Sarada, Anak si Tukang Odong-Odong!

Disclaimer : Naruto milik "Masashi Kishimoto" !

WARNING : Jauhkan dari anak-anak karena cerita ini tidak keren. Silahkan baca kalau berminat dan silahkan tinggalkan kalau tidak berminat. Terima kasih. ^^

.

.

.

Bagian 1

Di sebuah jalan perkampungan yang cukup ramai, terlihat seorang pria berambut raven tengah sibuk mengayuh benda beroda tiga yang bentuknya seperti becak tapi unik, kenapa unik?

Karena, di atas becak itu terdapat empat tempat duduk yang bentuk nya lucu, ada empat anak kecil yang kini sedang duduk manis disana, mereka tengah asyik menikmati alunan musik khas anak-anak yang sedang di putar, dan meskipun sekarang becak itu sedang di kayuh dengan susah payah oleh pemiliknya, akan tetapi becak itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan berjalan, hanya empat tempat duduk yang di tumpangi oleh anak-anak kecil tadi saja yang bergerak naik turun secara perlahan.

Gelak tawa terdengar begitu panjang dari bibir mungil para anak-anak kecil itu, mereka tampak begitu gembira dan ceria menikmati permainan odong-odong ini..

Odong-odong?, Ya itulah nama lain dari becak unik tadi..

.

.

Peluh nampak membasahi pelipisnya, sesekali Ia mengusap bagian itu dengan handuk yang melingkar di leher sambil terus mengayuh pedal odong-odongnya tanpa kenal lelah.

Senyum manis senantiasa menghiasi wajah Si Tukang Odong-odong tersebut, Ia merasa ikut senang jika melihat rona keceriaan yang terpancar dari anak-anak yang menaiki odong-odongnya, dan meski usia nya sudah tidak muda lagi, namun karisma serta ketampanan nya masih terlihat jelas.

Tiap kali menjajakan odong-odongnya, banyak ibu-ibu maupun para gadis yang memuji ketampanan si tukang odong-odong ini, namun Ia tak begitu menggubris pujian-pujian dari mereka, Ia hanya akan tersenyum jika ada yang mengagumi ketampanan nya.

Si Tukang Odong-Odong tampan, Uchiha Sasuke namanya, sudah lebih dari sembilan tahun Sasuke menekuni pekerjaan ini,. menjadi tukang odong-odong memang bukanlah pekerjaan yang mudah, namun selama Sasuke masih mampu , Ia pasti akan terus bekerja keras demi sang istri, Uchiha Sakura, dan putri semata wayangnya, Uchiha Sarada.

Dahulu, hidup Sasuke tidak seberat ini, semenjak usaha sepatu warisan dari kedua orang tua nya mulai sepi pesanan, Sasuke terpaksa menutup usahanya karena Ia menelan kerugian yang sangat besar. Sejak saat itulah kehidupan Sasuke dan keluarga kecilnya terasa begitu berat,

Ia sempat menganggur sampai beberapa tahun, karena tak punya penghasilan, Sasuke pun terpaksa mencari pinjaman uang ke beberapa orang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya,.

Hal itu membuat hutang Sasuke menumpuk, sering kali ada para penagih hutang yang datang berkunjung ke rumah Sasuke, hingga pada akhirnya Ia terpaksa harus menjual hampir semua barang yang dia punya, mulai dari peralatan dan mesin jahit peninggalan orang tuanya, bahkan sampai rumah serta barang-barang berharga yang ada di dalamnya terpaksa harus Sasuke jual agar bisa melunasi hutang-hutangnya.

Sasuke sudah mencoba mencari pekerjaan kesana-kemari, tapi di era modern seperti ini mencari pekerjaan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sasuke sudah melamar ke berbagai macam perusahaan namun belum ada satupun dari perusahaan itu yang merespon lamaran Sasuke.

Melihat kondisi ekonomi nya yang semakin sulit, Sasuke tak bisa lagi menunggu kepastian dari perusahaan tempat dia melamar, Ia pun juga tak tega melihat Sakura dan Sarada yang terus menerus menderita, akhirnya dengan modal yang ia punya Sasuke memutuskan untuk membeli sebuah odong-odong dan menjadikan benda tersebut sebagai alat untuk mencari nafkah.

.

.

"Terima kasih ya Pak!" Ucap seorang ibu-ibu sambil memberikan beberapa lembar uang pada Sasuke. "Iya, sama-sama bu!" Jawab Sasuke sambil mengulaskan senyum.

