Copyright © 2015 by Happyeolyoo

All rights reserved

.

.

Library

Genre : Romance, Drama

Rate : T

Pairing : HunHan as Maincast.

Length : Threeshoot

Chapter : 1/3

Warning : Genderswitch. Miss typo(s).

Disclaimers : The cast is belonged to God, their parents, and their company. All text here is mine. Dilarang memproduksi atau memperbanyak seluruh maupun sebagian dari cerita ini dalam bentuk atau cara apapun tanpa izin dari penulis.

Summary : Akhir pekan selalu identik dengan liburan, 'kan? Tapi untuk minggu ini, Luhan harus pergi ke perpustakaan demi mendapatkan buku referensi untuk tugasnya yang nyaris mendekati deadline. Dia pergi ke perpustakaan swasta tapi nyatanya tidak mendapatkan buku yang dibutuhkannya. Yang ada malah Luhan yang jatuh cinta pada penjaga perpustakaan. Bayangkan saja, jatuh cinta pada penjaga perpustakaan.

BGM : So Into U by F(x)

Hari Sabtu.

Seharusnya menjadi akhir pekan yang ditunggu setiap orang; para pekerja kantoran akan libur kerja, seluruh siswa diperbolehkan tidak masuk sekolah, dan tempat hiburan keluarga akan dibuka hingga pukul sepuluh malam. Hari Sabtu adalah saat yang tepat untuk bersantai. Bagi sebagian wanita yang memiliki uang, pergi ke salon atau rumah kecantikan akan menjadi pilihan yang tepat. Mereka bisa bersantai sambil dimanjakan oleh tangan-tangan halus para pekerja salon; dipijit, di-peeling, di-masker, oh, betapa menyenangkan. Kalau tidak begitu, para gadis bisa pergi ke mall untuk mencari koleksi baju musim panas yang paling hot. Cuaca sedang panas dan seharusnya semua gadis modis memakai pakaian yang juga hot.

Hot yang imut, maksudnya. Ada sebuah gerai di mall Seoul City yang menawarkan koleksi-koleksi menakjubkan dari sebuah brand Jepang. Hellomori Girly, butik yang sudah menjadi langganan Luhan setahun belakangan ini. Sebuah surga para cewek yang menggilai potongan baju penuh brokat. Ada banyak sekali model baju yang ditawarkan; mulai dari gaun, denim & tee party, blouse, doll jacket, rok, dan segalanya. Semua yang berdesain imut tetapi tetap hot, ada di sana. Dan Luhan selalu tidak keberatan untuk menghabiskan hari Sabtunya dengan memilih koleksi-koleksi mereka di sana.

Hellomori Girly adalah tempat terbaik.

Tetapi nyatanya, Luhan punya rencana lain di hari Sabtu kali ini. Ada tugas kuliah yang harus dikumpulkan Senin lusa. Seharusnya tugas ini sudah selesai jauh-jauh hari—kalau saja Luhan tidak merusak laptopnya sendiri. Semuanya memang tidak sengaja, sih.

Sekitar seminggu lalu, Luhan sedang mengetik tugasnya sambil tiduran di atas balon karet yang mengapung di atas air kolam renang. Waktu itu dia sedang liburan di villa pamannya yang super kaya; jadi Luhan memanfaatkan semua fasilitas rumahnya, termasuk berjemur pukul tujuh pagi di tengah kolam renang dengan menggunakan balon karet. Luhan dibuai oleh kehangatan sinar matahari pegunungan sehingga lambat laun dia mulai tertidur.

Tertidur lelap. Dan terbangun dengan rasa amat terkejut karena dia merasa jika tubuhnya terombang-ambing. Sontak saja Luhan terlunjak panik, lalu tercebur ke dalam air; diikuti oleh laptopnya yang seharusnya cuman bertengger di atas perutnya. Seharusnya sih hanya bertengger, tidak usah ikut tercebur ke air.

Luhan selalu merutuki nasibnya waktu itu. Laptopnya mati total dan harus diservis sesegera mungkin. Pihak yang menservis laptopnya berjanji jika laptopnya akan selesai tepat tiga hari setelah hari itu. Tetapi nyatanya, laptopnya tidak bisa disembuhkan begitu saja. Ada begitu banyak air yang terjebak di dalam komponennya sehingga mereka harus membongkar ulang laptop itu. Dan terang saja pembongkaran itu membutuhkan waktu sekitar satu minggu.

Satu minggu ..

Padahal deadline tugasnya tinggal empat hari lagi.

