman lagi dari atas meja, tapi kali ini bukan hanya dari deretan mangkuk-mangkuk kertas yang sudah terisi, melainkan satu botol penuh Guinness yang belum dibuka.
Menyeret tubuhnya ke sebelah kulkas, dia membuka tutup botol dengan gigi lalu mengistirahatkan pantatnya di samping seorang anak yang sudah terlalu mabuk sejak Doyoung melangkah ke dapur itu. Sebagaimana orang itu tidak menghiraukan invasi Doyoung dan terus merokok, Doyoung juga berusaha untuk hanya mengurus urusannya sendiri tanpa menimbulkan masalah. Dengan punggung yang disandarkan ke dinding, Doyoung mulai menyesap alkohol dengan gaya yang diharapkannya cukup keren untuk menyerupai anak-anak kuliahan di film Young Adult tentang kehidupan kuliah.
Doyoung tidak benar-benar ingat berapa banyak kuantitas dari satu botol itu yang pindah ke dalam lambungnya sebelum ruangan mulai terasa berputar dan makan malamnya mulai memaksa keluar dari atas. Dia bahkan tidak ingat bagaimana pantat menyedihkannya bisa sampai di kamar mandi sehingga dia bisa muntah di sana, bukannya di dapur yang sesak dengan orang-orang dan dia bisa menyimpan rasa malunya untuk diri sendiri.
Pada momen itulah dia bertemu untuk pertama kali dengan Jung Jaehyun. Ada kemungkinan dia yang membawa Doyoung ke kamar mandi untuk muntah, Doyoung tidak pernah ingat untuk mengklarifikasi ini. Jaehyun adalah seseorang yang sangat baik (Doyoung tidak bisa menemukan kosa kata lain untuk menggambarkannya). Sangat sesuai dengan wajahnya yang indah itu. Dia terus menepuk punggung Doyoung sampai lambungnya berhenti bergerak agresif. Dia menemaninya di kamar mandi, menyiram sisa-sisa muntahan Doyoung di lantai, lalu menariknya lagi keluar dari sana. Dia kemudian mengambil segelas air yang bukan alkohol untuk diberikan kepada Doyoung.
Setelah menghabiskan isi gelasnya, Doyoung meletakkan gelas itu acak di atas meja, memandang Jaehyun yang punya dua kepala dan berkali-kali mengedipkan matanya untuk membuatnya jadi satu. Ketika dirasanya itu tidak akan bisa terjadi, dia akhirnya berhenti karena berkedip cepat membuat kepalanya semakin pusing. Dia berusaha keras untuk terdengar tidak terlalu mabuk ketika membuka mulut. "Terima kasih em..."
"Jaehyun. Jung Jaehyun."
"Aku tidak tahu sebuah Jaehyun tapi terima kasih." Mulut yang dikendalikan oleh otak mabuknya membalas.
.
.
29 Agustus 2012
Ini adalah salah satu ingatan paling awal Doyoung—tanpa pengaruh alkohol—tentang Jaehyun. Dia bangun di pagi hari dengan kepala yang terasa sakit seperti tempurung kepalanya akan pecah dan otaknya akan berhamburan lalu menempel di dinding. Rasa pusing saat mabuk malam sebelumnya, sama sekali tidak ada bandingnya dengan hangover yang mengikuti di pagi hari. Rasanya seperti seribu ton beban diletakkan di atas kepalamu ditambah seribu lagi diletakkan di atas leher.
Hal pertama yang menarik perhatiannya adalah dinding abu-abu yang sama sekali tidak mirip dengan dinding kamarnya. Kalau dia memasang poster Sasuke seukuran televisi di bagian mana saja pada kamarnya, mungkin dia akan bermimpi buruk setiap malam. Dia tidak mengerti apa yang ada di pikiran Jaehyun ketika memasang poster itu atau kenapa dia tidak melepaskannya sampai setelah dia SMA.
Dia bangun di kamar orang asing, di atas kasur orang asing—sangat jelas—dengan seorang laki-laki asing (dan telanjang dada) yang tidak dia kenal di sebelahnya. Doyoung ingat samar-samar dengan kejadian malam sebelumnya, tetapi pasti ada banyak spot-spot kosong di memorinya karena dia sama sekali tidak ingat bagaimana dia bisa bangun di kamar ini, bersama orang ini. Dia bahkan tidak tahu apa kamar tempat dia berada sekarang masih ada di rumah pesta kemarin malam atau milik orang asing di sebelahnya.
Selagi Doyoung larut dalam lamunan seperti itu, tubuh di sebelahnya perlahan bergerak dan beberapa detik kemudian dengan suara serak dia bertanya, "Jam berapa sekarang?"
Doyoung hanya diam tidak menjawab, malah sibuk memandang rambut kusut serta kulit pucat dan torso yang terbuka. Doyoung belum pernah berhubungan seks sebelumnya, baik dengan laki-laki maupun perempuan dan pagi itu dia pikir 'Holy shit, apa aku 'tidur' dengan orang ini semalam?' tanpa indikasi penyesalan sedikit pun karena yeah dia tidak akan mungkin menyesal sudah melakukannya dengan seseorang setampan ini.
"Kita tidak tidur bersama semalam," kata Jaehyun. "Maksudku, ya kita tidur bersama di atas satu kasur tapi aku tidak menyentuhmu seperti itu sama sekali. Kita tidak berhubungan seks kalau itu yang kau takutkan."
Bagaimana bisa Jaehyun berpikir tentang seks di saat Doyoung berpikir tentang seks?
"Oh." adalah satu-satunya respon yang diberikan Doyoung. Karena memangnya bagamana lagi cara dia seharusnya merespon pernyataan itu? Saat dia bilang tidak akan menyesal kalaupun kemarin malam mereka melakukannya, bukan berarti dia kecewa mereka tidak melakukannya. "Kenapa aku di sini? Apa ini kamarmu?"
"Oh, kau sangat mabuk semalam, minum terlalu banyak dari yang bisa kau atasi huh?" balas Jaehyun seraya tertawa ringan. "Karena kau sama sekali tidak bisa diajak kerja sama dan aku tidak tahu di mana rumahmu, aku bahkan tidak tahu namamu, jadi kukira kau kubawa ke rumahku saja. Aku bersumpah sama sekali tidak melakukan hal-hal buruk sewaktu kau mabuk."
Doyoung memandang Jaehyun sedikit skeptis. Dia tidak perlu mengatakn hal itu berkali-kali, Doyoung sudah cukup paham ketika dia pertama kali mengucapkannya, terima kasih. "Kenapa tidak meninggalkanku di sana saja?"
"Dan membiarkanmu di tengah kekacauan itu? Aku masih cukup punya nurani, sama-sama."
Sekali lagi Doyoung memasang ekspresi bingung. Mereka orang asing, Doyoung tidak akan menyalahkannya kalau orang ini meninggalkan dia dalam kekacauan itu semalam. Jangankan menyalahkan, dia bahkan mungkin tidak akan ingat dengan orang ini sama sekali. Tapi berhubung sakit di kepalanya semakin menjadi, Doyoung memutuskan untuk tidak melanjutkan argumennya. Sebagai gantinya, dia hanya berkata, "Terima kasih em..."
"Jaehyun. Jung Jaehyun."
Ada sedikit de javu begitu Jaehyun menyebut namanya, namun Doyoung dengan cepat mengesampingkan perasaan itu. Mungkin ingatan dari kemarin malam ketika Jaehyun membantu mengurus dirinya yang mabuk. "Terima kasih, Jaehyun."
Nama Jaehyun terasa seperti alkohol basi di nafasnya dan sakit kepala pasca mabuk pada kesempatan kedua.
.
.
Doyoung suka meyakinkan dirinya juga orang-orang di sekitarnya kalau hal-hal sentimental seperti cinta itu konyol, dia tidak butuh mereka untuk bertahan hidup.
"Jangan yakinkan dirimu sendiri," Ten akan membalas sembari melempar tawa ke arah Doyoung. Ten selalu tertawa dengan cara yang sama apa pun tujuan tawa itu (jika tawanya merepresentasikan ejekan, gurauan, ketulusan, terhibur, tetap hanya ada satu cara tertawa). Matanya akan berubah menjadi bentuk bulan sabit, mulutnya terbuka lebar tanpa mengurangi unsur estetik di wajahnya. Tawa yang sama itu selalu efektif membantu Ten mendapat apa yang dia inginkan. Jika Doyoung mengatakan 'tawamu hanya bekerja dengan Johnny, itu tidak mempengaruhiku' maka ujung mata kirinya akan sedikit berkedut menandakan perkataan itu tidak datang dari hatinya.
"Hanya orang menyedihkan tanpa ambisi besar dalam hidup yang akan bergantung pada cinta seperti kau dan Johnny."
Ten mencebik sinis. "Kalau begitu kau memanggil semua orang di muka bumi menyedihkan selain dirimu sendiri."
"Ingat Romeo dan Juliet? Mereka berdua jatuh cinta dan bunuh diri. Kalau itu tidak menyedihkan, aku tidak tahu apa lagi."
"Romeo dan Juliet masih empat belas dan lima belas tahun waktu mereka memutuskan bunuh diri, anak-anak terkadang bersikap bodoh."
"Mereka bersikap bodoh bukan karena mereka anak-anak, Ten. Karena cinta. Apa kau bahkan membaca bukunya?"
"Kau hanya bersikap seperti ini karena kau kesepian. Tolong pergi kencan buta dan jatuh cinta supaya kau bisa menjadi lebih baik."
Huh seolah-olah jika tidak ada cinta, Doyoung tidak memenuhi kualifikasi dalam aspek kebaikan. "Tidak, cinta itu bodoh."
Ten mengeluarkan nafas terpanjang yang pernah dilakukannya mungkin dalam dua puluh satu tahun sejarah hidupnya. Menyerah terdengar lebih baik jika berdebat dengan Doyoung. "Kau hanya ingin mengataiku dan Johnny bodoh kan?"
"Aku hanya mencoba mengatakan kalau aku tidak butuh cinta atau siapa pun untuk memvalidasi kebahagiaanku," balas Doyoung. Dia diam sejenak, nampak berpikir sebelum berkata lagi. "Tapi yeah, aku juga menganggap kau dengan Johnny bodoh."
"Kau pikir kau sangat cerdas huh? Aku tidak sabar menunggu hari kau jatuh cinta dan menjadi bodoh."
Doyoung membalas dengan mengedikkan bahu dan pembicaraan itu mereka tutup sampai di sana.
Tapi Doyoung, sesungguhnya dia juga sudah pernah menjadi bodoh.
.
.
Jung Jaehyun.
Terkadang Johnny menyebutnya Jeffery. Tapi mayoritas dari mereka lebih sering memanggilnya Jaehyun saja.
Johnny mengadopsi anak itu masuk ke dalam grup mereka seminggu setelah tahun ajaran baru dimulai.
"Oh, teman-teman, ini Jaehyun, kami sama-sama bekerja di Neoz musim panas kemarin."
Dia keren dan menyenangkan. Ketika ditanya, hanya itu penjelasan Johnny untuk alasan kenapa dia merekrut Jaehyun ke dalam tim. Doyoung tidak akan menyalahkan Johnny untuk itu karena hell yeah Jung Jaehyun orangnya keren dan kata keren itu tidak hanya diasosiasikan dengan fisiknya. Sifatnya menyenangkan, dia ceria, ramah, tidak mudah tersinggung, tidak merasa lebih kecil walaupun dia paling muda. Doyoug hanya sedikit menyayangkan kenapa Johnny harus bekerja di Neoz musim panas lalu dan bertemu Jaehyun. Johnny tidak pernah terlalu memikirkan usia atau senioritas dalam berteman. Kalau kau membuatnya nyaman, kau boleh bergabung dengan dia dan gengnya (kalau mereka juga menyukaimu). Sayangnya untuk Doyoung, semua temannya sudah dimenangkan hatinya oleh Jaehyun hanya dalam satu malam bahkan Yuta yang butuh waktu lebih dari satu bulan untuk Doyoung.
Hanya Doyoung—seperti yang dikatakan oleh Sooyoung—satu-satunya yang tidak dan ada kemungkinan tidak akan pernah bisa akrab dengan Jaehyun. Mereka tidak benar-benar berbicara atau bersosialisasi dengan satu sama lain. Hanya anggukan-anggukan singkat di sana sini setiap mata mereka bertemu tidak sengaja.
"Tidak ada alasan personal, kami hanya canggung. Sifat kami terlalu berbeda."
Tidak akan ada yang terlalu mempermasalahkan lebih jauh. Karena Doyoung benar, sifat mereka bertolak belakang, cara mereka bersenang-senang sedikit berbeda, Doyoung seolah membuat garis batas di antara mereka berdua dan Jaehyun tidak pernah terlalu pusing untuk melanggarnya. Setidaknya mereka tidak saling membenci, itu pikir teman-temannya.
Tapi oh ya Tuhan betapa Doyoung merasa seperti pendosa yang mengulangi satu tipuan yang sama berulang kali terhadap teman-temannya setiap Jaehyun dibicarakan. Karena tidak satu pun dari mereka yang menyadari kejanggalan itu. Selalu ada alasan di balik tindakan. Tapi mereka tidak tahu kalau dulu Jaehyun pernah menjadi woojae untuk Doyoung. Jae miliknya.
Johnny tahu bagaimana suara tawa Jaehyun, Ten mengenal lesung pipinya, Taeyong bisa membedakan rambutnya dengan seluruh kepala yang ada di tengah keramaian. Tapi mereka tidak tahu bagaimana suara nafas Jaehyun ketika mencium Doyoung, teredam di sela giginya dan dia menelan suara itu sehingga menjadi satu dengan miliknya, cekikikannya terasa menggelitik di leher Doyoung sampai mereka tertawa bersama di atas lantai, lupa dengan seluruh dunia. Bagaimana mereka bisa menghitung jumlah kerutan di sekitar pipi Jaehyun setiap lesung pipi itu muncul kalau mereka tidak pernah cukup dekat untuk menelusurinya dengan jari mereka? Hanya Doyoung yang tahu betapa menyenangkannya ketika tidak hanya satu tapi kesepuluh jarinya tenggelam di rambut Jaehyun, memberantakinya, ketika Jaehyun meletakkan Doyoung di atas pangkuannya dan dia bisa mencium aroma sampo Jaehyun karena mereka begitu dekat.
Emosi dan nostalgia seperti inilah yang harus selalu dihadapi Doyoung berkenaan dengan Jung Jaehyun.
.
.
24 Desember 2012
Malam natal di tahun kedua sekolah menengah atas, Doyoung putus dengan pacarnya.
Dia mengenal Seokwoo di kelas Kimia. Hubungan mereka dimulai sebagai 'partner lab' yang akrab. Mereka punya banyak kemiripan dan hobi yang sama. Duduk selama dua jam bersama Seokwoo di kelas kimia tidak pernah terasa membosankan karena Doyoung bisa bicara tentang apa saja dengannya. Seokwoo pendengar yang baik.
Kimia adalah satu-satunya kelas yang mereka ambil bersama tetapi itu tidak menjadi penghalang mereka bertemu dan makan siang berdua nyaris setiap hari. Mereka bertukar nomor ponsel dan saling mengikuti di seluruh sosial media. Setiap hari saling berkirim pesan di aplikasi messenger, di saat yang sama bercakap-cakap melalui mention twitter.
Tidak butuh waktu terlalu lama untuk pertemanan dibumbui perasaan lain. Mereka mulai berkencan akhir oktober, setelah Seokwoo mencium Doyoung pertama kali di pesta halloween. Oh Tuhan ciuman pertama itu. Itu adalah salah satu momen paling luar biasa yang nyaris terasa tidak nyata. Seokwoo pencium yang handal dan Doyoung mungkin saja ya, mungkin juga tidak menyimpan perasaan kepada pemuda tinggi itu sejak minggu pertama. Tidak perlu dijelaskan lebih jauh, mereka menjadi pasangan sejak itu.
Seokwoo bukan cinta pertamanya, jelas bukan pula yang terakhir. Hanya dua bulan setelah berpacaran, hubungan mereka sudah selesai. Kata orang cinta yang datang dengan cepat dan instan perginya akan mempunyai pola yang mirip juga. Cepat dan instan. Begitulah yang terjadi antara hubungan dua bulan yang dia bangun dengan Seokwoo.
Kalau disinggung beberapa bulan kemudian, Doyoung akan berpikir bahwa dia bersikap berlebihan dalam menghadapi kejatuhan mereka. Berteriak dan menangis hanya karena Seokwoo meninggalkannya untuk seorang Irina Scherban—Doyoung bahkan tidak tahu bagaimana menyebut namanya—gadis cantik angkatan mereka asal Rusia. Jujur jika itu adalah Doyoung sendiri, dia pasti akan memilih rambut pirang emas serta mata biru yang sangat jernih milik gadis itu. Tapi pada saat kejadian itu, Doyoung dibuat sangat sedih oleh Seokwoo.