Sasuke mengambil nafas sejenak, Ia cukup kelelahan karena hari ini banyak anak-anak yang meminati odong-odongnya, namun rasa lelah itu seketika sirna jika melihat hasil yang dia dapat, kantong nya terasa penuh sesak dengan lembaran uang yang di perolehnya hari ini.

"Syukurlah, sudah dapat lumayan banyak!" Gumamnya pelan sembari menghitung beberapa lembar uang yang baru saja ia keluarkan dari kantongnya. "Huft,. sebaiknya aku pulang lebih cepat hari ini!" Setelah berucap demikian, Sasuke segera menyimpan kembali beberapa lembar uang tersebut ke dalam kantong nya, dan mulai menyalakan mesin odong-odongnya untuk menyusuri jalan pulang.

.

.

Terlihat wanita paruh baya yang kini sedang duduk gelisah di teras rumah. Iris emerald nya menatap lurus ke depan, rasa cemas dan khawatir yang bercampur menjadi satu membuat wanita itu tak bisa tenang, bahkan dia sampai meninggalkan tugas mencuci bajunya karena berbagai macam firasat buruk yang terus dia rasakan.

Putri kesayangannya belum juga pulang sampai sekarang. Padahal ini sudah hampir sore, tidak biasanya putrinya pulang terlambat begini.

"Sarada, kamu dimana nak?" Wanita itu berdiri dari duduknya, Ia mondar-mondar ke kanan dan ke kiri berusaha untuk sekedar mengurangi kegelisahan yang tengah dia rasakan. Tapi bukannya berkurang tapi Ia justru malah semakin merasa gelisah sekarang.

Meski putrinya sudah bukan anak-anak lagi, namun tetap saja, Ia pasti akan sangat khawatir jika putrinya tak pulang tepat waktu. Ia takut ada sesuatu yang terjadi pada putrinya.

Tak lama kemudian terdengar sebuah suara mesin yang memasuki halaman kecil di depan rumah. Ia sudah bisa menebak itu pasti suara dari tunggangan suaminya, melihat kedatangan sang suami Ia pun segera berlari menghampiri pria itu.

"Sakura? Ada apa?" Tanya sang suami padanya.

"Sasuke-kun, Sarada,.. Dia belum pulang, bagaimana ini?" Jawab wanita itu dengan suara yang begitu panik.

"Astaga, sudah jam segini dia belum pulang?" Sakura mengangguk dengan cepat. Kini suaminya juga tampak ikut memancarkan raut wajah gelisah dan khawatir.

Seketika muncul berbagai macam hal negetif yang menghampiri pikirannya, sebisa mungkin Ia mencoba untuk tetap bersikap tenang dan menepis segala macam hal negatif tersebut.

"Emm tenang Sakura, mungkin dia sedang-"

"Tidak Sasuke-kun, aku tidak bisa tenang sebelum Sarada pulang!" Sakura segera memotong ucapan Sasuke sebelum suaminya itu sempat melanjutkan kalimatnya.

Sasuke menatap mata Sakura dengan intens. Ia bisa melihat mata wanita itu sedang berkaca-kaca sekarang. Ia sangat mengerti, istrinya pasti sangat mengkhawatirkan Sarada sama seperti dirinya. Sarada adalah harta yang amat berharga bagi mereka, terlebih lagi Sakura dan Sasuke memiliki rasa sayang yang agak berlebihan terhadap Sarada.

"Baiklah, kalau begitu ayo kita coba cari di rumah chouchou mungkin Sarada ada disana!" Sakura mengangguk patuh, keduanya bergegas menuju rumah salah satu teman sekolah Sarada berharap putri mereka ada disana.

.

.

.

Konoha Senior High School adalah sekolah elit nan mewah di kota konoha, tidak sembarangan anak bisa masuk ke sekolah ini, hanya anak yang pintar sekaligus kaya saja. Rata-rata murid di Konoha Senior High School adalah anak pejabat, pengusaha, dan kalangan atas lainnya, ya walaupun ada beberapa murid dari kalangan bawah yang berhasil masuk ke sekolah ini berkat bantuan beasiswa, tapi jumlahnya tidak begitu banyak, hanya beberapa anak saja.

.

.

