Gadis Air

Disclaimer : Fairy Tail bukan punya author, Fairy Tail punya Hiro Mashima

Chapter 1

Di sebuah desa kecil bernama Rosemary, tinggalah seorang anak bernama Gray Fullbuster. Gray anak yang selalu ingin tahu. Ia tinggal bersama ibu dan kakaknya. Ayah Gray sudah meninggal ketika ia berumur 2 tahun. Kini ia berumur 12 tahun.

Suatu hari, seperti biasa Gray bermain bersama kedua tetangganya, Lyon dan Sherry. Mereka bermain cukup jauh dari rumah, di lapangan dekat hutan.

"Lyon, ayo lawan aku!" tantang Gray sambil menyodorkan sebuah pedang mainan pada Lyon. Lyon hanya menatap pedang yang disodorkan Gray. "Dengan pedang ini?"

"Iya, kenapa?"

"Tidak seru kalau bermain dengan pedang ini"

Gray mengamati sekitarnya. Matanya tertuju pada dua buah tongkat kayu yang tergeletak di tanah. "Bagaimana kalau pakai ini?" Gray menunjukkan tongkat yang diambilnya. "Anggap saja pedang sungguhan"

Lyon setuju, "Baiklah, tapi jangan menangis kalau aku berhasil menyerangmu nanti"

"Tidak akan. Aku cukup kuat. Jangan meremehkanku" ucap Gray percaya diri. Mereka pun mulai mengadu keterampilan memainkan senjata.

"Lagi-lagi main perang-perangan" gumam Sherry. Dia menonton Gray dan Lyon dari pinggir lapangan. Gray dan Lyon saling menyerang, berusaha mengenai lawan. Berkali-kali Gray menyerang Lyon, namun Lyon berhasil menangkis semua serangan Gray.

'Sudah kuduga, Lyon memang tangguh' batin Gray. Dia mulai kelelahan. Saat itulah, Lyon memanfaatkan kesempatan. Dia menyerang Gray secepat yang dia bisa. Gray hanya bisa berusaha menangkis serangan Lyon.

TAK!

Akhirnya Lyon berhasil menjatuhkan tongkat Gray. "Aku menang!"sorak Lyon. "Aduh…"ringis Gray. Rupanya serangan terakhir Lyon juga mengenai punggung tangan Gray.

"Bagaimana, Gray? Mengaku kalah?"

"Mengaku kalah? Tidak akan pernah!"

"Ternyata hanya itu saja kemampuanmu"

"Lain kali, aku akan menantang dan mengalahkanmu!"

Lyon mengalihkan pandangannya pada tangan Gray, "Kau tidak apa-apa, Gray? Maaf, aku terlalu bersemangat tadi"

"Aku tidak apa-apa, tidak sakit, kok" Gray melangkah ke pinggir lapangan, diikuti Lyon. Gray melihat Sherry duduk di atas batu sambil menyisir rambutnya. Gadis itu memang senang sekali menyisir rambutnya.

"Hari ini melelahkan" Lyon duduk di samping Sherry, sedangkan Gray duduk tak jauh dari mereka. "Kalian tidak bosan, setiap hari main perang-perangan terus?"Tanya Sherry.

"Kau sendiri? Tidak bosan setiap hari menatap bayangan dirimu di cermin?" Gray menyindir Sherry yang kini sibuk bercermin. Tapi kemudian, Sherry mengeluarkan sisirnya lagi. "Kau ini, setiap hari kerjanya hanya berdandan"Gray kembali berkomentar.

"Memangnya kenapa? Aku hanya berlatih" balas Sherry cuek. "Berlatih apa?"

"Aku ingin jadi penata rias kalau sudah dewasa nanti, jadi aku berlatih merias mulai sekarang"

Gray terdiam, Sherry sudah sering membicarakan cita-citanya. Tentu saja Gray tahu hal ini. "Kalau tidak bisa merias diri sendiri, bagaimana aku bisa merias orang lain? lanjut Sherry.

"Kau tidak bisa menjadi penata rias hanya dengan peralatan ini"Lyon yang sedari tadi diam, menunjukkan isi tas kecil Sherry, yang berisi peralatan merias sederhana. Sherry langsung merebut tasnya, "Kembalikan! Tentu saja tidak bisa. 10 tahun lagi, aku pasti bisa lebih hebat daripada ibuku, aku akan memiliki peralatan rias lebih banyak"

"Iya, iya. Kau selalu bilang begitu" Gray tampak bosan. "Biarkan saja, kupikir itu tidak mustahil kalau Sherry mewarisi bakat ibunya" ujar Lyon.

"Hihihi, aku jadi takut membayangkan. Jangan-jangan karena kebanyakan alat rias, riasan wajahmu jadi terlalu tebal seperti badut" ledek Gray. Sherry cemberut, "Gray jahat. Huh, lebih baik besok aku main dengan Flare saja"

"Jangan marah, dong. Aku kan cuma bercanda"

Tanpa terasa, langit yang tadinya cerah berubah menjadi mendung. Gray, Lyon dan Sherry menghentikan percakapan mereka.