Sebenarnya hubungannya dengan Seokwoo atau bagaimana pemuda itu mengkhianatinya untuk berpaling pada Irina yang ngomong-ngomong mencampakkannya dua minggu kemudian, bukan sesuatu yang meninggalkan kesan sangat mendalam atau omong kosong lainnya. Hubungan mereka hebat selagi masih berjalan, Seokwoo pacar yang baik (minus ketidaksetiaannya), tapi yah cukup sekedar itu saja. Doyoung sedikit sedih setelah mereka putus, namun bukan perasaan yang tertinggal atau gagal move on dari mantan kekasihnya yang membuat Doyoung tidak akan pernah melupakan hubungan singkat mereka atau tepatnya bagaimana hubungan itu berakhir. Melainkan apa dan siapa yang datang setelah itu.
Dia dan Jaehyun berteman sejak insiden mabuk di pesta. Tidak semenempel dia dengan Seokwoo, tapi itulah intinya. Mereka berteman biasa, nyaris tidak bertemu di sekolah karena tidak seangkatan, hanya berpapasan satu atau dua kali di koridor dan saling mengangguk. Tapi hubungan mereka tetap lebih dari itu. Mungkin karena sesama Korea, mereka sering bertukar pesan dan bertemu sekali atau dua kali di akhir pekan untuk bermain game. Hubungan pertemanan mereka sangat nyaman meski berbeda usia. Tetap saja itu tidak menjelaskan kenapa pada malam dia putus dengan Seokwoo, selagi duduk di salah satu kursi subway, orang pertama yang muncul di kepalanya adalah Jaehyun.
Doyoung bahkan tidak tahu apakah Jaehyun masih ada di kota atau mungkin dia kembali ke Korea untuk merayakan natal bersama kakek neneknya. Saat dia sadar betapa konyol dirinya, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Panggilan masuk dari Jaehyun. Dia tidak segera mengangkat panggilan itu, hanya terpaku beberapa detik memandang nama Jaehyun berkedap-kedip di Blackberrynya.
"Hyung dimana?" terdengar dari suara panik Jaehyun begitu Doyoung menjawab. "Apa kau baik-baik saja?"
Pertanyaan pertama, tidak dijawab oleh Doyoung. "Aku tidak tahu. Rasanya ingin mati."
"Jangan," sergah Jaehyun nyaris membentak. "Jangan berpikir sedikitpun untuk melakukan hal bodoh. Katakan lokasimu hyung."
Doyoung bergeming.
"Doyoung hyung? Kumohon!"
Mungkin nada lembut dalam permohonan Jaehyun, mungkin juga memang Doyoung sendiri merasa butuh dukungn moral dari seseorang di saat itu, pada akhirnya dia memberitahu Jaehyun dimana dia menghabiskan malam natal dengan sandwich cepat saji yang menyedihkan.
Jaehyun datang, membawa Corolla 76 milik ayahnya. Itu mobil paling jelek yang pernah dilihat Doyoung, warnanya hijau yang sangat tidak estetik, ac dan radionya nyaris tidak pernah berfungsi, mesinnya lebih sering mogok dari pada tidak. Tapi Jaehyun entah kenapa sangat menyukai mobil itu. Jaehyun membawanya berkendara di sepanjang Granada Avenue hingga Western Way dan tersesat di gang-gang kecil sekitar Jacobsen.
Doyoung bercerita, bercerita, dan bercerita sepanjang mereka berkendara. Tentang bagaimana dia mengenal Seokwoo, betapa baiknya pemuda itu, bagaimana Seokwoo menggunakan tubuh besarnya untuk menyembunyikan kulit pucat Doyoung dari matahari, kata-kata manisnya di Starbuck tempat mereka selalu membeli kopi sembari menyelesaikan laporan kelompok mereka—sekarang dia tidak akan bisa ke sana tanpa ingin membalikkan meja yang diam-diam mereka ukir inisial mereka di sisi bawahnya.
"Bukannya kalian akan didenda kalau sampai ketahuan?" potong Jaehyun tanpa mengalihkan mata dari Highland Drive di depannya.
"Yeah, mungkin ada baiknya aku tidak ke sana lagi."
Beberapa jam kemudian, Jaehyun akhirnya menyerah untuk kembali ke jalanan yang lebih familiar untuknya, dia memarkir Corollanya di dekat sebuah taman. Doyoung masih lanjut bercerita, membuat daftar keburukan mantan kekasihnya dan kenapa dia sendiri harusnya bersyukur bisa lepas dari pemuda itu. "Dia makan dengan mulut terbuka, apa kau percaya itu?" atau "Dia pikir dia sangat tampan, mengirimi selcanya setiap hari seolah aku peduli." Ya, dia peduli, sangat peduli malah, tapi Jaehyun tidak perlu tahu itu. "Ah apa aku sudah bilang kalau dia mendengar musik Nickleback?" "Dia juga tidak suka anjing, monster seperti apa..." Doyoung mengangkat tangannya seperti orang menyerah lantas mengakhiri dengan "Aku tidak tahu kenapa aku suka dia."
Lalu dia berhenti. Hening sangat lama. Sampai Jaehyun diam-diam melirik dari ujung matanya untuk melihat kalau Doyoung menangis. Tapi Doyoung tidak menangis. Dia hanya diam di kursi penumpang. Memandang area kosong di depan mereka seperti linglung. Saat itu mungkin sudah jam dua pagi, Doyoung terlihat sangat menyedihkan di kursi penumpangnya tetapi Jaehyun sama sekali tidak berani melakukan apa-apa, takut itu akan membuat keadaan semakin buruk.
Kira-kira tujuh atau delapan menit lamanya mereka diam di sana sebelum akhirnya Doyoung menghela napas sangat panjang. Lalu kembali berbicara. "Menurutmu kenapa dia melakukannya?"
"Melakukan apa?"
"Selingkuh dengan Irina. Maksudku, aku mengerti posisi kami. Aku dan Irina, laki-laki paling gay pun bisa dibuat lurus oleh rambut pirang dan tubuh montok itu. Tapi Seokwoo, kukira dia berbeda. Kukira dia... mencintaiku."
Jaehyun menganggurkan pertanyaan Doyoung demi menatap rambut hitam natural pemuda itu. Gagal memahami aspek mana dalam diri orang ini yang tidak lebih baik dari Irina?
Doyoung menjawab pertanyaan itu. "Mungkin matanya. Mata biru yang jernih seperti itu. Tidak akan ada yang bisa menolaknya. Aku sendiri mungkin rela memandanginya selama berjam-jam."
Untuk pernyataan itu, Jaehyun membalas dengan memanggil nama Doyoung lembut. "Coba lihat aku!" Ketika dia sudah berhadapan dengan Doyoung dan menatap langsung matanya yang mirip kelinci, Jaehyun berkata "Mata coklat khas Asia yang sangat cantik." Pandangannya terpaku pada netra Doyoung, nafasnya ditahan seolah ingin menekankan bahwa itu adalah hal paling indah yang pernah ditangkap lensanya.
Untuk sesaat rasanya seperti seluruh oksigen terangkat dari sekitar mereka. Doyoung merasa terlalu canggung hanya untuk menghancurkan kontak mata. Tiba-tiba saja Jaehyun tidak lagi seperti Jaehyun, adik kelasnya yang selalu senggang di saat yang tepat dan akan mendatangi Doyoung kapan pun di mana pun jika yang lebih tua mengajaknya. Dini hari itu dia terlihat dewasa, tidak seperti siswa sekolah menengah tahun pertama biasa, dan kenapa Doyoung baru sadar kalau Jaehyun sangat sangat sangat tampan?
"Jangan berusaha menghiburku," adalah yang disampaikan Doyoung begitu menemukan kembali suaranya. "Tidak ada yang suka mata coklat."
Kali ini berganti Jaehyun yang menghela napas. Dia menjalankan tangannya melewati udara kosong, mendarat di sekitar tulang pipi Doyoung, lalu menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi matanya. Jaehyun memandangnya nyaris tidak percaya. Doyoung tidak tahu bahwa dari segala jenis mata yang ada di Nevada dan seluruh negara bagian Amerika Serikat, mungkin hanya sepasang mata milik seorang anak lelaki Korea—secara spesifik bernama Kim Doyoung—yang sudah membuat Jaehyun berpikir bahwa mata biru Irina Scherban itu terlalu berlebihan. Di mata coklat Doyoung, Jaehyun melihat sebentang samudra yang menenggelamkan jiwanya. Jaehyun menemukan kehangatan seperti matahari yang baru terbit. Dan seorang Seokwoo yang tidak bisa mengapresiasi keindahan itu tidak berhak untuk membuat pemilik mata cantik ini untuk merasa dirinya pantas ditinggalkan untuk orang lain yang memiliki kualitas berbeda dengan dirinya.
Jaehyun hanya menggeleng tidak percaya karena Doyoung tidak tahu semua itu. "Aku hyung."
.
.
Lee Seokmin mengambil jurusan Jurnalistik di Woodbury. Doyoung tidak tahu menahu apa yang dilakukan oleh anak-anak jurnalistik tapi Seokmin mengambil kuliah Psikologi Kriminal dengannya. Dia selalu bertemu Doyoung selasa sore. Mereka punya kelompok belajar yang terdiri atas Doyoung, Seokmin sendiri, dan tiga anak kriminologi lainnya yang mengambil kelas yang sama.
Starbuck kampus terasa sangat nyaman terutama di sore hari setelah kelas PK, itu adalah satu-satunya saat tempat itu tidak terlalu dipadati mahasiswa lain. Mereka memilih satu meja di sudut pada hari dan jam yang sama setiap minggu sebagai tempat diskusi. Topik diskusi mereka setiap minggu tidak harus selalu berhubungan dengan kuliah yang baru mereka dapat, terkadang mereka hanya berkumpul, minum kopi, sembari membahas serial Criminal Mind atau saling merekomendasikan novel misteri.
Tapi kelas Psikologi Kriminal maupun Woodbury secara umum bukan tempat pertama Doyoung bertemu Seokmin. Dia mengenal Seokmin ketika menjadi anggota klub Paduan Suara di Lowry. Seokmin sekelas dengan Jaehyun hampir di seluruh mata pelajaran saat SMA tetapi hubungan mereka tidak pernah lebih dari sekedar kontak mata selama dua detik dan atmosfer yang canggung. Bahkan kenyataan bahwa mereka berdua sama-sama berdarah Korea dan adalah teman akrab Doyoung sama sekali tidak membantu mengatasi kecanggungan mereka. Dan pada tahun terakhir Doyoung di Lowry, dia ingat Jaehyun membenci Seokmin.
Jadi kalian bisa bayangkan betapa terkejutnya Doyoung ketika satu selasa sore, Doyoung meminum Iced Americano sambil membaca catatan berantakan Seokmin tentang teori pembunuhan teka-teki yang berusaha mereka pecahkan, Wonwoo ikut membaca dengan meletakkan dagu di bahu Doyoung dan Mireya Vigil mencari sesuatu yang berhubungan dengan Hidrogen Sianida pada ponsel pintarnya, sekelompok mahasiswa tahun pertama menempati meja kosong persis di sebelah mereka lalu seseorang tiba-tiba meneriakkan nama Seokmin dan Doyoung tahu persis siapa pemilik suara itu.
Jung Jaehyun tersenyum dengan lesung pipinya yang sangat—maaf karena kurangnya perbendaharaan kata Doyoung—manis dan tengah melambaikan tangan ke arah mereka. Seluruh meja Doyoung serentak mengangkat kepala untuk melihat asal suara itu dan kalau Jaehyun tadi tidak menyebut nama Seokmin, dia akan percaya kalau senyum juga lambaian tangan itu diarahkan kepadanya.
"Oh, hai kalian semua." Seokmin membalas dengan kadar keceriaan yang biasa. Doyoung suka Seokmin serta sifatnya yang menyerupai bola matahari tapi untuk sekali ini saja, dia merasa jengkel mendengar suaranya. Doyoung sama sekali tidak kesal karena Jaehyun menyapa Seokmin bukannya dia. Sama sekali tidak. Lagi pula sejak kapan mereka jadi seakrab itu?
"Seokmin, apa yang kau lakukan dengan para senior dan buku-buku itu? Jangan bilang kau belajar." Seseorang dari antara mereka berbicara dengan volume tinggi yang menurut Doyoung tidak perlu karena Seokmin pasti bisa mendengarnya dengan jelas tanpa berteriak.
"Diam kau Bam, aku sedang berusaha lulus dengan nilai sempurna."
Lalu tiba-tiba seorang raksasa tinggi sudah berdiri hanya tiga sentimeter dari meja mereka. Menunduk hendak mencium Wonwoo yang kepalanya masih menempel praktis di bahu Doyoung. Tetapi karena Wonwoo adalah si introvert pemalu yang takut ketika terlalu banyak mata menatap ke arahnya sehingga skinship sekecil apa pun (apalagi ciuman) terasa terlalu berlebihan (walau itu dari pacarnya selama lima tahun), dia berusaha menjauhkan pipinya dari jangkauan bibir Mingyu yang berakibat kepalanya semakin bertumpu ke bahu Doyoung sehingga hampir seluruh berat tubuhnya sekarang dibebankan di sana. Dan Doyoung tahu Wonwoo itu sangat kurus, tubuhnya nyaris hanya terdiri dari tulang, tapi tubuh Doyoung sendiri tidak jauh berbeda jadi dia kehilangan keseimbangan dan jatuh dari kursinya, diikuti oleh Wonwoo lalu Mingyu. Seketika tempat itu menjadi ramai karena mereka.
"Goddammit Kim Mingyu, kau sangat berat." Wonwoo meringis kesakitan di atas tubuh Doyoung.
Kalau berat tubuh Mingyu saja sudah membuat Wonwoo bersuara seperti itu, bagaimana dengan Doyoung yang harus menanggung berat Wonwoo juga, pinggangnya juga terantuk kursi saat jatuh, Doyoung yakin itu akan menimbulkan lebam nanti malam.
"Maafkan aku, maaf maaf," kata Mingyu seraya mengangkat beban tubuhnya dari dua korban yang tertindih di bawahnya. Dia mengulurkan tangan untuk membantu Wonwoo berdiri lalu bertanya dengan khawatir apa pacarnya baik-baik saja sambil menginspeksi seluruh bagian tubuh Wonwoo—Doyoung yakin itu hanya salah satu modusnya.
Tahu bahwa Mingyu sama sekali tidak akan mengulurkan tangan untuk membantunya, Doyoung mengangkat tubuhnya sendiri. Setelah itu barulah Mingyu seakan sadar kalau Wonwoo bukan satu-satunya yang jatuh. Terlambat. "Doyoung hyung apa kau baik-baik saja?" tanyanya. Doyoung tidak membalas, malah menutup mata dan membuang nafas sangat perlahan. Suatu hari nanti dia akan memastikan Kim Mingyu mati di tangannya (ini bukan yang pertama).
"Eh Doyoung hyung? Kau kah itu?"
Untuk kedua kalinya Doyoung mengeluarkan nafas dengan cara yang sama. Namun kali ini jauh lebih perlahan dari yang pertama. Dia sama sekali tidak peduli kalau Jaehyun tidak sadar dia bahkan ada di sana sebelumnya. Sungguh, dia bahkan berharap kalau Jaehyun tidak usah menyadari dia ada di mana, sedang apa, dengan siapa selama-lamanya. Tapi kenapa Doyoung tidak bisa menjelaskan rasa nyeri di bawah dadanya yang mengalahkan perih di pinggangnya akibat terjatuh tadi?
Doyoung memilih untuk tidak menjawab Jaehyun atau Mingyu atau Seokmin yang menatap pinggang Doyoung yang kesakitan dengan khawatir juga Mireya yang prihatin. Sebagai gantinya Doyoung mengumpulkan bukunya dari atas meja dan mengatakan dia harus segera masuk kelas—yang sangat jelas bohong.
Jaehyun tidak bangkit dari kursinya untuk mengejar Doyoung atau bahkan sekedar meneriakkan namanya. Sama sekali tidak aneh karena dia memang tidak punya kewajiban untuk melakukan itu. Tapi untuk alasan yang sangat ganjil, rasa sakit di jantung Doyoung terasa semakin menjadi. Dan dia tahu dia tidak seharusnya merasa seperti itu karena ini bukan Nevada, jalanan di sekitarnya bukan lagi Granada Avenue, hubungannya bersama Jaehyun sudah lama berlalu. Ini Woodbury, ini Burbank, ini California, dia tidak akan tersesat di gang-gang sempit yang dihimpit terlalu banyak ruko di Glenoaks Boulevard. Dia tidak punya alasan untuk membiarkan hatinya menjadi tujuh belas tahun kembali.
.
.
18 Februari 2013
"Kenapa kau tidak menyalamnya?"