Hari sudah menjelang sore, umumnya para murid-murid di setiap sekolah sudah pulang ke rumah mereka masing-masing, harusnya memang begitu, tapi.. sepertinya hal itu tidak berlaku bagi gadis remaja yang satu ini.

Disinilah dia sekarang, di tempat favoritnya, di bagian teratas sekolah., rooftop . Dia gemar sekali diam dan menyendiri di tempat sepi itu, menurutnya, 'Rooftop adalah tempat paling istimewa di sekolah..'

Di samping nya ada sebuah kotak warna biru muda yang berukuran sedang, dan di dalamnya ada beberapa jenis kue yang masih tersisa.

Kini mata onyx nya memandang sendu ke arah langit senja, Ia menarik nafas dalam-dalam mencoba untuk menikmati udara segar di sore ini, tak lama kemudian... bulir-bulir air mata nampak mengalir dari kedua sudut mata gadis itu..

Sungguh, dia tak sanggup menahan tangisannya untuk kali ini, mendengar kalimat demi kalimat yang tadi siang terlontar dari bibir teman-temannya, membuat hatinya terasa sakit..

'Dasar miskin!' , 'Dasar tidak tau diri!', 'Enyalah dari hadapan ku! Dasar menjijikkan!' , 'Hey, tempat mu bukan disini! tapi di luar sana bersama para teman-teman sampah mu yang lain!'

Entah mengapa, ucapan-ucapan tak pantas itu masih terngiang-ngiang jelas di telinganya, padahal kejadian itu sudah berlalu sejak beberapa jam yang lalu., tapi Ia sama sekali tak dapat melupakannya.

Memang, dia cuma anak dari golongan orang kecil, Ayahnya seorang tukang odong-odong, sementara Ibunya seorang buruh cuci, dia bisa masuk ke sekolah ini saja berkat bantuan beasiswa. tapi apa ada yang salah dengan semua itu?

Hampir setiap hari dia menerima perlakuan kasar dari teman-teman di sekolahnya, namun dia tetap tegar dan tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut, lagi pula tidak semua anak di sekolah meperlakukan dia dengan kasar, ada juga yang bersikap baik pada dia.

Intinya banyak yang membenci, tapi tidak sedikit pula yang menyukai gadis manis itu., kurang lebih seperti itulah gambaran singkat kehidupannya di sekolah.

Biasanya, dia hanya akan diam saja jika ada yang mengejeknya, tapi kali ini... tidak bisa.. dia sudah tidak kuat lagi menahan kesedihan serta amarah di dalam lubuk hatinya.

.

.

Gadis itu kian meringkuk, tak ada yang bisa dia lakukan selain duduk, memeluk erat kedua lututnya, dan membenamkan wajah cantiknya dalam-dalam, serta membiarkan iris indah yang terbalut kaca mata bening itu terus mengeluarkan air mata, dan kini air matanya... semakin membasahi pipi...

Dia coba menguatkan diri di tengah tangisannya, dia tau, harusnya dia tidak boleh selemah ini, Ibunya selalu bilang, bahwa dia harus jadi anak yang pintar dan kuat agar kelak bisa jadi orang yang sukses.

Dan harusnya lagi, dia bisa melawan ejekan serta hinaan dari orang-orang sombong itu dengan apa yang dia punya, tapi apa yang dia punya?

Tentu saja Kecerdasan,

Jika di bandingkan dengan mereka, perbedaan gadis itu hanya terletak pada harta, untuk kecerdasan Ia sama sekali tidak kalah, bahkan gadis itu mungkin jauh lebih cerdas dari pada mereka.

.

.

Suasana hening menyelimuti bagian teratas dari bangunan sekolah itu, seiring mentari yang meredupkan sinarnya gadis itu pun kian terhanyut dalam kesedihan.

Jujur saja, sebenarnya dia ingin sekali pindah ke sekolah lain, ke sekolah yang biasa bukan sekolah elit, agar dia tidak perlu repot-repot lagi mendengar ocehan tidak penting dari mereka yang membencinya. Tapi jika sampai pindah sekolah, pemberian beasiswa akan di hentikan dan nantinya, dia pasti akan mengecewakan kedua orang tuanya, dia lebih tidak ingin hal itu terjadi..

Dia menyayangi kedua orang tuanya lebih dari apapun, bahkan melebihi rasa sayang gadis itu terhadap dirinya sendiri, untuk itu dia tidak akan pernah membuat mereka kecewa.

.

.

