Suasana kafe semakin sepi, satu per satu pengunjung meninggalkan tempat itu dengan perut kenyang dan dahaga yang hilang. Beberapa pegawai mulai bergerak membereskan meja-meja, menata ulang kursi-kursi juga membawa piring dan gelas kotor menuju dapur.
Jam digital di salah satu sisi kafe menunjukkan pukul 1.48 pm, seharusnya kini seluruh pegawai kantor yang mengunjungi kafe sudah kembali berkutat dengan pekerjaan di kubikel masing-masing. Tapi, lelaki itu masih tetap disana. Duduk di salah satu pojok kafe dengan jemari yang berulang kali menggeser layar smartphone nya. Terus menatap, seakan tak peduli waktu terus bergerak. Bahkan, saat seorang pegawai kafe menegur sopan, ia tak merespon.
Layar terus bergeser, menampilkan foto-foto candid seorang perempuan. Foto seorang perempuan yang memiliki ribuan ekspresi.
Lelaki itu kembali menggerakkan jemari, kini muncul potret dirinya dirangkul hangat.
"Jangan marah dong! Kan foto ini bisa jadi obat kangenmu kalau aku sedang pergi ke luar kota, hehehe."
Ia menghela nafas kasar. Ia jadi teringat kata-kata perempuan itu saat dia menggerutu, memprotes kebiasaan perempuan itu berwefie diam-diam. Kini ia bersyukur dulu tak jadi mengapus foto itu. Karena foto itu menjadi saksi betapa akrabnya mereka berdua, dulu.
Rasa rindu kembali menyesakkan dadanya. Membuat dirinya kembali ingin menelusuri jalanan demi bertemu perempuan itu, yang telah lama tak muncul kehadirannya.
Tak tahan, benda persegi segera ia non-aktifkan. Sisa teh hitam yang mendingin cepat-cepat ia tandaskan dari cangkir. Tangan kirinya kemudian mengurut pelan pangkal hidungnya. Meredakan pusing yang mendera.
Pelan-pelan ia bangkit dari duduknya, sambil mengatur nafas sesekali. Tanpa mengintip jam, ia tau bahwa sudah sangat telat kembali ke kantornya. Namun, untuk kali ini saja, ia tak ingin kembali ke kantor. Ia ingin memilih menjelajahi kota-kota tetangga, sambil mencari petunjuk. Demi bertemu perempuan yang pergi tanpa penjelasan lebih.
"Herr Levi, "
Lelaki itu menoleh pelan. Dilihatnya seorang perempuan muda bersurai pendek sewarna jahe menatapnya dengan nafas terengah dan peluh di dahi. Salah satu anak buahnya. Pasti atasannya yang menyuruh perempuan itu mencarinya.
"Herr Erwin meminta Anda menemui beliau sekarang." lapor perempuan itu. Lelaki itu menatap sebentar, lalu mengangguk.
"Hm. Baik, Petra. Terima kasih. Maaf merepotkanmu."
"Sudah jadi tugas saya, Herr Levi." balas Petra cepat. Berdiri tak jauh dari tempat lelaki itu.
Lelaki itu berjalan pelan menuju pintu utama kafe, mengekori Petra yang sudah mendahuluinya. Untung saja ia sudah membayar di awal, sehingga tak perlu repot menuju ke kasir.
Sebelum kakinya melangkah melewati pintu, ia menyempatkan diri melirik tempatnya duduk tadi.
Imajinasi muncul begitu saja. Yang ia lihat adalah sosok perempuan itu yang tengah melambaikan tangan padanya. Nyatanya, tak ada sosok itu disana.
Lelaki itu menggeleng pelan. Mengusir imajinasi sialan yang mengganggu otaknya.
Mengepalkan kedua tangan, ia kembali mengubur semua ingatan tentang sosok itu sebelum sampai ke kantornya.
Herr (bahasa Jerman) : Sir, Tuan, Pak
.
.
.
Hai hai hai!!!
Disini aku mau ngasih tau, bahwa sesungguhnya alur cerita ini bakal campuran... Jadi, ada alur maju dan mundur. Tapi alur maju dan mundurnya per chapter. Misal, chapter J berlatar masa sekarang tapi chapter K berlatar beberapa tahun sebelumnya. Semoga gak bingung ya nantinya...
With Love,
Fildzati ️