Doyoung berjalan di depan Jaehyun, dengan jelas melarang yang lebih muda menyesuaikan langkah dengannya. Dia sedang marah, karena saat mereka merayakan ulang tahun Seokmin sehabis latihan paduan suara tadi, Jaehyun bahkan tidak mau masuk ke dalam ruangan untuk mengucapkan selamat ulang tahun.
"Kami tidak pernah bicara." Itu adalah alasan Jaehyun. Yang dianggap Doyoung tidak masuk akal karena mereka berbagi ruang kelas yang sama hampir setiap hari.
"Apa salahnya menyalamnya sedetik dan bilang 'Selamat ulang tahun Min'?"
"Ayolah hyung, jangan marah. Ini kan masalah sepele."
"Seokmin itu temanku dan kau kasar padanya, itu tidak sepele, Jung Jaehyun. Aku mogok bicara denganmu seminggu."
"Eh? Tidak adil. Doyoung hyung tunggu. Hyuuuuung."
.
.
19 Februari 2013
"Doyoung hyung, apa pacarmu salah minum obat?" Seokmin tertawa geli saat bertanya.
"Jaehyun bukan pacarku. Kenapa dengannya?"
"Belum," jawab Seokmin. Dia memasang senyum jahil sambil menaik-naikkan alisnya dan tertawa semakin keras saat Doyoung memukulnya dengan garputala. "Tiba-tiba saja semalam dia mengirim ucapan selamat ulang tahun dengan wish satu paragraf penuh. Aku sampai bingung membalasnya."
Karena Doyoung hanya membalas dengan tertawa keras tiba-tiba, Seokmin jadi berpikir kalau mungkin saja semalam dua orang itu—Doyoung dan Jaehyun—sama-sama memakan sesuatu yang aneh.
Sore harinya sepulang sekolah, Doyoung mengacak rambut Jaehyun dengan gemas begitu masuk ke dalam mobil yang lebih muda.
"Tidak marah lagi?" tanya Jaehyun.
Sambil bersenandung ringan memasang sabuk pengamannya, Doyoung menjawab "Aku paling senang kalau kau mau melakukan apa saja untuk membuatku berhenti merajuk."
Jaehyun merotasikan matanya mendengar itu tapi dia tetap tersenyum dan memandang ke arah Doyoung penuh kasih. "Aku sedang ingin sandwich subway. Mau mampir ke sana sebelum pulang?"
"Tentu kau yang bayar."
Jaehyun berdecak dan menggeleng-gelengkan kepalanya tapi tetap saja dia sama sekali tidak menyangkal dan malah berkata, "Bersyukurlah Jung Jaehyun ini jatuh cinta denganmu."
.
.
"Serius, di antara kita semua aku paling penasaran dengan Doyoung."
Yang disebut namanya langsung memutar bola matanya dari seberang lingkaran begitu mendengar namanya disebut. Ten, sahabatnya yang lebih sering ingin dicekiknya dalam tidur daripada tidak.
Tanpa mempedulikan aura tidak menyenangkan yang berasal dari seberang ruangan Ten melanjutkan, "Maksudku lihat kita semua di sini. Aku dengan Johnny, Taeyong dengan Yuta, Kun Winwin, Jun Minghao, para 97 club yang jelas-jelas tidak satu pun yang perjaka lagi, bahkan Wonwoo, apa kau lihat Wonwoo? Wajahnya meneriakkan pembunuhan setiap detik, tapi lihat tangannya dengan Mingyu."
Seketika semua kepala bergerak untuk melirik objek terakhir yang disebut Ten. Mingyu dan Wonwoo duduk bersebelahan dengan tangan yang sepertinya sudah bertautan sejak mereka masuk ke dalam ruangan dua jam lalu, tidak lepas sedetik pun. Wonwoo yang wajahnya berubah sangat merah melotot kesal kepada Ten seolah berkata 'urus saja urusanmu sendiri, pendek' lalu dia menarik tangan untuk menutupi wajahnya tetapi dia sama sekali tidak berniat melepas Mingyu dalam prosesnya sehingga tangan pemuda itu ikut tertarik. Itu membuatnya terlihat seperti Wonwoo sedang mencium punggung tangan Mingyu.
"Lihat maksudku?" kata Ten seolah-olah dia baru saja membuktikan teori besar. "Bahkan Wonwoo bisa menjadi seperti itu. Doyoung, hanya kau saja yang kehidupan cintanya tidak nyata di sini. Beritahu kami Kim Doyoung, apa kau bahkan pernah jatuh cinta?"
Doyoung mengerang kasar, dari sudut matanya dia melihat Wonwoo yang merasa lega karena orang-orang sudah berhenti menyerangnya dengan pandangan bertubi-tubi. "Sudah kubilang cinta itu bodoh."
"Oh, Doyoung, honey bunny sweety..."
"Wow kurasa lambungku baru saja terlipat mendengar itu."
"...aku ingin tahu kisah cinta masa lalumu."
Doyoung melotot kesal pada Ten. "Memangnya ini apa? Criminal Mind episode 'Menguak Kisah Cinta Doyoung'?
"Yap, tepat sekali," jawab Ten santai. Respon Ten itu mengundang reaksi seketika dari teman mereka yang lain. Mereka bersorak semangat dan Doyoung betul-betul ingin bertanya kenapa tiba-tiba mereka semua tertarik dengan kehidupan cintanya. Ruangan itu kembali menjadi gaduh karena terlalu banyak yang berbicara di saat yang sama. Teori-teori tentang kehidupan cintanya yang tertutup dan seksualitasnya memenuhi udara dalam ruangan. Diam-diam Doyoung melihat Jaehyun yang menjadi pendiam, hanya memberi tanggapan seminimal mungkin untuk entah apa yang sedang diucapkan Bambam dengan diplomatis di lingkaran kecil mereka. Seokmin secara mengejutkan duduk tenang di dekatnya. Doyoung sempat takut dia akan langsung membeberkan apa yang diketahuinya kepada seluruh orang di ruangan tadi. Ini adalah alasan Doyoung sangat menyukai anak itu sejak dulu, walau dia terkadang sangat berisik dan membuat polusi suara, dia tahu kapan menutup mulut di saat yang tepat. Doyoung bersyukur untuk itu. Karena dia tidak ingin teman-temannya tahu bahwa dulu sekali, Doyoung pernah menjadi bodoh untuk Jaehyun.
"Guys, guys tenang!" Itu adalah suara Ten. Perintahnya tidak serta-merta membuat tawa dan diskusi di sekitar ruangan mereda tapi secara perlahan mereka mulai berhenti bicara satu dengan yang lain, membiarkan Ten kembali mengambil kendali. Oh betapa Doyoung berharap mereka tetap berisik sampai topik tentang Doyoung dilupakan. "Kenapa kalian malah ribut dan membuat teori sendiri?" Ten bertanya, tidak ada yang menjawab. "Di sini ada Seokmin. Mereka kan satu sekolah di Nevada. Pasti Seokmin tahu satu atau dua gosip tentang teman misterius kita ini. Ayo, Seokmin ceritakan apa yang kau tahu."
Ada sangat banyak gerakan serentak malam itu, Doyoung bertanya-tanya jika orang-orang ini sudah gladi resik tadi pagi sebelum berkumpul. Kali ini mata semua orang ditujukan ke arah Seokmin. Menatap penuh penantian apa yang akan diucapkan oleh Seokmin. Well, kecuali Jaehyun yang menundukkan kepala dua langkah di sebelahnya. Doyoung memandang santai ke arah Seokmin. Percaya bahwa anak itu tidak akan mengecewakannya. Seokmin itu bisa diandalkan dalam hal menyimpan rahasia.
Di sisi lain Seokmin memasang wajah bingung. Tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan mata sebanyak itu tertuju padanya. Dia mencari mata Doyoung di antara beberapa pasang mata lainnya, dan ketika berhasil menemukannya, yang dilihatnya adalah Doyoung sedang tersenyum. Dalam kepala Seokmin ada teriakan seperti ini 'Apa artinya senyum itu?' dengan u yang sangat panjang dan terdengar putus asa. Pada akhirnya dia menelan ludah lalu mengecewakan Doyoung. "Eh? Kenapa bertanya padaku? Bukankah kalau soal itu Jaehyun yang lebih tau?"
Dalam sekejap senyum di wajah Doyoung langsung luntur, digantikan oleh horor yang jelas dalam pandangannya. Pada detik itu Seokmin tahu kalau dia sudah melakukan kesalahan.
Kemudian seolah betul-betul sudah diprogram sejak awal, untuk kesekian kalinya malam itu para penghuni ruangan menunjukkan kekompakan mereka.
"Jaehyun?" diucapkan dalam suara rendah, tinggi, berat, cempreng, bass, tenor, dan jenis suara apa pun yang mereka miliki.
Doyoung menarik kata-katanya kembali. Seokmin itu idiot.
.
.
17 Mei 2013
Doyoung tidak akan pernah lupa pertama kali dia menggenggam tangan Jaehyun di malam bulan Mei yang panas ketika mereka menonton langit di atas atap Corolla tua Jaehyun. Ada perasaan lega yang tidak terjelaskan menyelimuti jari mereka yang terkunci bersama. Mengalir bersama keringat yang membasahi telapak tangan keduanya, rasa tidak nyaman yang tidak menghentikan Doyoung mempererat tautan itu. Perutnya seperti dipenuhi oleh jutaan kupu-kupu yang terbang melintang di antara ususnya. Malam itu sama sekali tidak ada bintang di atas atap mobil yang mereka tiduri. Karena itu, lucu bagaimana rasanya seperti ribuan kunang-kunang dan cahaya bintang menerangi malam Doyoung ketika dua tangan yang tidak sempurna saling menemukan. Menggenggam jemari Jaehyun terasa seolah menggenggam seluruh jiwa pemuda itu. Pada momen itu Doyoung tahu dia jatuh cinta.
.
.
"Oooh jadi kau ada sesuatu dengan Jaehyun yang itu ya?"
Ten dengan jelas memastikan bahwa Doyoung tidak akan pernah mendapat ketenangan yang diinginkannya sejak malam itu.
"Tidak ada alasan personal, kami hanya canggung. Sifat kami terlalu berbeda." Sembari membuat tanda kutip di udara, Ten meniru kata-kata Doyoung beberapa minggu sebelumnya. "Tidak ada alasan personal pantatmu. Ternyata dia mantan pacarmu. Pantas kalian menyembunyikan kalau Jaehyun juga SMA di Lowry."
Doyoung mengepalkan tangannya menahan emosi sebelum membalas tanpa memandang Ten. "Kenapa kau langsung menyimpulkan kalau dia mantanku? Seokmin bilang Jaehyun lebih tahu, bagaimana kalau yang dimaksudnya adalah Jaehyun lebih tahu karena dulu kami lebih akrab dari pada aku dengan Seokmin?"
Ten mengedik santai. "Tapi apa memang begitu? Kalian berteman sangat akrab?"
"Aku bilang seandainya."
"Nope." Ten langsung membalas seraya menggeleng berkali-kali. "Reaksi defensif seperti itu sama sekali bukan ciri-ciri teman yang akrab. Dia mantanmu. Aku tahu itu."
"Ugh aku mau ganti teman."
.
.
"Baiklah Doyoung, karena sekarang kita semua sudah tahu kau dan Jaehyun dulu ada sesuatu..."
"Ya Tuhan, jangan kau juga Johnny hyung." Doyoung mengerang seraya menenggelamkan wajahnya ke buku tebal tentang peradilan pidana di depan matanya.
"Berhenti membenturkan kepalamu ke meja setiap mendengar nama Jaehyun." Johnny mengangkat kepala Doyoung dari atas bukunya dan memaksa yang lebih muda duduk lurus. "Semua sudah tahu tentang kalian, kau tidak bisa menghindarinya."
"Aku benci kalian semua."
"Kau tahu perasaanmu mutual."
"Fuck you!"
Memilih mengabaikan makian Doyoung, Johnny malah berkata, "Buka bajumu."
Secara natural, Doyoung langsung menyilangkan tangan di depan dada. Memandang Johnny seolah hyungnya itu adalah penjahat kelamin. "Kau sudah pacaran dengan Ten."
Sekali lagi Johnny memasang wajah yang seolah mengatakan kalau Doyoung itu idiot. "Simpan itu untuk Jaehyun. Aku hanya mau lihat tato di sekitar rusukmu."
Itu... sama sekali tidak lebih baik. Doyoung membuka silang di depan dadanya dan memindahkan telapak tangannya ke ujung sweater biru yang dia pakai. Mengepal ujung kain itu dengan erat supaya tidak bisa dibuka paksa oleh Johnny. Dari mana dia tahu tentang tato di rusuk Doyoung?
"Oh ayolah Young, tidak perlu membuatnya jadi rumit."
"Aku tidak punya tato."
"Ya, karena itulah kau sekarang memegang ujung sweatermu sangat keras dan tidak mau menunjukkannya padaku. Apa aku terlihat cukup bodoh untuk percaya itu?"
"Well tidak bisa disangkal kau terkadang bersikap idiot."
"Tunjukkan."
"Tidak mau."
"Jangan membuatku terpaksa memakai kekerasan."
"Kubilang kan aku tidak punya tato."
"Kalau begitu buktikan."
"Tidak mau."
Johnny berdecak keras sebelum bergerak mendekat dan melanggar batas personal Doyoung. Yang lebih muda berusaha berlari tapi gerakannya tidak lebih gesit dari Johnny yang segera menarik sweaternya dan menghentikan gerakan Doyoung. Selama beberapa detik mereka bergulat ringan sebelum akhirnya Johnny berhasil mengunci kedua lengan Doyoung sehingga dia leluasa menarik kain yang menutupi tubuh Doyoung ke atas.
JH dalam huruf kapital bersambung yang digambar dengan corak naga terukir bangga di atas kulit Doyoung begitu kain itu terangkat. Puas dengan temuannya, Johnny segera menurunkan kembali baju Doyoung, begitu juga tangannya. Tatapan marah dari yang lebih muda sama sekali tidak membuatnya takut atau merasa bersalah. Malah dengan santai dia bersiul. "JH untuk JaeHyun."
Alih-alih menjawab, Doyoung terus melotot kepada Johnny sementara tangannya sekali lagi menggenggam erat sweaternya meski itu sudah tidak berguna.
"Aku membuat taruhan dengan Taeyong dan yang lain," ujar Johnny santai, masih tidak terpengaruh. "Beritahu aku Young, apa Jaehyun yang manis itu juga punya huruf DY di satu bagian tubuhnya?"
"Keluar kau dari sini." Adalah teriakan yang diberikan Doyoung sebagai jawaban.
.
.
14 Februari 2014
Dua jam sebelum ulang tahun Jaehyun berakhir.
Mereka sedang berkendara tanpa tujuan yang pasti jumat malam itu karena Jaehyun bilang ingin bersama Doyoung sampai ulang tahunnya berakhir. Sebelumnya mereka sudah membeli kue perayaan dan langsung menghabiskannya, membeli sandwich di subway dekat stasiun, berkendara di sepanjang Granada Avenue hingga Jacobsen bahkan lebih jauh lagi tanpa tersesat kali ini, bermesraan di dalam mobil saat Jaehyun menghentikan mobilnya di dekat lapangan terbuka yang sempit, Jaehyun tidak mau berhenti menyentuh Doyoung dengan alasan 'ini ulang tahunku, biarkan aku menyentuhmu sampai puas' yang sama sekali tidak dilawan oleh Doyoung, lalu mereka tidur di atas mobil Jaehyun untuk menatap bintang, setelah malam terasa terlalu dingin, Jaehyun mengajak Doyoung masuk ke dalam mobilnya lagi, menciumnya dan sangat banyak menyentuhnya (kali ini dengan alasan 'supaya kau merasa hangat'). Mereka kembali berkendara tanpa tujuan, kehabisan ide untuk melakukan apa selanjutnya saat tiba-tiba Jaehyun menginjak rem secara mendadak. Dia hanya tersenyum ketika Doyoung mengernyit ke arahnya. Tahu dengan pasti lesung pipinya yang menawan itu akan melepaskannya dari masalah.
"Aku mau punya tato," katanya.
Doyoung membalas dengan kerutan singkat di atas alisnya. "Tiba-tiba?"
Jaehyun mengangguk semangat. "Mason baru memasang tato setelah ulang tahunnya yang ke delapan belas bulan lalu. Aku juga mau."
"Kau mau buat tato karena kau suka atau karena kau mau ikut-ikutan Mason?"
Jaehyun menjawab cepat. "Aku sudah lama ingin tato. Dan kurasa ini momen yang tepat."
Doyoung menghela napas, merasa tidak punya cukup energi untuk mendebat Jaehyun. "Baiklah, aku akan menemanimu sabtu depan."