"Aneh, aku tidak menyadari langitnya jadi mendung" Gray memandang langit.

"Aku juga. Rasanya cuaca cepat sekali berubah" timpal Lyon. "Sudahlah, lebih baik kita cepat pulang" Sherry langsung berlari menuju rumah diikuti Gray dan Lyon.

Sayangnya, sebelum tiba di rumah, hujan deras sudah menerpa mereka. Mereka terpaksa berteduh di bawah sebuah pondok kecil. "Untung kita tidak kehujanan" kata Gray, "Hujannya cepat sekali turun. Padahal tadi tidak terlalu mendung"

"Menyebalkan, hujan bikin panik saja" gerutu Sherry, "Benar-benar suram" tambahnya.

"Kita harus menunggu sampai hujan reda" kata Lyon.

Mereka bertiga terdiam, tidak ada yang memulai percakapan. Gray mengamati langit tertutup oleh awan abu-abu gelap dan tebal. Hujan turun membasahi bumi. Tidak ada yang menarik perhatiannya.

Tiba-tiba matanya menangkap bayangan seseorang di tengah hujan. Gray menyipitkan mata, berusaha melihat lebih jelas. Sosok itu mendekati mereka. Namun Lyon dan Sherry tidak menyadari kehadiran sosok itu. Rupanya, sosok itu adalah seorang gadis. Rambutnya biru tua, menggulung seperti ombak. Kulitnya putih pucat. Begitulah ciri-ciri fisik yang Gray lihat. Sambil memegangi payung yang menaunginya, gadis itu melangkah mendekati mereka.

"Siapa dia? Apakah dia mencari sesuatu?" batin Gray. "Bukankah kalau hujan deras seperti ini, lebih baik dia diam di rumah? Mengapa ia mau hujan-hujanan begitu?" pikirnya lagi.

Gadis itu berhenti berjalan , Gray bisa melihat sosoknya dengan jelas. Tinggi gadis itu lebih tinggi dari Gray. Gray menduga umurnya lebih tua. Gray menatap wajahnya. Gadis itu terbilang cantik. Namun, ekspresinya datar, tatapan matanya kosong. Nampaknya ia melihat Gray, sekilas ia menyunggingkan senyum tipis, tidak, mungkin lebih tepat seringai.

"Lyon, Sherry, anak itu siapa?" Gray mengalihkan perhatiannya. Lyon dan Sherry menoleh. "Anak yang mana?" tanya Lyon. "Itu" tunjuk Gray. Lyon dan Sherry melihat ke arah yang ditunjuk Gray. "Mana? Tidak ada siapa-siapa disana"

"Mungkin kau salah lihat"

"Tidak! Aku benar-benar melihat seseorang. Aku tidak pernah melihat anak itu sebelumnya"

Tak lama kemudian, hujan pun reda. "Akhirnya hujan berhenti juga" ucap Sherry lega. Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka bertiga langsung pulang ke rumah masing-masing.

.

.

.

"Tadaima!" seru Gray ketika sampai di rumah. "Okaeri" sambut Ul, ibu Gray. "Darimana kamu, Gray?"

"Tadi…aku bermain di lapangan dekat hutan bersama Lyon dan Sherry. Waktu pulang, turun hujan. Jadi, kami berteduh dulu" jelas Gray.

"Lapangan yang di pinggir desa itu?"

"Iya"

"Gray, lain kali jangan bermain terlalu jauh. Kamu, kan, bisa bermain di lapangan dekat kantor kepala desa"

"Iya, tapi lapangan itu terlalu ramai, Bu. Jadi kami memutuskan bermain di lapangan dekat hutan di pinggir desa saja. Lagipula di sana jarang dipakai anak-anak" kilah Gray.

"Tentu saja, para orang tua tidak mau anak mereka bermain disana"

"Memangnya kenapa, Bu?"

Suara Ul terdengar sedikit cemas, "Kata mereka, nanti bisa diculik gadis air"

"Gadis air? Siapa dia?" Tanya Gray penasaran. "Ibu dengar dari tetangga, gadis air itu suka menculik anak-anak. Tak tahu apa tujuannya. Kemunculan gadis air itu, ditandai dengan hujan deras tiba-tiba. Kalau dia menemukan anak yang sendirian, gadis air itu akan menculiknya"

"Jadi karena aku tidak sendirian, gadis air tidak menculikku" Gray menyimpulkan dalam hati. Gray teringat pada gadis misterius yang dilihatnya, "Apa mungkin dialah gadis air itu?"

Gray sedikit ketakutan, tapi ia berusaha menepis rasa takut itu, "Tidak! Tidak mungkin dia gadis air! Pasti hanya anak biasa"

Melihat ada ketakutan pada Gray, Ul menenangkannya, "Tenanglah, Gray. Yang penting kamu selamat. Mulai sekarang jangan pernah pergi terlalu jauh sendirian. Gadis air bisa datang kapan saja" Gray mengangguk.

"Sekarang kamu mandi dulu. Ibu akan menyiapkan makan malam"

"Baik, Bu"

To be continue

Gomen, kalau banyak typo

Mind to RnR?