Cast:
Kim Jongin
Do Kyungsoo
Lu Han
Oh Sehun
Genre: Romance, Fluff
Length: Drabble
Warning: YAOI! Boys Love! Typo(s)! OOC! AU! ABSURD! DLDR!
Bicycle
.
.
.
.
—Memiliki kebiasaan bangun siang memang menyebalkan.
Tetapi hal menyebalkan itu bisa jadi menyenangkan ketika kamu harus bertemu guru super killer yang senang mengadakan ujian dadakan dengan menggunakan materi dari zaman Albert Einstein dan kawan-kawan.
Begitulah hal yang dirasakan seorang remaja yang baru menginjakkan kaki di usia 15 tahun ini. Kaki jenjangnya mengayuh pedal sepeda dengan perlahan. Menikmati angin pagi yang menyapa wajahnya. Juga tidak mempedulikan sudah berapa menit berlalu setelah bel masuk berbunyi.
Kim Jongin—nama remaja itu— sedang melakukan rutinitasnya setiap pagi, yaitu mengantar koran di sebuah komplek perumahan milik orang-orang yang berekonomi lebih. Sesekali remaja itu melemparkan koran ke dalam rumah orang-orang yang menjadi pelanggan setianya.
Jongin memang bukan anak orang kaya, tapi bukan anak orang berekonomi bawah pula. Jongin sebenarnya mampu membiayai sekolahnya, namun, sebagai anak lelaki yang mandiri dan bisa diandalkan, Jongin memutuskan untuk mengikuti jalur beasiswa. Setelah berselisih dengan 300 anak, akhirnya Jongin menjadi salah satu peserta yang berhasil meraih beasiswa.
Jongin tidak pernah merepotkan kedua orang tuanya dalam mengurus biaya administrasi sekolah. Maka dari itu, ia memutuskan untuk berjualan koran. Setiap minggu ia akan mendapat gaji, yang jika ditabung akan cukup membiayai keuangan sekolahnya.
"Aww!"
Karena terlalu banyak melamun, Jongin sampai tidak sadar bahwa ia menabrak seseorang yang sedang berdiri di depan pagar rumah mewah bergaya Victoria.
"Ah! Maafkan saya! Saya tidak sengaja menabrak Anda!"
Dengan segera Jongin menepikan sepedanya dan menghampiri orang yang ditabraknya tadi.
"Apa Anda baik-baik saja?"
"Ne, aku tidak apa-apa kok."
Senyuman orang itu membuat hati Jongin berdesir.
"Hei? Kenapa melamun?"
Jongin mengerjap-ngerjapkan matanya untuk menyadarkannya kembali ke dunia nyata. Pemuda dihadapannya itu terkekeh melihat tingkah Jongin.
"Ah, sekali lagi aku minta maaf, uhm—"
"Kyungsoo. Do Kyungsoo. Kau bisa memanggilku hyung."
"—Hyung? Kukira kau lebih muda dariku."
Jongin mengusap tengkuknya, salah tingkah.
Pemuda itu tersenyum dan mengacak rambut Jongin yang lebih tinggi beberapa centi darinya.
"Kau tidak lihat seragamku? Inikan seragam anak SMA, uhm— Jongin?"
"Darimana hyung tahu namaku?"
Kyungsoo menunjuk nametag yang berada di dadanya.
"Aku membaca nametagmu."
Ugh—holy shit! Rasanya Jongin ingin segera menguburkan dirinya hidup-hidup di Sungai Amazon. Kau benar-benar memalukan, Kim Jongin!
"Ah iya aku lupa."
Jongin tertawa dengan canggung. Sedangkan lelaki dihadapannya kembali tertawa pelan yang membuat Jongin terpana dan hampir melupakan cara untuk bernafas.
"Uhm, omong-omong, kenapa hyung belum berangkat sekolah? Bukankah bel masuk sudah berbunyi sedari tadi?"
"Sepedaku rusak, Jongin." Remaja manis itu merajuk dengan begitu imut. Ugh, Jongin benar-benar butuh pasokan oksigen sekarang juga.
"Bagaimana kalau hyung aku antar saja? Lagipula sekolah kita kan sama."
Remaja itu menatap Jongin dengan mata berbinar—yang begitu menggemaskan dan membuat Jongin ingin mencongkelnya sekarang juga.
"Apa tidak merepotkan?"
"Tentu tidak, hyung. Tunggu sebentar, ya."
Jongin berlari kecil menuju sepedanya lalu menaikinya. Remaja tampan itu menggiring sepedanya mendekati Kyungsoo. Dan dengan sigap, Kyungsoo duduk di kursi belakang dan mulai menyamankan posisinya.
"Uhm—hyung, bi-bisakah kamu berpegangan? Aku takut nanti kamu terjatuh."
Wajah keduanya memerah. Terutama Kyungsoo yang bahkan sudah memerah sampai ke telinganya.
Dengan perlahan, Kyungsoo melingkarkan tangannya di perut Jongin, dan menyandarkan kepalanya di punggung tegap milik juniornya itu.
Dan untuk yang pertama kali, Jongin benar-benar bersyukur karena ia terlambat bangun pagi.
Student Card
.
.