"Tidak hyung." Jaehyun mengabaikan tanya di dahi Doyoung, dia memandang yang lebih tua dengan semangat menggebu-gebu. "Aku tidak mau menunggu sampai sabtu. Ayo kita pergi sekarang."
"Ini sudah larut Jae. Lagipula kau harus memikirkan mau membuat tato apa. Dan di mana kita mendapat tukang tato yang buka jam segini?"
Tanpa menjawab, Jaehyun menarik rem tangan dan mulai menjalankan kembali Corollanya. "Ini Nevada hyung, tato artis buka sampai pagi."
Dan benar kata Jaehyun. Tidak sampai tiga puluh menit kemudian dia mengehentikan mobilnya di bawah sebuah plakat dengan lampu neon bertuliskan 'DLaw Tattoo Open 24 Hours'.
Jaehyun tersenyum menang. Menaikkan alisnya seolah berkata 'apa kubilang'. Lalu segera keluar dari mobil, Doyoung mengikuti dengan ragu.
Seorang pria Mexico menyambut mereka begitu masuk ke dalam ruangan. Jaehyun berbicara santai dengan orang itu, Doyoung curiga jangan-jangan ini bukan pertama kali Jaehyun mendatangi tempat ini. Sementara mereka berdiskusi, Doyoung duduk di salah satu kursi yang tersedia di sana, melihat ke dalam buku sketsa yang terbuka di atas meja. Ada banyak sketsa tato yang membuat Doyoung berpikir untuk mentato dirinya karena terlihat sangat estetik tapi banyak juga yang membuatnya merinding hanya dengan melihatnya dan dia bersumpah tidak akan pernah membiarkan tubuhnya dihiasi dengan ornamen seperti itu.
Ada sekitar lima sampai tujuh menit berlalu sebelum si Mexico memanggilnya. Doyoung mengangkat kepala, dilihatnya Jaehyun sudah menghilang ke dalam salah satu pintu. Si Mexico sekali lagi memanggilnya dan karena tidak yakin, Doyoung akhirnya dengan ragu menunjuk ke arah dirinya sendiri. Untuk memvalidasi kalau benar dia yang dipanggil. Pria itu mengangguk, menunjuk ke arah kursi di depannya.
"Aku?" tanya Doyoung sekali lagi. Si pria Mexico mengangguk dengan tidak sabaran. Jadi meski dengan langkah ragu, Doyoung tetap menuruti perintahnya. Dia naik ke kursi yang dimaksud, membaringkan tubuh di sana. Masih bingung dengan apa yang terjadi sebelum tiba-tiba dia mencium bau alkohol lalu sesuatu yang basah menyentuh kulitnya—dia bahkan tidak sadar kapan bajunya diangkat.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Doyoung horror ketika melihat wajah kesal pria Mexico itu karena dia sudah menahan pergerakan tangannya.
"Well, jelas aku tidak sedang memanggang kue kan?"
"Bukan aku yang mau ditato tapi Jaehyun," ujar Doyoung menjelaskan, meski dia sendirilah yang kebingungan di sini.
"Aku tahu itu, pintar. Pacarmu juga sedang ditato di ruangan lain dan Julio di sini akan bekerja dengan tatomu."
Namanya Julio. Tapi apa itu penting sekarang?
"Tapi aku tidak..." Doyoung sama sekali tidak melanjutkan, terpaksa menelan kembali kata-katanya ketika Julio melotot kepadanya. Dia terlihat marah dan menyeramkan, sehingga Doyoung memutuskan untuk menutup mulut. Bahkan saat rusuknya mulai digambari dengan sesuatu, dia tidak berani untuk sekedar merintih. Yang dilakukannya hanya mengutuk Jaehyun dalam kepala diikuti sumpah bahwa setelah ini dia akan memutuskan anak itu—yang dia sendiri tahu sama sekali tidak akan ditepatinya.
Dua jam setelah itu, Doyoung tahu kalau rencana membuat tato sudah ada dalam kepala Jaehyun sejak lama, jauh sebelum dia mengutarakan keinginannya itu di mobil tadi. Sketsa tato yang akan dilukis di atas mereka sudah disiapkan jauh hari. Dan setelah melihat dengan jelas seberapa indah naga yang membentuk inisial JH di atas kulitnya serta Kim Doyoung yang dengan bangga menantang si pemilik nama sendiri di dada sebelah kiri Jaehyun, Doyoung sadar dia sama sekali tidak keberatan.
.
.
Doyoung punya kebiasaan buruk akhir-akhir ini. Dimulai sejak Jaehyun mendobrak masuk lagi di awal semester ke dalam hidupnya. Dan kalau bisa, Doyoung ingin menghaturkan seribu maaf kepada langit-langit kamarnya juga pada langit malam Burbank untuk setiap malam yang dia habiskan memandang canggung kekosongannya sambil memutar kembali apa yang disaksikan bintang-bintang di atas tanah Nevada dalam kepalanya. Lalu dia akan berkendara sendiri di sekitar Glenoaks Boulevard hingga jauh ke Birmingham Road. Tapi hatinya tetap mengingat rute familiar yang selalu diambilnya di Nevada bersama Jaehyun—biar bagamana pun California tidak pernah terasa seperti rumah. Sementara kepalanya penuh dengan potongan-potongan kenangan masa lalu. Semua hal yang seharusnya dilupakan sejak lama.
.
.
29 Agustus 2017
"Maaf, aku tidak tahu Johnny temanmu." Wajah Jaehyun saat meminta maaf menggugah suatu perasaan aneh di bawah abdomen Doyoung. Sesuatu yang sudah sangat lama tidak dia rasakan hingga terasa begitu asing. Seperti sakit kepala, asam lambung yang bergejolak, atau rasa bir pertamanya.
"Ini yang ingin kau bicarakan sampai kita harus bicara berdua di balkon dingin ini?" Doyoung membalas, matanya difokuskan pada lidah Jaehyun yang membasahi bibirnya, pertanda anak itu sedang gugup.
"Aku... aku tidak mau kau berpikir kalau aku sengaja berteman dengan Johnny hyung hanya karena dia temanmu," jawab Jaehyun. Sejak awal dia sama sekali tidak melihat mata Doyoung. "Sumpah aku betul-betul tidak tahu. Kalau tahu, aku akan menjauh dan tidak mengusik kau atau temanmu lagi. Bukannya aku pernah berniat mengusikmu, sama sekali tidak."
"Aku tidak..."
"Kau pasti tidak nyaman melihatku di sini. Maaf maafkan aku."
"Tapi aku..."
"Mulai besok aku tidak akan muncul di hadapanmu lagi, atau main ke sini, atau bertemu Johnny hyung, atau teman-temanmu yang lain. Aku berjanji akan..."
Tahu bahwa Jaehyun akan terus berbicara tanpa menghiraukannya, Doyoung menjulurkan tangan, menahannya di sisi kanan kiri pipi Jaehyun kemudian berkata "Berhenti sebentar." Dan Jaehyun menurutinya, seperti yang selalu dilakukannya di masa lalu. "Kau tidak perlu melakukan itu."
Secepat dia melakukannya tadi, Doyoung segera menurunkan tangannya dan mengeluarkan suara batuk yang canggung. Dia mengulangi "Kau tidak perlu melakukan semua itu." Kali ini tanpa menatap Jaehyun.
Jaehyun mengerutkan kening tanpa berkata apa-apa. Jadi Doyoung memutuskan untuk mempermudahnya dengan memberi penjelasan. "Kau boleh berteman dengan Johnny, bertemu dengannya setiap hari, main ke apartemennya kapan saja, terserahmu. Tapi jangan menciumnya, dia sudah punya Ten, aku tidak akan memaafkanmu kalau berani. Kau juga boleh berteman dengan yang lain."
"Tapi, bagaimana denganmu?"
"Bagaimana denganku?"
"Tidak keberatan?"
Doyoung memasang wajah tak suka seolah pertanyaan itu menyinggung. "Pendapatku sama sekali tidak penting," katanya. Tidak menyangkal ataupun membenarkan. Karena seperti yang dia katakan pendapat dan perasaannya sama sekali tidak penting.
Tapi Jaehyun tidak puas hanya dengan jawaban seperti itu. "Aku pasti akan membuatmu tidak nyaman kan?"
"Memangnya ini di mana? Nevada? SMA?" Doyoung mendengus angkuh. "Ini kuliah, ini Woodbury, ini Burbank, ini California, Jaehyun. Kau bebas melakukan apa saja yang kau mau. Jangan membiarkan apa pun yang terjadi di Lowry menghentikanmu. Kau sudah sangat jauh dari Nevada, sudah saatnya move on."
Jaehyun sama sekali tidak menjawab. Dia tegak di atas tumpuan kakinya, tapi mimiknya seperti orang yang akan pingsan beberapa detik lagi—atau mungkin itu hanya halusinasi Doyoung—dia menatap Doyoung dengan ekspresi terluka. Dan Doyoung menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri dari sesaknya udara di balkon terbuka yang isinya hanya mereka berdua itu. Bukan oksigennya yang membuat sesak tapi siapa yang ada di sana. Namun sebelum menghilang ke balik pintu, Doyoung memastikan satu hal lagi untuk Jaehyun tahu. "Dan ngomong-ngomong kau tidak mengenalku. Aku tidak mau yang lain tahu tentang kita. Karena itu, ini pertama kalinya kita bertemu. Kau bisa membantuku berbohong kepada yang lain kan?"
Matanya meneriakkan penolakan tapi Jaehyun tetap menjawab, "Ya."
.
.
"Kenapa kalian putus?"
Sering kali Doyoung berpikir bahwa teman-temannya, secara spesifik dua dari seluruh temannya, yang satu terlalu tinggi, yang satu lagi sangat pendek, lebih spesifik lagi bernama Seo Johnny dan Chittaphon Leechaiyapornkul (wow lidah Doyoung serasa keriting hanya menyebutnya), adalah inkarnasi iblis yang punya tujuan membuat hidup Doyoung menyedihkan. Hanya itu penjelasan paling masuk akal yang bisa dia pikirkan untuk setiap detik, setiap kesempatan kedua orang itu membuat mata kiri Doyoung berkedut tidak nyaman. Saat ini salah satunya.
"Apa kita betul-betul tidak punya topik lain lagi selain Jaehyun dalam pertemanan ini?"
"Sebelum kau mulai terbuka dan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi dengan kalian? Nope."
Doyoung menghela napas kemudian memandang Ten seolah dia melakukan sesuatu yang membuat Doyoung secara pribadi merasa tersinggung. "Tidak ada yang perlu diceritakan."
"Ayolah Young." Ten mengerang. "Apa kau tidak cukup percaya denganku? Kupikir kita sahabat?"
Mereka sahabat, Doyoung tidak akan pernah bisa menyangkal kenyataan itu selama dia dan Ten menempel seperti kembar siam 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Mereka bertemu di Woodbury tidak lebih dari tiga tahun lalu tapi sumpah dia merasa seperti sudah mengenal Ten seumur hidupnya. Dia bahkan akan mempercayakan hidupnya pada Ten pada situasi tertentu, segitu 'sahabat'nya mereka. Tapi ini adalah masalah berbeda. Ini adalah sesuatu yang tidak ingin dibaginya dengan siapa pun, bahkan tidak dengan Ten atau Johnny. Masalahnya bukan pada mereka berdua, atau siapa pun secara khusus. Tapi Doyoung sendiri dan satu pola pikir yang sudah dihipnotisnya untuk dipercayai otaknya. Bahwa kalau mulai berbagi tentang kisah cintanya yang sudah lama kandas sama saja dengan mengakui kalau itu memang pernah terjadi dan Doyoung sudah sejak lama memutuskan kalau hubungannya dengan Jaehyun hanya bagian dari mimpi buruk SMAnya. Bukan sesuatu yang nyata.
"Aku tidak tahu kau mau aku menceritakan apa." Akhirnya Doyoung memilih berkata, sebisa mungkin menghindari pertanyaan Ten.
"Ya, kau tahu. Ayolah Young, aku hanya penasaran dengan hubungan kalian."
"Itu hanya masa lalu yang tidak penting, untuk apa mengingatnya?"
"Karena itulah," balas Ten gemas. "Kalau memang tidak sepenting itu, kau tidak akan menyembunyikannya seperti ini. Seharusnya tidak masalah kalau kau menceritakannya saja. Karena itu hanya masa lalu. Karena sudah sama sekali tidak penting. Kecuali..."
Mata Ten yang terpicing memandangnya sama sekali bukan hal favorit Doyoung, terutama saat ini. Itu membuatnya merinding. Apalagi saat Ten melanjutkan, "Kecuali kalau itu memang sebenarnya sangat penting untukmu. Kau masih menyukainya?"
"Sama sekali bukan begitu," sangkal Doyoung dengan rahang yang dikeraskan. Setelah itu sepanjang hari dia pura-pura menulikan telinganya, tidak ingin berurusan lebih lanjut dengan Ten untuk sepanjang sisa hari itu.
Oh tapi kalau diam-diam sesuatu dalam hati Doyoung mengutuki dirinya sebagai bajingan pengecut atau kalau jauh di bawah lapisan kulitnya yang keras kepala dia tahu kalau Ten benar, dia takut membicarakan Jaehyun karena pemuda itu adalah salah satu bagan paling penting dalam hidupnya, biarlah itu jadi urusan Doyoung sendiri.
.
.
29 Agustus 2013
Doyoung tidak pernah merencanakan atau bahkan hanya menghibur kepalanya dengan ide bahwa suatu hari nanti dia akan berpisah dengan Jaehyun—sepersekian detik pun tidak. Karena apa yang dimilikinya dengan Jaehyun saat itu adalah hal paling baik yang pernah terjadi dalam hidupnya. Atau Doyoung pada akhir musim panas itu berpikir demikian selagi dia mengagumi kulit tan Jaehyun yang ditempeli pasir pantai Danau Tahoe. Itu adalah musim panas pertama mereka sebagai pasangan kekasih. Mereka menghabiskannya dengan berenang dan berjemur sepanjang hari di sekitar Danau Tahoe—sampai kulit putih susu Jaehyun menjadi kecoklatan begitu—dan di malam hari Jaehyun akan membawa Doyoung berkendara di jalan-jalan yang sangat asing bagi Doyoung. Melarikan diri dari hingar bingar kota untuk memandang bintang, menonton atraksi cowboy, menikmati musim panas di satu negara bagian Amerika.
Doyoung mengaku saat itu adalah puncak dari seluruh perasaannya kepada Jaehyun. Masa di mana dia paling jatuh cinta kepada rambut lembut dan lesung pipi kekasihnya. Dia sangat berpegang pada kebahagiaan mereka itu.
Pada malam terakhir di bulan agustus itu, sama seperti malam lainnya, Jaehyun menculik Doyoung dari rumah, membawa yang lebih tua berkendara sangat jauh melewati batas kota dan berhenti di tengah lapangan luas yang tidak dikenali Doyoung. Mereka tidur di atas atap Corolla tua ayah Jaehyun, menjadikan lengan sebagai bantal, berbagi minuman keras yang dicuri Jaehyun dari lemari ayahnya. Doyoung tidak tahu ada berapa jam yang terlewat hanya dengan tidur memandang bintang seraya membicarakan masa depan mereka, dia sama sekali tidak menghitung. Biasanya ketika dia bersama Jaehyun, waktu berlalu begitu saja tanpa mereka melakukan hal produktif selain berbicara, berciuman atau saling menyentuh, Doyoung sama sekali tidak keberatan.
Tapi terutama malam itu, mereka sama sekali tidak bisa berhenti dengan sentuhan juga bisik-bisik mesra di bawah langit berbintang Nevada dan Doyoung pikir, "ya Tuhan aku sangat jatuh cinta dengan orang ini, aku tidak pernah mau kehilangan dia."
Ketika Jaehyun tertawa dan berkata, "Aku juga tidak pernah mau kehilanganmu," Doyoung sadar kalau dia baru saja mengatakan kalimat itu keras-keras bukan hanya dalam kepalanya, tapi itu sama sekali tidak masalah karena Jaehyun baru saja mengatakan kalau dia menginginkan hal yang sama, dan ya Tuhan mereka berdua sama-sama sangat mabuk kepayang terhadap satu sama lain.
Doyoung terkekeh ringan dan membalas, "Senang mengetahuinya." Sedetik kemudian pemandangan langit di atasnya sudah tertutupi oleh tubuh Jaehyun dan wajah tampannya—sekali lagi Doyoung sama sekali tidak keberatan. Kedua tangan Jaehyun diletakkan memenjara kepala Doyoung meski yang lebih tua sama sekali tidak berniat untuk pergi ke mana-mana, sementara wajahnya dimajukan untuk terus menghapus sedikit jarak yang menghalangi bibir mereka bertemu.