Untung si Xiumin, teman satu apartemennya, berbaik hati dengan meminjamkan laptop pribadinya untuk Luhan. Jadi, Luhan berusaha mengingat apa yang sudah diketiknya dan menuangkannya dalam lembar microsoft word yang baru. Mengetik dan terus mengetik. Hingga akhirnya, Luhan lupa jika dia juga harus memiliki setidaknya dua buku referensi.

Buku tua yang seharusnya ada di perpustakaan kota. Tapi di akhir pekan, gedung pemerintahan akan tutup dan Luhan tidak punya kesempatan untuk meminjam buku.

Luhan nyaris menjatuhkan diri dari apartemennya di lantai dua setelah dia menyadari hal tersebut. Sebelum Luhan sempat melakukan tindakan nekat itu, Zitao tiba-tiba datang. Gadis bermata kucing itu menjadi tempat sampah yang mau mendengar semua keluhan Luhan mengenai tugasnya. Lalu, di akhir cerita, Zitao malah merekomendasikan suatu tempat yang menyimpan buku-buku tua.

Semacam perpustakaan milik seorang warga sipil yang tempatnya tidak terlalu besar, ada di kawasan Gwangmoo-do. Zitao yakin jika segala jenis buku tua dengan berbagai genre ada di sana. Luhan harus mencoba pergi ke sana jika dia ingin selamat.

Karenanya, di Sabtu pagi yang cerah ini, Luhan dan Xiumin pergi meninggalkan apertemen mereka menuju sebuah jalanan yang ditaburi sinar matahari.

"Di mana sih tempatnya?" Luhan mulai meracau saat dirinya tidak menemukan tempat yang dimaksud oleh Zitao. Pandangannya terus mengedar saat tungkai-tungkainya yang mungil bergerak menapaki aspal. "Apa menurutmu Zitao tidak salah memberi alamat?"

"Eih, tidak mungkin," Xiumin mencoba menghibur. Dia merapatkan kedua sisi cardigan brokatnya yang sengaja tidak dikancing. "Pasti kita sudah dekat."

"Tapi di mana," Luhan mulai jengkel. "Di mana tempatnyaaa .., eh?"

Sorot mata Luhan berkilat-kilat oleh suatu cahaya menyilaukan saat pandangannya jatuh pada papan nama sebuah tempat yang dicat warna aqua. Tempat yang mungil, yang dihimpit oleh toko mainan dan kedai hotdog. Indah sekali, semacam surga kecil yang menawarkan kesenangan tidak terbatas bagi para pecinta buku-buku tua.

Tapi sayangnya, Luhan bukan seorang pecinta buku tua. Jadi, dia tidak menganggap tempat itu sebagai surga.

"Permisi," Xiumin memberi salam saat dia yang masuk duluan ke tempat itu. Kepalanya melongok lewat pintu yang dijeblak terbuka. "Permisi, kami masuk, ya."

Luhan tidak peduli jika tempat itu tidak ada penjaganya. Yang jelas, papan kecil yang tergantung di jendelanya memamerkan kata 'buka'. Tubuhnya yang selincah rusa meluncur menghampiri rak-rak tua yang memiliki judul yang berbeda.

Psikologi. Politik. Ekonomi. Pengetahuan alam. Sastra. Romantika. Seks.

"Uhg, ada rak untuk buku semacam itu, ya," Luhan berujar jijik saat melewati rak yang memamerkan kata seks di panel judulnya. Gadis itu menghampiri sebuah rak yang menampung buku-buku psikologi, pandangannya mulai menyebar demi mencari buku yang diincarnya.

"Lumayan," Xiumin, yang tahu-tahu sudah berdiri di sampingnya, berujar pelan sambil membaca sebuah buku tua yang sampulnya dilapisi plastik tebal. "Kualitas bukunya lebih bagus dari pada di perpustakaan kota. Koleksinya juga cukup lengkap. Iya 'kan, Lu?"

Luhan hanya mengangguk-angguk. "Ya, kurasa begitu."

"Aku juga akan meminjam beberapa buku untuk tugasku selanjutnya," Xiuman menghampiri rak untuk buku sastra.

Luhan membiarkan sahabat tembamnya itu pergi mengurusi buku-buku sastra menggelikan yang ada di suatu sudut. Dirinya masih cukup sibuk dengan pencarian buku berjudul 'Otak menentukan masa depan' yang ditulis oleh seorang ahli psikologi di tahun 2003. Luhan pernah membaca buku itu; dia meminjamnya di perpustakaan kota dan dia berharap agar bisa menemukan buku itu di sini.

Empat puluh menit mencari, hasilnya tetap nol besar. Luhan tidak menemukannya.

