Ino mengigit bibirnya. Tangannya ia kepal kuatkuat disisinya, berusaha menahan diri untuk tidak menerkam lelaki yang berada didepannya itu.
Lelaki tersebut hanya memandang Ino dengan tatapan meremehkan. "Ada masalah?"
Ino merampas tas yang sedari tadi lelaki itu sodorkan kepadanya dengan kasar lalu langsung berbalik sambil mengumpat-ngumpat tidak jelas.
"Ino." Suara lelaki tersebut menghentikan langahnya, namun tidak membuatnya berbalik ke arah lelaki tersebut.
"Jadilah Bodyguard yang baik, Nona."
Ino menggeram tertahan. "Diam kau, Brengsek."
Disclaimer :Masashi Kishimoto
Genre: Romance, Hurt
Pairing: GaaIno
Rating: T
Don't Like, Don't Read
I'm your Bodyguard
.
.
.
Ino menghempaskan badannya dengan kasar di kasur. Nafasnya terengah-engah, capai karena harus bolak-balik ke kampus.
Matanya menerawang ke atas, pikirannya berkelibat dengan umpatan-umpatan bagi lelaki laknat tersebut. Tak henti-hentinya ia menghina sambil memukul-mukul kasurnya, kesal.
Ino tak habis pikir. Kenapa ia harus mempunyai majikan sialan sepertinya?
Ino menghela nafas panjang. Ia tidak menyangka kalau ia harus mengikuti jejak ayahnya, bekerja sebagai agen di perusahaan Keluarga Gaara dan terpilih sebagai agen atau bodyguard pribadi untuk Gaara, seperti ayahnya yang menjadi bodyguard pribadi ibu Gaara.
Ino mencibir, kenapa Gaara tidak memilih orang lain saja? Kenapa ia tidak memilih lelaki yang kekar kuat dan hebat sebagai pelindung pribadinya? Masih banyak anggota perusahaan disana yang lebih jago, tetapi kenapa harus dia yang terpilih? Gadis yang imut, cantik, dan manis ini?
Ino sedikit bersyukur dengan keadaan keluarganya yang tidak terlalu kaya. Karena menurut Ino, semakin kaya seseorang, semakin banyak musuh datang. Dan semua itu dialami oleh perusahaan ayah Gaara yang memang sangat besar. Bayangkan saja, 35% dari gedung-gedung mewah di dunia ini, semua milik perusahaan tersebut. Jadi, wajar saja bila keluarga tersebut membutuhkan bodyguard hebat. Karena tidak sedikit perusahaan yang menginginkan kejatuhan perusahan Sabaku ini.
Bahkan ia merasa kalau harta keluarga Sabaku tidak akan habis sampai tujuh turunan, itupun walau hanya dihambur-hamburkan saja. Saking kayanya.
Ino mengingat segala peristiwa-peristiwa yang terjadi selama ia menjadi agen pelindung atau bodyguard Gaara. Memang Gaara tidak telalu dikejar oleh musuh-musuh perusahaan ayahnya, hanya saja sekali dikejar, pasti sangat membahayakan.
Pernah suatu kali, saat mereka berdua baru saja pulang dari kampus, tiba-tiba ada sebuah mobil limousine lewat didepan mereka dan menembaki Gaara lewat jendela. Kejadian itu terasa begitu cepat. Bunyi dor berkali-kali, lalu bunyi erangan kesakitan Gaara, dan setelah itu bunyi pistol yang sudah disiapkan Ino membalas tembakan tersebut. Sayang, mobil itu terlalu cepat, sehingga Ino tidak dapat melumpuhkan musuh tersebut.
Gaara dibawa kerumah sakit dan harus menjalankan operasi untuk mengeluarkan peluru dari tubuhnya. Untung saja operasi tersebut berhasil, kalau tidak, Ino pasti akan terus menyalahkan dirinya sendiri karena merasa gagal melindungi Gaara.
Sejak peristiwa tersebut, Ino tidak pernah meninggalkan Gaara kecuali bila Gaara akan ke toilet atau sudah berada dirumah. Ia merasa benar-benar harus melindungi Gaara, walau Gaara sudah bilang kalau ia bisa mengatasinya sendiri.
Beriring dengan lewatnya waktu, Ino semakin dekat dengan Gaara. Bohong kalau ia bilang ia tidak menyukai Gaara. Bagaimana mungkin Ino tidak menyukai lelaki yang bahkan selalu menempel padanya selama hampir 2 tahun? Hanya saja karena status mereka tersebut membuat Ino harus menahan perasaannya sendiri.
Tetapi terkadang Gaara membuatnya kesal. Tidak jarang Gaara menyuruhnya melakukan hal-hal yang diluar kegiatan Bodyguard. Seperti mengerjakan tugas kuliahnya, membersihkan kamarnya yang luar biasa berantakan, mencarikan segala barang-barangnya yang hilang, memilihkan baju yang harus ia pakai, membawakan tasnya dan hal-hal konyol lainnya.
Ino benar-benar kesal kalau Gaara sudah seperti itu. Sudah berkali-kali ia menahan dirinya untuk tidak menghajar lelaki panda itu. Ia tahu, sekali ia tonjok, maka Gaara akan terkapar tanpa bangun selama setahun.
