Naruto selamanya milik bapak Masashi Kishimoto.
... Happy Reading ...
.
.
Berisik.
Dan penuh tawa.
Begitulah keadaan ruangan kelas ketika makhluk berambut kuning cerah ada di dalamnya. Naruto Uzumaki, kapten sepak bola, yang baru saja membawa klub sekolah kami memenangkan pertandingan antar sekolah yang cukup bergengsi.
Siapa yang tidak mengenalnya? Murid dari luar sekolah kami bahkan mengenalnya. Dia memang cukup terkenal. Bukan hanya karena wajahnya yang dikategorikan tampan dan prestasinya di bidang sepak bola, tapi juga karena keramahannya. Dia mudah bergaul dengan siapa saja. Tidak hanya dengan orang yang berjenis kelamin sama dengannya. Siswi-siswi sekolah kami bahkan dengan suka rela mendekatkan diri, dan Naruto tidak terusik ataupun merasa keberatan sama sekali. Dia tetap menanggapi mereka dengan cengiran khasnya. Senyum cerah yang semakin membuat para murid perempuan makin terpesona.
Termasuk aku.
Aku yang juga sudah jatuh hati padanya sejak tahun pertama. Awalnya kupikir, aku hanya mengaguminya—atau mungkin awalnya, aku memang hanya kagum karena kebaikan dan keramahannya—tapi berikutnya aku sadar, aku benar-benar jatuh cinta padanya. Dan kuyakin, perasaan ini tidak main-main.
Tapi berbeda dengan siswi kebanyakan. Aku tidak berusaha lebih untuk mendekatinya. Bukannya sok mau jual mahal. Aku memang tidak bisa melakukannya karena aku tidak memiliki keberanian dan kepercayaan diri yang besar seperti yang lain.
Bagiku, menyukainya secara diam-diam saja sudah cukup. Walau tidak dipungkiri, kadang aku juga mengharap lebih. Berharap Naruto memiliki rasa yang sama, tapi sepertinya itu mustahil. Kami memang saling mengenal—karena pada tahun pertama dan kedua kami berada di kelas yang sama—tapi hanya sebatas itu saja. Selama itu tidak pernah sekalipun kami berada di kelompok yang sama, atau terlibat perbincangan dalam durasi yang cukup lama pula.
Bersyukur saja dia tidak lupa padaku.
Sakura bilang kalau aku ini cukup pendiam seperti Sasuke Uchiha, kekasih Sakura, yang juga merupakan sahabat baik Naruto. Dan mungkin karena itulah Naruto sering datang ke kelasku sebelum jam pelajaran di mulai dan setiap bel pulang berbunyi. Lalu pada jam istirahat seperti sekarang, atau kalau guru yang mengajar di kelas kami kebetulan sedang tidak ada (walau itu jarang sekali terjadi).
Seakan-akan Naruto tidak bisa berpisah dari Sasuke.
Beruntungnya Sasuke sudah memiliki kekasih, jadi mereka berdua terselamatkan dari gosip-gosip miring perihal hubungan keduanya. Tapi, berhubung satu kandidat siswa keren, tampan, dan juga pintar sudah mendapatkan pasangan. Para murid perempuan yang dulu begitu menggilai Sasuke kini berpindah haluan menggilai sang Kapten sepak bola. Ah, sepertinya aku harus meralat kata beruntung tadi.
Tapi mau bagaimanapun keadaannya tidak akan memberi efek apapun padaku. Maksudnya, pada status hubunganku dengan Naruto. Aku hanyalah mantan teman sekelasnya yang juga merangkap sebagai pengagum rahasianya. Diam-diam memerhatikannya. Diam-diam memberinya semangat. Diam-diam ikut berbahagia untuknya. Dan ikut tersenyum setiap melihat senyumnya.
Rasanya begitu saja sudah cukup menyenangkan. Walau kadang hatiku suka berkhianat tentang batasan cukup tadi.
Tiba-tiba pintu ruang kelasku terbuka dan rasanya aku ingin melompat keluar jendela begitu tahu siapa yang membuka pintu itu. Tanganku yang sedang menghapus papan tulis seketika tertahan dalam beberapa detik. Beberapa detik yang kami habiskan dengan saling bertatapan. Aku tahu, Naruto memiliki mata yang sangat indah dan aku selalu terpesona melihatnya.
Mata yang berwarna biru bagai langit itu selalu berhasil membuat jantungku berdebar hebat.