Hembusan angin sore terasa amat menyejukkan, gadis itu bisa merasakan tubuhnya yang sekarang agak mendingin akibat terpaan angin.

Masih dalam posisi meringkuk, gadis itu sepertinya kian menikmati kesedihan yang di selimuti keheningan di sore ini, meskipun udaranya terasa begitu dingin, namun Ia belum berniat untuk beranjak pergi dari sana, dalam benaknya udara yang dingin ini mungkin akan mampu mendinginkan hati dan pikirannya yang saat ini terasa panas karena di kuasai amarah.

.

*tap tap tap

Samar-samar gadis itu mendengar derap langkah kaki seseorang yang dengan perlahan mendekat ke arahnya, karena masih terhanyut dalam kesedihan Ia jadi tak begitu memperdulikan suara itu, bahkan dia sampai tak menyadari bahwa orang misterius tersebut kini sudah mengambil posisi duduk tepat di sebelahnya.

Gadis itu masih begitu setia dengan posisi meringkuknya, tidak sama sekali berniat untuk melirik ke arah si orang misterius di sampingnya.

" ..na..na.." Orang itu bersenandung pelan, suaranya yang merdu ternyata cukup menarik perhatian si gadis.

Gadis itu mulai mendongakkan wajahnya dan menatap seseorang yang ada di sampingnya dengan intens. 'Rambut pirang, mata biru yang tampak indah dan meneduhkan, wajah yang putih bersih.. tampan sekali, siapa dia?'

Merasa di perhatikan, pria itupun balik menatap dengan ekspresi wajah yang sedikit terkejut.

"Astaga! Kau menangis?"

Mendengar Ucapan si pria, gadis itu buru-buru melepas kaca mata nya sejenak lalu membersihkan sisa-sisa air mata yang tadi sempat menghujani pipinya.

"Ti.. tidak.. aku tidak menangis! Aku hanya kelilipan!"

"Kelilipan,? Yang benar saja, Kau kan pakai kaca mata, mana mungkin bisa kelilipan?" Oh ya ampun, alasan spontan si gadis ternyata belum mampu untuk mengelabui orang tersebut, gadis itu kini hanya tertunduk lemas karena malu dengan apa yang tadi dia katakan, kedua pipinya bersemu merah, dan sungguh, dia agak sedikit salah tingkah sekarang.

Gadis itu tidak lagi bersuara setelahnya, dia lebih memilih untuk memalingkan pandangan nya ke arah lain.

"Ini sudah sore, kenapa kau masih disini?" tanya pria misterius itu,

"Bukan urusan mu! kau sendiri kenapa masih disini?" Jawab si gadis dengan judesnya sembari memberikan pertanyaan balasan.

"Oh, Aku? haha, tadinya aku ingin menjawab pertanyaan itu dengan kalimat 'bukan urusanmu!' tapi sepertinya itu bukan hal yang baik..-" Ucap si pria sembari tersenyum, Ia memberi jeda di tengah-tengah kalimatnya, dia bermaksud memberi waktu sejenak pada si gadis agar bisa memahami maksud kata-katanya.

Dan setelah mengerti, gadis itu merubah raut wajahnya yang tadi sempat bingung menjadi sendu, gadis itu merasa tidak enak, dia baru sadar bahwa Ia tadi memberikan jawaban yang kurang bersahabat pada si pria, meski suasana hatinya sedang buruk tapi tidak seharusnya dia bersikap sejudes itu pada seseorang yang tidak dia kenal.

"Aku murid baru, tadi setelah bel pulang aku menyempatkan waktu untuk berkeliling sekolah agar bisa menghafal seluk beluk tempat ini, tapi ketika tiba di taman belakang sekolah, aku malah ketiduran disana, haha jadi ya.. begitulah.." Lanjut si pria sambil tertawa pelan dan gadis itu hanya menanggapinya dengan tersenyum.

.

.

Selanjutnya kedua remaja itu hanya saling diam, menyibukkan diri dengan aktivitas mereka masing-masing. Si pria kembali menatap ke arah langit dengan sambil bersenandung ria seperti tadi, sekali lagi.. Suaranya yang merdu membuat suasana di atas gedung yang tadinya begitu hening dan sunyi menjadi lebih hangat dan berwarna.

Sementara sang gadis, Ia kembali merenung, tapi bukan lagi merenungkan tentang kesedihan atau pun hal menyakitkan lainnya, tetapi merenung karena Ia kini sedang merasakan sesuatu yang aneh.