Ino menghela nafas dan menutup matanya perlahan. Entah kenapa tiba-tiba ia teringat dengan kenangannya selama ini.
Setiap pagi ia pasti menjemput Gaara dengan motor perusahaannya yang besar dan membonceng Gaara. Satu hal yang membuat Ino kesal, Gaara selalu saja memeluknya dari belakang sambil menyandarkan kepalanya diantara pundak dan leher Ino, membuat Ino tidak konsen menyetir.
Lalu terkadang saat malam, Gaara akan meneleponnya tanpa berkata apa-apa. Dia hanya diam. Lalu beberapa detik kemudian ia akan menutup telepon tersebut.
Hari sabtu merupakan jadwal untuk Gaara latihan Bandnya. Ia bermain Bass dengan sangat baik. Ino selalu menemaninya setiap latihan, untuk berjaga-jaga. Tak jarang mereka latihan sampai larut malam. Ino selalu berusaha untuk tetap tersadar agar bisa menjaga Gaara, walau terkadang iapun tertidur juga. Ia tahu Gaara pasti akan mengantarnya pulang. Tetapi yang ia bingung sampai sekarang hanya satu. Kenapa Gaara selalu melepas ikat rambutnya setiap ia tertidur?
Lelaki itu, Gaara, selalu membuatnya bingung. Lelaki itu selalu penuh misteri. Dahulu ia tidak menyukai makanan pedas dan steak, makanan yang sangat dicintai Ino. Tetapi tiba-tiba Gaara datang kepadanya dan memakan makan tersebut didepannya.
Lalu Gaara juga sangat takut akan ketinggian, tidak seperti Ino yang memang sangat menyukai ketinggian karena bisa melihat keseluruhan dari entah kenapa waktu yang lalu Gaara tiba-tiba mengajaknya pergi ke atap kantor untuk makan siang disana.
Gaara juga menjadi suka pada kopi, minuman favorit Ino. Padahal dahulu Gaara selalu mencecarinya dengan nasehat kalau kopi tidak baik untuknya. Kafeinnya berbahaya. Tetapi entah kenapa bisa, sekarang malah Gaara yang menyukai kopi. Pertamanya Ino terlihat bangga karena akhirnya Gaara yang selalu mengomel soal kopi, kini menyukai kopi. Tetapi lama-lama Ino kesal, ia menjadi mempunyai tugas baru, membelikan kopi untuk Gaara setiap pagi.
Gaara juga suka menghamburkan uang, tidak seperti Ino yang hemat banget. Contoh, bila ia sedang marah kepada pemilik sebuah restoran, maka dengan seenaknya ia pasti akan membeli restorant tersebut sebagai bentuk kemarahannya. Hal inilah yang paling dibenci Ino. Ia tahu kalau Gaara seseorang kayaraya, tetapi bukan berarti ia bisa membeli apasaja dengan seenaknya bukan?
Tetapi itu dulu. Entah kenapa sekarang Gaara selalu menahan dirinya untuk tidak seenaknya membeli gedung dengan sembarangan. Dan hal ini membuat Ino bangga sekaligus heran. Setan apa yang merasuki tubuh Gaara?
Ino menggeram tertahan saat mendengar ponselnya berbunyi tepat disebelah kepalanya. Ino membangunkan dirinya dari tidur-tiduran lalu mengangkat telepon tersebut setelah melihat display handphone untuk tahu siapa yang menelepon.
"Apa?" Tanya Ino sinis.
"Kesini. Sekarang."
Ino membelakkan matanya, kaget. "Apa kau gila? Ini sudah malam!" histerisnya sambil melihat jam dinding kamarnya yang menunjukkan pukul 19.45
"Sekarang. Tidak lama."
"Tapi…"
Tuuut…tuuut…
Ino melempar Handphone ke kasur, marah. Dasar lelaki brengsek itu!
Dan dengan umpatan-umpatan dimulutnya, Inopun keluar dari apartementnya dan memasuki mobil pribadi dari perusahaan Gaara, lalu melesat menuju kediaman Sabaku.
Ino menghentikan mobil sport hitamnya persis didepan pagar rumah megah tersebut. Ia memencet suatu tombol di dekat dashboard mobil. Dan tak lama kemudian, pagarpun mulai terbuka perlahan.
Didalam mobil tersebut memang sudah terpasang tombol untuk membuka pagar. Hanya saja mobil harus berjarak paling jauh 5 meter untuk membuka pagar besar itu.
Ino menurunkan dirinya dari mobil lalu memberikan kunci mobilnya ke arah pelayan yang senantiasa berdiri disana. Usai melihat mobilnya hilang dari pandangannya, akhirnya Inopun masuk ke dalam rumah megah tersebut.
Sudah berkali-kali Ino masuk ke rumah -atau istana?- Gaara. Tetapi entah kenapa ia selalu mengagumi gedung ini. Lantainya yang berwarna cream beserta perabotan-perabotan mahal nan menawan selalu membuat Ino terpana. Lukisan-lukisan indah yang terpajang di dinding rumahpun tak pernah luput dari mata Ino. Ia selalu menyukai lukisan di dalam rumah Gaara, walau sebenarnya ia sendiri tidak bisa melukis.