Rasa-rasanya aku ingin menangis saja sekarang, sebab aku bingung harus bersikap bagaimana selanjutnya. Untungnya aku tidak benar-benar menuruti keinginanku untuk menangis. Aku hanya tersenyum tipis, senyum yang wajar, kemudian melanjutkan kegiatanku. Semakin lama bertatapan dengannya membuat kondisi jantungku tidak sehat. Dan semoga saja yang aku keluarkan tadi benar-benar sebuah senyuman, bukan sejenis ekspresi aneh yang membuat wajahku jadi terlihat buruk.
Aku mendengarnya masuk lalu duduk di salah satu bangku. Aku tidak bisa memastikan lokasi tepatnya. Menurutku dia duduk di barisan depan, mungkin tepat di belakangku. Entahlah. Di mana pun dia duduk tetap saja aku merasa gemetaran.
"Kau sendirian?" tanyanya tiba-tiba. Mengagetkanku. Namun begitu aku tidak menoleh ke arahnya.
"Tadi Sakura ada keperluan, jadi Sasuke pulang duluan," jawabku pelan, yang kemudian menelan ludah. Ternyata menjawab pertanyaan Naruto lebih menyeramkan daripada menjawab pertanyaan guru.
Aku mendengarnya bergumam. Hanya itu. Tidak ada bunyi derit kursi yang ditinggalkan. Kupikir setelah tahu Sasuke tidak ada di sini, Naruto memilih pergi. Tanpa perlu bertanya pun aku tahu tujuan dia ke sini. Tidak lain, tidak bukan adalah Sasuke, yang kebetulan adalah satu rekan piketku.
Tanpa sadar aku menghela, walau sebisa mungkin untuk tidak terdengar olehnya. Jantung ini tidak mau bekerja sama. Dan sekarang aku berkeringat hebat, efek dari rasa grogi. Tapi aku berusaha bersikap biasa. Berusaha mengabaikannya dan terfokus pada tugas membersihkan dua papan tulis berukuran lebar dan juga cukup tinggi. Tinggi!
Ugh!
Bagian atasnya tidak bisa kuraih, bahkan dengan berjinjit pun sebagian tulisan tidak terhapus juga. Tinta hitam itu seolah mengejek tinggi badanku. Jika saja tidak ada Naruto di sini, aku pasti sudah menghapusnya dengan menggunakan salah satu bangku.
Matilah aku!
Baru kutahu sekarang kalau pernyataan Sakura waktu itu salah. Aku bukan seperti Sasuke, kekasihnya yang pendiam dan irit kata. Lebih tepatnya aku adalah seorang pemalu. Terlebih dengan orang yang kusukai. Saking malunya aku sampai tidak berani menatapnya. Tidak berani menunjukkan diri. Rasanya aku ingin menghilang.
Dan sekarang rasa maluku meningkat pesat sampai ke pucak tertinggi karena Naruto pasti melihatku yang pendek ini sedang kesulitan. Pikiranku ikut membantu dengan memberi pengandaian kalau Naruto pasti berpikir aku ini perempuan yang pendek akal. Padahal aku tidak berani berbalik dan mengambil salah satu bangku. Bisa-bisa kami bertemu pandang lagi. Dan jantungku … aku takut jantungku meledak karenanya.
Keringatku jadi bertambah dua kali lipat. Aku mengembuskan napasku pelan-pelan. Mungkin aku harus melompat supaya bisa meraih bagian atasnya. Namun ide itu harus pupus pada percobaan pertama. Lompatanku hanya berhasil menambah tinggiku beberapa senti. Aku baru ingat kalau aku tidak pandai dalam bidang olahraga.
Ughh!
"Apa sebegitu susahnya bilang tolong?" Naruto merebut penghapus dari tanganku, sedang aku hanya bisa membeku karena sekarang dia berdiri tepat di belakangku. Tanpa kesulitan yang berarti sisa-sisa tulisan yang berada di atas dengan mudah terhapus.
Susah payah aku menelan ludah, mendapati garis rahang Naruto berada di atas mata. Pemandangan yang tentu saja sangat indah. Sayangnya aku tak sanggup menatapnya dalam waktu yang lama.
Aku menunduk, lalu bergumam dengan nada rendah, "Maaf …."
"Maaf untuk?" Tak kusangka Naruto mendengarnya. Dia bahkan ikut menunduk, dagunya terasa menyentuh ujung kepalaku. Dan karenanya aku semakin menundukkan kepala.
"Merepotkanmu," jawabku pelan. Hampir seperti berbisik.
"Oh, ya? Tidak sama sekali, kok. Lagi pula daripada maaf, bukankah ada ucapan lain yang lebih pantas diucapkan untuk seseorang yang sudah membantu."
Ah, Naruto benar. Kenapa aku bisa lupa? Berdekatan dengannya memang menyulitkan. Jadi bukan salahku kan, kalau sampai lupa?