Akhir agustus itu adalah yang paling panas di antara semua hari musim panas. Dan Doyoung tidak sedang membicarakan temperatur udara ketika mengatakan itu—yah walaupun itu juga. Jaehyun di atas tubuhnya mencumbu setiap inci kulit Doyoung yang bisa diraihnya seraya membisikkan cinta tanpa henti, adalah momen paling intim yang tidak mungkin bisa dilupakan Doyoung seumur hidup. Malam itu dia bersumpah dalam kepalanya bahwa apa pun yang terjadi dalam hidupnya setelah ini, dia tetap tidak akan melupakan rasa bibir dan kulit Jaehyun di atas kulitnya.
Mungkin itulah sebabnya meski dia ingin menghapus memori itu secara permanen tahun-tahun berikutnya, dia tetap tinggal dalam satu bagian otak Doyoung, seperti bekas cakaran kuku Doyoung di atap Corolla ayah Jaehyun yang tidak bisa hilang.
.
.
1 September 2013
Doyoung tidak bertemu Jaehyun selama dua hari karena ibunya menghukumnya untuk tidak keluar rumah lagi setelah perjalanan tengah malamnya yang ternyata berlanjut sampai pagi dengan Jaehyun beberapa hari sebelumnya. Raut wajah ibu Doyoung sama sekali tidak terkesan sewaktu Doyoung membuka pintu rumah pukul empat pagi.
"Kau masih ingat jalan pulang ke rumah ini?"
Suara dingin Mama Kim membuat Doyoung terlonjak kaget sewaktu dia berusaha menutup pintu sehati-hati mungkin. Penuh rasa bersalah dia memutar tubuh dan memandang wajah ibunya.
Doyoung mengeluarkan tawa yang terdengar sangat canggung bahkan untuk telinganya sendiri sebelum menjawab, "Ma..mama. Kenapa bangun cepat sekali?"
"Aku sama sekali tidak tidur."
"Ah." Doyoung mengatupkan bibirnya. Tahu dengan pasti kalau dia adalah alasan ibunya begadang sampai pagi tapi masih berusaha bersikap diplomatis. "Kalau begitu sudah waktunya mama tidur?"
Nyonya Kim hanya menghela napas, memandang Doyoung dengan mata merahnya yang membuat Doyoung merasa bersalah karena sudah membuat beliau khawatir sementara dia di luar sana, berciuman dengan Jaehyun, bercinta di dalam mobilnya, dan melupakan seluruh dunia. Ibunya kemudian berkata, "Basuh kakimu dan tidurlah." Dan Doyoung tanpa kata segera menurutinya, berniat untuk tidak membuat masalah lagi. Meski dia tahu di pagi hari dia akan menerima lebih banyak ceramah juga hukuman.
Benar saja pukul tujuh pagi Doyoung ditarik paksa dari atas kasurnya, Mama Kim tidak peduli sama sekali dia baru tidur tiga jam atau tubuhnya seperti mau tumbang karena aktivitas malamnya. Doyoung dipaksa membersihkan taman, membersihkan debu-debu di rumah, menemani ibunya belanja, memasak, semua itu dilakukan sambil menahankan omelan ibunya, dan setelah itu semua selesai, Doyoung mendapat lebih banyak omelan yang berakhir dengan hukuman tidak boleh keluar rumah sampai musim panas selesai, juga tidak boleh bertemu Jaehyun selama dua minggu. Mencoba menjadi anak yang patuh, Doyoung berusaha untuk tidak protes atau pun melanggar hukuman itu.
Mereka tidak bertemu tapi Doyoung masih bisa menggunakan teknologi untuk berbicara dengan pacarnya. Hampir sepanjang hari dia tidak melepaskan ponsel sementara melakukan kegiatan lain.
"Aku merindukanmu," rengek Doyoung pada ponselnya.
Jaehyun tertawa entah dari bagian mana di Nevada. Mungkin saja dia sudah ada di perbatasan negara. "Aku juga. Maaf, karena aku kau jadi dihukum."
"Jangan khawatir. Lagipula petualangan malam itu setimpal dengan hukuman ini. Aku tidak menyesal."
"Petualangannya atau bagian bermesraan denganku?" tanya Jaehyun bercanda.
"Dasar mesum." Doyoung memutar bola mata walau Jaehyun tidak mungkin bisa melihatnya. "Untung mama hanya melarangku keluar dua minggu, waktu dengan Seokwoo dia sangat marah dan melarangku bertemu dengannya selamanya."
"Dan kau menurutinya?"
"Aku putus dengan Seokwoo seminggu kemudian, Jenius."
"Benarkah? Aku sudah sedikit lupa dengan hubungan kalian." Doyoung merasa bisa melihat Jaehyun menyeringai iseng di seberang sana. Terutama ketika pacarnya itu melanjutkan, "Memangnya kau pernah berhubungan dengan seseorang bernama Seokwoo? Aku ingin mengenalnya supaya aku tahu bagian mana dari dirinya yang membuat Mama Kim melarangmu menemuinya."
Doyoung merotasikan matanya malas. "Mama juga melarangku bertemu denganmu kalau kau lupa."
"Tapi hanya dua minggu," balas Jaehyun penuh kemenangan. "Tentu saja aku sadar menculik dan baru mengembalikanmu di pagi hari seperti itu bukan perbuatan yang patut dipuji. Mama Kim pasti tidak suka dan mungkin akan bilang 'Jaehyun itu pengaruh buruk, kau tidak boleh bertemu dengannya lagi."
Jaehyun tidak salah. Tepatnya Mama Kim berkata seperti ini, "Rasanya kau dan Jaehyun semakin tidak terkendali. Dia membuatmu jadi semakin liar seperti ini. Mama bukannya tidak mengerti, aku tahu bagaimana rasanya menjadi muda dan jatuh cinta, tapi ini sudah tahun ketigamu, kau harus lebih serius belajar. Untuk sementara mama mau kalian tidak bertemu."
"Berapa lama?" tanya Doyoung takut-takut.
"Dua minggu." Dan sungguh kalau orang-orang berpikir dua minggu adalah waktu yang lama, bagi Doyoung sama sekali tidak, dia bisa bertahan selama itu. Setidaknya dua minggu masih sangat singkat kalau dibandingkan dengan 'selamanya'.
"Itu karena ibumu sebenarnya diam-diam menyukaiku," kata Jaehyun bangga. "Dia mau kau menjauh dariku tapi di saat yang sama dia mau kau akhirnya tetap denganku selamanya."
Doyoung tidak menyembunyikan tawanya sewaktu membalas, "Jangan terlalu percaya diri."
Tapi Jaehyun memang mengucapkan kenyataan. Ibu Doyoung suka dengan pacarnya yang ini. Karena walaupun Jaehyun rajin membawanya keluar malam, dia selalu memastikan sudah mengembalikannya sebelum jam sepuluh (kecuali semalam karena mereka berkendara terlalu jauh), walaupun dia mengantarnya pulang jam empat pagi, dia memastikan Doyoung sudah aman di dalam rumah sebelum berkendara meninggalkan kompleksnya, dia bangun sangat pagi supaya bisa menjemput Doyoung untuk memberinya tumpangan setiap hari, jelas-jelas menunjukkan usaha terbaiknya untuk meluluhkan hati Doyoung di saat pemuda itu sangat larut dalam patah hatinya dengan Seokwoo dulu—itu adalah salah satu alasan Nyonya Kim sangat memfavoritkannya—dan dia memastikan menjaga hati Doyoung dengan baik setelah mendapatkannya. Dia itu seperti sebuah paradoks dari bahaya dan tanggung jawab yang berwujud dalam satu Jung Jaehyun.
.
.
"Kau membelikan mamaku hadiah ulang tahun?" Doyoung bertanya, sedikit terkejut ketika melihat bungkusan kotak dengan motif hati yang baru saja diletakkan Jaehyun di atas meja.
Kemarin malam Jaehyun tiba-tiba saja mengiriminya pesan untuk mengajak bertemu. Meski Doyoung ingin menolak ajakan itu, entah kenapa jarinya dengan menyedihkan malah membalas ya. Terkadang tubuhnya bergerak seenaknya jika sudah berhubungan dengan Jaehyun.
"Besok ulang tahunnya," gumam Jaehyun.
Itu, tentu saja Doyoung tahu. "Tapi kau tidak perlu repot-repot."
"Aku selalu membelikannya hadiah." Jaehyun mengedikkan bahu seolah-olah itu bukan masalah besar.
Tapi ini adalah masalah besar. Untuk Doyoung setidaknya. Ibunya ulang tahun besok. Lalu Jaehyun dari antara semua orang datang menitipkan kado yang sepertinya sudah dipikirkan dan dibeli beberapa hari sebelumnya sementara Doyoung sendiri, anak kandung dari ibunya sama sekali belum memutuskan apa yang ingin dia berikan. Fakta bahwa Jaehyun adalah mantan kekasihnya dan barusan dia bilang apa? Kalau "dia memberi hadiah selalu" sama sekali tidak membantu. Apa yang dipikirkan Jaehyun saat membeli kado ulang tahun untuk ibu mantan kekasihnya setiap tahun? Apa dia kehilangan kewarasannya?
"Aku sama sekali tidak mengerti." Hanya itu yang bisa dipikirkan Doyoung untuk dikatakan.
"Apanya?"
"Kenapa kau membeli kado untuk ulang tahun mama?"
Jaehyun mengangkat bahu acuh lagi. "Kenapa tidak?" dan Doyoung mulai merasa terganggu dengan sikap santainya.
"Dia ibuku."
"Lalu?"
"Aku mantanmu, ingat?"
Mungkin ini adalah efek cahaya, tapi Doyoung merasa Jaehyun terlihat terluka selama beberapa detik sebelum dengan cepat menyingkirkan ekspresi itu. "Tentu saja aku ingat."
"Jadi kenapa?"
"Maaf hyung tapi kau harus sedikit lebih spesifik dengan pertanyaanmu. Aku tidak mengerti."
Doyoung menarik nafas sangat lama lalu mengeluarkannya lebih lama lagi sebelum memanggil pelan. "Jaehyun..."
"Ya?"
"Kita..." kata Doyoung seraya menunjuk ke arah dirinya dan Jaehyun bergantian. "Kita sudah putus. Dan aku betul-betul menghargai keramahanmu, sungguh. Mama juga pasti senang kalau tahu kau masih peduli dengannya. Tapi ini... kita... aku tidak tahu bagaimana mengatakannya. Kita sudah berakhir. Kau tidak perlu berusaha terlalu keras untuk melakukan hal-hal seperti ini untukku, atau ibuku. Kita ada dalam lingkungan yang sama saja sudah cukup berat, jangan paksa dirimu."
Hening selama beberapa saat. Jaehyun kali ini tidak berusaha menyembunyikan ekspresi terluka di wajahnya lagi. Sedih, kecewa, dan apa pun yang dia rasakan saat itu, dia memastikan Doyoung melihatnya. "Itu karena aku peduli. Denganmu, dengan Mama Kim, walau kita sudah bukan sesuatu lagi."
Doyoung tidak tahu harus berkata apa untuk itu. Dia menggigit bibirnya. "Tapi Jae..."
"Kau itu adalah seseorang yang berharga untukku," potong Jaehyun sebelum Doyoung bisa bicara lebih jauh. "Kurasa kalau ada sesuatu yang akan bertahan selamanya di antara kita, itu adalah perasaan itu. Aku peduli denganmu, dengan keluargamu, dengan kebahagiaanmu apa pun yang terjadi. Dan ya aku tahu kita sudah tidak punya hubungan lagi, aku sudah menerimanya sejak kau pergi ke California dua tahun lalu. Tapi walau pun kita berpisah, atau tetap berteman, atau sudah jarang bicara, kau akan selalu menjadi seseorang yang penting, seperti apa pun hubungan kita, aku tetap peduli denganmu dan akan melakukan apa pun untuk melindungimu juga kebahagiaanmu."
"Jaehyun," panggil Doyoung. Namanya terasa seperti asam lambung di lidah Doyoung.
Jaehyun segera mengangkat kepala untuk bertemu pandang dengannya dan Doyoung merasa sangat bersalah ketika memandang mata Jaehyun. Berhenti, jangan memandangku seperti itu setelah kata-katamu.
Terlalu banyak. Doyoung tidak bisa menampung seluruh nostalgia yang datang bersamaan membanjiri neuronnya. Perasaan sentimental seperti ini, Doyoung belum siap untuk membaginya dengan Jaehyun. Jadi dia melakukan hal yang selalu dia lakukan. "Aku harus pergi."
Melarikan diri.
.
.
21 Februari 2014
Doyoung menjalankan jemarinya di atas torso telanjang Jaehyun. Biasanya mereka menghabiskan akhir pekan dengan jalan-jalan ke mana saja di kota Winnemuca. Tapi sabtu kali itu hanya mereka habiskan dengan bermalas-malasan sepanjang hari di kamar Jaehyun. Mobilnya sedang direparasi di bengkel, jadi mereka terjebak dalam kebosanan sampai dua hari ke depan.
"Kau sangat menyukainya ya?" Jaehyun bertanya seraya tersenyum. Karena Doyoung menghabiskan sedikit lebih lama bermain-main di atas tato Jaehyun dibanding bagian lainnya.
"A..ap.. tidak," jawab Doyoung tergagap lalu segera menarik tangannya menjauh. Tapi Jaehyun dengan cepat menangkap pergelangannya lantas mengembalikan jari-jari Doyoung ke atas tatonya. Dengan wajah berhiaskan semburat merah, Doyoung kembali memainkan jarinya di atas tinta itu. "Aku sama sekali tidak suka," dustanya.
Tapi memangnya siapa yang dia coba tipu? Jaehyun sangat tahu kalau itu kebohongan terburuk Doyoung. Tapi kalau pun dia tahu itu, Jaehyun sama sekali tidak menyinggungnya. Dia menikmati sentuhan jari dingin Doyoung di atas kulitnya, terutama di atas tatonya.
Setelah beberapa saat mereka habiskan dalam hening, Doyoung mengangkat kepala, lalu menggunakan tangannya yang bebas sebagai tumpuan sehingga dia bisa leluasa memandang wajah Jaehyun. "Kau tidak takut menyesal?"
"Menyesal kenapa?"
"Ada namaku yang akan menempel permanen di tubuhmu. Kau tidak akan bisa menghapusnya. Kalaupun bisa, biayanya sangat mahal."
Jaehyun membuka sebelah matanya, memandang Doyoung. "Kenapa menurutmu aku ingin menghapusnya?"
Doyoung mengedik. "Entahlah. Bagaimana kalau nanti kita putus misalnya?"
"Apa kau mau itu? Kita putus?"
"Berhenti menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan," hardik Doyoung kesal. "Serius, apa yang akan kau lakukan kalau nanti kita putus, kau sudah tidak mencintaiku, tapi namaku akan bertahan di atas kulitmu menjadi pengingat memalukan kalau kau pernah cukup bodoh untuk berpikir mentato namaku di tubuhmu adalah ide bagus."
"Kau juga punya inisialku di rusukmu."
"Ini inisial. Aku bisa mengarang apa saja di masa depan dan tidak melibatkan namamu, sedangkan kau? Misalnya kau menikah nanti, pasanganmu akan selalu melihat Kim Doyoung tertulis di dadamu saat kalian bercinta. Dia sama sekali tidak akan senang."
Jaehyun tidak menjawab. Dia membuka matanya, memberikan perhatian penuh pada mata coklat Doyoung yang diakuinya sangat disukainya. Dengan wajah serius dia berkata, "Tapi aku sama sekali tidak berencana untuk menikah atau bercinta dengan orang yang bukan Kim Doyoung."
Seberapa besar sipu yang ditimbulkan jawaban Jaehyun itu di pipi Doyoung, dia tetap tidak bisa puas. "Tapi tidak ada jaminan kalau kita akan selamanya bersama. Bagaimana kalau aku yang tidak ingin menikah denganmu? Dan kau terpaksa harus move on dan ya kau akhirnya move on tapi namaku tetap ada di sana. Apa yang akan kau lakukan? Maksudku, sebenarnya apa yang kau pikirkan sewaktu membuat tato itu?"
Sekali lagi Jaehyun membutuhkan waktu sedikit lama untuk memikirkan jawaban sebelum akhirnya dia membuka mulutnya. "Aku sama sekali tidak memikirkan itu sewaktu membuat tato ini." Dia memandang Doyoung dengan lembut. Seperti bagaimana dia selalu memandang pemuda itu. Ada rasa cinta yang membara diteriakkan oleh sepasang mata gelap itu. "Aku tidak sekali pun berpikir kita akan berpisah."
Wajah Doyoung berubah menjadi warna merah paling gelap yang bisa dilakukannya. "Aku senang mendengar itu tapi..."