Ino memasuki ruangan keluarga dengan perlahan. Kaki jenjangnya melangkah dengan ringan, berusaha tidak menimbulkan suara yang tak perlu.
"Ino?"
Ino mendongkak. Dan iapun mendapati perempuan setengah baya sedang menatapnya dengan kening berkerut.
Dengan cepat, Inopun membungkukkan badannya, menunjukkan rasa hormat kepada salah satu majikannya. "Selamat malam, Nyonya Karura." Sapanya sopan.
Karura tersenyum kecil dan mengangguk, menandakan Ino untuk menegakkan badannnya lagi. "Ada apa malam-malam kesini?" ucapnya penuh tanda tanya.
Ino menghela nafas. "Saya dipanggil Tuan Muda untuk kesini." Ucap Ino sesopan mungkin. Ino melirik pakaian yang dikenakan Karura malam ini. Entah kenapa ia merasa pakaian Karura terlihat lebih rapi. Sepertinya ia akan pergi ke sesuatu tempat, pikir Ino.
Karura mengangguk kecil mengerti. "Dia ada di kamarnya."
Ino membungkukkan badannya lagi. "Terima kasih."
Setelah percakapan kecil tersebut dan berlalunya Karura dari hadapan Ino, ia pun berlari kecil menuju kamar Gaara.
Ia sudah tau semua letak ruangan yang berada di rumah tersebut. Jadi untuk menemukan kamar Gaara dari beratus ruangan dirumah tersebut, tidaklah susah. Lagipula, Ino memang sudah sering masuk ke kamar Gaara.
Ino memutar handle pintu kamar Gaara dan memasuki kamar tersebut dengan perlahan dan hati-hati. Ino sudah biasa dengan segala perabotan dan peralatan yang berada dikamar Gaara. Seperti beribu monitor tv, Alat-alat band yang lengkap, karpet yang mulus, Kasur king-size, lemari-lemari besar berisi baju, sepatu-sepatu mengkilat yang berjejer rapi, dan perabotan mahal lainnya.
Ino menoleh kekiri dan kekanan, mencari lelaki yang menelepon dan menyuruhnya kesini dengan semena-mena.
Ino melangkahkan kaki semakin memasuki kamar tersebut. Matanya masih saja mencari sosok Gaara.
Dan akhirnya ia menemukannya. Lelaki dengan rambut merah darah yang menyala hanya dibalutkan handuk putih yang melingkar di pinggangnya. Mengeksposkan tubuh atletisnya.
Ino terpaku sesaat, tak bisa bergerak. Ia terlalu syok untuk bergerak.
Gaara menaikkan alisnya, heran. "Apa?" tanyanya dengan santai.
Ino membalikkan badannya cepat-cepat sambil menggigit bibirnya, berusaha tidak melihat tubuh seksi Gaara. Tangannya mengepal dengan erat bersamaan dengan mengalirnya sensasi hangat yang memenuhi wajahnya.
"Kenapa kau tidak memakai bajumu?" Tanya Ino garang. Tak berani sedikitpun ia menoleh kebelakang.
"Aku habis mandi. Apa kau tidak lihat?"
"Lalu, kenapa tidak segera memakai bajumu?"
"Bukankah kau sudah biasa melihatku tanpa baju?"
Ino menggeram tertahan. "Ya. Tetapi kau selalu memakai celana," Ino menarik nafas panjang. "Bukan handuk." Lanjutnya.
Gaara mengangkat bahunya sedikit sambil mengerutkan kening. "Sama saja, kan? Sama-sama menutupi bagian bawah?" ucapnya enteng lalu berjalan kecil menuju lemari pakaiannya, yang berada didekat tempat Ino berdiri.
"Kunci pintunya. Aku mau ganti baju." Perintahnya tanpa menoleh sedikitpun ke arah Ino. Ino menghela nafas . "Aku keluar saja. Aku akan masuk sampai kau menggenakan pakaianmu. Lengkap" ucapnya dengan penekanan di kata 'lengkap'.
"Jangan!" sergah Gaara dengan cepat. Tangannya menahan Ino yang sedang melangkahkan kakinya menuju pintu kamar.
Ino menutup matanya erat-erat. Selalu seperti ini, sentuhan yang dibuat Gaara membuatnya merasa tegang. "Apa maumu?" tanya Ino dengan suara berat, tetapi tidak berusaha melepaskan pegangan Gaara.
Gaara mengeratkan pegangannya. "Kau harus membantuku. Jadi… tetaplah disini." Ucapnya dengan sungguh-sungguh seakan ia kehabisan oksigen dan hanya Inolah oksigennya.
Ino menghela nafas. "Baiklah." Ucap Ino akhirnya lalu langsung melepaskan tangan Gaara dengan kasar sambil berjalan perlahan menuju pintu kamar Gaara dan menguncinya.
"Jadi, kau mau apa?" tanya Ino dingin tanpa menoleh ke arah Gaara, karena ia merasa sekali menengok ke arah Gaara, ia yakin ia pasti akan pingsan ditempat.