.
.
—Kesialan di pagi hari yang dialami pemuda manis bersurai keemasan ini adalah, kehilangan kartu peserta ujian.
Otaknya terus berputar―mengingat-ngingat apakah ia lupa membawa kartu itu atau malah kartu itu terjatuh saat ia naik kereta tadi.
Setelah mengubek-ubek isi tasnya selama beberapa kali dan tidak kunjung menemukan kartu ujiannya, pemuda itu memutuskan untuk pergi menjauhi gerbang sekolahnya. Pemuda itu sangat hafal dengan peraturan sekolahnya, tidak boleh masuk jika tidak membawa kartu peserta ujian.
Dengan lesu, pemuda manis yang kerap dipanggil Luhan itu berjalan tak tentu arah. Ia menuruti saja kemana kakinya melangkah. Entah ke jurang atau ke jalan raya, entah ke taman atau ke kebun binatang.
Luhan hampir saja tersandung batu sebelum seseorang menarik lengannya untuk kembali berdiri seperti semula. Luhan memutar kepalanya―mencari sosok yang menolongnya, namun ia tidak menemukan siapapun.
Lantas, siapa yang menolongnya?
"Hei, uhm, permisi. Bolehkah saya bertanya sebentar?"
Tepukan di pundak Luhan membuat ia sedikit melupakan perihal orang yang baru saja menolongnya.
"Ya, ada apa?"
"Apakah Anda tahu pemilik kartu ini? Tadi saya menemukannya di dalam kereta."
Pemuda itu menyodorkan sebuah kartu yang membuat mata Luhan membulat dan berbinar senang.
"Astaga! Ini kartu ujianku! Oh God, terima kasih sudah menemukan kartu ujianku! Entah dengan cara apa saya harus berterimakasih kepada Anda!"
Luhan berkali-kali membungkukkan badannya sembari tersenyum riang. Akhirnya, kartunya tidak jadi hilang!
"Bagaimana kalau kau menemaniku ke kafe bubble tea di sebrang jalan sana?"
"Mwoyaa?"
"Bukankah kau bilang akan melakukan apa saja untuk berterimakasih kepadaku? Kalau begitu ayo temani aku ke kafe bubble tea di sebrang jalan sana."
Pemuda itu menunjuk kafe bubble tea yang terlihat padat oleh pengunjung.
"Tapi aku kan harus ujian. Bagaimana kalau nanti sore?"
"Bukankah ujianmu sudah dimulai sejak setengah jam yang lalu?"
Skakmat. Pemuda itu mengeluarkan smirknya. Yang harus Luhan akui bahwa dengan smirk itu wajahnya semakin terlihat tampan.
"Baiklah. Tapi, tunggu sebentar, siapa namamu?"
"Oh Sehun. Salam kenal, uhm―Luhan hyung."
Setelah itu, dua pemuda tampan dan manis itu berjalan menuju kafe bubble tea yang sudah tidak begitu dipadati pengunjung. Karena beberapa dari mereka sudah ada yang beranjak meninggalkan tempat tersebut.
"Sehun-ah, apakah bubble tea itu enak?"
"Tentu saja! Kau harus mencobanya, hyung! Aku jamin hyung pasti suka."
Sehun menarik Luhan menuju tempat kasir, dan pemuda manis itu hanya bisa pasrah ditarik-tarik oleh lelaki yang lebih muda darinya itu.
"Aku pesan yang rasa coklat, dan kamu mau pesan rasa apa, hyung?"
Luhan meletakkan jarinya di bibir bawahnya, berfikir. Menu-menu disini terasa asing baginya.
"Mungkin taro."
"Baiklah, semuanya 800 won."
Setelah menyerahkan uang pembayaran, Sehun menarik Luhan (lagi) menuju kursi yang berada di pojok dekat dengan tumpukkan majalah.
"Seberapa sering kau datang kesini, Hun?"
Luhan mulai membuka topik pembicaraan setelah keduanya berhasil mendapatkan posisi yang nyaman di kursi masing-masing.
"Hampir setiap minggu."
Dan setelahnya, keduanya larut dalam perbincangan sampai kedatangan bubble tea pesanan mereka membuat mereka terpaksa memberhentikan pembicaraan untuk sejenak.
"Bagaimana hyung? Apakah rasanya enak?"
"Hmm lumayan. Kurasa tempat ini akan jadi tempat langgananku sepulang sekolah."
"Oh ya? Kalau begitu ayo kita pergi bersama."
Dan untuk yang pertama kalinya, Luhan melihat pemuda didepannya tersenyum tulus. Tampan sekali. Luhan dapat merasakan wajahnya memerah dan hatinya berdesir.
"Kenapa wajahmu memerah, hyung? Apa kau sakit?"
"Tidak!"
Dan Luhan harus berterimakasih kepada kartu ujiannya nanti sepulang dari kafe ini.
END~!
A/N: gak sih gak end sebenarnya, masih ada lanjutannya lagi hehehe. dan saya akui saya memang bandel, besok TO MTK tapi saya malah bikin fanfic. tapi yasudahlah, sudah terlanjur hehehe.
Don't forget to give me review, kay!
Much Love, Frozenyoghurt!
