Hai semua. Lama tidak ketemu di fic karanganku.
Ehm. Hari ini aku mengeluarkan satu fic baru, request dari King Of Tuna. Ceritaku kali ini tidak seberat/sekelam/sedrama biasanya. Aku berusaha menampilkan suasana santai tapi juga berdebar-debar.
Settingnya AU. Tidak ada tentang mafia di sini. Hanya saja, Tsuna dkk sudah masuk SMA kali ini.
Oh, aku memakai judul lagu untuk setiap chapter. Kusesuaikan dengan isinya :) Yah, selamat membaca, Kuharap kalian menyukai cerita ini. :)
Disclaimer: KHR milik Amano Akira.
Oh, kalau kalian banyak waktu, bisa sekalian membaca cerita ini dengan mendengarkan BGM Sekaiichi Hatsukoi, Junjou Romantica dan game Altor yang judulnya "Moyamoya Suru", "Junsui Koigoro" dan "Aozora". Karena lagunya sangat mengena. Hehe.
Chapter 1: Urban Zakapa – Just A Feeling
Trio utama kita masih sama seperti biasanya. Ada Tsuna yang selalu berjalan diapit Gokudera dan Yamamoto. Mereka bertiga tidak berubah meski sudah masuk SMA. Anggap saja mereka SMA kelas satu. Masa di mana SMA terasa menyenangkan, penuh teman dan canda tawa di sana-sini. Kekonyolan dan humor menumpuk. Dikejar-kejar dengan rasa malas juga. Ya, tidak ada yang berubah di antara ketiganya. Otak trio itu masih Gokudera. Tubuh yang paling berbentuk di trio itu masih Yamamoto. Dan yang paling sederhana di trio itu masih Tsuna.
Di antara ketiganya tidak ada yang berpikir situasi seperti ini akan berubah. Tidak ada yang merasakan perubahan itu ada dan akan terjadi. Semuanya tetap dan akan selalu sama.
'Sama'.
Kata itulah yang menjadi pedoman Tsuna selama hidupnya. Dirinya tidak sadar perubahan karena dia terbiasa pada hal yang 'selalu sama'. Tapi bagaimana kalau hal yang 'selalu sama' itu diam-diam berubah tanpa sepengetahuannya?
Seperti hari ini. Hari sekolah biasa dan pelajaran yang membosankan. Yang ditunggu-tunggu hanya jam istirahat. Dan ketika bel berbunyi, seluruh pintu kelas langsung terbuka. Mengeluarkan anak murid seperti singa yang kelaparan dilepaskan dari kandangnya. Tsuna, Gokudera dan Yamamoto sedang berjalan menuju kantin saat itu. Tsuna berpisah dengan Gokudera dan Yamamoto karena dia mendadak ingin ke toilet.
Di jalan menuju toilet, angin terasa berbeda. Selalu angin berkumpul di sekitar toilet. Membuat lorong ini jadi lebih sejuk. Angin yang meniup rambut dan kerah baju Tsuna membuat pemuda itu tersenyum. Tsuna suka keadaan seperti ini. Di mana angin merebut semua perhatiannya.
Tapi hanya sampai situ saja angin itu menguasai Tsuna. Detik berikutnya dia menemukan sesosok laki-laki yang jauh lebih tinggi darinya berjalan ke arahnya dengan kepala sedikit tertunduk. Jarak Tsuna dan laki-laki itu cukup jauh. Namun mata Tsuna terperangkap dalam warna rambut laki-laki itu. Rambutnya pirang menyala. Begitu bersinar.
Tsuna cukup tertegun karena ada orang asing yang bersekolah di sekolahnya. Padahal SMA Namimori bukan sekolah swasta yang bergengsi. Hanya sekolah negeri biasa dengan standar normal dan prestasi sekolah yang sedikit di atas rata-rata.
Tsuna terus memerhatikan lelaki itu sampai akhirnya lelaki itu mengangkat kepalanya.
Statis. Semua gerakan di sekeliling Tsuna serasa statis. Yang bergerak hanya Tsuna dan lelaki itu. Itu pun terasa begitu lama. Entah sadar atau tidak, Tsuna terus memerhatikan wajah laki-laki itu. Alisnya yang tegas, matanya yang teduh, hidung yang mancung dan bibir tipis. Sekali lihat saja Tsuna tahu wajah itu begitu sempurna. Begitu memukau. Begitu menawan. Dan ternyata lelaki itu membalas tatapan mata Tsuna.