Terdengar helaian nafas putus asa dari belakang Ino membuat Ino sedikit bergidik.
"Bantu aku memilih baju."
Ino membelakkan matanya. "Hanya itu?" tanyanya. Syok.
"Ya." Jawab Gaara singkat.
Ino tertawa meremehkan. "Baju apa, heh, Tuan sabaku? Piyama bergambar boneka? Atau Dress tidur merah muda?" ucapnya mengejek tanpa memutar tubuhnya. Ia tidak habis pikir, kenapa Gaara tiba-tiba memintanya memilih baju untuk tidur? Biasanya ia hanya meminta tolong Ino bila ingin pergi ke acara resmi perusahaan Sabaku.
Tak ada suara yang membalas perkataan Ino. Yang terdengar hanyalah suara tarikan nafas yang menentramkan dari lelaki bertato 'Ai' tersebut. Merasa ada yang aneh, Inopun akhirnya melirik sedikit ke arah tempat Gaara tadi berdiri.
Ino membelakkan matanya saat ia telah memutar tubuhnya 180 derajat. Gaara sudah berada didepannya. Tangannya mengunci Ino dari kiri dan kanan, membuat Ino merasa terpojok. Nafasnya yang hangat terasa dikulit mulus Ino. Wajahnya yang tinggal beberapa senti dengan wajah Ino terlihat sangat menawan. Lekukan wajahnya, mata hijaunya, Hidung mancungnya, kulit pucatnya, bibir seksinya, semua itu terlihat jelas di mata Ino.
Ino menelan ludah dengan susah payah. Saat tangannya menyentuh dada Gaara untuk mendorongnya menjauh, ia merasa sensasi hangat kembali menjalar. Tidak hanya wajahnya, tetapi kini seluruh tubuhnya. Tangan mungilnya yang masih menyentuh kulit Gaara menjadi gemetaran. Sungguh ia sangat takut… dan senang?
"Minggir, Brengsek." Suara Ino terdengar serak. Ia sudah terlalu panik untuk menormalkan wajah angkuhnya itu.
Gaara hanya terdiam. Tubuhnya sedikit membungkuk, untuk membuat wajahnya sejajar dengan wajah Ino. Ino merasa badannya semakin memanas saat Gaara mendekatkan bibirnya ke arah bibir Ino.
Ino membelakkan matanya saat Gaara akhirnya mencium bibir Ino dengan rakus. Lidah Gaara menjilati bibir Ino, seakan mengetuk bibirnya untuk segera terbuka dan membalas ciumannya. Ino tetap bersikeras untuk tidak membuka mulutnya. Ia sangat takut dengan apa yang akan terjadi nanti bila mereka meneruskan ciuman ini. Ia takut karena hal ini, ia bisa tidak bertemu Gaara lagi.
Gaara terus melumat bibir Ino dengan ganas. Tangan kirinya sudah memasuki sela-sela rambutnya dan mulai menekannya untuk memperdalam ciumannya. Dinding pertahanan Inopun pecah. Ino menyerah. Akhirnya iapun membuka mulutnya, membalas ciumannya. Ino memejamkan matanya perlahan, menikmati ciumannya. Walau Gaara terasa kasar, tetapi ia merasakan kehangatan yang keluar lewat ciuman tersebut.
Lidah Gaara mulai memasuki mulut Ino, berusaha menjelajahi setiap millimeter mulut Ino. Sedangkan Ino memejamkan matanya erat-erat merasakan sensasi bibir Gaara yang dari dulu ia inginkan.
Tiba-tiba Gaara terdiam kaku. Lidahnya berhenti bergerak. Tangannya melemas pegangannya dari kepala Ino. Bibirnya berhenti melumat. Dengan cepat, ia langsung mendorong dirinya menjauh dari Ino.
Ino mengerutkan keningnya. Bingung dengan tingkah Gaara yang tiba-tiba berhenti.
"Aku tak pantas menciummu Ino." Ucap Gaara dingin sambil melangkah menjauhi Ino. Tangannya meremas rambutnya. Ia terlihat sangat frustasi.
"Kenapa… Gaara?" tanya Ino dengan hati-hati. Matanya tak terlepas dari sosok Gaara yang sudah duduk dipinggir kasurnya sambil menopang kepalanya dengan tangan yang meremas rambut.
Gaara hanya terdiam, dan itu membuat Ino kesal. "Apa karena aku hanya Bodyguardmu?" tanya Ino lirih. Apakah karena kita berbeda? Tanya Ino dalam hati.
"Kau tahu kenapa aku memanggilmu kesini?" tanyanya dengan suara berat membuat Ino menyandarkan tubuhnya kembali ke tembok, was-was.
Ino mengangguk kecil, nyaris tak terlihat. "Memilih baju untukmu?" ucap Ino lambat-lambat. Tangannya ia remas. Ia merasakan hal buruk akan terjadi.
Gaara melirik Ino dingin. "Ya. Untuk acara perjodohanku."
.
.
.
