Aku menyandarkan punggungku di kursi, sesekali melirik catatan aneh di buku notebook Aniki-ku. Ada dua buah gambar persegi—mirip gambar Resultan Gaya—di atas kertas tersebut. Persegi satu memiliki dua anak panah yang searah, sedangkan yang lain memiliki dua buah panah dengan arah berlawanan. Ada tulisan di setiap anak panah, mau tahu?
Cinta
Pelajaran
Oh, Aniki-san lagi kasmaran ya? Oh.
... sial, ada yang mau ngerebut aniki gue, nih.
Vocaloid milik Yamaha
Happy Reading
.
.
Sejak awal, aku sudah tahu kok kalau aku tak boleh menyukai Aniki-san. Awalnya, itu pun hanya kekaguman biasa.
Waktu kecil, Nee-chan ku—Gumi—dan Onee-san tiri-ku—Lily—selalu sibuk oleh sekolah mereka. Karena itu, aku hanya bisa main dengan Aniki-san, yang usianya hanya terpaut 2 tahun dariku. Sebagai sesama anak-anak kurang perhatian—karena lahir di keluarga yang super sibuk—kami jadi cuma bisa main berdua. Belum lagi hubungan orang tua kami yang seting bertengkar dan didikan Tou-san yang sangat... err.. keras, jadi kami tak bisa banyak main di luar. Makanya gak kenal sama anak-anak sekitar kompleks apartemen.
MKKB? Iya.
Ngenes? Banget.
Tou-san dan Kaa-chan sih sudah bercerai saat aku kelas 5 SD. Sekarang Tou-san juga lebih baik. Aniki-san?
Jangan tanya. Dia berubah 180 derajat—dari baik dan super duper manis menjadi cowok dingin, ngeselin, gila belajar (dan dia memaksaku belajar pada akhir pekan, ukh) dan yang paling penting: kayaknya dia benci aku! Huwee~
Pertama aku sadar suka sama Aniki-san? Oh, itu terjadi tahun lalu, saat aku kelas 7. Waktu itu aku mengantar temanku—Kagamine Lenka—nemuin aniki-nya di sekolah abangnya itu. Berhubung abangnya satu sekolah sama Aniki-san, ya udah aku anter. And... you know what?
Pas nyampe di sana, aku ngobrol sama abangnya Lenka—Rinto—sambil nungguin itu anak balik dari toilet. Tahu-tahu Aniki-san dateng dan langsung nyeret pulang, terus aku ditanyain "Kamu ngapain ke sini? Ngapain juga ngobrol sama Kagamine-san?" Gila, gue diinterogasi abang sendiri. Sampe geer, mikir si aniki ngeselin satu ini malah over-protective ke aku.
... nah, justru karena geer itu aku malah suka sama BakAniki-ku ini. Hmph—awas kalo dia tahu aku ceritain ini ke kalian, pemirsa!
"Tadaima." wah, gawat gawat. Mampus. Itu Aniki-san udah pulaaaang! Gimana, nih? Aku masih di kamarnya! Duh mana ngintipin notebook-nya lagi! Cari alesan, alesan, ale—
"Ngapain kamu di kamarku?"
... sial. Mampus gue.
"Okaerinasai, Aniki-san. Kapan pulang? Gak kedengeran tuh," balasku berbohong. Kami-sama, kalo aku dilepasin dari situasi begini, aku janji akan rajin belajar. Aku janjiiii!
"Emang dasarnya kamu budeg, 'kan? Ngapain di sini?"
Tuh, 'kan. Apa dibilangin, dia itu dingin.
"Mau jajan. Duit Tou-san 'kan disimpen di laci komputer kamar kamu." Kami-sama, buat dia percaya!
Aniki-san diam sebentar, tampak agak ragu. Akhirnya dia membuka mulut "Ya udah, ambil sana duitnya. Cepetan, aku mau ganti baju." Aku mengangguk, kemudian mengambil uang jajan yang memang khusus untuk kami kalau Tou-san lagi dinas keluar negeri seperti sekarang ini. Setelah mengambil uang, aku langsung cabut dari kamar Aniki-san—harap-harap cemas dia nggak sadar notebook udah di-stalk(?) sama adik tercinta—oke, dua kata terkahir aku nggak yakin.
Aku mengambil jaket dan memakai sandal jepit, lalu pergi ke supermarket untuk membeli cemilan sambil mengingat-ingat kejadian tadi.
Kami-sama, kalo aku dilepasin dari situasi begini, aku janji akan rajin belajar. Aku janjiiii!
Uh oh. Aku harus menepati nazar-ku pada Kami-sama.
Tidaaaak!
.
.
Hari baru, pagi baru.
Tak terasa, sekarang sudah hari Minggu. Sebagai anak bungsu yang baik, aku langsung melesat ke dapur dan menata meja makan. Yah, aslinya karena aku laper sih, hehe.
