Ansatsu Kyoshitsu © Matsui Yuusei
.
Warning : OOC, typo(s), ide mainstream, etc. Slight NagiKae.
.
Tidak ada keuntungan materiil yang diambil dalam pembuatan fanfiksi ini.
Happy reading!
.
.
.
Asano sudah menunggu, selama seminggu ini.
Tepat tujuh hari ia mendambakan hari ini tiba. Tanggal satu Januari. Ah, biarkan orang-orang di berbagai belahan dunia merayakannya sebagai pergantian tahun, cukup dia seorang yang merayakan ini dengan perasaan berbeda bersama gadis manis yang dicintainya.
"Selamat ulang tahun Asano-kun. Dan selamat tahun baru."
Senyuman itu saja sudah cukup menjadi hadiah pagi hari untuk Asano. Dia tidak butuh hadiah lebih dari kekasihnya ini, datang dengan senyuman hangat sambil mengucapkan dua selamat tadi saat ia membuka pintu apartemennya adalah pemandangan mewah di hari spesialnya.
Tapi Okuda memberinya lebih.
"Aku membawakanmu hadiah," ungkapnya. Okuda mengeluarkan kotak kecil dari tasnya. "Mungkin tidak seberapa, tapi aku memilihkan yang terbaik untukmu."
Asano menerima uluran kotak putih yang diikat dengan pita merah tersebut. Nuansa natal dan tahun baru masih sangat kentara dari tokonya. Ia membuka dengan sedikit tidak sabar. "Wow, ini jam tangan yang bagus. Keren. Aku menyukainya. Terima kasih Okuda-san."
Okuda juga ikut tersenyum senang. "Dan untuk hadiah tahun barunya, aku akan memasakkan sarapan untukmu. Aku ingin masakanku menjadi yang pertama kau makan tahun ini."
Asano mengerjap. Ia tertegun dengan pernyataan gadis itu, juga dengan wajah malu-malunya yang merona. Ia merasa ingin segera memeluk gadis itu kalau saja tidak ingat mereka masih di luar ruangan.
"Okuda-san, kau membuatku yakin tidak salah memilihmu. Aku mencintaimu," ucap Asano tulus.
Wajah Okuda semakin merona. Ia sedikit berpaling. "Bolehkah aku masuk? Aku harus memasak sarapan untukmu."
"Tentu. Aku tidak sabar menantikan itu."
Asano menjauh dari depan pintu, ia memberi akses bagi Okuda agar masuk lebih dulu. Gadis itu sering datang berkunjung ke apartemennya, entah hanya untuk mengecek apakah ia tinggal dengan baik di apartemennya atau tidak. Kadang-kadang juga datang dengan sengaja untuk memasakkan makanan bagi Asano atau membantu pemuda itu berbenah ruangan saat Asano terlalu lelah untuk melakukannya sendiri.
Dan di kesempatan yang lain Asano lah yang meminta Okuda datang karena terlampau rindu. Meski begitu, Okuda tidak pernah berhenti meminta izin untuk masuk. Hal sederhana itu membuat Asano semakin jatuh cinta, Okuda-nya tidak berubah sama sekali.
Asano mengaduk secangkir kopi hitam yang ia seduh sendiri. Ia memperhatikan gadisnya berkutat dengan bahan-bahan yang dia bawa sendiri dari rumah. Okuda tampak begitu elegan berada di dapur—menurut pandangan Asano. Dia menyesap perlahan kopinya yang mengepul sambil terus memperhatikan Okuda dari meja konter.
"Kau membuat apa Okuda-san?"
"Sup miso," jawabnya tanpa menoleh. "Aku malah membuat sarapan biasa, maaf kalau bukan makanan istimewa. Tapi aku membawa mochi, kau bisa mengambilnya di tas belanjaku."
Asano menggeleng. "Semua yang kau masakkan untukku adalah istimewa. Aku tidak akan menolaknya."
"A-Asano-kun... jangan menggodaku..." ucapnya gugup dan pelan. Asano mungkin tidak akan dengar kalau tidak sedang memberi perhatian penuh pada gadis itu.