Namun Jaehyun menghentikan perkataan Doyoung itu ketika dia menggeser tubuhnya sehingga kini dia berbaring menyamping, berhadapan dengan Doyoung. Sekejap itu setiap rangkaian alfabet yang sudah ada di ujung lidah Doyoung terbang meninggalkannya. Nafasnya tertahan ketika dua pasang mata saling bertemu di keheningan. "Kuharap hubungan kita bertahan selamanya," bisik Jaehyun di depan wajahnya. Dia memindahkan beberapa helai rambut dari depan dahi Doyoung lalu mengelus rambutnya. "Sungguh aku berharap begitu. Tapi kalau kau sangat keras kepala ingin membicarakan ini, ayo kita bicarakan.
"Kalau kita berpisah, kuharap tidak, tapi kalau kita berpisah aku mau kau mengingatku seperti ini. Aku mau kau mengingatku saat kita berbaring di atas tempat tidurku seperti ini, jari-jarimu menjelajah di atas kulitku dan menggambar peta. Ingat aku membuat tato namamu di dada kiriku, di atas jantungku karena aku sangat jatuh cinta denganmu dan kau adalah alasan jantungku berdetak seperti gila. Ingat aku membawamu di Corolla ayahku yang sudah sangat jelek, mengelilingi kota Winnemuca yang jelek ini, menjelajah hampir seluruh negara bagian Nevada, mencumbumu di kursi kulit Corolla ayahku, di atas atapnya, di bawah bintang Nevada, di tepi Danau Tahoe, di lemari peralatan, ruang kelas, dan lapangan parkir Lowry, juga di dapur ibumu.
"Ingat aku yang diam-diam bahagia saat hatimu hancur oleh teman raksasamu yang menyukai rambut pirang dan mata biru dibanding rambut dan mata coklatmu yang sangat kukagumi. Ingat seluruh hal konyol yang kulakukan untuk menarik perhatianmu. Ingat aku sangat posesif denganmu dan memaksamu memasang insialku di rusukmu. Dan aku akan mengingatmu juga seluruh kekeraskepalaan dan sikap egoismu yang kutoleransi karena aku sangat sangat sangat jatuh cinta denganmu. Aku akan mengingat suara tawamu dan detak jantungmu setiap dada kita bersetuhan di mobil ayahku yang sempit. Aku mau ingat setiap saat pertama kita, berpegangan tangan, ciuman, bercinta, dan bagaimana mereka semua terasa sangat menyenangkan jadi kita melakukannya kedua kali, ketiga, keempat dan seterusnya. Lagu-lagu yang kau paksa kudengarkan setiap perjalanan kita.
"Kalau tiba waktunya untuk kita berdua berpisah, aku tidak mau kau mengingat akhir dari hubungan kita. Ingat awalnya. Ingat seberapa besar aku mencintaimu. Cukup besar untuk membiarkan kulitku cacat selamanya dengan namamu di atasnya. Ingat saat pertama kau tahu aku mencintaimu dan saat pertama kau sadar kau juga mencintaiku. Apa kau..."
Jaehyun menghentikan pidato panjangnya ketika Doyoung gemetar di bawah sentuhannya. Dengan cepat dia meraih wajah pemuda itu dan memaksanya menatap matanya. "Doyoung kenapa kau menangis?"
Doyoung tidak menjawab dan malah menangis lebih keras. Doyoung adalah orang yang kuat, dia tidak menangis setiap hari tanpa alasan. Jaehyun sama sekali tidak tahu apa yang salah dari semua yang dikatakannya hingga mengundang air mata Doyoung. Karena itu Doyoung tetap berusaha berbicara meski sangat sulit di tengah isakannya. "Kau tidak bisa berbicara manis seperti itu dan berpikir aku tidak akan menangis, brengsek."
Itu adalah pertama kali Doyoung memaki Jaehyun, dan dia bahkan tidak sedang marah. Dia sangat bahagia sampai menangis karena dia sangat jatuh cinta dan Jaehyun juga begitu. Doyoung berharap hubungan itu bertahan selamanya.
.
.
Jam dua pagi di mobil Jaehyun. Doyoung tidak tahu bagaimana dia bisa ada di situasi ini lagi. Yang Doyoung tahu, dia ada di bar bersama teman-temannya, menari, mabuk. Johnny adalah tumpangan Doyoung sewaktu berangkat dan seharusnya dia juga yang membawa Doyoung pulang. Pastilah Doyoung sudah sangat mabuk tadi sampai-sampai tidak sadar ke mobil siapa dia dimasukkan. Saat bangun, tiba-tiba saja dia ada di kursi penumpang mobil yang sama sekali tidak dikenalinya interiornya karena belum pernah naik itu sebelumnya, lalu sejenak dia panik, berpikir kalau dia diculik, detik berikutnya dia melihat ke sebelahnya, menggelengkan kepala, berusaha memfokuskan pandangan dan terkesiap begitu melihat bagian samping wajah Jaehyun.
Jelas suara kecil yang dikeluarkannya menarik perhatian Jaehyun. Yang lebih muda mengalihkan mata dari jalan sejenak lalu berkata "Oh, kau sudah bangun?"
Doyoung mengangguk.
"Aku baru saja menurunkan Yuta di apartemennya tadi dan sekarang dalam perjalanan ke apartemenmu tapi kau malah bangun duluan," kata Jaehyun lagi. Fokus sudah kembali ke jalan lengang di depannya.
Doyoung mengonfirmasi kebenaran kata-kata Jaehyun itu ketika melihat plakat-plakat yang dikenalnya di Myers Street. Beberapa belokan lagi, mereka akan sampai di Kenneth Road, dari sana lalu masuk ke Brighton Street, komplek apartemen Doyoung. Tapi itu tetap tidak menghentikan Doyoung bertanya dengan nada menududh. "Kenapa aku bersamamu? Johnny?"
Mungkin Jaehyun sengaja mengabaikan nada defensif Doyoung atau dia memang tidak menyadarinya, dia menjawab dengan santai. "Oh, Johnny sama mabuknya denganmu tadi. Dia tidak bisa mengemudi. Dia memesan taksi dengan Ten. Jadi dia menyuruhku mengantarmu."
Si brengsek itu, pikir Doyoung. Dia sekitar 0,0006% percaya kalau Johnny benar-benar mabuk, sisanya berasumsi kalau dua orang itu hanya bersikap menyebalkan dan terlalu banyak ikut campur seperti biasa. Karena memang begitulah mereka. Doyoung menyesal sudah bersikap lemah dan memuaskan rasa penasaran dua orang itu dengan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi dengan hubungannya dan Jaehyun. Seharusnya dia tahu kalau mereka akan melakukan sesuatu yang bodoh untuk ikut campur. Doyoung merasa sangat kesal tetapi akhirnya memilih untuk tidak melakukan apa-apa karena rasa marah membuat lambungnya semakin mual.
"Pusing?" Jaehyun bertanya saat Doyoung mendorong tubuhnya semakin jauh ke kursi penumpang tanpa mengatakan apa-apa dan Doyoung ingin mengatakan sesuatu seperti 'meihat wajahmu membuatku mual, mendengar suaramu membuat kepalaku semakin sakit, jadi tolong diam' tapi itu terlalu kasar apalagi Jaehyun hanya bersikap baik dengan memberinya tumpangan jadi dia mengatupkan bibirnya lebih rapat dan hanya mengangguk.
Yang tidak diharapkan Doyoung adalah Jaehyun menggunakan satu tangannya untuk mencari sesuatu di dasbor mobil sementara tangan yang lain masih memegang setir. Setelah dia menemukan yang dicarinya, dia mengulurkannya ke depan wajah Doyoung. Obat. "Ambil ini," katanya. Doyoung dengan patuh mengambilnya dari tangan Jaehyun. Beberapa detik kemudian, tangan Jaehyun di depan wajahnya lagi, kali ini dengan botol air mineral. "Untuk menghilangkan pusingmu."
Sempat ragu sejenak, Doyoung tetap menerimanya karena pilihan itu terdengar lebih baik daripada menahan sakit kepalanya. Dia meminumnya seperti perintah Jaehyun, kemudian berbisik pelan setelah selesai. "Terima kasih."
Jaehyun hanya tersenyum dari tempatnya di kursi pengemudi. Dan Doyoung merasa ingin muntah. Dia sangat membenci senyum dan lesung pipinya itu.
Tidak.
Dia bohong.
Doyoung sangat menyukai lesung pipi Jaehyun. Juga eyesmilenya saat dia tersenyum tulus. Seperti sekarang ini. Perutnya terasa tergelitik seperti ada kupu-kupu di dalamnya. Seperti yang selalu dia rasakan ketika berkendara di jalan-jalan Nevada bersama Jaehyun dengan Corolla tuanya.
Doyoung 21 tahun yang pikirannya betul-betul sadar tidak akan mungkin mengatakan ini, tapi dia sedang setengah mabuk, mengendarai mobil pukul tiga pagi hari dengan mantan kekasihnya, sama seperti hari-hari yang dulu, dan Doyoung merasa delapan belas lagi. Jadi dia mengatakannya, "Jadi ingat masa lalu."
Kalau Jaehyun terkejut dengan kalimat tiba-tiba dan tanpa peringatan Doyoung, dia dengan sangat baik menyembunyikannya. "Masa lalu?"
"Ya," kata Doyoung. Dia seharusnya menghentikan lidahnya, dia pasti akan menyesal di pagi hari tapi alkohol dalam sistemnya jauh lebih kuat dari pada sedikit rasionalitas dan harga diri yang tersisa. "Kau ingat kita selalu berkendara di jalan-jalan Winnemuca dengan Corolla ayahmu. Kau selalu mengantarku pulang sampai rumah setelah itu."
Doyoung bodoh. Bagaimana Jaehyun harus membalas itu?
"Apa kau ingat? Kita bercinta di jok belakang sepulang sekolah dan saat kita mengembalikan mobil ke ayahmu, dia melihat kita seolah-olah tahu apa yang terjadi tapi tidak mengatakan apa-apa. Oh waktu itu juga..."
Doyoung berbicara dan berbicara dan berbicara. Atau alkohollah yang berbicara. Mengulang kembali kisah-kisah lama yang seharusnya dia—mereka—tinggalkan di Nevada. Seharusnya dia berhenti ketika melihat tangan Jaehyun yang menggenggam setir sangat kuat, sampai buku-buku jarinya menjadi putih, tapi entah kenapa Doyoung tidak bisa menemukan gembok untuk lidahnya. Ini tidak adil, Doyoung sendiri yang mengatakan kalau mereka sudah jauh dari rumah. Ini bukan Nevada, ini bukan Winnemuca, ini bukan Lowry High School. Ini adalah kehidupan mereka sekarang, Woodbury dengan deadline yang terus menghantui, Burbank dengan lampu-lampu yang tidak pernah padam, California negara bagian yang tidak pernah tidur. Sudah waktunya move on. Tapi ya Tuhan di malam hari seperti ini semua jalan terlihat sama. Doyoung seperti tidak melihat perbedaan antara Parkview Avenue dengan Kenneth Road.
Kepala Doyoung terasa sangat ringan, efek obat pemberian Jaehyun yang mulai bekerja, dia sangat mabuk, tiba-tiba merasa sangat rindu dengan jalan-jalan di Nevada itu, dengan petualangan malam mereka, dengan rasa risih di atas dada Jaehyun saat dia menyentuh namanya yang ditatokan di atasnya, dia rindu Jaehyun secara keseluruhan. Dan mungkin besok, saat dia bangun, sudah sadar sepenuhnya dari pengaruh alkohol, dia masih akan tetap merindukan Jaehyun.
Inilah kenapa Doyoung tidak ingin membicarakannya dengan siapa pun, atau mengingatnya barang sedikit saja. Love is a bitch. Dia bisa sangat mengecoh. Sedetik kau pikir kau sudah selesai merindukannya detik berikutnya kau sadar perasaan itu tidak akan pernah berhenti.
.
.
Perasaan dan ikatan yang dulu sangat kuat antara Doyoung dengan Jaehyun, bagaimana berakhirnya?
Sederhana. Ketidakpercayaan.
.
.
September-Oktober 2014
Musim gugur tidak termasuk dalam musim favorit Doyoung, tapi musim gugur tahun 2014 adalah yang terburuk. Selain karena angin yang terlalu kencang meniup rambut dan syalnya juga warna coklat yang menutupi seluruh kota, ada juga masalah di mana dia sudah harus mulai memikirkan masa depannya dengan lebih serius karena dia sudah di tahun seniornya, tahun terakhir SMA. Lain lagi dengan tekanan yang semakin besar dari klub paduan suara. Mendekati musim liburan, Doyoung harus berlatih lebih banyak di sekolah, sampai tenggorokannya seperti mau retak. Dia juga harus bekerja paruh waktu, sedikit membantu meringankan beban orang tuanya untuk kuliah nanti. Dengan kondisinya yang seperti itu dan ketidakmampuan Doyoung untuk memanajemen waktu dengan lebih baik, nilai sekolah Doyoung juga menjadi semakin buruk.
Mendekati ujian tengah semester adalah puncak stres Doyoung. Bisa dikatakan dia mencoba melakukan segala sesuatu di saat yang bersamaan yang berakibat tidak satu pun dari itu semua yang memberi hasil yang baik, malah pekerjaan setengah-setengah yang sama sekali jauh dari sempurna. Karena itu tingkat stresnya menjadi semakin tinggi.
Di saat seperti ini, alangkah menyenangkan punya seorang pacar yang pengertian, sabar menungguinya berlatih dengan paduan suara, menemani di perpustakaan mengejar ketertinggalan dalam pelajaran, mengantar jemput Doyoung ke tempat kerja dengan Corolla tua ayahnya lalu bercerita tentang harinya untuk membantu merilekskan otak Doyoung. Kalian pasti akan berpikir Jaehyun adalah tipe yang akan melakukan hal seperti itu, percaya atau tidak, Doyoung juga mengharapkan hal yang sama. Tapi sesungguhnya yang dia dapat dari Jaehyun sama sekali bertolak belakang dengan itu.
Sejak semester ganjil dimulai, satu-satunya yang dilakukan Jaehyun kalau tidak merengek minta perhatian Doyoung, adalah merajuk di kursi pengemudi, menolak berbicara pada Doyoung dan membuat segala sesuatu menjadi lebih sulit. Musim gugur mereka berjalan seperti berikut.
Awal september saat Doyoung mengatakan dia mulai kerja paruh waktu, harus lebih banyak belajar, latihan dengan paduan suara, sehingga tidak mungkin menghabiskan waktu sebanyak dulu dengan Jaehyun, yang lebih muda berkata, "Pacarku sangat membanggakan. Aku senang kau memikirkan masa depanmu dengan serius dan bekerja sangat keras. Aku akan mencoba sebisanya untuk tidak mengganggumu."
Akhir september saat mengantar Doyoung pulang dari kerja paruh waktunya, sebelum Doyoung membuka pintu mobil, Jaehyun menahan tangannya dan berkata, "Aku merindukanmu."
Doyoung menjawab dengan kening berkerut. "Tapi kita bertemu setiap hari?" Tidak tahu dia sedang menyatakan atau bertanya.
Jaehyun memberengut manja. "Maksudku rindu bermesraan, jalan-jalan malam, menghabiskan waktu berdua yang bukan hanya memberimu tumpangan ke sekolah, tempat kerja, dan kembali ke rumah."
"Oh." Hanya itu yang bisa dikatakan Doyoung. Dia mengerti apa maksud Jaehyun sejak awal, tapi tidak tahu harus melakukan apa dengan itu. Bukannya Doyoung tidak merindukan hal yang sama, tapi sungguh ini bukan waktu yang tepat untuk itu. Jaehyun sendiri tahu kalau tidak memungkinkan untuknya membagi waktu berkencan atau berkendara tanpa tujuan di malam hari. Dia sekolah sampai sore, berlatih dengan paduan suara sampai malam tiga hari seminggu sementara tiga hari sisanya dia bekerja. Setelah itu dia sudah akan terlalu lelah, tapi masih harus belajar untuk menaikkan skor GPA nya. Betul-betul tidak ada waktu untuk Jaehyun dan Doyoung pikir Jaehyun sudah mengerti dengan itu.
Doyoung menarik nafas panjang. "Kau tahu aku betul-betul sulit membagi waktu sekarang kan? Kuharap kau mengerti," katanya dengan wajah meringis.
Dan meski bukan itu sama sekali yang ada dalam kepala Jaehyun, dia memaksa senyum di wajahnya meski tidak mencapai mata. "Tentu saja aku mengerti," katanya, rasa getir tertahan di pita suaranya. "Kurasa aku hanya butuh waktu untuk terbiasa."
Doyoung tersenyum lega mendengarnya. Dia mendaratkan kecupan singkat di pipi Jaehyun dan berkata, "Aku akan membagi lebih banyak waktu denganmu setidaknya setelah kegiatan paduan suara berakhir, oke?" Lalu dia keluar dari mobil setelah Jaehyun mengangguk sambil tersenyum.