Setelah selesai menata meja, aku segera mengambil kotak sereal yang biasa kumakan untuk sarapan, juga susu coklat kesukaanku. Tinggal di apartemen yang cukup besar dengan keluarga yang hobi molor saat Minggu pagi memang sering membuat sepi. Tapi toh, aku tidak keberatan. Aku juga bukan orang hiperaktif dan suka berbicara banyak—mirip-mirip Aniki-san lah.
Cklek.
Pintu kamar Aniki-san dan Tou-san—apa aku gak bilang kalau mereka satu kamar tidur sejak aku kelas 6? Maaf deh—terbuka. Menampakkan Aniki-san dengan jaket hitam-putih, kaos merah, dan celana training hitam. Oh, paling dia mau lari pagi, seperti yang biasa dia lakukan saat Minggu pagi.
Dengan segera, dia meraih smartphone-nya yang sedang di-charge di dekat meja makan dan berjalan pergi.
"Aniki-san, gak makan dulu?" tanyaku—hal yang biasa ditanyakan oleh anggota keluarga yang lain kalau Aniki-san mau pergi lari pagi.
"Hn, nggak," balasnya. Aku menghela napas.
"Makan cookies dulu, kek. Nanti perutmu kosong," balasku. Hei, aku memang terlalu care sama orang-orang yang kusayang. Apa? Salah? Bodo, emang gue pikirin.
"Emangnya kayak kamu, makan mulu. Udah males, makan mulu pula. Kerjain MTK sana!" tuh 'kan. Aniki-san kata-katanya nyakitin lagi. Aku udah terbiasa, tapi tetep aja... sakit...
"Ya elah, aku baru bangun. Masa' udah ngerjain soal?" balasku (sok) kesal. Ah, Aniki-kun itu nggak peka. Pasti dia nggak nyadar kalo aku tuh sedih dia ngomong begitu.
"Ya iyalah. Nilai kamu 'kan jelek. Anjlok malah," nge-jleb tahu nggak?
"Terserah kamu sajalah," gumamku "kamu makan dulu sini, jangan nanti kelaperan,"
"Gak bakal kelaperan lah. Emangnya kamu,"
"Kamu bawa duit? Nanti biar bisa makan di sana,"
"Bawa. Jaa,"
"Jaa, hati-hati ya!" apa kubilang? Aku memang adik bungsu yang baik.
.
.
Senin pagi. Artinya sekolah, PR baru, dan harus buat bento—ah, satu lagi. Bangunin Aniki-san yang emang dasarnya susah dibangunin.
Sebelum fajar menyingsing, aku sudah memasuki kamar Aniki-san dan mengguncangkan lengannya dengan lembut. Hal yang biasa kulakukan setelah menyiapkan sarapan untukku dan yang lain—'kan aku sudah bilang kalau keluargaku itu hobi molor. Masa' kalian lupa? Hihi.
"Aniki-san, bangun. Sudah pagi," ucapku, memperhatikan wajah Aniki-san yang... ukh, terlihat polos saat tidur. Sangat berbeda dengan orang yang kulihat selama ini. Sampai sekarang, setiap membangunkan Aniki-san, aku selalu diam-diam tersenyum tipis tanpa kusadari. Pemandangan langka dari Aniki-san—wajah polos kesayanganku itu...
Ingat, Miku! Kalian saudara!
Realita menyentakkanku dari lamunanku. Iya, aku tahu. Aku harus ingat—
—bahwa kami saudara.
Maaf sudah menyukaimu, Aniki-san. Maaf.
.
.
Aku menjauh darinya. Iya, aku menjauh dari Aniki-san.
Masa bodoh kalian mau mengernyit, kecewa, atau hal-hal negatif lain saat membaca kisahku ini, pemirsa. Ini hidupku, ini ceritaku. Apa peduli kalian?
(Aslinya Anda sekalian emang gak peduli, 'kan? Miku emang kegeeran ya?)
Sekarang, aku nggak se-care dulu ke Aniki-san. Apa—aku hanya menjauh perlahan-lahan. Sekarang aku hanya mengucapkan salam dan bicara padanya kalau perlu. Dan aku bersyukur SMA-nya jauh dari SMP-ku. I feel free~!
Lagipula, sekarang aku ada kecengan baru.
Siapa?
Yang nebak Kagamine Rinto, selamaat~ Anda benar~*tebar confetti*
Yah, karena aku sudah menyerah soal Aniki-san, aku memilih Rinto-kun saja yang jadi kecenganku. Lumayan, jadi adik ipar teman baik entar~
Nah, pas banget sekarang aku lagi pulang bareng Rinto-kun habis kencan—yah, bukannya kencan juga, sih. Dia bantuin aku ngejar nilai MTK-ku yang emang jeblok. Cara ngajarnya cepat dan mudah dipahami—tipe guru idaman! Sekarang pun, karena dia ngajarin aku, aku jadi nggak perlu minta bantuan Aniki-san, hehehe~
"Hatsune-cha—er, boleh kupanggil Miku-chan? Kita sudah sampai di rumahmu, omong-omong." suara Rinto-kun mengembalikan pikiranku yang emang udah keluyuran kemana-mana. Aku tersenyum ke arahnya.
