Disclaimer: Saint Seiya bukanlah milik saya… nuff said, right? Fiksi fans ini hanya dibuat demi kesenangan dan kepuasan si penulis belaka, tanpa ada maksud untuk meraup keuntungan berupa uang dan sebangsanya. Just for the sake of free entertainment, really.


Dua Belas Detik

Oleh masamune11

Bab I

Bulan


*~ 12-11-10 ~*

Albafica.

Nama itu selalu ia cintai sepanjang hidupnya, hanya karena gurunya memberikan nama itu ketika yang lain tak ada bersamanya saat lahir. Nama yang diberikan oleh ayah, kakak, sekaligus gurunya yang dengan rela mengambilnya di antara tanaman-tanaman bermahkota merah.

Dulu, ia akan mengutuk siapapun yang telah menaruhnya di sana. Sekarang, ia akan berterima kasih pada keluarga aslinya sendiri karena telah membuangnya; tanpa andil mereka, mungkin ia tidak akan bertemu dengan gurunya sekarang, tidak akan bisa mengendalikan apa yang sudah ada di dalam darahnya semenjak dirinya dibuang di kebun mawar ini, dan tidak akan menyalahkan dirinya lebih jauh karena kematian dari gurunya sendiri—

-gurunya mati, di tangannya, layaknya saint Pisces yang lain. Butuh waktu lama agar ia menyadarinya, bahwa itu adalah kebanggaan saint Pisces; bahwa gurunya tidak mati dalam jalan yang percuma, meski ia hanya menemukan kesendirian dalam hidupnya.

Di depan nisan gurunya, sosok berambut kebiruan tersebut menaruh setangkai mawar putih—sebuah penyampaian salam terakhirnya sebelum benar-benar pergi dari tempat itu, sebelum benar-benar menempuh jalan aslinya seorang Pisces—

—sebelum benar-benar meninggalkan semuanya, kemudian berjalan sendirian.


*~ 9-8 ~*

Aries Shion mungkin orang pertama yang bisa mengerti ia berjalan sendiri, tentunya sebelum sang Paus.

Orang yang pertama menyadari keberadaannya saat ia meninggalkan normalitas seorang manusia, kemudian masuk dalam jajaran emas… adalah sosok pandai besi asal Jamir tersebut. Setiap kali Shion akan bertanya kepadanya, Albafica pasti akan menukas keras agar dia tidak mendekati dirinya, karena dia beracun.

Dan dia memang tidak ingin didekati.

Jalan Pisces adalah jalan yang sepi, dan ia sudah menerima takdir itu semenjak ayah pengasuhnya itu meninggal. Albafica tidak akan menarik siapapun untuk mengikutinya dalam jalan ini—siapapun, kecuali pewaris dari darah dan takdir mengerikan ini.

Sampai di kuilnya sendiri, sosok tersebut menimbang-nimbang opsi untuk membawa mati takdir ini. Albafica hanya menggeleng; Athena membutuhkan pelindung. Jika itu artinya menurunkan takdir ini pada anak didiknya, itu yang akan ia lakukan—satu lagi tumbal untuk jalan yang sepi.


*~ 7-6-5 ~*

Rodorio bukanlah tempat yang buruk. Malah, Albafica menganggap tempat tersebut sebagai rumah keduanya. Itu juga ia tidak mengindikasikan sebuah rumah hunian keluarga yang mau menyediakan tempat agar ia bisa singgah sesekali. Rakyat kecil di desa tersebut takut dengan perang yang akan datang dan berusaha untuk tidak terlibat, bagaimanapun caranya.

Hari itu langit cerah. Satu anak manusia menabrak rasa ketakutan tersebut, menganggap saint emas macam dirinya tidak akan memancing masalah—internal ataupun eksternal dunia normal. Ketika sosok itu merasakan sebuah tabrakan (secara harafiah) agak kuat pada kakinya, ia bisa tahu bahwa seseorang tak sengaja menabraknya.

Seorang anak gadis, dengan sebuah kantung benih di tangan kanannya.

Sepintas, ada rasa kesal yang membuncah di dada, hendak bertransformasi menjadi sebuah decak kesal, atau sebuah bentakan lemah agar sosok tersebut tidak mengganggunya. Namun, ketika matanya melihat sosok itu sekali lagi, sedikit gemetar dan ketakutan, semua amarahnya hilang.

Sejak kapan dirinya ditakuti?

Sosok tersebut masih memandangnya, seakan terpukau dengan fitur wajah dan paras tubuh yang—mungkin—lebih menarik daripada saint emas yang lain. Melihat bahwa gadis tersebut tidak akan menunjukkan tanda-tanda untuk pergi, Pisces Albafica akhirnya mendecak rendah.

"Jangan pernah dekati aku."


*~ 4-3 ~*

Itu hanya kain biasa, sungguh.

