"Nah, Rivaille. Tolong jaga dia, ya–"
Dan sambungan telepon terputus–ralat, sengaja diputus. Terkutuk, Erwin, Rivaille membatin. Berbagai frasa sumpahan dan hinaan hadir di benak Rivaille untuk pria dengan surai pirang tersebut. Wajar. Siapa yang tidak kesal kalau saat kau baru saja bangun tidur pada hari libur lalu mendadak atasan sekaligus temanmu tiba-tiba meneleponmu dan berkata,
'Aku ingin menitipkan seseorang padamu, namanya Eren Yeager. Hanya kau yang bisa menjaganya–ah, pokoknya kau akan tau jika sudah bertemu anak itu. Nanti Eren sendiri akan datang ke apartment-mu, aku sudah memberikan alamatmu padanya. Nah, Rivaille. Tolong jaga dia, ya.'
(Perlukah Rivaille ingatkan berkali-kali, ia adalah seorang kepala dokter, bukan budak idealis.)
Kenapa harus Rivaille? Ia sendiri mempertanyakan hal itu. Rivaille menggerutu. Erwin tidak pernah bosan merepotkannya.
Dan handphone Rivaille mendadak bergetar kecil lagi, pengirimnya–oh, tentu saja, si-pirang-brengsek-yang-selalu-menyusahkan-Rivaille.
From : Erwin
08.21 A.M
Text : Rivaille, Eren sudah otw ke aparment-mu.
Mati, Erwin.
.
.
.
Attack on Titan © Isayama Hajime
Warning! Typo, OOC, bahasa tidak sesuai EYD, dan lain-lain
Genre : Romance, Drama
Character : Eren Yeager, Rivaille Ackerman
Note : Saya membuat fic ini atas pemikiran sendiri, kalau ada kesamaan dalam bentuk apapun, itu adalah ketidaksengajaan.
"Take Care of Him" – Andrea Sky
.
.
.
Prolog : "Take care of him, okay–Rivaille?"
.
.
.
Knock, knock.
Tidak perlu waktu lama bagi Rivaille untuk tahu bahwa itu Eren. Jadi, dengan segera, ia membuka pintu apartment-nya, yang langsung menampakan seorang pemuda tanggung dengan surai hazel-nya dan sepasang manik keemasannya.
"Ah–" Eren mengalihkan pandangannya.
Rivaille menautkan alisnya. Tapi ia tidak ingin bertanya, jadi Rivaille hanya membuka pintu lebih lebar, menggeser tubuhnya ke samping–isyarat agar Eren segera masuk kedalam. Eren memasuki ruangan minimalis itu, menaruh sepatunya pada tempat sepatu, kemudian berbalik, menatap Rivaille langsung.
"Kamarku, –dimana?" tanyanya, datar, datar dalam segala aspek. Rivaille tidak berbicara, ia mengangkat tangannya, dan jari telunjuknya mengarah pada sebelah kamarnya. Dan Eren sendiri bergegas kesana, menutup pintu.
Sebenarnya, Rivaille bisa saja mematahkan leher sang Yeager muda saat itu juga–karena prilakunya yang sama sekali gak ada sopan-sopannya–tapi laki-laki dengan surai pekat itu diam saja, membiarkan Eren.
Kalau bukan karena pesan Erwin yang baru saja ia terima tepat sebelum Eren datang, ia sudah menghadiahi tendangan manis pada Eren.
Manik obsidian sang dokter melirik jam. Jam 9 tepat. Harus apakah dia sekarang? Rivaille berpikir sebentar. Kalau ia sendirian, maka biasanya ia akan keluar untuk sarapan, sekalian berbelanja untuk makan siang dan makan malam. Lalu, Eren bagaimana kalau ia keluar sekarang, menjalankan rutinitasnya seperti biasa tanpa memperdulikan pemuda–yang menurut Rivaille adalah seorang bocah–yang kini menempati 1 dari 2 kamar yang ada didalam ruang apart-nya?
Ah, lebih baik Rivaille bertanya.
Ketukan pada pintu kamar membuat Eren tersentak, pemuda itu langsung bertanya, "apa?" dari dalam kamar, tanpa berniat membukakan pintu.
"Yeager, aku akan keluar untuk membeli sarapan. Kau mau sesuatu?"
Erwin harus membayar mahal tentang ini, hey–ia tidak pernah bertanya pada orang dengan selembut ini, tau!
"… omelet. Aku ingin omelet."
Tuhan memudahkan Rivaille. Akan jadi lebih rumit lagi kalau karakteristik Eren yang tadi Erwin jabarkan melalui pesan singkat, akan Eren praktikan disini. Tidak, terima kasih. Tali kesabaran Rivaille termasuk pendek jadi ia tidak pandai menghadapi orang.
Nah, you got the point. Sudah tau Rivaille bukan orang yang sabaran, kenapa Erwin memilihnya? Rivaille tak habis pikir, lagipula, ini sangat teramat merepotkannya. Mengurus manusia tidak semudah mengurus ruang apartment yang bisa kau bersihkan setiap minggu.
