Summary: Mereka kombinasi yang aneh, angka-angka yang tersusun acak tapi mempunyai arti penting. Yang satu merasa dirinya spesial, yang satu merasa tak terlihat. Hijikata selalu membuat rencana, sementara Gintoki maju mengikuti kakinya melangkah. Satu dan yang lainnya berbeda, namun justru itu yang membuatnya berbahaya.


Restoran itu tak ubahnya seperti kebun binatang. Ramai, penuh cekikik dan canda tawa, ditambah bumbu drama dan intonasi bicara yang kelewat serius. Pelayan-pelayan berlalu lalang tanpa henti, membawakan makanan dan minuman, sajian untuk orang-orang yang merasa dirinya penonton.

Ia tak pernah berpikir seperti itu, Hijikata Toushirou selalu jadi penonton, tak rela jadi binatang. Makanan Prancis yang namanya tak bisa dilafalkan terdiam di depannya begitu saja, semata-mata karena ada pergumulan dalam batinnya yang menghentikannya menelan benda itu.

Sesekali Hijikata melirik ke arah pintu masuk, mencari-cari wajah familiar itu dari belasan orang yang keluar masuk restoran. Pikirannya memutar kembali memori tadi pagi, saat jiwa impulsifnya tanpa ragu menekan tombol panggil itu pada ponselnya.

"Aku ingin mengajakmu makan malam ini. Mungkin agak aneh," suaranya di telepon berubah menjadi lebih serak, tenggorokannya tercekat, Hijikata tak pernah pandai mengolah kata-kata, "bisakah kita bertemu?"

Kau dan aku bisa melakukan hal-hal membosankan, seperti duduk-duduk dengan diiringi lagu-lagu Wes Montgomery yang mengalun sendu.

"Sejak kapan kau jadi sentimental begitu, eh?" orang di seberang telepon tertawa, terkesan mengejek.

"Kau bisa atau tidak?" Hijikata menggertakan gigi-giginya dengan tak sabar.

"Tergantung," lawan bicaranya terdiam sebentar, "aku agak sibuk hari ini, kau tahu?"

"Dan sejak kapan kau jadi orang sibuk?" Hijikata membalas, tak puas dengan jawaban tak pasti itu.

Ada helaan nafas, kali ini suaranya bercampur dengan bunyi cerek yang airnya sudah mendidih, "baiklah, Tukang Perintah, kita bertemu jam berapa?"

"Di stasiun seperti biasa? Jam tujuh malam."

"Tidak, lebih baik kalau kita langsung bertemu saja di restoran yang kau maksud itu,"

"Terserah, kalau begitu, nanti aku kirimkan alamatnya,"

"Oke, sampai ketemu nanti,"

"Sampai ketemu nanti."

"Kau ini aneh,"

Hijikata menerima sebutan itu, karena orang yang mengatakannya tak kalah anehnya dengan dirinya. Semu perak dan pucat tak pernah dibilang normal, mata seperti ikan mati itu juga tak bisa dibilang normal.

Hijikata dan Gintoki juga tak pernah jadi kombinasi normal.

Tapi ia tak pernah bisa memanggil Gintoki 'aneh', karena sebutan itu terdengar asing dan tak cocok dengan pemuda sebayanya itu. Gintoki selalu punya tempat di kehidupan ini, punya perannya sendiri seperti lampu-lampu jalanan yang warnanya berbeda dengan yang lainnya, di tengah hiruk pikuk kota dan orang-orang 'biasa'.

Ia mengenal Gintoki sejak kecil, tapi tak pernah benar-benar berteman dengannya sebelum masuk ke universitas yang sama. Ia tahu makanan favorit dan lagu-lagu yang dibenci Gintoki, tapi tak tahu betul apa pekerjaan si rambut perak itu. Hijikata hanya tahu ia bekerja di salah satu jaringan bar milik Otose.

"Tidak, tidak, pekerjaanku ini tak ada spesialnya, hanya mengurus ini-itu setiap hari, bukan sesuatu yang tidak biasa,"

Kala itu, Hijikata mengangguk dan mengangkat bahunya. Gintoki memberikan batas yang jelas tentang hal yang perlu diketahui orang lain dan yang tidak, dan Hijikata tak punya pilihan selain menjauhi batas-batas itu. Mereka biasa mengobrol tentang berbagai macam hal, dari berita terbaru sampai wanita dan kehidupan cinta, meskipun sifat mereka bertolak belakang jika dilihat dari luar. Saat bersama, rasanya mereka bisa melakukan apapun, bisa merencanakan segala hal dengan ideologi dan idealisme mereka yang sebenarnya sama.


'Aku agak terlambat, kau duluan saja,' – Diterima pukul 18.54

Tapi saat itu sudah jam delapan malam. Dan Gintoki tak biasanya terlambat begini. Hijikata memutuskan untuk memesan sepiring makanan terlebih dahulu, karena pelayan yang membagikan menu di ujung sana terus menatapnya curiga selama beberapa menit.

'Oy, kau jadi kesini tidak?' – Terkirim pukul 19.32

'Hei, gimbal, mau kupesankan sesuatu dulu?' – Terkirim pukul 19.52

'Gintoki, ini sudah jam delapan lebih, kau tahu?' – Terkirim pukul 20.17

Saat jam tangannya sampai di titik sepuluh malam, Hijikata berdiri dan beranjak meninggalkan restoran itu. Hatinya terisi berbagai macam emosi, yang sebagian besar berbentuk cemas dan amarah.


[ + 03 : 10 : 10 ]

Kalau dia memang hitam, Tosshi, dia tidak akan tertarik dengan ide untuk mendadak muncul.

Tapi sosok Sakata Gintoki di kepalanya masih berupa potret keperakan. Tidak ada hitam-hitamnya.

Tapi bangku di seberang mejanya hingga kini masih kosong.

"Kau tahu apa yang harus kau lakukan, kan?"

Hening empat detik.

Terdengar suara hembusan napas di seberang telepon—otaknya secara otomatis melukiskan semburat asap pekat melengkung melewati ujung kepala si penelepon.

Masih hening.

"Tosshi." Panggil si penelepon tenang.

Akhirnya, setelah sepuluh detik, bisikan samar berhasil lolos dari tenggorokannya.

"Ya."

Hijikata Toshirou berdiri, akhirnya melangkah melewati pintu otomatis restoran.

.

[MIDNIGHT BLUES/FIN]