Hinata menebak seseorang disamping Naruto. Banyak cowok yang memiliki rambut hitam. Gadis itu hanya berharap orang tersebut tidak memiliki mata hitam. Setidaknya bukan mata hitam yang itu.
Si cowok menoleh kearah Naruto saat Naruto mengambil kertas yang sedang ditulisnya untuk disalin ulang. Tulisan Orochimaru-sensei sedikit antik memang, apalagi untuk dibaca oleh murid sekaliber Naruto. Hanya dokter yang mengerti ia menulis apa, Hinata menebak.
Gadis itu terkesiap. Tidak mungkin.
Kenapa harus cowok Uchiha itu?
NarutoFanfiction
Disclaimer : Masashi Kishimoto.
Genre : Friendship / Romance / little bit Supernatural.
Rate : K-T
Warning : OoC, AU, Typo(s), minim deskripsi, klise, EyD mungkin tidak baku, alur flashback, slice-of-life, dll..
.
Cast :
Hinata Hyuuga
Sasuke Uchiha
.
Moegi
Gaara Sabaku
Kiba Inuzuka
.
Sai, Sasori, Hanabi, Ino, Konohamaru, Orochimaru, Udon
.
Enjoy :3
.
.
.
Sense ch. 3 by la loony
.
.
.
Sejujurnya Hinata sedikit berharap yang berada di samping Naruto itu Sai Himura, cowok murah senyum yang ramah dan suka menyapanya. Dan Hinata suka menatapnya. Sai memiliki aura terang, namun tidak menyilaukan seperti Naruto. Namun Hinata lebih suka menatapnya saat Sai sedang berdekatan dengan Ino Yamanaka. Menurutnya, Sai lebih bersinar saat berdekatan dengan gadis itu. Aura cinta memang hebat.
Ia jadi teringat Sasori. Apa kabarnya ya, si cowok berambut merah itu.
Sasuke Uchiha mengusap tengkuknya kasar. Lalu melepas kacamatanya, dan memijit pelan sekitar alisnya. Seingat Hinata dulu ia suka memakai seragam gakuran untuk menutupi bagian belakang lehernya, terkadang dengan kain yang dililitkan asal, terutama saat cuaca mendadak dingin. Mungkin ia punya tatto di pundak yang ia rasa lebih baik disembunyikan dari khalayak banyak.
Namun sekarang tengkuknya sedikit terlihat. Entah disengaja atau tidak. Dan kacamata itu juga, Hinata baru menyadari cowok Uchiha itu memakai kacamata . Matanya mungkin lebih baik sedikit tertutupi dengan lensa kaca. Mengurangi kemisteriusannya.
Such a hottie guy.
Hinata berdesir, ia menggelengkan kepala kuat-kuat. Sadar ia menjadi perhatian Sensei Orochimaru. Ia kembali memegang bolpoinnya dan mencatat beberapa hal yang perlu.
Namun perhatiannya masih terbagi, tepat di depan Sasuke. Si cowok bermata hijau duduk dengan antusias memperhatikan Orochimaru-sensei. Rambut merah menyalanya yang mengingatkan tentang Sasori jugalah yang membuatnya cepat menyadari kehadiran cowok itu.
Hinata menggenggam bolpoinnya kuat-kuat. Lalu menghembuskan nafas perlahan lewat mulut. Mulutnya membentuk huruf 'O' kecil. Menulis kata 'Tenang' berukuran kecil berulang kali di kertas catatannya.
Naruto yang merasakan hembusan nafasnya yang meskipun pelan di punggungnya, menoleh pada Hinata.
"Kau meniup punggungku?" alisnya mengerut.
Mulut Hinata masih membentuk salah satu huruf vokal, ia menggeleng pelan. Sasuke melirik melalui ekor matanya. Hinata memperbaiki posisinya. Kepala Orochimaru-sensei hampir berbalik memberi perhatiannya.
"Mungkin hanya perasaanmu. Sensei memperhatikanmu tuh."
Naruto merinding dan menoleh cepat ke papan tulis. Sasuke kembali menulis. Dan Orochimaru-sensei tidak menyadari mereka.
Hampir saja.
Hinata lega. Ia tak mau terkena detensi saat Moegi tidak memiliki jadwal kelas yang sama dengannya.
Segaris senyum terukir di wajah. Disana.
.
.
.