Growl.
… Aku lapar.
Bersamaan dengan kata batin terakhir, Rivaille membuat sebuah memo, menaruhnya diatas meja makan, mengambil kunci mobilnya, keluar dari kamar apartment, kemudian menguncinya.
Eren tau Rivaille sudah pergi, tadi, ia mendengar suara pintu yang terkunci. 10 menit kemudian, Eren menghela napas sebentar. Ia lapar. Jadi, Eren bangkit dari kasur yang semula digunakannya untuk merebahkan tubuhnya, kemudian, ia berjalan kearah pintu kamar, memutar gagangnya, membuka pintu, pelan. Dan sepasang manik brunette menangkap memo kecil bewarna biru muda diatas meja makan.
Ah, apa ini tulisan tangan Rivaille? Menurut Eren, cukup bagus untuk ukuran seorang dokter–setidaknya begitulah kata Erwin, pamannya, bahwa orang yang akan mengurusnya nanti adalah seorang kepala dokter rumah sakit terkenal di Jerman.
Ngomong-omong, isi memo-nya :
Ada susu di kulkas.
Sudah. Sudah, itu saja isi memo-nya. Eren mengambil kertas kecil itu dengan tangan kanannya, menatap benda itu lekat-lekat, kemudian terkekeh kecil.
Ah, ya. Eren memang lapar, mungkin segelas susu bisa menahannya sebentar, selama Rivaille keluar untuk membeli makan pagi. Dibukanya kulkas oleh Eren, dan tidak sulit bagi Eren untuk langsung menemukan sekotak susu vanilla dengan ukuran yang cukup besar.
(Apa karena lelaki itu pendek maka ia membeli susu? Mau tak mau Eren jadi berpikir seperti itu saat melihat kotak susu itu)
Tangan Eren menggeledah lemari-lemari kecil yang terpaut di dinding, ia menghela napas lega saat menemukan lemari dengan isi gelas didalamnya. Diambilnya satu gelas bening, lalu Eren menuangkan susu vanili itu kedalam gelasnya hingga agak penuh. Ia meneguk susu dingin itu, kemudian tersenyum tipis.
Enak. Terakhir kali ia meminum susu mungkin saat di sekolah dasar.
Klek–
–UHUK!
Pintu apartment terbuka, Eren mendadak tersedak, kaget mendengar suara yang tiba-tiba menghampiri gendang telinganya dan membuat jantungnya berdentum sekali dalam hentakan yang kuat.
"Uhuk–ukh…" Eren menepuk-nepuk dadanya, berusaha menghentikan batuk akibat salah masuknya liquid dengan perisa vanili itu kedalam tenggorokan, dan bukannya kerongkongan. Rivaille yang baru masuk hampir saja mendenguskan tawa melihat bocah itu terbatuk-batuk karena kaget. Heh, ternyata benar-benar bocah.
"K–kok cepat?" tanya Eren, setelah batuknya mereda.
"Hm-mmm," Rivaille menaruh kantung belanjaannya diatas meja makan, "dekat dari sini tokonya." ucap Rivaille, mengeluarkan makanan yang ia beli tadi.
"Nah–" pria itu menyerahkan sekotak makanan pada Eren. Dan saat membukanya, itu adalah makanan pesanan Eren tadi. Omelet. Mata honey Eren berbinar senang, wajahnya jadi sumringah, ya ampun–tadi anak ini wajahnya datar tanpa ekspresi, sekarang malah berbunga-bunga begitu hanya karena omelet. Aneh, ya.
Eren membuka kotak makan itu, mengambil sendok plastik yang tersedia didalamnya, kemudian mulai melahap sarapannya. Rivaille menghela napas lega, kalau mengurus anak begini mungkin ia bisa. Tapi tetap saja, Erwin berhutang banyak padanya. Bertopang dagu, Rivaille sendiri sudah duduk didepan meja makan, dan memakan makanan yang dibelinya.
Sebenarnya, Rivaille menolak percaya. Menolak percaya akan data Eren yang Erwin sms-kan tadi, karena memang anak ini tidak sesuai dengan apa yang tadi atasannya itu deskripsikan.
Harus melakukan apakah ia untuk mengubah sang bocah?
.
.
.
From : Erwin
08.56 A.M
Text : Sedikit tentang Eren, dia itu seseorang yang agak sensitive jadi kuharap kau tidak melakukan sesuatu yang membuat dia down. Eren bukan orang yang penurut atau kau bisa sebut dia pemberontak dan akan melakukan perlawanan kalau ia tidak suka sesuatu, jadi sabar menghadapinya. Tolong ubah anak itu juga, agar dia berhenti bekerja sebagai orang yang menjual tubuhnya untuk mendapat uang.
Akan kukirim pesan lagi nanti.
.
.
.
To Be Continued
.
.
.
Saya emang bezhaaaddd! :"v bikin fic yang gak bener lagi untuk kesekian kalinya, HAHAHA. /didepak/