Asano menunggu hari ini. Sudah seminggu sejak malam natal. Setelah merayakannya bersama Okuda hanya untuk beberapa jam ia harus berpisah dari gadis itu untuk sementara. Okuda harus kembali ke rumah orang tuanya, dia wajib menghabiskan natal dan malam tahun baru bersama keluarganya.
Hari itu Asano mengantar Okuda sampai ke stasiun. Bahkan sebelum gadis itu berangkat ia sudah mulai merindukannya. Asano gatal ingin mengatakan agar gadis itu jangan pergi, tapi walau tidak bicara perasaannya jelas terpantul dari wajahnya. Dan Okuda beruntung bisa menenangkannya.
"Aku akan datang pagi-pagi ke apartemenmu. Aku janji akan menjadi orang pertama yang kau lihat di tahun baru."
Dua kalimat itu menangkan Asano, serta membuatnya gelisah. Ia tidak sabar menunggu satu minggu berlalu sampai hari tahun baru tiba. Bahkan sisa malam yang ia habiskan bersama ayah dan teman-temannya tidak banyak menghibur. Hari libur akhir tahunnya semakin dingin bukan hanya karena salju dan suhu udara. Ia merindukan keberadaan Okuda yang masih baru menjadi kekasihnya.
Asano sangat bersyukur dan berterima kasih, karena hari yang ia tunggu datang dengan sempurna. Ia merasa sempurna memiliki Okuda sebagai kekasihnya, meski dia bukan yang pertama bagi Okuda, tapi gadis itu akan selalu menempati posisi nomor satu di hatinya.
"Selesai!" Okuda tersenyum puas melihat tatanan masakannya di atas meja makan Asano. Ia juga menyajikan mochi yang tidak disentuh Asano, itu oleh-oleh dari ibunya. "Ayo makan."
"Semua ini terlihat lezat," komentar Asano tanpa ditutup-tutupi. Mendadak ia menjadi lapar, ia juga baru sadar mochi yang dibawa Okuda tampak begitu menarik. Salahnya sendiri karena tadi terlalu fokus memperhatikan gadis itu memasak. "Mulai tahun ini aku akan menjadikanmu sebagai orang pertama yang ingin kulihat di pagi hari saat tahun baru. Makanya, kau mau kan selalu bersamaku dan menjadi pembuka tahun baruku? Sampai namamu menjadi Asano dan sampai namaku terukir di batu nisan."
Okuda tersipu malu dengan lamaran tidak langsung itu. Ia menunduk. "Asano-kun, jangan membicarakan hal berbau kematian di pagi tahun baru seperti ini. Aku tidak suka."
"Tapi aku tidak hanya membicarakan itu. Kalimat-kalimat sebelumnya, apa kau mau?" tanya Asano lagi.
Okuda tidak kuat mendongak. Wajahnya pasti sudah sangat memerah dan senyumnya tidak bisa tidak terkembang lebar jika menatap Asano. Ia mengangguk dan menunduk.
"Okuda-san, angkat kepalamu," pinta Asano. Gadis itu menurut. "Aku mencintaimu."
"A-aku juga... mencintaimu, Asano-kun," balasnya benar-benar kikuk. "Ayo makan. Ittadakimasu."
"Ittadakimasu."
Asano sudah menunggu selama seminggu. Dan penantiannya datang dengan sempurna.
.
.
.
Karma masih menunggu, selama seminggu ini.
Sejak hari berganti menjadi tanggal dua puluh lima di bulan Desember hingga akhir tahun dia selalu menunggu. Setiap hari selalu berharap. Tiap membuka mata ia mengecek ponselnya, berharap ada notifikasi dari seseorang yang ia tunggu. Tapi hari selalu berakhir dengan kekecewaan dan helaan nafas.
Karma pantas mendapatkan itu. Ia juga sadar dia akan menyesal. Kalau saja dia mendapat peringatan untuk penyesalannya, ia tidak akan melakukan kesalahannya. Sayangnya dunia tidak berputar untuknya.