01 Januari 2010
Gadis itu merapikan yukatanya yang sedikit melorot, dan memperbaiki kaitan pita yang diikat di tangannya, ibunya berkata itu mempermanis tampilannya. Berwarna kuning cerah, sesuai auranya. Lucu. Pikirnya.
Ia membuka dompet kecil berwarna biru gelap dan mengambil koin 5 yen lalu melemparkannya. Gadis itu menepuk tangannya dua kali dan berdoa. Doanya sederhana. Ia hanya ingin tenang tanpa khawatir memiliki perasaan bahwa ada orang lain yang memperhatikannya.
Kalau bisa termasuk makhluk-makhluk dan bayangan-bayangan yang sempat mengikutinya saat ia keluar dari rumah tadi pagi juga. Dan sosok yang tepat berada di depan kuil tempatnya berdoa. Dan yang didekat miko juga. Anak yang memegang permen dango berdebu juga.
Hinata sungguh berharap.
Ia melemparkan koinnya lagi. Berharap doanya lebih cepat dikabulkan.
...
Dari jauh, seseorang sedang mengikat kertas putih pada ranting pohon yang tidak memiliki daun. Ia menoleh pada Hinata yang masih berdoa dan tersenyum.
Memperbaiki posisi topi rajutnya. Dan kemudian pergi.
Hinata tersentak dari doanya, dan melihat sesosok dengan topi rajut abu-abu mengantongi tangannya dari balik jaket longgar berjalan menjauh. Bergabung dengan kerumunan lainnya.
Gadis itu bersyukur. Mungkin ia hanya salah merasakan.
Doanya berhasil. Ia melemparkan koin 5 yen lagi.
Dan mengatupkan tangannya.
.
.
.
11 Januari 2011
Hinata kehilangan perhatiannya sebentar, melongo. Matanya menatap lurus pada laci mejanya. Ia mengangkat kepalanya kembali setelah tadi melihat apa yang berada di laci mejanya.
"Kau tidak bilang membawa coklat."
Moegi yang datang dari arah belakang Hinata menarik dua buah bungkusan coklat yang kemasannya bergambar kacang dari dalam lacinya.
"Aku boleh minta satu?" ia melanjutkan perkataannya saat Moegi tidak menjawabnya.
"Ambil saja. Semuanya kalau kau mau." Wajah Hinata masih melongo.
"Kau serius? Kau tahu sekali aku suka coklat kacang."
Moegi mengambilnya dan pergi meninggalkannya, lalu keluar kelas.
Masalahnya, Hinata tidak suka kacang. Apalagi kacang mete.
Ia merebahkan kepalanya pada meja keras, sedikit menyamankan posisi. Memegang perutnya yang mulai bergetar. Ia butuh makanan. Sekarang.
"Aku berharap isinya kismis."
...
Saat membalikkan kepala ke sisi sebaliknya, ia melihat sekotak yoghurt diatas mejanya. Kotaknya berembun, mejanya juga. Itu berarti yoghurt-nya masih dingin.
Hinata bergidik. Ia tak berani menebak.
Apalagi melihat bayangan putih yang tiba-tiba menembus melewati tubuh teman didepannya yang sedang berbincang. Dan bayangan itu tahu Hinata bisa melihatnya. Ia keluar, menyusul Moegi. Tidak menghiraukan sekotak yoghurt diatas mejanya.
Seseorang muncul dan mengambil yoghurt tersebut.
Meminumnya, dan bergumam.
"Ada apa dengannya?"
.
.
.
20 Februari 2007
Hinata duduk sambil membaca buku sastra lama didalam perpustakaan. Moegi bersandar di samping kursinya tepat disebelahnya, menutupi wajahnya dengan buku. Ia tertidur. Dan Hinata membaca sendirian.
Gadis itu mengelus perutnya. Ia lapar. Namun lupa membawa bekal sehingga disinilah ia berakhir. Moegi beruntung karena ia sempat menyantap onigiri yang ia beli di kantin sekolah. Sekarang pasti onigiri-nya sudah habis. Dan Hinata terpaksa menahan lapar sampai lebih kurang 3 jam lagi.