Gaara POV
Aku tidak tahu kata apa yang cocok untuk mendeskripsikan gadis itu dimataku. Cantik? Semua orang pasti akan mengatakan hal itu juga bila melihatnya. Manis? Tidak, kurasa melebihi itu. Baik hati? Cih, dia justru merupakan gadis tergalak dan menyeramkan yang pernah kutemui. Pendiam? Haha, tidak mungkin. Dia bawel. Sangat.
Lalu apa?
Setelah kupikir-pikir sejenak, mungkin bisa dikatakan kalau aku tergila-gila dengannya tanpa alasan. Eh, bukan. Bukannya tanpa alasan, tetapi terlalu banyak alasan. Terlalu banyak alasan untuk mendeskripsikan kenapa aku mencintainya. Dan itu membuatku bingung bila ada yang bertanya mengapa aku cinta padanya.
Sejak pertama kali aku melihatnya di kantor Ayah, aku sudah tertarik dengannya. Entah kenapa mataku tidak bisa kupalingkan dari dirinya. Dirinya yang sedang duduk di meja kerjanya sambil meminum kopi terlihat sangat menawan. Aku selalu memperhatikannya seharian itu. Dan dalam satu hari aku bisa langsung menghafal lekuk wajahnya, warna irisnya, bentuk hidungnya, berat badannya, sifat-sifatnya.
Jujur, baru pertama kali aku memperhatikan wanita sampai seperti ini.
Suatu hari ayah memintaku untuk memilih salah satu agen dari perusahaannya untuk melindungiku. Pertamanya, sih, aku menentang habis-habisan. Aku lelaki, dan aku kuat. Untuk apa bodyguard menjagaku?
Tetapi akibat paksaan ayah menyebalkan itu, akupun akhirnya menyerah dan mulai memilih Bodyguardku. Satu ide terlintas. Bagaimana kalau aku menjadikan gadis tersebut sebagai agen pelindungku? Siapa tahu dengan begini aku bisa mendekatinya. Persetan dengan perkataan ayah yang menyuruhku untuk memilih yang lebih besar, yang penting aku bersamanya. Dan aku tidak akan pernah menyakitinya.
Tetapi nasib berkata lain. Aku yang malah selalu dilindunginya. Saat aku diserang oleh beberapa orang ditengah jalan, dia malah datang di depanku dan melawan mereka seorang diri karena aku terluka. Aku mengutuk diriku sendiri. Kenapa aku harus dikaruniai kemampuan lemah seperti ini, sampai-sampai seorang gadis bisa melindungiku? Kenapa aku membiarkan dirinya menjadi Bodyguardku, yang jelas-jelas bisa merengut nyawanya kapan saja?
Saat itu ia mendapatkan lembam dimana-mana. Aku benar-benar merasa bersalah karena membiarkan dia melawan musuh ayahku itu seorang diri. Tetapi dia malah mengatakan hal ini kepadaku "Jangan menyalahkan diri sendiri. Aku memang bertugas melindungimu, kok. Yang penting dalam hidupku adalah kau baik-baik saja."
Seharusnya aku yang mengatakan hal itu!
Setelah itu akupun menawarkan diri untuk mengobati lukanya. Sebenarnya ia menolak. Tetapi, mana mungkin ada orang yang bisa menentang Sabaku no Gaara?
Aku mulai mengobati lukanya. Setiap aku menyentuhnya, ia langsung merinding sendiri. Wajahnya sangat merah, dan ia selalu menggigit bibirnya. Pertamanya aku bingung kenapa ia seperti itu, tetapi lama-lama aku mengerti. Dia senang.
Aku menyukai rambut pirang pucat miliknya. Aku pernah mengatakan padanya kalau ia lebih bagus di gerai. Dan apa dia mendengarkan? Tidak. Dia bilang dia menyukai rambutnya yang diikat. Rambutnya memang selalu diikat, namun terkadang rambut tersebut kulepas secara diam-diam kalau ia ketiduran dikamarku atau di mobil. Karena aku merasa rambutnya terlalu indah untuk diikat.
Aku juga menyukai sifatnya yang blak-blakkan. Dia selalu tampil apa adanya tanpa merasa malu. Dengan penampilannya yang sederhana, dia masih tetap bisa membuatku selalu terpesona.
Saat aku tidak bisa tidur, aku pasti akan menelepon dirinya, tidak berkata apa-apa. Karena aku merasa dengan mendengar suara nafasnya membuatku tentram. Aku sedikit bingung kenapa dia tidak pernah protes dengan tingkah anehku satu ini. Tetapi kubiarkan saja. Yang penting aku bisa mendengar suara tarikan nafasnya yang membuatku tenang.
Aku selalu mengerjainya dengan menyuruhnya melakukan hal yang seharusnya tidak ia kerjakan. Aku senang sekali melihat wajahnya yang memancungkan bibirnya, ngambek. Terlihat sangat manis dimataku.
Ia selalu menjemputku bila pergi ke kampus naik motor. Bisa dikatakan dia perempuan yang bisa saja menendang Valentino Rossi dari arena balapan. Kemampuannya dalam membawa motor diatas rata-rata. Perjalanan yang seharusnya ditempuh selama 20 menit bisa menjadi 10 menit bila dia yang menyetir.
