Trouble Panem Maker

.

(Saya hanya memiliki jalan cerita di sini.)


Kemeja putih itu sudah ia kenakan. Kemeja yang selalu disukai Katniss. Peeta sedikit tersenyum melihat pantulan dirinya di cermin. Katniss benar, ia terlihat lebih baik saat memakai pakaian berwarna putih. Ia mengambil dasi hitam, mengingat-ingat bagaimana cara Katniss menyimpulkan dasi itu dikerahnya. Setelah selesai, Peeta bergegas keluar dari rumahnya.

"Hey, Peet."

Peeta hanya menangguk dengan sedikit tersenyum. "Kau bisu, ya?"

Peeta tidak terlalu menghiraukan temannya itu. "Peet, kau kan punya banyak kemeja. Kenapa kau masih pakai baju itu?"

"Memangnya kenapa dengan baju ini?"

"Jangan terus-terusan terjebak di masa lalu, Peeta." Grover mempercepat langkahnya, mendahului Peeta yang terdiam sesaat.

"Jika saja aku bisa." Terlalu pelan untuk didengar Grover. Jawaban itu hanya untuk dirinya sendiri.

Grover tiba-tiba berdiri di sebelah mobil Peeta. "Aku menumpang, ya."

...

Peeta bisa mendengar suara bisik-bisik di belakangnya. "Dia guru baru ya" "Sepertinya, dia kelihatan muda" "Baru lulus mungkin" "Dia tampan juga" "Dan sexy" "Apa dia bisa mengajar?"

Langkah kakinya semakin cepat. Mungkin menjadi guru adalah suatu kesalahan. Sejak kapan Peeta Mellark suka bekerja di tempat ramai?

Suasana baru. Ya, Peeta butuh suasana baru.

...

"Kata Cenote berasal dari kata suku maya D'zonot yang berarti lubang atau gua bawah tanah yang memiliki air." Beberapa murid mengangguk-angguk, sebagian memperlihatkan tatapan 'ya, aku sudah tau itu.'

"Dan Angelita yang berarti malaikat kecil. Jadi Cenote Angelita berati Gua Malaikat Kecil. Seperti yang kita semua ketahui bahwa Cenote Angelita terletak di Yucatan. Sebelum saya menjelaskan lebih lanjut, ada yang mau menyampaikan pendapat tentang hal 'Cenote Angelita' ini?"

Seorang murid mengangkat tangannya. Peeta menunjuknya, mempersilahkan murid itu bicara. "Ada beberapa orang yang menyebutnya hoax."

"Well, itu saja pernyataan mu?" Pria itu mengangguk. Peeta menghela nafas. "Baiklah, jadi..."

...

Rumahnya sangat gelap. Sampai-sampai Peeta butuh cahaya dari ponselnya untuk menyalakan lampu. Ia bergegas ke dapur. Mencari makanan apa saja yang siap disantap dalam waktu beberapa menit.

Dan di sanalah makanan itu, di meja makan. Pizza sisa kemarin malam. Mudah-mudahan bukan bekas Grover. Peeta mengambil pizza itu, juga sekaleng coke, lalu duduk di sofa. Memikirkan harinya. Tidak seburuk yang ia perkirakan. Murid-murid yang ada di kelasnya cukup menyenangkan. Tidak terlalu ribut dan berani bertanya.

Kalau dipikir, lucu juga. Peeta Melark menjadi guru. Mantan presiden dari salah satu perusahaan terbesar di dunia sekarang menjadi dosen di sebuah universitas kecil. Gila? Tidak juga. Peeta hanya naif. Berharap dengan melarikan diri semuanya selesai. Berpura-pura semuanya baik-baik saja. Berharap seiring berjalannya waktu, ia bisa melupakannya. Melupakan semua masa lalunya.

Bagaimana dengan Katniss? Bisakah ia melupakannya? Wanita yang pernah mengisi hatinya. Lebih tepatnya masih mengisi hatinya. Walaupun sekarang keadaanya berbeda.

Hujan. Pantas saja. Ia jadi teringat Katniss. Katniss selalu suka hujan. Entah bagaimana, hujan selalu membuat memori-memori itu berputar di kepalanya.


"Katniss!" Wajah itu menoleh. Menampilkan senyumnya yang menawan. Tangannya mengisyaratkan Peeta untuk mendekat.

"Sudah kukatakan berkali-kali, tunggu aku." Katniss hanya tertawa. Peeta mendekatkan payung yang dibawanya menutupi kepala Katniss. "Jangan berjalan saat hujan tanpa membawa payung." Gadis itu hanya mengangguk. Seluruh tubuhnya sudah basah kuyup. Rambut coklatnya menempel di sisi-sisi wajahnya.

"Kau harus mencoba berjalan saat hujan tanpa payung, Peeta." Gadis itu menoleh. "Rasanya menyenangkan."