Gadis itu berdiri dari kursinya, dan mencari buku lain yang bisa ia baca. Ia mengambil begitu banyak buku sampai lupa bagaimana caranya untuk membawanya ke meja. Gadis itu menarik troli yang biasa digunakan untuk membawa buku oleh pengurus perpustakaan. Dan meletakkan buku-buku yang dipilihnya di tumpukan paling atas. Menariknya menuju meja Moegi.
Suara berdebum cukup keras terdengar dari meja saat ia mulai meletakkan tumpukan buku-buku pilihannya tadi. Untungnya, disekitar mereka tidak ada orang. Sedikit menepuk roknya, Ia menghela napas pelan dan kembali duduk.
Ada sesuatu yang asing.
Sekotak susu berada tepat disamping bukunya, berada diantaranya dan Moegi.
Kotaknya berembun, susu itu mungkin baru diambil dari mesin pendingin. Tangan Moegi sedikit menjauh saat tidak sengaja menyentuhnya. Lalu ia bangun.
"Hinata-chan? Kau baik sekali membelikanku susu."
Moegi mengambilnya dan meminumnya. Hinata tidak menjawab.
Sampai beberapa saat kemudian, ia melihat sebuah bayangan yang melesat dibalik lemari buku tempat Moegi tidur. Bayangan tersebut menghampinya. Berseragam sailor seperti mereka, hanya saja ia melayang, tidak menginjak tanah.
Bayangan tersebut tersenyum. Ia melihat Moegi.
Hinata panik. Ia mendorong paksa susu tersebut hingga terjatuh dan isinya berceceran.
Moegi melotot. Ia tidak terima. Seragamnya sedikit terkena percikan susu.
Bau.
Dan susu kotak yang terlempar tadi tiba-tiba mengeluarkan cairan kental hijau berbau yang mengalir dari robekan-robekan di sisi kotak tersebut. Robekan itu mungkin sudah lama. Susu itu mungkin juga sudah lama. Bentuknya menjijikkan. Warnanya kusam. Berlendir, dan baunya membuat mereka ingin muntah.
Moegi meludah saat ia berada di toilet wanita. Gadis itu menangis. Hinata tidak tega dan mengelus pundaknya. Menyuruhnya untuk memuntahkannya lagi.
Hinata bersyukur bukan ia yang meminumnya. Namun juga tidak senang karena Moegi yang meminumnya.
Belakangan Hinata tahu, ada seorang siswa yang pernah kecelakaan tertimpa lemari buku saat ia ingin mengambil buku yang paling tinggi. Ia mengalami gegar otak parah. Kecelakaan itu terlambat disadari dan ia kemudian meninggal. Disebelah tubuhnya ada sekotak susu yang isinya tumpah dan hampir mengering disekitar mayatnya.
Ia sering bertemu yang berwujud lebih buruk. Namun baru kali ini ia menjadi korban. Tepatnya teman baiknya.
...
Dikelas Hinata membagi dua coklat kismis yang dibelinya di kantin yang kebetulan masih buka. Memberikan separuhnya pada Moegi yang masih trauma. Dan menggigitnya perlahan dengan ditemani Moegi yang masih terisak pelan.
.
.
.
12 Februari 2011
Hinata melihatnya. Di toko kue seberang jalan.
Dia si cowok Uchiha. Menenteng beberapa kantong belanjaan. Dan cewek yang kalau ia tidak salah ingat adalah pacarnya si mata hijau, cewek manis dengan rambut karamel sebahu, yang dihias pita merah muda menyerupai bandana. Tingginya hanya sebatas dada Sasuke, artinya tak lebih dari batas telinganya.
Mereka berjalan santai melewati rak-rak di toko itu. Sesekali berbincang yang ia asumsikan sebagai obrolan memilih bahan.
Hinata tidak berani mengambil kesimpulan mendadak. Moegi menepuk pundaknya.
"Aku sudah memilih coklatnya. Nanti kita ke toko kue diseberang jalan. Aku butuh fondan, agar bentuknya lebih cantik. Kuharap Udon-kun akan suka."
Gadis itu berseri. Ia menuju ke kasir toko tersebut. Hinata mengangkat alis. Ia tak tahu jika coklat Valentine membutuhkan fondan. Jika menggunakan coklat putih ia pernah membuatnya. Atau mungkin selera Moegi yang sedikit luar biasa. Mungkin ia ingin menambahkan cake lembut dalam kotak coklat istimewa miliknya nantinya.
"Hinata-chan, kau boleh kesana duluan." Ia berkata pada Hinata.