Aku pernah menanyakan padanya kenapa ia tidak melamar pekerjaan menjadi pembalap motor saja. Dan dia langsung memukulku.
Setiap naik motor, aku pasti akan memeluknya dari belakang. Setiap dia marah-marah karena perilakuku, aku hanya akan menjawab kalau aku tidak ingin jatuh. Padahal alasan yang sebenarnya adalah aku ingin mencium aroma tubuh dan rambut wanginya yang selalu semerbak .
Aku tahu ia selalu tegang setiap kusentuh. Aku merasakan bulu kuduknya yang berdiri dan badannya yang bergetar setiap kusentuh. Dan aku berharap mati-matian kalau ia seperti itu karena terlalu tegang dipegang oleh lelaki yang disukainya.
Aku belajar menyukai apa yang ia suka. Dan aku selalu berusaha walaupun sangat sulit bagiku. Contohnya, makan makanan pedas, meminum kopi, memakai kaos, memakan steak, menyukai ketinggian, menghemat uang.
Aku melalukan semua itu agar sama seperti dia. Dalam hatiku, rasanya aku ingin sekali segala sesuatu itu sama seperti dirinya.
Aku tidak tahu apakah ia meyukaiku atau tidak. Apakah ia mengetahui perasaanku atau tidak. Yang penting aku akan terus menjaganya dan melindunginya. Tidak akan pernah kubiarkan orang lain membuatnya menangis dan terluka. Bila aku mengetahuinya, aku akan membunuh orang tersebut hari itu juga.
Tapi kini dia terlihat sangat terluka didepanku. Badannya bergetar menahan tangis. Aku melihatnya dengan pilu. Dan aku menyadari satu hal. Aku harus membunuh diriku sendiri karena membuatnya seperti ini.
.
.
.
AUTHOR'S POV
Ino meremas tangannya yang berada di punggungnya. "Apa maksudmu.?" Tanyanya dengan suara berat. Matanya tak ia palingkan dari Gaara yang hanya terdiam sedari tadi. Ia tahan mati-matian air mata yang nyaris jatuh dari Aqua marine-nya.
Gaara membangunkan dirinya sendiri dari kasur lalu berjalan menuju lemari besar, membuka lemari tersebut dengan kasar. Pintu lemari tersebut menutupi Gaara dari pandangan Ino.
"Apa maksudmu, Gaara?" tanya Ino lagi.
Gaara menutup pintu lemari tersebut. Kini ia tidak dibalut lagi dengan handuk, tetapi diganti oleh celana bahan sutra berwarna hitam.
"Aku sudah dijodohkan dengan seseorang. Aku tidak tahu siapa gadis yang sial itu. Tetapi, perjodohan itu akan diadakan malam ini juga. Jam 9 nanti." Ucap Gaara sambil menyandarkan dirinya ke pintu lemarinya.
Ino membelakkan matanya. Gaara dijodohkan? Bagaimana mungkin? Kenapa ia tidak tahu sama sekali? Kenapa Gaara tidak memberitahuinya?
"Tugasmu adalah memilihkan baju yang tepat untuk acara nanti."
Ino merasakan dadanya yang sesak. Kenapa? Kenapa menjadi sakit seperti ini? Padahal tadi ia mersakan kebahagiaan saat Gaara menciumnya tiba-tiba, untuk pertama kali. Tetapi kenapa menjadi berubah drastic seperti ini?
Ino melangkahkan kakinya dengan perlahan menuju lemari Gaara. Tangannya terkepal kuat, berusaha menahan tangisnya. Ia tidak tahu sama sekali kalau dalam hati Gaara, Gaara juga merasakan sesak yang mendalam. Gaara juga merasakan pedih yang menyiksa didalam dirinya.
Ino membuka pintu lemari Gaara yang tidak Gaara sandar. Tempat dimana baju-baju formal Gaara diletakkan. Setiap langkah yang ia buat, ia selalu berpikir. Kenapa ini terjadi? Apakah karena ia hanyalah seorang Bodyguard?
Tangannya bergetar saat menyentuh baju Gaara yang tergantung. Hatinya terasa tercabik. Ino mengerjapkan matanya. Air matanya tumpahlah sudah. Ia memang sudah tidak dapat menahan rasa kesedihan di lubuk hatinya. Ia membiarkan dirinya membelakangi Gaara, agar Gaara tidak dapat melihat air mata yang membanjiri pipinya.
Ino menyentuh bibirnya. Bibir bekas lumatan Gaara, beberapa menit yang lalu. Kini ia merasa sangsi. Apakah adegan ciuman tadi benar-benar ada? Apakah Ciuman tadi benar-benar nyata? Atau ia terlalu berharap?
Sementara itu, Gaara hanya melihat Ino dengan nanar. Tangannya ingin sekali menyentuh pundak Ino yang sudah bergetar. Tetapi ia tahan kemauannya. Ia tahu, menyentuhnya hanya akan membuat gadis itu semakin terpuruk.
Gaara memejamkan matanya. Tidak mau berlama-lama melihat pemandangan menyedihkan suara isakan Ino memanaskan telinganya.
Yatuhan, Iblis macam apa dia sehingga membuat gadis tegar itu menangis?