Malam natal berakhir pukul dua belas malam, hari ulang tahunnya pun begitu. Ucapan selamat untuknya juga sudah berdatangan layaknya banjir jauh sebelum jarum jam menunjuk angka dua belas. Tapi dirinya masih menunggu, bahkan berhari-hari setelah tanggal itu lewat.
Okuda tidak memberinya ucapan selamat, bahkan untuk sekedar basa-basi sekali pun. Karma seharusnya tahu, setelah yang ia perbuat dan hubungan mereka berakhir, tidak mungkin Okuda datang dan mengatakan selamat natal dan selamat ulang tahun untuknya.
Tapi walaupun tahun berganti, Karma masih menantikan dua kalimat ucapan selamat tersebut.
"Karma, sudahlah. Sejak hari ulang tahunmu kau murung terus, ini sudah seminggu, kau menyerah saja."
Nagisa merasa iba melihat kondisi sahabatnya. Karma tidak terlihat begitu setelah baru putus hubungan dengan Okuda beberapa bulan sebelum ini, tapi sejak hari ulang tahunnya dia justru tampak depresi. Mereka putus secara baik-baik, tapi Okuda tetap menjadi orang yang tersakiti.
"Mungkin kau benar Nagisa. Bahkan aku tidak mendapat ucapan selamat tahun baru. Dia juga tidak mengatakan apa-apa di hari ulang tahunku."
"Okuda juga tidak memberi ucapan kepada siapa pun secara pribadi. Dia hanya memberi ucapan formal di grup chatting kelas kita. Tanggal dua puluh lima kemarin dia juga mengucapkan selamat natal untuk teman-teman sekelas. Kau berada di kelas yang sama, kau juga temannya, setidaknya kau juga mendapat ucapan itu," hibur Nagisa.
"Karma-kun, kau sudah memiliki Nakamura-san. Kau akan menyakiti perasaannya jika kau bersikap seperti ini," ujar Kayano. "Dia sudah memberimu kebahagiaan lain. Kalian saling mencintai, bukankah itu cukup?"
Karma tersenyum getir. Ia menggeleng pelan. "Aku orang yang serakah. Aku masih menginginkan setidaknya ucapan dari orang yang sudah kuhancurkan hatinya."
Nagisa dan Kayano saling pandang. Mereka mendampingi Karma selama ini, mereka tahu benar apa yang dirasakan pemuda itu. Karma tidak beruntung karena terjebak perasaan cinta yang sama besar pada dua gadis berbeda.
Dia memilih Okuda dan membiarkan Nakamura pergi dengan perasaannya yang terluka ke Inggris. Tapi ternyata rasa cintanya tidak padam meski sudah memilih salah satu. Dan dia kalap saat orang tuanya mengajaknya pergi ke Inggris, di antara luasnya negara itu dan di antara banyaknya orang yang berambut pirang di sana, ia kembali jatuh pada pesona teman sekelasnya.
Karma tidak bisa menahan perasaannya, antara mencintai dan tidak ingin menyakiti lagi semakin menguat. Ia pulang dengan hubungan baru yang akan menghancurkan hubungan yang sudah ada.
"Karma-kun, aku memilih mengalah. Aku sudah cukup dengan rasa cintamu. Sebaiknya hubungan kita berakhir, dengan begini kau tidak akan menyakiti Nakamura-san."
"Kau sangat baik Okuda-san, kau pasti akan mendapatkan yang lebih baik dariku. Maafkan aku karena tidak bisa menetapkan perasaanku sendiri."
"Terima kasih untuk dukunganmu. Mungkin aku tidak bisa melihatmu untuk sementara. Sayonara."
Karma tidak menyangka itu benar-benar menjadi salam perpisahan sungguhan. Dia tidak pernah bertatap muka dengan Okuda lagi, tapi beberapa kali ia tidak sengaja melihatnya. Mereka tinggal di kota yang sama, akan menjadi ajaib kalau itu malah tidak terjadi.