Moegi masih sibuk mengangkat barang belanjaannya. Hinata melihat ke toko kue yang dimaksud.
Disana. Uchiha Sasuke menatapnya. Tanpa ekspresi. Dan cewek berambut karamel yang entah sedang berada dimana.
Hinata merasa mual tiba-tiba. Ia berbalik dan menyusul Moegi.
Dan Sasuke mengikuti gerak Hinata melalui matanya.
"Moegi-chan, kurasa Kitagawa-san akan lebih terkesan jika fondannya kau buat sendiri."
"Kau gila ya? Aku tidak punya bahannya."
"Aku bisa mengajarimu." Dan ia tidak perlu ke toko kue tempat si cowok Uchiha itu berada.
Moegi berpikir sebentar.
"Semuanya 490 yen." Suara si kasir menyela.
Moegi mengambil lima lembaran uang 100 yen dari dompetnya, dan menyerahkannya pada si kasir. Mengambil kembalian. Dan menatap Hinata.
"Jadi, apa yang kita butuhkan."
"Gula. Pewarna. Dan waktu." Hinata menjawab cepat. Ia beruntung karena pernah mencoba resep yang tidak sengaja didapatkannya dari buku di perpustakaan.
.
.
.
14 Februari 2011
Hinata berguling tidak nyaman diatas tempat tidurnya.
Tubuhnya demam. Ia menyesap ocha yang harusnya masih hangat beberapa saat lalu. Lidahnya pahit dan ia tidak memiliki persediaan jus, susu, ataupun coklat bubuk.
Orang tuanya berangkat kerja. Kakaknya mengambil kuliah di luar kota, dan adiknya tentu tak akan melewatkan coklat gratis yang bisa didapatkannya di sekolah. Hanabi memang populer. Beberapa teman cowok Hanabi dulu pernah mendatangi rumahnya untuk meminta saran padanya. Saat Hinata berkata untuk menanyakannya sendiri. Salah satu dari mereka mengatakan bahwa Hanabi itu terkenal tsundere, dan dia tidak segan-segan membanting teman sekelasnya jika ia tidak menyukainya.
Hinata tidak terlalu mengerti. Karena menurutnya Hanabi hanya anak remaja manis yang sekarang masih bertingkah manja dirumah. Apalagi padanya.
Hinata mengulum senyum tertahan, bahkan anak tersebut masih terlihat imut saat mengenakan kacamata dan syal yang melingkar di lehernya. Komaru, Komachi, Komachan, Kohaikun, entahlah Hinata lupa siapa namanya. Lalu gadis itu hanya memberi saran agar anak cowok tersebut langsung mendekati saja. Karena Hanabi tidak suka hal yang bertele-tele.
Beberapa waktu setelahnya, Hinata mendapati Hanabi malu-malu mengajak seorang cowok ke rumah dan memperkenalkannya sebagai teman dekatnya.
Hinata terkikik geli. Ia mengisyaratkan tanda sukses pada si anak cowok yang kemarin meminta saran padanya dengan jarinya. Anak cowok tersebut menundukkan kepalanya. Ikut malu.
Hebatnya. Hubungan mereka yang Hinata kira hanya bertahan sebentar karena usia mereka yang juga masih SMP, ternyata masih bertahan sampai sekarang. Walaupun mereka masih menyebutnya sebagai teman dekat. Tentunya bukan seperti pertemanannya dengan Kiba. Hanabi dan temannya benar-benar dalam artian 'dekat'.
.
.
.
15 Februari 2011
Hinata bergidik saat ia berjalan di koridor sekolah. Ia tahu ada seseorang yang mengikutinya.
Sepertinya makhluk nyata. Memiliki raga. Dan menapak di tanah.
Hinata bisa mendengar langkah sepatunya.
Ia mempercepat langkahnya. Si penguntit juga mempercepat.
'Jangan menoleh.' Hinata memerintah dirinya sendiri.
Gadis itu berbalik menuju toilet wanita. Jika orang tersebut laki-laki, ia tak akan mengikutinya. Lingkungan sekolah tidak seberbahaya gang kecil di sekitar rumah tua berhantu, tempat ia mengambil jalur tikus tercepat kesukaannya.
Jika bukan, akan ia pikirkan lagi caranya nanti.
...