"Kau sudah selesai?" Xiumin sudah kembali dengan membawa sekitar tiga buku tebal yang berhubungan dengan mata kuliahnya. Luhan langsung memberengut iri mengetahui hal itu.

"Belum. Aku kesulitan untuk mencarinya," kata Luhan tanpa mengalihkan pandangan dari sederet buku yang ada di hadapannya.

"Sebaiknya, kau tanya saja ke penjaganya," Xiumin memberi saran. "Itu, dia sudah datang."

Luhan mengangguk lalu dia meluncur menghampiri meja penjaga perpustakaan. Dia hanya perlu bertanya, menyuruh penjaga tempat ini untuk mengecek lewat komputer, lalu berterimakasih. Seharusnya memang begitu.

Bukan malah berdebar-debar bodoh saat matanya menemukan seorang demigod menyilaukan yang duduk di balik meja penjaga. Astaga, dewi batin Luhan menyuarakan kata 'tampan' berulang kali hingga membuat kepalanya terasa pening. Seorang pemuda berambut cokelat emas yang ada di sana memang teramat tampan. Dengan mimik serius di wajahnya, sepasang bibir tipis yang terkatub rapat oleh konsentrasi, hidung mancung yang memisahkan kedua pipi tirusnya. Jemarinya yang dibalut kulit seputih susu bergerak di atas keyboard, sesekali menyibak cover sebuah buku yang ada di samping keyboardnya, lalu kembali fokus pada layar komputernya. Perpaduan yang sempurna; ketampanan, kecerdasan, serta ketekunan.

"Lulu, apa yang kau lakukan? Kau tidak mau bertanya?"

Xiumin yang bertanya dengan nada yang stabil, tetapi anehnya terdengar cukup keras di ruangan yang sepi ini, membuat Luhan tersentak hebat. Dia sempat menoleh menatap Xiumin, lalu kembali menatap sosok pemuda itu.

Wah, sepertinya jantung Luhan sempat melupakan cara untuk berdetak. Selama beberapa saat, Luhan mengejang di tempatnya berdiri saat kedua manik pemuda itu manatap lurus ke arahnya. Otot-otot yang ada di seluruh tubuh Luhan seketika tersetrum.

Luhan mencoba berjalan tertatih menghampiri meja penjaga perpustakaan. Dengan bibir yang bergetar, dia berusaha melontarkan sesuatu. "P-permisi," ujarnya serak. Luhan butuh sebuah deheman untuk membersihkan tenggorokannya; tetapi dia tidak sanggup melakukan hal itu di hadapan pemuda ini. "A-aku mencari buku ber-berjudul ...,"

Apa? Luhan berteriak dalam hati. Apa judulnya?! Mendadak dia merasa mulas karena akal sehatnya tengah melayang-layang di udara. Dia melupakan satu judul buku yang penting setelah bertatapan dengan pemuda ini?

"Aduh, apa, ya," Luhan bergumam samar sambil menggigiti bibirnya. Raut gelisah mulai nampak di wajahnya.

"Apakah sebuah buku psikologi?" Pemuda itu menebak, secara tidak langsung menyebarkan napas harum mint yang amat menyegarkan.

Kepala Luhan mengangguk dengan gerakan cepat. "Y-ya!"

"Banyak sekali buku psikologi yang kami miliki. Apakah Anda ingat kapan terakhir kali buku itu diterbitkan?" tanya pemuda itu sambil mengetik sesuatu di komputernya. "Apakah Anda tertarik untuk membaca karya dari Hoon Jae Yeon? Mengenai 'Manusia dan hasratnya.'?"

Luhan tidak bisa berpikir, apakah dia membutuhkan buku semacam itu di tugasnya. Tetapi karena pemuda itu yang menawarkan, jadi kepalanya mengangguk saja.

"Oke, aku akan mencarikannya untukmu, Nona," Seulas senyuman terlukis di belah bibirnya yang tipis; nyaris membuat Luhan mati muda karena saking terpesonanya. Lalu pemuda itu keluar dari teritorialnya yang kecil dan berjalan menghampiri rak psikologi—diikuti oleh Luhan yang dengan antusias mengendus bau tubuh pemuda itu.

Wangi musk. Bercampur keringat dan sabun mandi. Luhan harus menahan diri untuk tidak mimisan sekarang ini. Pemuda itu berjongkok di hadapan rak sehingga punggungnya yang terlapisi kemeja terpampang begitu saja. Mengundang Luhan agar memeluknya erat; menyandarkan pipinya di sana.