"Aku tidak mau jatuh sakit hanya karena mencoba berjalan saat hujan. Siapa yang mengurus perusahaanku nanti?"

"Ya, kau benar." Peeta mengacak-acak rambut Katniss. Memandangnya dengan rasa sayang.

Katniss mengecup pipi Peeta. "Kalau kau sudah sering bermain di bawah hujan, kau tidak akan jatuh sakit hanya karena berjalan tanpa payung."

"Aku sudah bukan diumur yang tepat untuk bermain hujan-hujanan. Dan besok aku akan menjemputmu dengan mobil."

Katniss menggeleng. "Nanti saja saat musim panas. Aku mau menikmati hujan." Peeta lagi-lagi menatap Katniss dengan sayang. Bagaimana bisa gadis pemberontak itu berubah menjadi semanis ini?


Peeta menutup matanya. Menikmati momen itu dalam memorinya. Mengingat-ingat wajah gadis itu. Matanya, hidungnya, bibirnya, alis, sampai rambutnya yang basah.

Aromanya saat bercampur dengan aroma hujan. Tatapan matanya yang jernih. Gestur tubuhnya yang terlihat bebas.

Dia rindu semuanya. Masa lalunya. Keluarga, teman, perusahaan. Bahkan karyawan-karyawannya yang selalu salah saat membuat kopi. Semuanya. Tapi ia sudah terlanjur memilih jalan ini. Jadi Peeta tidak akan kembali. Tidak ada alasan yang tepat untuk kembali.

Katniss, dimana dia sekarang?

"Peeta!" Siapa? "Peeta! Cepat buka," Grover?! Peeta membuka pintu, penasaran dengan penyebab temannya itu mengetuk-lebih tepatnya menggedor-pintunya.

"Peeta! Kau harus lihat apa yang terjadi dengan halaman belakang rumahku!" Dengan cepat Grover menarik lengan Peeta yang terlihat enggan untuk mengikutinya.

"Lihat? Lubang ini! Tiba-tiba saja muncul! Dan tadi ada suara langkah kaki. Aku tinggal sendiri!" Peeta menatap temannya itu. "Lubangnya hanya seukuran lubang tikus, Grover."

"Tapi setelah aku mendengar suara kaki, aku ke sini dan tiba-tiba ada lubang ini! Pasti ada penyusup."

"Kau gila Grover. Siapa yang bisa masuk lewat lubang sekecil itu?" Dengan sedikit kesal ia langsung meninggalkan rumah Grover.

...

"Panem adalah sebuah negara yang sangat maju. Beberapa peninggalannya sangat berguan bagi bangsa kita. Namun seperti yang kita semua sudah ketahui bahwa beratus-ratus tahun yang lalu Panem telah menghilang. Para arkeolog dan ilmuwan masih menyelidiki masalah hilangnya Panem ini. "

"Apa pendapat kalian?" tambahnya.

"Aku pikir Panem itu Atlantis."

"Tidak mungkin, Panem itu di Amerika Utara."

"Mungkin saja. Teknologinya kan sama-sama maju."

"Iya! Sama-sama menghilang begitu saja."

"Yang benar saja. Kau pikir pilar Athena itu di Amerika Utara?"

"Siapa yang tahu kalau Plato salah?"

Peeta sedikit kesal dengan murid-muridnya yang jadi berisik. "Aku menyuruh kalian menyampaikan pendapat bukan ribut sendiri."

Satu tangan mengacung tinggi, dengan enggan Peeta menyuruh anak itu menyampaikan pendapatnya. "Bagaimana kalau kita semua salah?" Murid-murid lain menatap anak itu. Yang berbicara sambil menunduk. Gadis itu mengangkat kepalanya, "bagaimana kalau sebenarnya semua itu hanya dongeng? Tidak pernah benar-benar ada?"

Peeta tersentak.

Bukan, bukan karena pendapatnya.

Tapi tatapan anak itu.

"Katniss..?"


"Kau yakin kali ini kita akan berhasil?" Gadis itu menyahut dengan yakin, "harus."

"Tetap saja aku menganggap hal ini bukanlah jalan keluarnya." Gadis itu kembali merasakan air matanya turun ke pipi. "Mau bagaimana lagi? Kau kan juga tahu betapa berharganya dia."

"Tapi..."

"Aku tau ini yang terbaik."

"Kau bisa menghancurkan segalanya."

"Aku tidak peduli."

"Kau sendiri juga bisa mati."

"Aku tidak peduli!"

"Kau bisa gagal, kemungkinan besar kau akan gagal."

"Jangan coba menghentikanku. Aku tidak akan gagal. Bagaimanapun caranya aku tidak akan gagal. Aku tidak akan membiarkan Peeta mati."

TBC

Lena Magenta