Hanya dalam beberapa detik mereka berbagi pandangan. Namun lekat. Tatapan itu membuat keduanya merasa jadi lebih dekat.
Tapi akhirnya sosok yang lebih tinggi itu pun melewati Tsuna. Angin yang menerpa Tsuna membawanya kembali ke kenyataan. Tsuna berhenti sejenak. Merasakan sesuatu yang tidak sama di dalam tubuhnya. Jantungnya. Benar. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Dengan alasan yang tidak disadari Tsuna.
Trio mereka tetap sama. Gokudera sebagai otak grup itu. Yamamoto sebagai si tubuh atletis grup itu. Dan Tsuna sebagai yang paling sederhana. Tapi sejak saat itu semuanya berubah bagi Tsuna. Mungkin di hadapan teman-temannya dia masih si sederhana Tsuna. Tapi orang yang paling sederhana itu tidak lama lagi akan jatuh pada hal yang tidak sederhana selama hidupnya. Semuanya akan berubah. Semuanya tidak akan menjadi sama lagi. Tsuna yang dulu akan berubah karena satu pertemuan di lorong itu. Karena tatapan mata selama beberapa detik itu.
-000-
Tsuna hanya tahu orang asing itu seniornya. Kelas dua. Satu tahun di atasnya. Karena dia sudah ingat di angkatannya tidak ada satu pun murid asing. Tapi hanya itu saja. Tsuna hanya tahu orang itu seniornya, tapi tidak tahu pasti di kelas dua berapa dan namanya siapa. Sebetulnya gampang mencari tahu soal orang itu karena Tsuna yakin orang itu satu-satunya orang asing di sekolahnya. Tapi Tsuna tidak pernah bisa menyuarakan rasa penasarannya itu karena dia malu ketahuan oleh kedua sahabatnya.
...padahal Tsuna sendiri tidak mengerti kenapa dia harus merasa malu. Dasar bocah.
Entah karena memang senior itu sangat menarik perhatian atau tidak, tapi Tsuna sering sekali melihatnya. Ya, memang senior itu sangat mencolok sebagai satu-satunya orang asing di SMA Namimori, tapi bukan berarti Tsuna setiap hari melihatnya kan? Bagaimanapun sekolah ini cukup luas. Tidak mungkin setiap hari mereka berpapasan.
Kenyataannya, entah bagaimana caranya, setiap hari Tsuna bisa melihat senior itu. Dan senior itu pun juga melihatnya. Selalu seperti itu. Misalkan Tsuna sedang melihat ke luar jendela, di gedung seberang, ada senior itu yang juga sedang melihat ke luar jendela. Dan mata mereka bertemu untuk beberapa saat.
Yang kedua, Tsuna sedang menuruni tangga dan senior itu muncul dari bawah. Mereka bertatap mata lagi saat melewati satu sama lain. Setelah itu masih ada saat Tsuna melihat kelas senior itu sedang olahraga di lapangan. Olahraga voli. Dan lagi-lagi ketika senior itu menengadah melihat bola, matanya menangkap mata Tsuna yang kebetulan sedang melihatnya di jendela.
Banyak sekali kejadian di mana mereka saling bertemu mata. Dan anehnya hal itu bisa terjadi setiap hari. Oh tidak, minus hari Sabtu dan Minggu. Kalaupun mereka tidak bertemu mata, pasti Tsuna melihat sosok senior itu. Akhirnya Tsuna sampai pada kesimpulan bahwa senior itu memang terlalu mencolok. Jadi tidak aneh kalau melihatnya setiap hari. Dengan kesimpulan itu Tsuna yakin menjawab rasa penasarannya selama ini, 'Orang itu begitu mencolok sehingga Tsuna penasaran padanya.' Sudah begitu saja.
Untuk beberapa hari, jantungnya tidak berdetak lebih cepat saat melihat senior itu. Tsuna mengendalikan dirinya dengan pemikiran sederhana di atas.
Namun di minggu ketiga semenjak insiden tatap mata pertama, Tsuna merasakan hal yang berbeda.
Siang itu Tsuna melihat kelas senior itu keluar dari lab kimia. Tsuna yang kebetulan juga berjalan melewati lab itu mencari-cari keberadaan senior itu dengan sudut matanya. Terpaut jarak yang sedikit jauh, Tsuna tetap mampu melihat senior itu keluar dari ruang lab dan mendengar sedikit obrolan para teman senior itu.
"Makanya lain kali hati-hati, Ai-chan. Kasihan teman sekelompokmu ini. Ya kan, Giotto?"