Entah mengapa jantungnya berdebar ketika menatap pria itu, pipi nya bersemu merah tiap kali pria itu balik menatapnya, dan yang paling aneh, meski dia dan pria itu masih belum saling mengenal namun Ia merasa nyaman jika ada pria itu di sampingnya.

Pandangan pria itu masih terpatri pada atas langit, entah apa yang tengah Ia nikmati tapi yang jelas, pria itu terihat senang dengan apa yang dia lakukan..

.

.

Setelah puas memandangi langit ia melirik sejenak ke arah gadis di sampingnya, 'Hmm manis sekali dia.' bisiknya pelan di dalam hati.

Ia sudah sering berjumpa dengan gadis cantik, tapi baru kali ini dia berjumpa dengan gadis cantik yang kadar kemanisannya jauh di atas rata-rata, sungguh dia tidak bohong, gadis itu benar-benar manis, meski terlihat judes tapi itu sama sekali tidak mengurangi kadar kemanisan di wajahnya.

.

Cukup lama dia memandangi wajah gadis itu sebelum akhirnya dia melihat ada sebuah kotak berwarna biru yang kini menarik perhatiannya.

"Hey, apa itu? kelihatan nya enak?"

Tanpa menunggu jawaban dari si gadis, pria itu langsung membuka tutup kotak tersebut dan mengambil satu potong kue yang ada di dalamnya, sedangkan si gadis hanya bisa menatap heran kelakuan pria asing di sebelahnya.

"Eum.. iya benar, ini benar-benar enak! apa kau yang membuatnya?" Gumam pria itu sambil terus melahap kue yang ada di tangan nya.

"Tidak, bukan aku tapi Ibuku!"

"Oh begitu, Ibumu benar-benar hebat dia bisa membuat kue yang se-lezat ini!" Si gadis hanya memberikan senyum khasnya ketika mendengar apa yang di katakan si pria.

"Hm, Terima Kasih, tapi kau harus membayar untuk itu!"

Seketika pria tersebut langsung menghentikan kegiatan makannya, dia menoleh ke arah si gadis dengan mulutnya yang masih terbuka lebar, kue yang kini hanya tinggal menyisakan potongan kecil di tangan nya pun urung dia makan.

"Apa? Membayar? Jadi tidak gratis?"

"Gratis? Memangnya sebelum ini kau tinggal dimana? Kalau di kota ini, tidak ada yang gratis selain makanan dari rumah mu sendiri!" Ucap si gadis dengan nada yang sedikit kesal. Memang, dia agak kesal dengan kelakuan si pria yang tadi asal mencomot kue miliknya tanpa bertanya dulu.

"Oh ya ampun kau ini, jadi apa ini barang dagangan?" Si gadis hanya mengangguk pelan,.

"Kenapa kau tidak bilang dari tadi?" Tanya pria itu dengan suara yang agak meninggi.

"Kenapa kau tidak tanya?" Balas si gadis dengan suara yang juga tak kalah tinggi.

Si pria menatap wajah gadis di sebelahnya dengan tatapan memelas, berharap gadis itu punya sedikit kebaikan hati sehingga merelakan satu potong kue yang sudah dia makan.

Namun sayangnya, wajah memelas itu sama sekali tak mengundang rasa simpatik dari si gadis, dia justru malah kelihatan semakin kesal saja.

"Hash.. baiklah akan ku bayar, tapi sebelum itu..." Si pria sengaja menggantung kalimatnya sejenak lalu menyodorkan tangan ke hadapan si gadis judes itu.

Dengan senyum merekah, pria itu mengucap salam perkenalan pada si gadis,

"Namaku... Bolt.. kau? Siapa nama mu?"

Si gadis menatap sejenak sebelum Ia menjabat tangan pria tersebut.. terus terang, ini pertama kalinya dia berkenalan dengan pria, maklum kalau dia masih agak canggung, "Aku,. Sarada .."

"Sarada? Oke baiklah jadi begini Sarada, karena aku tidak punya uang, aku tidak bisa membayar makanan mu sekarang, hehe maaf ya!"

"Hm, sudah ku duga.." Ucap Sarada sambil menghela nafas panjang, meski merasa kecewa tapi Sarada berusaha untuk memaklumi, toh yang di makan pria tadi kan hanya satu potong kue saja

"Tapi karena kita baru saling mengenal, aku akan berusaha keras untuk tidak berhutang padamu, jadi .. aku akan membayarnya dengan ini!" Pria bernama Bolt itu mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya, nampak sebuah ponsel pintar lengkap dengan headset dan chargernya ada di tangan pria pirang itu sekarang.