Moegi menyentuh pundaknya dari belakang saat Hinata melepas tas ransel berwarna coklat muda miliknya dan menaruhnya di atas meja.
"Kau sudah baikan?"
"Begitulah."
"Kau tahu, Hinata? Udon menyukai kuenya. Dia bilang fondannya lucu. Mungkin aku akan membuatkannya lagi nanti." Moegi mengulum senyum. Wajahnya sedikit memerah.
Alis Hinata berkerut, "Coklatnya?"
"Lupakan saja. Aku tidak sengaja menggosongkannya kemarin. Ah, 500 yenku yang sia-sia."
Hinata memutar mata. "490 yen."
"Biaya les fondan kemarin 1.000 yen per jam. Karena aku membantumu sampai 5 jam. Kau cukup membayarku 7.000 yen."
"Jahatnya. Kau menambah bunga 2.000 yen pada temanmu ini?"
Hinata tersenyum jahil.
"Cukup traktir aku di Yakiniku Q nanti."
"Apa ramen Ichiraku tidak cukup?" Senyum Moegi memudar.
"Kubelikan kau porsi jumbo." Tawarnya lagi.
"Sebenarnya aku ingin makan sesuatu yang dipanggang. Tapi porsi jumbo cukup menarik."
"Baiklah. Aku ke kelas Udon-kun dulu ya."
Hinata tersenyum dan melambaikan tangannya saat Moegi menjauh.
"Sendirian?"
Hinata tersentak. Cowok Uchiha menarik kursi yang berada di sampingnya. Itu Sasuke. Ia membawa dua kotak yoghurt berbeda rasa di tangannya. Satu Plain, dan satu lagi rasa Strawberry.
Strawberry?
"Tidak asing dengan ini, Hyuuga-san?" Ia menyadari mata Hinata yang menatap yoghurt tersebut.
Hinata tidak menjawab.
"Kau pasti mencurigaiku dengan Matsuri waktu itu." Cowok itu mengambil sekotak yoghurt plain dan meminumnya, kotak yoghurt satunya ia dorong kearah Hinata. Hinata bingung.
"Ikeda Matsuri dari kelas E. Aku hanya membantunya untuk memberi kejutan valentine pada Gaara. Kau mengenalnya, kan?"
Tidak.
Bukan itu yang Hinata ingin tahu.
"Kau masih berpikiran buruk padaku?" cowok itu menaikkan salah satu sudut bibirnya. Grinned. Hinata merasa pipinya menghangat.
Lalu, cowok itu berdiri. Dan merendahkan tubuhnya kearah Hinata.
Dia berkata dengan suara yang cukup untuk didengar.
"Wajahmu jadi lebih mirip buah kesukaanku."
Dan cowok itu pergi. Hinata memegangi pipinya.
"Aku butuh es." Ia meraih sekotak yoghurt yang didorong Sasuke padanya, dan menempelkannya ke pipinya berulang kali.
Ia suka sensasi dingin kotak tersebut.
Dan senyum Sasuke yang hangat.
"Oh, Tidak. Aku demam lagi."
Gadis itu menunduk, menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangannya.
Sejak saat itu, justru Hinata yang selalu memalingkan muka. Tidak berani bertatap mata terlalu lama dengan si cowok Uchiha.
.
.
.
23 Maret 2011
Hinata lelah. Ia memutari mall ini hampir tiga jam. Sedangkan Naruto masih mondar-mandir tak tentu arah.
"Naruto-kun, aku menunggu disini saja."
"Tolonglah, Hinata-chan. Aku ingin memberikan kejutan yang benar-benar tidak dilupakan oleh Sakura-chan di ulang tahunnya yang ke 17 ini." Mata Naruto memelas. Mirip seperti Akamaru.
Hinata jadi tidak tega.
"Sekali ini saja ya. Kakiku rasanya mau patah."
Mata Naruto cerah kembali. Mereka berkeliling ke toko-toko aksesoris wanita. Menurut penjelasan Naruto, Sakura menyukai benda-benda dengan ukuran yang mini. Hinata ingin menyarankan agar Naruto membelikan kalung pasangan. Namun tidak jadi, karena ia merasa hadiah itu terlalu pasaran.
"Naruto-kun?"
"Ya?"
"Haruno-san suka mengoleksi aksesoris rambut kan?"
"Ngg.. Mungkin."