Tapi tidak seperti kata-katanya, Jaehyun tidak bisa mengerti dengan Doyoung. Dia ingin pemuda itu membagi waktu untuknya. Karena tidak adil, mereka berpacaran, tapi rasanya seperti tidak lagi. Mungkin itu bisa menjadi penjelasan sikap Doyoung berikutnya.
Senin terakhir di bulan september, Doyoung mengatakan Jaehyun tidak perlu menungguinya latihan paduan suara lagi karena mereka akan berlatih lebih intensif sampai larut malam. Doyoung bilang dia punya tumpangan untuk pulang.
Sabtu malam Doyoung mengirim pesan kepada Jaehyun sebelum shift kerjanya berakhir. Tidak perlu menjemputku, aku pulang dengan teman. Jaehyun mengerutkan kening membaca pesan itu, dia baru akan mengeluarkan mobil dari garasi sebelum ponsel pintarnya berbunyi. BaiklahJaehyun mengetik balasannya dengan jempol yang menekan terlalu kuat setiap keypad.
Minggu keesokan harinya Doyoung sama sekali tidak membalas pesan atau mengangkat telepon sebelum pukul sebelas malam. Dan saat akhirnya ponsel Jaehyun berbunyi serta nama Doyoung muncul di layar, itu hanya untuk menunjukkan satu pesan yang berbunyi Besok tidak perlu menjemput ke sekolah. Sapaan selamat pagi Jaehyun, pertanyaan apakah Doyoung sibuk, pesan-pesan cinta dan khawatir dari Jaehyun di atasnya sama sekali tidak dibalas. Begitu juga pesan Jaehyun setelah itu yang bertanya, Kenapa?
Senin pagi Jaehyun tidak bangun sepagi biasanya, tidak menghabiskan serapannya dengan buru-buru, tidak berbelok ke Kirkway Drive, jalan rumah Doyoung.
Selasa sampai jumat Jaehyun hampir tidak mendengar satu kata pun dari Doyoung. Tidak melihatnya di kafetaria, di toilet, di loker, di parkiran. Setiap rentetan pesan yang dikirimnya semua diabaikan dan satu-satunya pesan yang dia dapat setiap hari isinya serupa, mengatakan Jaehyun tidak perlu menjemput.
Minggu malam Doyoung menjawab telepon Jaehyun. Mereka berbicara sampai larut malam. Jaehyun mengatakan dia merindukan Doyoung, Doyoung membalas bahwa dia juga rindu, yang untuk alasan tertentu sangat sulit dipercaya oleh Jaehyun. Kalau kau juga rindu, kenapa tidak berusaha melihatku sekali pun minggu ini? Jaehyun sama sekali tidak berani menyuarakan pertanyaan itu. Dia bertanya tentang kegiatan Doyoung selama seminggu mereka tidak bertemu, yang lebih tua tanpa keberatan bercerita tentang minggunya yang dihabiskan dengan belajar, bekerja, latihan paduan suara, sama seperti minggu-minggu sebelumnya, jadi kenapa dia tidak bisa bertemu Jaehyun seperti biasa? Pertanyaan itu juga tidak disuarakan Jaehyun keras. Saat Doyoung mengakhiri percakapan mereka dengan mengatakan bahwa Jaehyun—lagi-lagi—tidak perlu memberinya tumpangan besok, Jaehyun hanya menghela nafas dan membalas, "Baiklah. Selamat malam."
Senin pagi 13 Oktober, Jaehyun menolak menuruti Doyoung dan dengan keras kepala membawa mobilnya membelok ke Kirkway Avenue, di mana dia melihat Doyoung masuk ke dalam mobil Lee Seokmin dan bertukar tawa sebelum berangkat ke sekolah.
.
.
Jaehyun sengaja melewatkan belokan Brighton Street, malah terus melaju lurus di Kenneth Road. Ini sama sekali tidak luput dari perhatian Doyoung, tapi dia pura-pura tidak menyadarinya dan membiarkan Jaehyun membawanya ke mana pun pemuda itu berniat membawanya.
Saat itu pukul tiga pagi, dari plakat terakhir yang dilihat Doyong, mereka ada di Naomi Street, dua persimpangan jauhnya dari Brighton.
"Maaf, kurasa aku berbelok di tempat yang salah," kata Jaehyun. Jelas berbohong, dia mengenal jalanan ini seperti punggung tangannya.
"Aku tidak keberatan." Doyoung menjawab santai karena dia memang sama sekali tidak keberatan. Kemudian dia memiringkan tubuhnya sehingga membelakangi Jaehyun. Menurunkan kaca jendela lantas menyandarkan kepalanya. Doyoung memejamkan kedua mata, menikmati angin malam yang menerbangkan rambutnya. Rasa dingin yang menyelimuti kulitnya akibat sentuhan angin malam itu sedikit membantu meredakan sakit kepalanya dan membuat wajahnya jadi terlihat lebih damai. Jaehyun, di sisi lain dari mobil, tidak bisa mengalihkan pandangan darinya.
"Lihat jalan di depanmu."
Jaehyun sedikit tersentak kaget ketika mendengar bisikan tiba-tiba Doyoung. Malu karena ketahuan menatap—padahal Doyoung tutup mata, bagaimana bisa—dia segera mengalihkan mata dari wajah damai mantan kekasihnya itu lantas melakukan persis perintahnya tadi.
Doyoung tertawa ringan, seolah dia bisa melihat dengan jelas pergerakan Jaehyun dengan mata tertutup. "Kau ingat di Elsenhower, kau hampir mengabaikan lampu merah dan menabrak mobil orang karena kau terlalu sibuk memandangiku?"
Jaehyun sama sekali tidak ingat, tapi dia percaya dia pasti sudah melakukan hal konyol seperti itu di masa lalu. Saking seringnya hal seperti itu terjadi, sampai-sampai Jaehyun tidak bisa mengingat lagi apa yang dilakukannya, kapan, di mana, dan bagaimana. Dia selalu terdistraksi ketika menatap wajah Doyoung. Hal yang ternyata tidak berubah bahkan setelah empat tahun.
Lagi-lagi Doyoung tersenyum dari posisinya, dan Jaehyun ingin percaya kalau mungkin sekarang Doyoung sedang memikirkan apa yang ada dalam kepalanya juga. Tapi beberapa detik kemudian, Doyoung membuka mata, memiringkan tubuhnya lagi, kali ini menghadap Jaehyun dan bertanya, "Sejak kapan kau akrab dengan Seokmin?"
"Hm?" Jaehyun berpikir sejenak. "Sejak semester dua kurasa? Kami membuat grup anak-anak Korea line 97."
Doyoung tahu eksistensi grup itu. "Tapi bukannya kau... em benci dia?"
Jaehyun mengeratkan genggamannya pada setir, tanpa sengaja menginjak gas terlalu kuat, dan mengeraskan rahang ketika memikirkan apa yang terjadi pada tahun terakhir SMA Doyoung. Sesuatu yang melibatkan Seokmin, Doyoung, dan kecerobohan Jaehyun. Yang sampai sekarang membuat tidurnya tidak nyaman kalau mengingat Doyoung sekarang sudah bahagia dengan gengnya, dia sendiri berteman baik dengan Seokmin, dan mereka bertiga melanjutkan hidup seolah-olah tidak ada yang terjadi. "Itu dulu. Sekarang aku menyukainya. Maksudku, aku suka berteman dengannya. Dia anak yang ceria dan selalu membagi energi positif, susah untuk membencinya yang seperti itu."
"Oh," Doyoung mengangguk mengerti lalu memasang senyum paling palsu. "Kubilang juga apa, dia anak yang baik." Tapi dadanya seolah menjadi sangat ketat ketika mengucapkannya dan Doyoung tiba-tiba merasa kesulitan bernafas. Jadi dia membalikkan tubuhnya lagi, mengeluarkan kepala melalui jendela yang terbuka dan berdoa di pagi hari, ini semua hanya akan menjadi mimpi.
.
.
Akhir Oktober 2014
Kalau apa yang dilihat Jaehyun senin pagi 13 oktober membuat kepalanya penuh dengan prasangka dan skenario yang melibatkan Doyoung dan Seokmin, dia sama sekali tidak mengkomunikasikan itu dengan pacarnya. Yang ngomong-ngomong adalah keputusan paling bodoh yang pernah diambilnya. Karena dengan menyimpan itu semua sendiri, Jaehyun membiarkan sangat banyak energi negatif tinggal dalam dirinya.
Jaehyun bukan pacar yang posesif, dia tidak ingin menganggap dirinya seperti itu. Dia juga tahu kalau Doyoung sangat akrab dengan Seokmin karena mereka sama-sama di klub paduan suara. Sebelum Jaehyun pacaran dengan Doyoung, satu atau dua kali Seokmin memberi tumpangan untuk Doyoung. Jaehyun berusaha keras, sumpah dia berusaha sangat keras untuk mengabaikan suara-suara dalam kepalanya yang mempertanyakan hubungan kedua orang itu. Karena itu sangat konyol. Doyoung tidak mungkin melakukan hal seperti itu di belakangnya. Tapi kalau begitu bagaimana cara menjelaskan keabsenan Doyoung akhir-akhir ini? Penolakannya untuk tumpangan Jaehyun, tidak membalas pesan atau mengangkat telepon, dan ngomong-ngomong untuk tumpangan Doyoung sepulang kerja, Jaehyun tahu kemarin kalau itu juga adalah Lee Seokmin.
Lalu hari ini, minggu terakhir sebelum Halloween, saat akhirnya Jaehyun berhasil meyakinkan Doyoung untuk bertemu dengannya, mereka singgah membeli makanan meksiko sebentar, lalu berkendara melewati Granada Avenue yang di sepanjang pinggirnya sudah bertumpuk daun coklat kering.
Doyoung sibuk dengan ponselnya, hal yang jarang dia lakukan kalau mereka sedang menghabiskan waktu bersama. Jaehyun berusaha mengabaikannya, bukan hanya saat ini tapi sejak berapa minggu lalu. Jaehyun berusaha memaklumi Doyoung dan memberi alasan untuk setiap tindakan pacarnya itu. Tapi kali ini dia sudah tidak bisa. Doyoung benar-benar... tidak bisa dipercaya. Bagaimana bisa dia mengabaikan semua pesan dan panggilan Jaehyun di hari-hari biasa seolah dia tidak menggenggam ponselnya kecuali di malam hari untuk memberi tahu dia tidak butuh tumpangan, sementara sekarang, saat mereka bersama, Doyoung malah tidak sekali pun mengangkat matanya dari layar ponsel.
Keluar dari Granada Avenue dan masuk ke Palisade Drive, sekitar 50 meter, ada sebuah taman kecil yang sepi. Jaehyun menghentikan mobilnya di sana. Doyoung akhirnya mengangkat kepalanya lalu menatap Jaehyun dengan pandangan bertanya. Dan saat itu, melihat Doyoung yang memasang wajah seperti itu, Jaehyun merasa seluruh kemarahannya berkumpul di lambungnya, siap dimuntahkan. Dan dia melakukan itu.
"Sebenarnya kau sedang bicara dengan siapa di ponselmu?" tanya Jaehyun.
Doyoung mengerutkan kening, lalu membalas dengan santai. "Bukan siapa-siapa."
"Bukan siapa-siapa?" Jaehyun tidak bermaksud menghardik kasar, karena itu dia segera melembutkan kembali suaranya ketika melihat Doyoung sedikit terlonjak kaget. "Doyoung, kita sudah tiga minggu tidak bertemu, kau tidak membalas pesan atau mengangkat teleponku, dan aku mengerti, oke? Aku mengerti kau sangat sibuk, dan mungkin tidak punya waktu untukku. Tapi sekarang, setidaknya sekarang, setelah kita bertemu, apa kau tidak bisa meletakkan ponselmu dan betul-betul menghabiskan hari ini denganku?"
"Ini diskusi penting, Jae," jawab Doyoung seraya memutar bola matanya malas. Seolah-olah Jaehyun sedang bersikap kekanak-kanakan. "Kau tahu lomba paduan suara itu sudah..."
Jaehyun segera menginterupsi sinis, "Huh dengan Lee Seokmin?"
"Ini group chat paduan suara."
"Di grup paduan suara ada Seokmin kan?"
Doyoung memandang bingung tapi tetap mengangguk. "Tentu saja. Dia vokalis utama."
"Oh wow senang mendengarnya."
Jaehyun mendengus, melempar tubuhnya sedikit terlalu keras ke sandaran kursi.
Tidak ada yang bersuara selama beberapa saat sampai Doyoung berbicara. "Apa sekarang kau merajuk?"
"Entahlah. Apa aku merajuk?"
"Baiklah aku tidak mengerti. Kenapa kau tiba-tiba bersikap seperti ini?"
"Kenapa aku bersikap seperti ini?" tiru Jaehyun lagi.
"Sebenarnya apa masalahmu?"
Oh pertanyaan yang tepat. "Masalahku?" Jaehyun mengangkat punggungnya dari sandaran kursi, memandang Doyoung dengan marah. "Masalahku adalah kau, Kim Doyoung. Kau."
"Apa maksudnya itu?"
"Maksudnya, aku mencoba memahamimu, oke? Aku selalu berusaha. Sejak malam itu, di subway sehabis kau dicampakkan pacarmu, hari-hari setelah itu menghiburmu, hari-hari setelahnya lagi melakukan apa pun yang kau inginkan, setelahnya lagi menemanimu ke mana saja, mengantar jemputmu, membawamu berkendara ke tempat-tempat menyenangkan, mengirim pesan, menelepon, membeli hadiah. Aku melakukan segalanya, oke. Segalanya. Untukmu. Kau bilang kau butuh banyak waktu untuk belajar, bekerja, berlatih, jadi harus mengurangi waktu denganku, aku masih mencoba mengerti. Tapi ternyata kau bukan hanya mengurangi, kau menghilangkannya sepenuhnya. Oke, aku tidak keberatan. Tapi apa-apaan ini hyung? Kau membiarkan Seokmin menjemputmu ke sekolah, menghabiskan sangat banyak waktu dengannya di sekolah, dan seolah itu belum cukup, dia juga menjemputmu dari tempat kerja. Dan sekarang, sekarang, setelah kita akhirnya bisa mendapat kesempatan berdua, apa yang kau lakukan? Berkirim pesan dengan Seokmin? Doyoung, what the hell? Bagaimana menurutmu aku akan menanggapi itu?"
"Sudah kubilang ini group chat?"
"Apa kau punya hubungan khusus dengannya? Apa kau... di belakangku..."
"Baiklah, kau mulai bicara yang tidak masuk akal. Apa kau tadi pagi salah minum obat?"
"Kim Doyoung, ini bukan waktunya bercanda."
Doyoung diam sebentar sebelum berkata, "Kau mau aku bilang apa?"
"Apa kau selingkuh dengan Seokmin?"
"Apa menurutmu aku sanggup melakukan itu?" tanya Doyoung kembali dengan nada tersinggung.
"Aku tidak tahu apa saja yang kau lakukan di belakangku."
"Maksudmu?"
"Kau tahu maksudku."
"Kau tidak percaya denganku?"
"Entahlah. Dengan kita seperti ini, sekarang, rasanya sulit percaya denganmu."
"Kau tidak percaya denganku..." Doyoung berkata tenang. Suaranya sangat datar, Jaehyun tahu kalau itu berarti pacarnya kesal tapi tidak sekesal dan merasa terkhianati sepertinya.
Dengan keras kepala Jaehyun menghentikan keinginan untuk mencegah kemarahan Doyoung. "Kau melakukan sesuatu secara sembunyi-sembunyi dengan Seokmin di belakangku, bagaimana aku bisa percaya denganmu yang begitu?"
Doyoung tidak mengatakan apa-apa, hanya memandang Jaehyun dari kursinya seolah dia tidak mengerti bahasa yang digunakan yang lebih muda untuk berbicara tadi. Setelah beberapa saat dalam keheningan yang terasa seperti selamanya, Doyoung berkata, "Baiklah. Percaya apa yang mau kau percaya. Terserah." Kemudian segera keluar dari mobil. Jaehyun yang biasa pasti akan mencegahnya pergi atau menanyakan dia akan pulang seperti apa. Tapi Jaehyun yang sedang sedih dan kecewa merasa tidak ingin peduli.
.
.
Pukul empat pagi, mereka betul-betul tersesat. Bukan karena sengaja, tapi kali ini Jaehyun betul-betul mengambil belokan yang salah. Dia tidak tahu lagi mereka ada di mana. Ponsel mereka sama-sama tidak ada lagi yang menyala. Merasa terlalu frustasi untuk menemukan jalan yang benar, akhirnya Jaehyun berhenti dekat sebuah lapangan terbuka. Dia memandang Doyoung dengan rasa bersalah.
"Maaf, aku membuat kita tersesat."
Doyoung mendengus. "Tidak masalah."