"Ini dia," Sehun segera bangkit begitu dia menemukan buku yang direkomendasikannya pada cewek itu. "Karya Hoon Jae Yeon, kau pasti menyukainya."

"T-terimakasih," Luhan tersenyum malu-malu.

"Sudah menemukan bukunya, 'kan? Ayo cepat pulang, tugas sedang menunggumu," itu suara Xiumin. Gadis berpipi tembam itu merusak momen romantis yang menimpa Luhan dan cowok penjaga perpustakaan ini. Dengan perasaan dongkol, Luhan mengikuti Xiumin dan pemuda itu ke arah meja pencatatan.

"Ini perpustakaan milikmu atau bagaimana?" Xiumin mencoba bertanya saat pemuda itu menulis sesuatu di lembar biru yang terselip di halaman terakhir sebuah buku.

Pemuda itu tersenyum, "Bukan. Ini milik kakekku. Sesekali, aku ada di sini untuk menjaganya."

"J-jadi, bukan sebagai pegawai tetap?" Luhan memiringkan kepalanya ke suatu sisi; entah dari mana dia mampu melontarkan kalimat seperti itu.

Pemuda itu menggeleng tanpa menghilangkan senyuman di bibirnya, "Sama seperti kalian, aku juga harus kuliah dan mengerjakan tugas."

"Kau kuliah di mana? Kalau boleh tahu?" Xiumin menerima buku yang diserahkan Sehun.

"Universitas Hanguk," katanya. Lalu ditanggapi dengan 'oh' panjang oleh dua cewek cantik itu. "Nah, kalian harus mengembalikannya seminggu setelah hari ini, berarti hari Sabtu depan."

Xiumin mengangguk mengerti, tetapi Luhan melempar tatapan tidak rela saat dia akan pergi dari sini.

"T-tunggu," Luhan memutuskan untuk berada sedikit lebih lama di hadapan meja pencatat itu. Pemuda berkulit seputih susu itu mengerjap bingung. "Ti-tidak adakah nomor yang bisa kuhubungi? K-kalau saja aku tiba-tiba ingat judul buku yang ingin kupinjam, aku akan bertanya kepadamu."

"Oh," pemuda itu tampak keberatan, tetapi setelah melihat raut cemas Luhan, dia mengangguk. Tangannya bergerak meraih selembar kertas note dan menulis deretan angka di sana. "Silakan. Hubungi nomor ini kalau kau sudah ingat judul bukunya, ya."

Luhan memandangi kertas yang diserahkan pemuda itu padanya, berbinar-binar dan ceria. "Terimakasih!"

OoO

Luhan memiliki semangat tambahan sepulang dari perpustakaan, roh kehidupannya terbakar oleh api gairah sehingga otaknya mampu berputar stabil mengantarkan deret kalimat yang bisa diketik oleh Luhan untuk lembar tugasnya. Tidak perlu berpikir sampai pusing, semuanya sudah ada di otaknya. Semuanya bisa diselesaikan dengan tenggang waktu sekitar empat jam. Senyuman puas tercetak di belah bibirnya saat Luhan merevisi hasil kerjanya.

Sekitar pukul enam sore, Luhan pergi mandi dan disusul dengan makan malam yang biasa-biasa saja dengan Xiumin. Zitao datang sekitar pukul tujuh, membawa dua paket ayam goreng madu yang aromanya menyebar sampai mencapai titik tersempit di apertemen. Mereka menceritakan hal-hal yang terjadi mengenai cowok mereka; Chen si vokalis band kampus dan Kris Wu; anak orang kaya yang reputasinya nyaris menyamai F4.

Luhan bisa saja bertahan sampai perbincangan itu berakhir. Tapi nyatanya, dia malah kembali ke kamar bahkan sebelum Zitao menceritakan maksud ke datangannya; sesuatu yang berhubungan dengan Kris. Entahlah, Luhan akan mendengar ceritanya dari Xiumin besok.

Saat tubuhnya berbaring nyaman di ranjang, sekelebat siluet ketampanan rasional milik penjaga perpustakaan itu melayang dalam pikiran. Setitik rona terpercik sehingga sulur-sulurnya merambat dan menyebar di area pipi. Jantungnya merespon dengan detak berlebihan, otot-ototnya melemas. Luhan membalik tubuhnya menjadi tengkurap, lalu dia teringat sebuah note yang tertulis deret nomor telepon.

Apakah aku harus meneleponnya? Atau mengiriminya teks? Luhan mengalami pertimbangan berat sementara tangannya sudah memegang ponsel dan juga kertas note itu. Antara menghubungi atau tidak. Kegugupan sudah menguasai diri, Luhan merasa kacau saat jemarinya yang lancang mulai menulis angka-angka itu di ponselnya.