"Kau buat bandana sendiri saja. Dan bentuk beberapa motif bunga sakura agar lebih indah."
Naruto ingin protes.
"Ssst. Aku tahu harga dirimu mungkin terluka. Tapi kurasa Haruno-san lebih berkesan jika kau memberikannya dari hasil jerih payahmu. Aku akan mengajarimu."
Sama seperti saat ia mengajari Moegi.
"Hanya itu?"
"Kau mungkin bisa menambahkan hadiah kalung cantik untuknya."
Senyum Naruto mengembang. "Kalau begitu kita cari bahannya dulu."
Hinata berusaha berdiri. Matanya tidak sengaja melihat sesosok cowok di seberang sana.
Bermata hijau. Berambut merah menyala. Gaara-san ya?
Kali ini tanpa senyum di wajahnya, Hinata bergidik. Namun ia membalas tatapan sengit Gaara. Dan sedikit tambahan senyum miring. Cowok itu melempar begitu saja kaleng minuman yang dipegangnya ke tempat sampah.
Hinata merasa menang. Ia menyusul Naruto.
...
"Kau berjalan seperti orang kesetanan. Pacarmu menunggu di meja."
"Jangan menggangguku."
Sasuke mengerutkan alis, "Terserah."
Cowok itu menutup keran air dan berjalan keluar.
"Matsuri sedang mengobrol dengan temannya. Aku mau mengurus urusanku sekarang."
Sasuke berkata didekat pintu toilet pria tanpa menoleh. Gaara menggeram saat dirasanya Sasuke mulai menjauh.
...
Hinata mengutuk dalam hati. Seharusnya ia menerima tawaran dari Naruto untuk mengantarnya pulang.
Sebuah motor berhenti tepat di depannya. Si pengendara berjaket kulit hitam membuka sedikit kaca helmnya. Itu Kiba, teman baiknya. Sayangnya mereka berbeda sekolah.
"Kiba-kun?"
"Yo, Hinata-chan. Mau pulang?"
Hinata hampir berteriak girang kalau tidak mengingat ia sedang berada dimana. Gadis itu mengucapkan terima kasih dalam hati berulang kali. Kiba menyodorkan helm padanya, Hinata memakainya dan naik. Motor itu melesat dengat kecepatan rata-rata. Kiba tak pernah berkendara ugal-ugalan. Dan Hinata senang ia tidak perlu khawatir akan menabrak di sepanjang jalan.
...
Dia disana. Dalam jarak pandang yang bisa melihat jelas Hinata tadi.
Rahangnya mengeras. Matanya tidak terbaca. Namun ia tidak melakukan apa-apa.
Tak bisa melakukan apa-apa.
Sosok itu berbalik. Dan kemudian pergi.
.
.
.
to be continue…
.
.
.
Kitagawa dan Ikeda itu surname yang kuambil di internet. Sekedar ngepasin sama nama mereka.
2,5k words lebih angka lima puluh tujuh tanpa openingcredit-curcolblabla. Udah rada panjangan dikit ya. Haha
Nanggung kalo nge-cut bagian ini jadi 2 chapter.
Gomen.
Karena aku banyak nyomot nama doang tanpa dialog. Gak tega juga sebenernya buat mereka jadi figuran. Tapi ya mau gimana lagi, porsi mereka memang segitu. Mungkin lain kali bakal kubanyakin porsi mereka. Terus udah kutulis juga nama mereka di credit cast :P
Terakhir kali kubaca, dua typos udah kuperbaikin, yakali aja masih ada tegur aja saya xD
Sebenernya, aku punya nama di masing-masing cerita kayak nama chapter, cuma bukan di chapter, tapi di tanggal. Mangkanya gak ada yang kumasukin jadi subjudul buat chapter, atau emang bagusnya masukin aja ya? Haha.
Sekalipun gak pernah kujelasin dari awal dan ga ada pula yang kebetulan nanya, aku punya alasan tersendiri mengenai tokoh-tokoh yang aku pilih. Kayak misalnya kenapa justru Moegi yang jadi teman Hinata, bukan Sakura, Tenten, atau Ino. Ataupun trio Sasuke-Gaara-Naruto. Udah segitu dulu aja.
Tengkyu buat yang udah review, fave, dan follow. Aaand, BalasReview udah di pm yaaw :3
Review lagi ya :D
Jaa mata ne,
la loony