.
.
.
Gaara terus menatap kearah depan, berusaha fokus menyetir. Kini ia sedang menyetir mobil Ino yang berjalan menuju restorant mewah tempat ia dan calon tunangannya itu akan bertemu. Sebenarnya ia harus menaiki mobil lain bersama orang tuanya, tetapi sebelum pergi tadi ia sudah memaksa orangtuanya untuk memberikannya ijin agar pergi bersama Ino. Jadi beginilah selanjutnya. Ia duduk dimobil Ino dan bersama-sama menuju restouran laknat tersebut.
Sudah hampir 20 menit mobil tersebut jalan. Tetapi tak ada satupun dari Gaara dan Ino yang memulai pembincaraan.
Mereka terlalu sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Mereka sama-sama merasa berat untuk memulai pembicaraan.
Ino menopang dagunya dengan tangan dan terus menatap keluar. Ia tidak mau Gaara melihat air matanya yang kembali mengenang di sudut irisnya. Ia tidak mau Gaara melihat Bodyguardnya ini kembali menangis.
Sedangkan Gaara, ia hanya terus menatap kedepan dengan diam. Sesekali ia melirik Ino yang juga tidak mengeluarkan suaranya. Gaara merasa tidak percaya bahwa ia akan melakukan ini kepada gadis yang sudah menempel dengannya selama 2 tahun.
"Ino." Panggil Gaara akhirnya.
Tak ada jawaban dari Ino. Tetapi Gaara yakin kalau Ino pasti mendengar suaranya.
"Maafkan aku. Aku telah menciummu tiba-tiba." Ucap Gaara dengan tulus.
Ino menggigit bibirnya lagi. Tangan kirinya mencengkram ujung rok pendeknya erat-erat. Kenapa kau membicarakan hal itu lagi, Gaara? Kenapa kau membiarkanku mengingat hal itu lagi? Teriak Ino frustasi dalam hatinya.
"Aku merasa sudah terlalu terpesona denganmu. Aku tidak bisa menahan keinginanku tadi." Ucap Gaara dengan jujur.
Ino merasakan rsa sesak menjalar dalam tubuhnya. Kenapa disaat seperti ini Gaara malah mengatakan hal itu?
Ino paksakan senyumannya untuk Gaara. "Tidak apa-apa. Aku hanya Bodyguard."
Mobil berhenti perlahan, menandakan bahwa mereka sudah sampai di tempat tujuan. Gaara membuka sabuk pengamannya dan mulai membuka pintu, keluar dari mobil. Ino yang ikut keluar dari mobil tersebut melihat mobil keluarga Gaara yang terparkir tidak jauh dari mobilnya.
Gaara berjalan perlahan, mendahului Ino yang tertinggal dibelakangnya. Tangannya membenahi jas hitam elegan miliknya.
Ino tersenyum miris. Penampilan Gaara hari ini sangatlah tampan. Kemeja berwarna merah marun serta dasi berwarna putih dan jas hitam yang dipilih olehnya terlihat sangat cocok di tubuh kekar Gaara. Ino yakin, gadis calon tunangan Gaara akan sangat terpana melihatnya.
Gaara memasuki restoran yang memang khusus untuk pertemuan-pertemuan. Ruang makan restoran tersebut dibagi-bagi, untuk membuat privasi bagi pengunjung.
Gaara memasuki sebuah ruangan yang memang sudah diberitahu Ibunya tempat ia akan bertemu dengan tunangannya. Terlihat lewat matanya ada enam orang didalam ruangan tersebut, duduk mengelilingi meja.
"Ah, Gaara sudah datang. Ayo masuk. Kami tinggal sebentar ya." Ucap Karura, Ibu Gaara, saat melihat Gaara yang berdiri di ambang pintu. Dengan segera, orang tua Gaara dan dua orang yang sedari tadi disana ikut meninggalkan ruangan tersebut. Meninggalkan Gaara dan seseorang gadis berambut Indigo berdua di tempat tersebut.
"Ino, kamu boleh pulang." Ucap Ayah Gaara yang melihat Ino berdiri terpaku dibelakang Gaara.
Ino membungkukkan badannya, "Baik."
Dengan perlahan, Ino pun meninggalkan Gaara yang sudah mulai memasukkan kakinya kedalam ruangan tersebut diikuti suara pintu ruangan tersebut yang ditutup oleh Bodyguard ayah Gaara.
Ino melangkahkan kakinya menuju mobil dengan berat hati. Rasa sesak didadanya membuatnya enggan meninggalkan tempat tersebut.
Ino menutup matanya. Angin yang bertiup disekitar tempat parkir mobil tersebut setidaknya membuat Ino tentram. Ia bisikkan berkali-kali didalam hatinya 'Aku hanya Bodyguard. Tidak lebih.'
Ino menghela nafas lalu membuka matanya, kembali berjalan menyebrang ke tempat mobilnya diparkir. Tanpa disadarinya, ada lelaki yang sedang berlari kecil dari arah yang berlawanan tanpa melihat Ino yang berada didepannya.
Bruk!
Ino meringis kesakitan, merasakan sakit diseluruh badannya saat ia jatuh terhempas di tengah jalan.