Mata Sarada membulat kaget melihat benda itu kini tengah di sodorkan ke arahnya, tanpa meminta penjelasan Sarada sudah bisa mengerti.. yang benar saja!, Bolt akan membayar kue yang tadi dia makan dengan benda itu?

"Apa kau gila? Hanya untuk satu makanan kecil kau akan membayarnya dengan benda mahal itu? Aku tidak punya kembalian nya!"

"Ya kalau begitu kau simpan saja kembalian nya, beres kan?" Dengan santainya Bolt berucap demikian, sedangkan Sarada, Ia masih enggan menerima benda itu.

Sarada terdiam, dia melirik sekilas ke arah benda di tangan Bolt, Dia teringat akan sesuatu..

Dulu.. dia ingin sekali punya benda seperti itu, tapi karena kondisi ekonomi keluarganya yang masih serba kekurangan, tidak mungkin Ia meminta kedua orang tuanya untuk membelikan benda yang mahal seperti itu, banyak kebutuhan lain yang jauh lebih penting di bandingkan sebuah ponsel. Sarada pun harus mengubur keinginan nya dalam-dalam, dan sekarang.. ada orang yang berbaik hati memberikan ponsel nya pada Sarada, lantas kenapa Sarada tidak langsung menerima?

Alasannya jelas, karena Sarada baru mengenal orang itu, tentu dia tidak akan mudah percaya dengan orang yang baru dia kenal. Sarada melihat orang tersebut dengan tatapan penuh selidik sembari menahan dua rona merah di pipinya yang selalu ingin muncul tiap kali dia menatap pria itu.

"Hey.. jangan melihat ku seperti itu Sarada, Aku ini orang baik-baik, Sungguh!" Ucap si pria yang seakan tau apa yang sedang di pikirkan Sarada,.

"Hah, Sudahlah ini,.." Bolt meraih tangan Sarada, dan meletakkan ponsel beserta perlengkapannya di sana,

"Tolong kau terima saja ya? begini, saat kau merasa sedih atau semacamnya, coba kau dengarkan musik yang ada di ponsel itu.. aku jamin kau pasti akan merasa lebih baik, aku pergi dulu ya Sarada, dadah..!" Ya dengan sedikit paksaan Bolt berhasil membuat Sarada mau menerima pemberian nya, lalu, Bolt pun bergegas pergi dari tempat itu meninggalkan Sarada yang masih di landa kebingungan.

.

.

Ia berlari dengan langkah kaki yang begitu cepat, Ia sudah terlambat.,, bukan terlambat lagi tapi sudah sangat terlambat.

Hari sudah mulai gelap, ini pertama kalinya bagi gadis itu pulang se-petang ini, Orang tuanya pasti sangat mengkhawatirkan dia sekarang.

Kalau saja dia langsung pulang ke rumah tanpa harus lebih dulu meratapi kesedihan di rooftop sekolah, mungkin dia tidak akan terlambat pulang, apalagi dia juga sempat mengobrol dengan pria bernama 'Bolt' , tentu kian menambah waktunya yang terbuang di rooftop. Tapi..

Dia sudah tidak ingin memikirkan semua itu, di sesali juga percuma kan? Sekarang intinya dia harus segera tiba di rumah, itu yang penting. Dia terus saja berlari secepat yang Ia bisa.

Di jalan yang tampak sepi, Ia melihat ada sebuah belokan yang menurutnya bisa menjadi jalan pintas untuk pulang. Tanpa ragu Ia mengambil arah ke belokan itu sambil tetap berlari dengan kecepatan yang tinggi.

Baru sampai satu langkah di belokan, Ia di kejutkan dengan adanya sorot lampu tajam nan terang yang tiba-tiba ada di depannya.

Gadis itu menghentikan langkah kakinya, tapi karena tadi Ia berlari dengan cukup kencang, Ia pun terpleset karena jalan yang licin dan jatuh tepat di depan sorot lampu itu.

Tak sanggup melakukan apapun Ia hanya bisa menutup matanya tanpa tahu apa yang sebentar lagi akan terjadi...

Bersambung..

Mohon reviewnya yak, Terima kasih (lagi) ^^