"Te-terima kasih." Aku memberanikan diri menatapnya dari ekor mata. Barulah kutahu kalau papan tulis di depan kami sudah bersih dari tulisan. Tapi kenapa posisi Naruto masih belum berubah?
"Sama-sama, Hinata." Dia masih mengingatku! Aku senang. Dan kesenanganku bertambah dua kali lipat kala mendapati senyuman di wajahnya setelah ia menyebut namaku.
Gawat! Pasti wajahku memerah sekarang. Naruto tidak boleh melihatnya.
Aku beringsut, menjauh beberapa langkah, berjalan menuju meja guru. Mengambil tumpukan buku tugas yang harus kubawa ke ruang guru. Namun, Naruto sekali lagi mengambil alih tugasku. Tumpukan buku tersebut berpindah dengan mudah. Dan aku tidak bisa mencegahnya karena terlalu kaget saat tangannya menyentuh tanganku, tanpa sengaja.
Aku menatapnya—sekilas saja—karena ternyata mata birunya juga tengah mengarah padaku. Refleks aku menunduk.
"Ah, ma—"
"Salah," potongnya cepat, membuatku mengangkat wajah. Memandang Naruto yang kembali memasang senyum.
Tanpa sadar aku ikut menyunggingkan senyum. Aku lupa lagi. "Terima kasih."
"Naruto," sahutnya.
Satu alisku terangkat. "Hm?" Aku tidak mengerti. Dia baru saja menyebut namanya sendiri?
"A-ah …," aku memekik. Tersadar akan maksudnya. "Terima kasih, Naruto."
Senyuman Naruto melebar. Dan itu menjadikan wajah Naruto berkali-kali lipat lebih tampan. Wajahku merona tidak terhindarkan lagi. Untungnya Naruto sudah melangkah pergi.
Namun baru satu langkah diambil olehnya tiba-tiba Naruto berbalik. Kami kembali berhadapan dan bertatapan.
"Mmm … karena aku sudah membantumu, apa boleh kalau aku meminta bantuanmu?" tanyanya terlihat gugup. Baru kusadar dahinya sedikit berpeluh.
Aku pun mengangguk setuju.
"Hari Minggu. Konoha Park. Bisa?"
Dahiku mengerut bingung. "Maksudnya?"
"Kita kencan." Lalu dia tersenyum canggung. "Bisa?" tanyanya sekali lagi. Menyadarkanku dari kerterkejutan. Naruto, orang yang kusukai, baru saja mengajakku berkencan.
Lagi. Aku mengangguk setuju. Mengangguk kaku. Masih setengah percaya. Apa ini benar kenyataan ataukah mimpi? Sampai-sampai aku tidak sadar kalau Naruto sudah tidak ada di ruangan, saat kurasakan ponselku bergetar.
Nomor tak dikenal. Siapa?
"Halo," sapaku ragu.
"Minggu nanti, aku jemput ya." Di-di-dia Naruto! Kutatap layar ponselku sekali lagi. Ini nomor milik Naruto. Benarkah ini nomor Naruto?
"Na-Naruto …" Aku masih tidak percaya ini. Naruto tahu nomor ponselku. Dia tahu! Dia TAHU!
"Besok jam 10. Bisa?" tanyanya lagi. Tidak memberiku kesempatan untuk melayang ke langit, saking senangnya.
Dengan mulut yang masih terbuka aku mengangguk. Ah, apa ini mimpi?
"Baiklah. Minggu, jam 10, di rumahmu."
Aku mengangguk lagi. Tapi, tunggu, dia bilang apa? "Rumah? Kau tahu rumahku?"
Ini gila. Benar-benar gila. Naruto tahu rumahku. Bukan cuma nomor ponsel, Naruto juga tahu rumahku. Apa ini mimpi? Kalau iya, mimpi ini kelewat indah.
Dan jawaban yang kuterima darinya, melebihi semua mimpi yang selama ini kuimpikan.
"Tentu saja aku tahu, karena selama ini aku diam-diam memerhatikanmu, Hinata."
Siapa saja, tolong selamatkan jantungku sekarang juga!
_Selesai_
Curcol :
Hai ^^
Tolong maafkan Fic gaje ini. Aku lagi terkena sindrom mood block (Oke, aku ngarang sendiri hahaha) Tapi, emang ngak tau kenapa, moodku ilang kalau ngetik Fic-Ficku yang udah jamuran n lumutan T-T Maaf ya. Cerita ini pun mainstream banget, tapi asli dari imajinasi sendiri kok. Dan, aku juga berencana pengen bikin Naruto sidenya sih hahaha… lumayan buat pemanasan ngumpulin mood yang tercecer :D
Semoga terhibur dengan cerita gaze ini… maaf buat kekurangannya.
see ya :)
[U W]