Astaga. Astaga. Detak jantung Luhan makin menggila dan tidak terkontrol saat dia mendengar suara nada sambungnya. Dua kali, lalu telepon diangkat. Luhan terkena serangan jantung.

"Halo?"

Luhan meraih boneka rusanya dan memeluknya erat-erat demi menguatkan diri. "H-halo?"

"Siapa ini?"

Bibir bawah Luhan terkulum. "Lalu kau siapa?"

"Maaf?" Yang ditelepon kedengaran sangat terkejut dengan apa yang baru ditanyakan Luhan. "Bukankah Anda yang menelepon saya?"

"A-aku cuman mau memastikan," Nada suara Luhan menukik tinggi lalu kembali merosot sehingga akhir kalimatnya nyaris tidak terdengar. "I-ini nomor siapa."

"Tunggu," Pemuda yang ditelepon nyaris melempar tawa. "Sepertinya aku tahu kau."

Ada kebakaran. Luhan baru saja merasakan kobaran kewaspadaan yang membuat pikirannya kosong. Bibirnya terbuka, lalu terkatup, dan terbuka lagi.

"Kau si cewek 'Manusia dan Hasratnya'. Iya, 'kan?"

Luhan mengerutkan dahi tidak mengerti, tetapi bola matanya malah melirik ke samping nakasnya; tempat di mana ada setumpuk buku referensi yang digunakannya dalam mengerjakan tugas. Sebuah buku dengan cover cokelat dan tulisan emas mencolok, membuat kedua matanya melebar.

Permen manis baru saja dilempar ke dalam mulut dan rasanya benar-benar menyenangkan. Marshmallow yang lembut; yang meleleh di dalam mulut layaknya ganache aprikot kesukaan Luhan. Sensasinya nyaris sama seperti sekarang; saat penjaga perpustakaan yang hot itu mengenali Luhan hanya dengan suara di telepon.

"Aku benar, 'kan?" Pemuda di sana kembali bersuara, Luhan mengerjap.

"T-ternyata kau masih ingat," Luhan mencicit malu-malu.

Hening sebentar. Tetapi pemuda itu langsung berucap sesuatu, "Jadi, kau sudah ingat judul buku yang kau lupakan?"

Eh? Benar juga. Alasan Luhan meminta nomor ponsel pemuda itu 'kan untuk bertanya mengenai judul buku itu. Tapi sekiranya, hal itu sudah tidak penting lagi.

"Tugasku sudah selesai," kata Luhan tidak nyambung. "Maksudku, buku rekomendasimu sudah membantuku sampai semuanya beres. Jadi aku tidak butuh buku yang sudah ..," Luhan terdiam untuk menelan ludah. "K-kau masih di sana?"

"Tentu saja," pemuda itu berujar kalem. "Lalu untuk apa kau meneleponku?"

"Apa aku mengganggumu?"

"Tidak," jawab penjaga perpustakaan itu. "Cuman penasaran saja."

Luhan mendengung sambil mencakar-cakar mulut boneka rusanya, bingung mau mengatakan apa. Lagi pula, kelihatannya pemuda itu keberatan dengan telepon ini. Luhan jadi merasa diintimidasi.

"K-kututup teleponnya, ya," suara Luhan yang penuh ketidak relaan terdengar dengan volume amat rendah. Dia tidak rela.

"Huh? Sudah selesai?" Pemuda itu terkejut. "Jadi sebenarnya, apa yang membuatmu meneleponku?"

Luhan tidak mau menjawab pertanyaan itu karena jempolnya tahu-tahu sudah menekan tombol mengakhiri panggilan. Gadis itu mengerucutkan bibirnya, memandangi penuh pedih layar ponselnya, lalu menyelimuti seluruh tubuhnya dengan selimut. Menyembunyikan diri. Semoga saja Sehun tidak mengingat wajahnya.

TBC

Wkwk ide awalnya muncul saat aku nonton metrotv yang lagi nayangin perjuangan kaum kalangan bawah buat bangun sebuah perpustakaan sederhana :") cerita yang keren banget dan gue malah kepikiran Sehun yang lagi duduk di meja penjaganya. Hmm

Hehehe kira-kira, apa yang dialami seorang cewek waktu nyoba nelpon gacoannya? Wkwk Luhan banget gitu deh :3 Jadi, gimana menurut kalian?

Btw, Selamat hari lebaran, minal aidzin wal faidzin, mohon maaf lahir bathin ;)

Kasih review, ya ;)

Xoxo.