Dirinya baik-baik saja selama ini. Tapi tidak saat melihat mantan kekasihnya itu berjalan dengan laki-laki lain. Sebagian hatinya masih merasa tidak rela, walaupun cintanya pada Okuda hanya tinggal menempati separuh kecil di hatinya.
Karma sadar ia pantas mendapatkan yang terjadi sekarang. Ada penyesalan karena melepas Okuda, tapi ia juga tidak berhak memaksa gadis itu tetap di sisinya sebagai pihak yang tersakiti. Logikanya bermain dengan baik, perasaannya juga masih memiliki naluri. Tapi Karma juga terus memiliki sedikit harapan sederhana.
Untuk seseorang yang pernah mengisi hari-hariku, selamat natal dan selamat ulang tahun.
Harapan untuk mendengar itu masih jelas ada. Keinginan untuk membaca pesan berbunyi seperti itu di ponselnya juga masih kuat. Karena itu dia menunggu, tapi Karma tidak mendapati semuanya terkabul.
"Gez, Karma-kun! Berhentilah menjadi seperti anak kecil. Aku dan Nagisa-kun sudah menemanimu selama seminggu ini dan menyia-nyiakan waktu liburan kami. Terkhusus di malam natal dan tahun baru, kami benar-benar menghabiskannya seharian bersamamu agar kau tidak terlihat begitu menyedihkan. Untuk awal tahun baru ini, setidaknya berbahagialah untuk membalas kebaikan kami," geram Kayano kesal. Ia menyendok pudingnya banyak-banyak dan membuat pipinya menggembung.
Nagisa tertawa canggung melihat ulah kekasihnya. Tapi ia tidak bisa tidak tersenyum melihat Kayano tampak manis dan lucu.
"Karma, Kayano benar. Berbahagialah. Kau harus ikhlas terhadap Okuda-san, kau tentu sudah memikirkan ini dulu," kata Nagisa. Ia mencoba menjadi bijak. "Jika kau tidak mendapat ucapan dari Okuda-san, setidaknya kau mendapat banyak dari sahabat-sahabatmu. Kau sudah melepaskannya, ingat?"
Karma menegakkan punggung. Ia berdiri dari kursi yang didudukinya. "Baiklah. Aku paham maksud kalian ingin membuatku lebih baik. Terima kasih untuk segalanya, terima kasih sudah menerima kekanak-kanakanku dan keegoisanku. Ingatkan aku untuk membalas budi kalian."
Kayano tersenyum lega.
"Kau mau pergi ke mana Karma?" tanya Nagisa.
"Menghabiskan malam ini seorang diri," jawabnya enteng. Ia memasukkan kedua tangannya ke saku celana. "Aku tidak mungkin membiarkan kalian menghabiskan tahun baru ini tanpa bermesraan berdua, bukan? Kalian juga berbahagialah. Aku menunggu kabar gembira dari kalian. Ah, Nagisa, cepat berikan yang kau sembunyikan di saku mantelmu itu."
"Karma! Kau tidak harus membocorkan itu! Rasa simpatiku padamu hilang," ketus Nagisa kesal.
Kayano terkejut. "Eh? Nagisa-kun, kau menyiapkan hadiah lain untukku?"
Nagisa menggaruk tengkuknya gugup. "Ini bukan hadiah biasa. Cincin pernikahan, aku berniat melamarmu hari ini."
"Eeeh?!"
Karma berlalu dengan senyum simpul. Setidaknya ia sedikit membantu Nagisa untuk maju, dia tidak yakin sahabatnya yang kelewat polos itu bisa menyampaikannya sendirian. Biarkan dia berbuat baik juga pada mereka.
Pemuda itu menghela nafas, panjang dan pelan.
Karma entah untuk yang ke sekian kalinya menilik ponselnya lagi. Hari pertama tahun baru akan segera berakhir. Dan masih tidak ada notifikasi yang ia harapkan muncul.
Karma masih menunggu seminggu ini. Dan penantiannya sia-sia.
.
.
.
Owari.