Lelaki yang menabraknyapun ikut meringis kesakitan sambil mengelus kepalanya yang menghantam kepala Ino.
"Maaf." ucap Lelaki tersebut tanpa menoleh ke arah Ino. Tangannya masih sibuk mengelus kepalanya yang kesakitan.
Ino terdiam. Badannya terasa mati rasa. Entah karena tabrakan dengan lelaki tersebut, atau karena masih terlalu sakit hati karena Gaara.
Lelaki tersebut mulai bangkit berdiri dan menepukkan celana sutranya yang kotor karena debu. Lalu tak lama kemudian iapun menyodorkan tangannya ke arah Ino, hendak membantu Ino untuk bangkit berdiri.
Ino tetap diam walau ia melihat tangan lelaki tersebut didepan matanya. Ia ingin meraihnya, tetapi tangannya tak bisa bergerak. Terlalu habis tenaga.
Tiba-tiba Ino merasa airmatanya kembali keluar. Rasa perih kembali menyusuri tubuh mungilnya. Badannya bergetar. Dan air mata mengalir lebih deras.
Lelaki yang sedang menyodorkan tangannya mengerutkan kening saat melihat Ino menangis. Ia menjongkokkan dirinya, membuat tingginya setara dengan Ino.
"Yang mana yang sakit?" ucap Lelaki tersebut sambil memegang tangan INo, mencari yang terluka.
Tak ada jawaban dari Ino. Yang terdengar malah suara tangis Inoo yang semakin besar. "Yang mana yang sakit?" tanya Lelaki itu lagi, kesal. Ia merasa ia tidak menabrak gadis tersebut dengan keras, tetapi kenapa gadis tersebut menangis? Dan kenapa tangisannya ini terdengar sangat memiris hati?
"Hei, hentikan tangisanmu. Tak ada yang terluka, kan?" ucap Lelaki tersebut jengah. Tetapi dia tetap melihat tubuh Ino, takut ada yang terluka parah.
Ino menangis semakin jadi. Tangan Ino kini menggenggam yangan lelaki tersebut denan erat, seakan menyalurkan rasa sakit yang Ino rasakan kepadanya.
Lelaki itu diam sambil terus menatap Ino yang menangis kencang. Pundak Ino naik turun akibat menangis. "Berhenti menangis bodoh." Ucap Lelaki tersebut dengan kasar. Ia sudah keburu kesal dengan kelakuan gadis didepannya tersebut.
Lelaki tersebut kesal saat melihat Ino tidak menghentikan tangisnya. Iapun menghela nafas panjang. Hanya ada satu cara untuk membuat gadis ini berhenti menangis.
Ino membelakkan matanya saat merasakan bibirnya disapu oleh bibir lelaki yang baru saja menabraknya. Ciuman lelaki tersebut terasa sangat hangat dan lembut. Hal itu membuat Ino akhirnya membalas ciuman tersebut. Entah kenapa ia kembali merasakan hal yang sama sebelum ia datang kesini, sebelum ia pergi dari kamar Gaara.
Mereka menghentikan ciuman mereka saat mereka membutuhkan udara untuk bernafas. Lelaki tersebut menyeringai saat mengetahui Ino tidak menangis lagi, tetapi malah jatuh tertidur di dadanya. Mungkun capai menangis, pikir lelaki tersebut.
Lelaki tersebut akhirnya menggendong Ino dengan ala bridal-style dan mencari kunci mobil Ino. Ia menekan sebuah tombol di kunci mobil tersebut dan langsung terdengar suara mobil yang tidak terlalu jauh dari tempat mereka berdua.
Lelaki tersebut membuat langkah menghampiri mobil Ino.
"Hei!"
Lelaki tersebut menghentikan langkahnya dan melirik ke arah yang berlawanan.
"Apa?" jawab lelaki tersebut sambil menatap orang yang berada tidak jauh darinya.
Pria berambut kuning yang memanggilnya tadi kembali bersuara. "Kupikir kau sudah pulang. Oh ya, siapa gadis itu? Perasaan tadi tidak bersamamu."
Lelaki tersebut menatap Ino yang berada di gendongannya. Entah kenapa ia baru menyadari kecantikan Ino.
"Hei, dia siapa, Sasuke?" tanya pria berambut kuning itu lagi.
Lelaki yang dipanggil Sasuke tersebut hanya menyeringai dan kembali melanjutkan langkahnya ke arah mobil Ino. "Calon kekasihku."
To be Continue
.
.
.
Hai. Maaf ya aku kembali menciptakan FF cacat dan abal tingkat tinggi.
Aku lagi butuh saran untuk ff ini. Kalau adacerita yang kurang jelas, kalian boleh memberitahukannya lewat review biar di chapter selanjutnya bisa kujelaskan.
Terus tokoh Gaara disini tidak kubuat sperti Gaara-Gaara yang biasanya *Ditimpuk*
Aku membuatnya menjadi lebih agak lemah. Jadi aku memohon maaf bila ada fans Gaara yang tidak suka akan sifat lemah yang Gaara miliki
Mungkin cukup segini saja bacot-bacot saya :D
Review?