Albafica tidak pernah mengharapkan kain itu untuk kembali ke tangannya, terutama ketika ia sudah memberikannya sebagai perlindungan gadis itu—gadis pembawa benih yang sama pada hari cerah waktu itu—dari hujan badai. Ia mengikhlaskan kain itu, sungguh.

Sekarang, kain itu sudah berada di tangannya, terima kasih pada penjaga pertama kuil zodiak yang dengan tulus membawakan benda tersebut kembali padanya. Hidungnya bisa mencium bau lily dan mawar, dengan sedikit musk; wewangian yang hanya bisa ia cium dari parfum-parfum di kota, karena tanaman aslinya selalu mati saat bersentuhan dengan hidungnya sendiri.

Bukan berarti dia tidak suka.

"Gadis itu benar-benar berterima kasih padamu, Albafica, tidak peduli dengan situasimu."

Shion, seperti biasa, berusaha untuk memberikannya sebuah dorongan. Pada kenyataannya, ia tidak butuh itu sejak awal Namun, ia menghargai usaha orang ini untuk meluruskan hal yang berpotensi menjadi sumber miskomunikasi.

Mungkin itu hanya kain biasa, namun ia berniat menyimpannya, bukan karena kain itu miliknya, namun karena semerbak wangi itu selalu mengingatkannya akan hal-hal yang tidak akan bisa ia sentuh tanpa harus menghancurkan. Itu membuatnya hidup.


*~ 2-1 ~*

Ia mencium semerbak lily di udara, kemudian berpikir bahwa itu semua hanyalah efek dari otaknya yang mulai kekurangan nutrisi kala darahnya habis, keluar dari luka-luka fisik hasil kerja jendral specter. Meskipun semerbak lily tersebut hanya sebuah ilusi, ia harus berterima kasih pada siapapun yang mewarnai udara yang tengah ia hirup dengan bau tersebut.

Setidaknya, bau tersebut membuatnya fokus terhadap musuh yang ada di depan mata. Griffon Minos tersenyum begitu gila di hadapannya dan berulang kali memancing dan merendahkannya dengan satu kata: cantik.

Tidak ada yang cantik dari dirinya, dan itu adalah opini. Apa yang cantik dari seorang pria yang hidup sendiri seumur hidupnya, menahan diri untuk menyentuh orang lain karena sadar eksistensi dirinya membahayakan orang lain? Griffon Minos salah. Terlebih dari itu, ia menginjak-injak harga dirinya sebagai seorang saint Pisces.

Albafica bangga akan darahnya, meski ia harus menempuh jalan ini seorang diri, sebatang kara, sendirian. Griffon Minos tidak memilik hak untuk mengejek dan menyepelekan semangatnya.

"Kau tahu Minos? Kata-katamu menginjak-injak harga diriku, keparat. Kau belum melihat semuanya—tentang cosmo-ku ataupun hidupku!"


*~ 0 ~*

Semerbak lily yang ada di sekitarnya kembali menguat, membangkitkan kenangan yang begitu berharga, bahkan dalam kehidupannya yang begitu sepi. Seberapa lamakah ia berhalusinasi? Apakah semerbak harum bunga ini juga bagian dari halusinasi itu sendiri? Albafica tidak tahu.

Namun ia tahu satu hal yang pasti: semuanya sudah berakhir.

Kilau merah perlahan turun, menghiasi pandangannya yang mulai buram dengan sebuah pemandangan indah dan… cantik. Menyadari substansi yang jatuh tersebut, Albafica tahu pendapatnya mungkin begitu ironis. Tidak pernah sekalinya ia menganggap rekan hidupnya itu akan muncul dalam bentuk yang tidak berbahaya, seakan kutukan racun mereka hilang ditelan angin.

Mungkin masa berlaku kutukannya juga habis, bersama dengan helai kembang itu.

Dan ketika matanya menutup untuk terakhir kali, bersama dengan matinya seluruh indra peraba dan perasanya, Albafica bisa mendengar teriakan gadis yang sudah ia lindungi, beberapa kali dalam pertemuan mereka. Gadis yang menabraknya dulu, gadis yang kepadanya ia berikan kain untuk berlindung dari hujan, juga gadis yang sekarang meneriakkan namanya dengan nada horror. Sepintas, bau lily tersebut menyengat hidungnya, sebelum ia kehilangan indra penciumannya.

Pikirannya mengelana pada sosok gadis yang sudah ia lindungi itu, tersenyum sepintas, sadar bahwa semerbak itu bukan bagian dari halusinasinya. Semerbak itu adalah nyata, dan sumbernya selalu ada di belakangnya, mendukungnya, mengingatkannya bahwa ia dulu hidup. Meskipun kehidupannya bukanlah suatu hal yang bisa dengan mudah disyukuri, Albafica mengalami. Ia berpikir, maka ia pun ada.

Kemudian, Albafica tidak berpikir, karena tidak ada yang perlu dipikirkan lebih lanjut, seperti tidak ada Albafica yang mampu berpikir lagi di dunia.


*~ [Selanjutnya: Sang Pertapa] ~*