Ini betul-betul mengingatkan pada malam natal 2012, pertama kali Jaehyun membawanya di Corolla tua ayahnya dan tersesat. Itu adalah salah satu dari sekian memori yang sangat kontradiktif dalam kepala Doyoung. Terkadang dia membencinya setengah mati, tapi pada kesempatan tertentu, apalagi saat dia dalam kondisi lemah, ingatan itu membuat hatinya hangat dan merindu, saat ini salah satunya. Malam saat Jaehyun menyatakan perasaannya. Saat dia membuat Doyoung merasa diinginkan, jauh melebihi Irina Scherban dengan rambut pirang emas dan mata birunya.
"Maaf." Jaehyun tiba-tiba bergumam.
Tanpa berbicara, Doyoung menggerakkan alisnya, melempar tanya. Maaf untuk apa?
Jaehyun membuang nafas lemah. Menadah ke atas atap mobilnya. Sekarang Jaehyun menggunakan mobil Nissan putih yang terlihat jauh lebih baik interior maupun eksteriornya dibanding Corolla ayahnya dulu. Tapi entah kenapa Doyoung merasa rindu dengan mobil tua itu, yang ac dan radionya selalu rusak di saat yang tepat. Doyoung berhenti berpikir sejenak dan tersenyum tipis. Mungkin bukan mobilnya yang membuat rindu melainkan kenangan yang tersimpan di laci-laci dan jok belakangnya.
Suara nafas Jaehyun yang sangat berat terdengar sangat mencolok di antara keheningan yang mereka bagi. Doyoung sedikit memutar lehernya untuk melihat Jaehyun dan dibuat terkejut ketika langsung bertemu mata dengan pemuda itu. Doyoung tidak pernah mengatakan ini di masa lalu, tapi dia juga selalu berpikir kalau mata coklat Jaehyun dan lesung pipinya adalah kombinasi yang indah, Doyoung sangat menyukainya.
"Akhir-akhir ini pasti sangat tidak nyaman," kata Jaehyun.
Untuk sesaat Doyoung gagal memahami implikasi perkataannya tapi dengan cepat kesadaran menubruk nasalnya. Dan menyumbat saluran pernafasan Doyoung. "Oh. Ak..aku...tidak..."
"Apa sebaiknya aku berhenti bermain dengan kalian?"
"Kenapa?"
Jaehyun mengedik. "Yah, kau lebih awal berteman dengan yang lain. Aku tidak enak kalau selalu membuatmu merasa tidak nyaman."
Doyoung memang merasa tidak nyaman. Tapi karena alasan lain. Seperti jantungnya yang berdegup kencang ketika mendengar nama Jaehyun, misalnya.
"Dan aku tahu kau benci denganku, dengan apa yang kulakukan dulu, jadi yeah kurasa ide bagus kalau aku berhenti muncul di depanmu."
Doyoung ingin mengatakan sesuatu seperti 'aku tidak peduli apa yang kau lakukan, nyatanya tidak ada yang peduli' sama seperti malam dia mengijinkan Jaehyun melakukan apa pun yang diinginkannya dengan Johnny dan yang lain. Tapi lidahnya menolak mengucapkan kata-kata itu. Untuk sekali ini, di saat pengaruh alkohol masih sangat kuat dalam mengambil keputusan untuk tubuhnya ditambah memori yang menghantam bersamaan dengan kecepatan cahaya, Doyoung tidak bisa memasang wajah poker dan berbohong. Karena, ya Tuhan, dia peduli, sangat peduli. Dan dia tidak membenci Jaehyun. Sudah sangat lama sejak dia berhenti. Bahkan jauh sebelum Jaehyun mendobrak masuk lagi ke dalam kehidupannya, sebelum teman-temannya bertanya apa Doyong asexual dan tidak tertarik dengan cinta. Mungkin saat dia membawa kopernya keluar dari bandara dan dia ada di dalam taxi, memandang jalan-jalan Kota Burbank yang sangat asing dan anehnya mengingatkannya pada Jacobsen Drive di mana dia tersesat pertama kali dengan Jaehyun. Atau saat Mama Kim memandanginya bingung di malam natal, tahun baru, dan hari-hari seterusnya hingga kelulusan karena Jaehyun tidak sekali pun lagi muncul di depan pintu. Atau mungkin juga malam bulan November itu, setelah dia menutup telepon Jaehyun dengan marah. Dia mengganti nomor sesudah itu dan tidak sekali pun lagi mendengar suara atau melihat lesung pipi Jaehyun sampai Agustus 2017 lalu.
Dada Doyoung terasa sesak tiba-tiba, terlalu penuh dengan kata-kata yang dia biarkan menumpuk selama tiga tahun. Sesuatu tentang bagaimana dia tidak marah dengan kecerobohan Jaehyun, dia memahami hatinya, dan sesungguhnya sangat sangat sangat merindukannya.
.
.
31 Oktober 2014
Jaehyun mencium Irina Scherban. Dari semua orang di Albert M Lowry Highschool, dari semua populasi manusia di Winnemuca, Jaehyun harus melampiaskan kemarahannya akan kedekatan Doyoung Seokmin dengan mencium satu-satunya orang yang membuat Doyoung insecure terhadap dirinya.
"Wow, apa kau serius sekarang?" Doyoung menatap bibir Jaehyun yang merah karena lipstik Irina. Kau menuduhku selingkuh dengan temanku yang mau tidak mau harus menghabiskan waktu banyak denganku karena kami," Doyoung membentuk tanda kutip di udara "partner duet di paduan suara dan kebetulan bekerja di tempat yang sama sementara kau di sini mencium perempuan lain. Wow Jung Jaehyun. Wow."
Doyoung tidak tahu bagian mana yang paling membuatnya marah. Apakah kamarahan Jaehyun hari sebelumnya dan kurangnya rasa percaya pemuda itu padanya. (Kalau soal itu Doyoung sudah mencoba memikirkannya dan dia memang bersalah karena tidak memberitahu Jaehyun apa yang dilakukannya, dengan siapa, dan bagaimana, dia secara praktis menghilang beberapa minggu terakhir, Doyoung ada di pihak yang salah, dia tahu, dan berniat untuk memperbaikinya dengan memainta maaf juga bicara baik-baik malam ini). Atau karena Jaehyun merasa sangat marah tanpa mencoba memahami Doyoung, mendengar penjelasannya, dan malah pergi mencari perempuan lain untuk dicium. Atau karena dari semua orang, perempuan itu harus Irina. Yang punya mata biru paling indah dan rambut pirang emas yang mengkilat di bawah matahari, karena dia tahu itu akan menyakiti harga diri Doyoung.
1 November 2014
Jaehyun mendatangi rumah Doyoung, menunggunya di depan gerbang sampai tengah hari, Doyoung menolak bertemu.
2 November 2014
Jaehyun membunyikan bel, tidak ada yang menjawab.
3 November 2014
Jaehyun menunggu di depan loker, di depan ruang klub Paduan Suara, di meja kafetaria, Doyoung sama sekali tidak ada. Hanya Seokmin dan suara tawanya yang memuakkan sehingga Jaehyun cepat-cepat meninggalkan tempat-tempat itu.
4 November 2014
Jaehyun menunggu di depan tempat kerja Doyoung hingga jam kerjanya berakhir, Seokmin keluar dan mengatakan Doyoung pulang lebih awal karena ada proyek kelas.
5-7 November 2014
Doyoung tidak membalas pesan dan telepon Jaehyun.
10 November 2014
Doyoung menelepon lebih dulu, berbicara dengan dingin, menyuruh Jaehyun berhenti muncul di tempat-tempat yang ingin dia kunjungi, berteriak, dan memutuskan Jaehyun.
"Bukan masalah Seokmin, atau Irina, atau siapa saja. Kau tidak percaya denganku. Kalau sekarang saja kau seperti ini, bagaimana kalau aku sudah kuliah nanti? Apalagi ketika kau marah, kau melakukan sesuatu yang sangat bodoh untuk melampiaskannya. Dan selamat, kalau kau ingin melukai harga diriku dengan mencium Irina, kau sudah berhasil. Sekarang aku tahu kalau mata biru dan rambut pirang itu akan selalu menang dariku. Aku membencimu."
Setiap maaf yang terucap di sela rentetan kalimat marah Doyoung, tidak satu pun yang mencapai hati pemuda itu. Dia menutup telepon dengan marah dan mengganti nomornya selamanya.
Itu adalah terakhir kali Jaehyun mendengar suara Doyoung, sampai Agustus 2017.
.
.
Pukul enam pagi, Doyoung tidur berhadapan di atas kasurnya dengan Jaehyun. Doyoung tidak tahu bagaimana itu bisa terjadi.
(Well sebenarnya dia tahu
"Kukira kita tidak akan bisa menemukan jalan yang benar," kata Jaehyun setelah membantu Doyoung berbaring di atas kasurnya. Doyoung membalas dengan tertawa ringan. Jaehyun mencuri beberapa detik lagi dari waktunya untuk memandang Doyoung yang terlihat lelah sebelum berkata, "Baiklah, kau sudah kembali ke apartemenmu, tidur dengan nyaman di atas kasurmu, sekarang waktunya aku pulang."
Doyoung lebih suka menyalahkan alkohol dalam tubuhnya untuk apa yang dia lakukan berikutnya. Karena dia tidak ingin Jaehyun pergi. "Tinggallah."
Jaehyun berhenti melangkah, berbalik memandang Doyoung. "Apa?"
"Jangan pergi."
Jaehyun melangkah ragu kembali ke arah tempat tidur, duduk di pinggirnya dan secara natural menjalankan tangannya di atas rambut Doyoung. "Apa kau yakin?"
Tubuh Doyoung yang bergeser ke sisi lain tempat tidur untuk memberi spasi kepada Jaehyun cukup menjadi jawaban, tapi Doyoung tetap mengucapkannya secara verbal. "Tidur di sini.")
Tidak tahu sudah seberapa lama mereka berbaring seperti itu, saling memandang, dan berbicara hal-hal remeh yang bisa mereka bicarakan, tentang Johnny, tentang Ten, tentang masa lalu mereka, tentang hubungan aneh Mingyu dan Wonwoo, tentang Taeyong dan fanclubnya, tentang Seokmin dan IQ nya yang terkadang perlu dipertanyakan. Sampai mereka kehabisan topik untuk dibicarakan dan Doyoung sangat lelah tapi dia tidak ingin tidur karena ingin menikmati lebih lama rasa nyaman ketika jari-jari Jaehyun mengelus lengannya.
"Apa kau benar-benar tidak berkencan dengan siapa pun selama kuliah?" Jaehyun tiba-tiba bertanya setelah cukup lama mereka hanya diam dalam posisi itu.
Tanpa pikir panjang Doyoung menganguk. "Hm hm."
"Boleh kutanya kenapa?" tanya Jaehyun. Dia segera menambahkan, "Maksudku kalau kau tidak keberatan tentu saja."
Doyoung terkekeh. Dia membuka mata dan memandang Jaehyun. Sudah sangat lama mereka tidak sedekat ini tapi Doyoung masih merasa sangat familiar dengan sirkumtansi ini dan dia masih sangat jatuh cinta. "Karena aku sudah merasa cukup."
"Cukup?"
"Yap. Aku tidak mau lagi mengulanginya. Mengenal seseorang, menjadi dekat, menceritakan semua rahasiaku dengannya, membawanya masuk ke rumahku, ke bawah selimutku, membuatnya mendengar lagu-lagu kesukaanku, buku apa yang kubaca, kencan seperti apa yang menurutku menyenangkan. Aku lelah mengulangnya. Apalagi dengan kesibukan kuliah yang seperti ini, kurasa aku tidak punya energi untuk melakukan itu lagi."
"Apa itu berarti kau mau sendiri seumur hidup?"
Doyoung terkekeh. "Tidak selama itu juga. Mungkin suatu hari nanti, tapi untuk sekarang aku tidak mau bertemu orang baru."
Jaehyun menatap binar mata Doyoung di remang cahaya pagi yang mengintip masuk dari celah gorden. Dan sesuatu dalam pandangan mata itu membuat keberanian Jaehyun menyeruak tiba-tiba entah dari mana. "Kalau ada seseorang yang mencintaimu, dan kau tidak perlu mengulang itu semua untuk bersamanya, apa mungkin kau akan bersedia membuka hati?"
"Maksudmu seseorang yang sudah tahu musik apa yang kusukai kalau kami tersesat tengah malam di jalan yang tidak kami kenal?"
Jaehyun mengeuk ludahnya gugup. Tidak menyangka Doyoung akan secepat itu menangkap tujuan kalimatnya. "Ya."
"Apa kau tahu?" Doyoung berkata dengan suara pelan. Dia menjalankan jarinya untuk merapikan poni Jaehyun. "Musik yang kusukai?"
"Aku masih punya playlist lengkap lagu yang sering kau pasang."
"Apa karena kita selalu bertemu akhir-akhir ini, kau jadi kembali jatuh cinta denganku?"
Pertanyaan Doyoung itu disambut tawa Jaehyun. Pertanyaan konyol, pikirnya. "Kau mengatakannya seolah aku pernah berhenti."
"Jadi kau masih selalu mencintaiku?"
"Tentu saja."
.
.
Akhir 2014-Awal 2015
Saat Doyoung memutuskan Jaehyun, dia menangis, jauh lebih banyak dari yang pernah diingatnya dilakukannya seumur hidup. Terkadang dia akan merasakan dorongan aneh untuk menelepon Jaehyun menggunakan nomor barunya dan memberitahunya bahwa Doyoung rindu. Di saat yang lain dia menganggap ide itu konyol. Salju yang sangat dingin mengikuti patah hatinya itu, membuat hatinya menjadi semakin beku. Tahun bergulir dengan cepat, lalu datang tahun baru dan dia tidak menghabiskannya dengan mencium Jaehyun seperti yang direncanakannya tahun sebelumnya.
Jalanan masih sedikit basah saat datang bulan Februari dan tiba-tiba saja Doyoung sudah sembilan belas tahun. Menangis di kamarnya karena stres menjelang ujian juga karena kesepian. Pada satu momen kelemahan beberapa jam sebelum ulang tahunnya berakhir, Doyoung memandang bayangannya di cermin. Menginspeksi setiap jengkal fiturnya, mata coklatnya, rambut hitamnya, tubuh kurusnya, dia berhenti sangat lama memandangi ukiran JH berbentuk naga yang menantang sombong di rusuknya.
Doyoung memikirkan seberapa banyak emosi yang dia habiskan sia-sia untuk satu anak laki-laki. Dan dia merasa konyol. Karena tidak peduli seberapa besar rasa cintanya untuk Jaehyun, dia seharusnya hidup dengan kaki berpijak pada tanah bukan kepala melayang di atas awan.
Sejak saat itulah Doyoung menjadi dingin.
.
.
Tapi kala dia melihat ke dalam mata coklat Jaehyun, sementara kaki mereka saling mengait dan nafas begitu dekat, seluruh dinding es yang mengungkung dadanya sekejap runtuh. Hatinya kembali menjadi hangat.
Jaehyun mengamati detail tekstur iris Doyoung. Doyoung mencoba menghitung jumlah bulu mata Jaehyun. Beberapa detik mereka habiskan dalam hening hanya memandang satu sama lain. Lalu tidak tahu siapa yang bergerak duluan, mereka bisa merasakan nafas satu sama lain di atas kulitnya. Mungkin hanya ada tiga sentimeter pemisah bibir mereka, dan Doyoung segera mengeliminasinya menjadi nol. Hanya ciuman singkat, Doyoung segera menarik wajahnya menjauh dan berbisik, "Jaehyun."
Nama Jaehyun masih terasa seperti alkohol basi dan seluruh kenangan yang tidak mau meninggalkan Doyoung sendiri. "Kalau kita mengulang Nevada di California, apa kali ini kita akan baik-baik saja?"
"Kita tidak akan pernah tahu kalau tidak mencoba."
Dan mungkin, Doyoung terlalu penasaran sehingga dia bersedia mencoba. Atau mungkin dia hanya masih terlalu mencintai Jaehyun. Mungkin tidak ada salahnya hidup dengan kepala di atas awan selama dia tidak sendiri. Kali ini, dia berharap hubungan mereka tetap bertahan selamanya.
"Ayo kita pacaran lagi."
—fin—
:)
16k+ hehe^^ Do i regret it? Wkwkwkwkwk maybe yes maybe no. Aku ngerjain ini lebih dari dua minggu, ff oneshot palng panjang dan paling lama yg pernah kubuat^^ Mungkin ceritanya gak bagus2 amat dan gak jelas but still, don't let me down yeah ;)
Excuse me for the 97line, Seventeen and Meanie cameo HAHAHAHA i'm a meanie trash now tbh ;-;
criticis are good and welcomed but talk politely and nicely, it doesn't hurt to be nice to stranger on internet ;)
semoga kalian suka. /bisik pelan/ I love Jaedo and their shippers wkwkwk