"Aduh, aku sudah minta maaf pada Giotto. Kenapa kamu bahas terus sih, Gin?"
"Tidak apa-apa kok Ai, Gin. Lagipula bisa dibuat ulang dan keburu waktu. Toh, aku juga pernah memecahkan tabung reaksi waktu kelas satu."
Hanya sepotong kalimat yang diucapkan oleh senior itu... oleh 'Giotto'. Sepotong kalimat dengan suara rendah yang mendebarkan. Tsuna tidak mampu melihat Giotto ketika mereka saling melewati satu sama lain. Kepalanya terus menunduk. Tanpa tahu kenapa dia terus menunduk. Saat sudah melewati Giotto, Tsuna kembali mendongakkan kepalanya. Jantungnya terasa aneh. Berdebar. Senang, namun juga ada perasaan sedih. Sekali Tsuna melihat ke belakang, melihat punggung Giotto dan dua orang temannya. Yang perempuan bernama Ai. Dan yang laki-laki bernama Gin. Mereka terlihat begitu dekat, begitu akrab dengan Giotto. Dan hati Tsuna merana melihat itu. Sayangnya anak sederhana itu tidak mengerti perasaan itu adalah perasaan 'merana'. Tapi di saat yang bersamaan, Tsuna sendiri merasa senang karena dia bisa mendengar suara senior itu dan mengetahui namanya.
"Tsuna!"
Tsuna tersadar dari lamunannya dan melihat ke depan. Ada Yamamoto di sana.
"Yamamoto." Panggil Tsuna.
Pemuda itu segera berlari menuju sahabatnya. Tidak tahu kalau Giotto ternyata menghentikan langkahnya sesaat dan memutar badannya untuk melihat ke belakang.
-000-
Sudah lewat beberapa minggu dan hal bertemu mata masih sering terjadi. Tapi Tsuna tidak pernah bisa bergerak lebih lanjut. Begitu pula Giotto. Satu sama lain hanya tahu kalau mereka adalah teman temu mata. Oh, bukan. Bukan teman. Junior dan senior yang sering bertemu mata.
Dan ternyata batas itu membuat Tsuna makin merana. Rasanya ingin lebih, tapi Tsuna yang sederhana tidak menyadari perasaannya. Dia mengakui dan tahu kalau dia tertarik pada Giotto. Tapi dalam hal apa, hal itu masih belum disadarinya.
-000-
"Sawada-kun, bisa tolong bantu ibu?"
Saat Tsuna hendak keluar dari ruang guru, Bu Haginuma, guru ekonomi kelas Tsuna memanggil pemuda itu. Tsuna mundur beberapa langkah ke arah meja gurunya.
"Kenapa Bu?"
Cemas karena ulangan terakhir Tsuna kurang bisa, dia sedikit menjaga jarak dari guru yang cukup senior itu. Tsuna memang tidak tahan dengan guru-guru senior. Rambutnya yang sudah mulai memutih dan kaca mata tebal bersudut runcing. Rasanya seperti karakter-karakter jahat di komik-komik atau di game. Meski sesungguhnya Bu Haginuma bukanlah seorang guru galak, malah guru yang sangat lembut.
"Ini buku tugas kelas kamu. Tolong dibagikan ke masing-masing anak ya. Ibu sudah periksa semuanya."
"Oh. Baik Bu."
Satu tumpuk buku 40 siswa dipegang dengan kedua tangan Tsuna. Bingung karena dia tidak bisa memegang kenop pintu, terpaksa dia mendorong pintu tersebut dengan punggungnya. Saat Tsuna sudah melangkahkan kakinya keluar, ada orang yang berniat masuk ke dalam ruang guru tanpa mengetahui Tsuna mendorong pintu tersebut. Terjadi tubrukan kecil sehingga beberapa buku yang paling di atas jatuh dari tumpukan. Tsuna terburu-buru meletakkan buku yang lain di lantai dan berjongkok untuk memungut buku-buku yang jatuh. Orang yang menabraknya sudah lebih dulu berjongkok dan melakukan hal yang serupa. Tsuna melihat siapa gerangan orang yang menubruknya.
Rambut pirang yang dikaguminya. Itu Giotto. Senior yang menarik perhatiannya. Tsuna memerhatikan Giotto sedikit sambil memungut buku. Tapi ketika Tsuna ingin mengambil satu buku terakhir, tangan Giotto lebih dulu memungutnya. Mereka berdua berdiri berhadapan. Giotto mengulurkan empat buku yang jatuh tadi. Tsuna mendongak untuk mengucapkan terima kasih.
Tapi sepertinya Giotto tidak mengizinkan Tsuna berkata-kata. Giotto tersenyum lembut pada Tsuna. Senyuman itu begitu hangat. Begitu memukau. Tsuna sampai tidak bisa berkata-kata. Suaranya tertahan di tenggorokan. Lidahnya kelu. Padahal hanya sebentar Giotto tersenyum, tapi Tsuna merasa begitu lama. Senyuman yang sangat menawan. Membuat Tsuna beku tak mampu bergerak. Tapi waktu tak mengizinkan Giotto untuk terpaku.
Giotto berlalu melewati Tsuna yang jauh lebih mungil darinya. Lengan Giotto sedikit menyenggol bahu Tsuna. Giotto membuka pintu kemudian masuk ke dalam ruang guru. Meninggalkan Tsuna di depan seorang diri. Masih terpaku.
Tsuna menghela napas. Melihat tumpukan buku yang sudah dipegangnya kembali. Lengkap. Tapi tidak seperti hatinya. Hatinya tidak terasa lengkap. Malah makin merana. Senyuman yang diberikan Giotto tadi tidak membuat Tsuna puas. Malah Tsuna makin bingung kenapa dia merasa begitu menyayangkan dia tidak bisa melihat senyuman itu lagi. Tsuna menengok ke belakang, melihat pintu yang tertutup. Apakah seperti itu pula Giotto pada Tsuna? Tertutup. Dan tidak akan terbuka.
Tsuna menghela napas sekali lagi. Dia sudah berpikir terlalu banyak. Tsuna kemudian membalikkan tubuhnya dan mulai berjalan. Tepat satu langkah dia maju, pintu di belakangnya terbuka. Tsuna sedikit terkejut. Dia segera menengok ke belakang.
Jauh di luar dugaannya, namun hati kecilnya mengharapkan. Tsuna berharap yang muncul di balik pintu itu adalah Giotto.
Dan mata Tsuna terkunci dengan orang di hadapannya itu. Bola mata coklat Tsuna menemukan hamparan langit luas yang jernih di seberangnya. Bola mata biru itu menangkapnya. Rambut pirang yang terhempas angin itu membawa cahaya ke dalam kehidupannya. Giotto berdiri di sana. Nyata. Tidak hanya dalam khayalan Tsuna. Berwujud. Bernapas. Dan akhirnya Tsuna tahu. Dia pernah mengalami hal yang sama sewaktu SMP. Oh tidak. Kali ini lebih dalam dari masa SMP. Dengan Kyoko-chan, perasaannya hanya sebatas suka. Tapi kini...
Melihat Giotto ada di depannya. Kembali menatap Tsuna dan berjalan mendekati Tsuna... Tsuna tahu. Dia jatuh cinta pada Giotto saat itu.
.
Sesungguhnya fic ini kuambil dari naskah film pendek tanpa dialog yang kubuat. Aku dan teman-temanku memang sedang sibuk melibatkan diri dengan aktivitas teater, perfilman, yah, dsb. Tapi di naskah asli kubuat hubungannya normal, bukan BL seperti ini.
Di fic ini aku lebih banyak mengutamakan perasaan Tsuna. Di lanjutannya nanti akan kuambil dari sudut pandang Giotto. Rasanya senang bisa membuat mereka yang masuk SMA. Aku menggambarkan keadaan SMA Namimori tidak jauh berbeda dengan SMA-ku. Dan senaaang sekali bisa membuat dialog Giotto sebagai anak SMA. Membuat Giotto jadi seumuran denganku terasa menyenangkan. Aku lebih bisa memahami karakternya.
Di fic kali ini aku lebih mengutamakan deskripsi perasaan daripada dialog. Kalau dihitung-hitung, dialog di fic ini kubuat kurang dari 10 dialog. Bahkan awalnya aku berencana membuat tanpa dialog sama sekali. Tapi kurasa ada sebagian pembaca yang tidak begitu suka melihat tumpukan paragraf berurutan. Jadi kubuatlah selingan dialog.
Untuk King Of Tuna, Tuna-chan (boleh kupanggil begitu? Hahaha), bagaimana kira-kira? Puas dengan chapter pertamanya? Semoga kamu puas.
Baiklah, chapter dua sudah mulai kubuat. Semoga bisa cepat ku-update. Terima kasih sudah membaca :)