"Boleh, kok. Nggak pake suffix juga nggak papa. Em—kalo gitu.. boleh panggil Kagamine-senpai dengan nama kecilmu?" aku bertanya balik "Kalo gak mau, ya, nggak apa-apa. Hehe,"
"Nggak papa, kok. Panggil saja Rinto-kun," balasnya, tersenyum "Jaa ne, ketemu di sekolah Senin depan ya!" dia melambaikan tangan.
"Oh, iya Kagami—ah, maksudku Rinto-kun. Doumo arigatou sudah mengantarku pulang~!" aku balas melambai pada sosoknya yang sudah agak menjauh. Ah, gawat gawat. Bisa nge-fly aku nanti—habis diajak belajar bareng Rinto-kun! Kyaaa~!
Aku segera memasuki apartemen tempatku tinggal, dan menemukan Aniki-san sedang menyandarkan punggungnya di tembok dengan kedua lengan terlipat. Sorot matanya agak tajam.
"Kamu habis dari mana? Bareng Kagamine-san pula," dia bertanya. Nada kesal terdengar jelas.
Dengan santai, aku menaruh sepatu wedges-ku di rak sepatu dan berjalan memasuki rumah, melewatinya.
"Habis diajarin Matematika. Cuma itu, kok." balasku. Oh, ayolah kakak menyebalkan. Pergilah sekarang—aku mau fangirling-an, BakAniki!
"Kamu terlalu muda buat pacaran," balasnya tegas. Loh—ini gak ada hubungannya sama topik.
"Nyeh—siapa juga yang ngomongin pacaran di sini? Dih. Sekalipun aku pacaran, itu urusan Tou-san. Bukan Aniki-san!" balasku jengkel—setengah membentak. Kayak gak pernah suka orang saja, ini orang. Coba jelasin, apa yang ada di notebook elo waktu itu?!
... aku nggak pernah ngeluarin kata-kata itu. Takut, beneran.
Aniki-san kayaknya speechless. Ha, makan tuh!
... hening.
Aku melahap es krim jatahku yang ada di kulkas, sedangkan Aniki-san tetap berdiri—bergeming layaknya patung, membuatku tak nyaman.
Aniki-san tiba-tiba mendekat dan menunjuk pipi kiriku.
"Ada bekas es krin tuh. Bersihin," ujar—ralat, perintahnya. Aku menurut saja.
Dia berjalan pergi, kembali ke kamarnya.
Dia kenapa, sih? Aneh.
.
.
Hubunganku dan Aniki-san semakin buruk dari hari ke hari. Di sisi lain, aku makin dekat dengan Rinto-kun. Tapi, entah kenapa—
—rasanya ada sesuatu yang hampa. Mungkin kasih sayang seorang kakak?
Ah, peduli amat. Dia mau ngapain aja bukan urusanku.
Aura antusiasme terlihat dariku sejak pagi. Hari ini, aku berencana 'nembak' Rinto-kun sepulang sekolah. Kalian tahu 'kan apa maksud 'nembak' disini?
Iyap—menyatakan perasaan. Yes~ tepuk tangan dulu dong~!
Krik krik.
Kalian tidak bisa diajak main, pemirsa!
"Wah, Miku-chan? Ada apa nih, memintaku ke atap sore-sore begini?" itu suara Rinto-kun!
Aku mendongak, menatap Rinto-kun yang memang lebih tinggi dariku. Aku dapat merasakan wajahku memanas karena malu, dan kakiku terasa seperti agar-agar.
"A-anoo.. Rinto-kun.." aku menunduk, malu. Entah kenapa aku merasa diperhatikan "a-aku sebenarnya... s-s-s.."
"S?"
"S-s-suka p-padamu..." aku mengatakannya! Aku mengatakannya!
Hening.
Kelopak mataku yang sedari tadi tertutup rapat terbuka perlahan—menunjukkan wajah syok Rinto-kun.
Ah.. tidak..
"A-anu, Miku-chan..."
Jangan, jangan katakan...
"Sebenarnya, aku..."
Aku tahu jawabannya—jadi tolong, jangan dilanjutkan!
"Sudah pacaran dengan..."
Gawat, aku mau menangis...
"Akita-san... maaf, hehe..."
Deg!
Sesakit inikah patah hati? Rasanya seperti dirobek-robek..
Rinto-kun perlahan mendekatiku, lalu memojokkanku ke pagar besi atap sekolah. Dia menjilat bibirnya—sorot matanya berbeda. Dia mendekatkan bibirnya ke telingaku, lalu berbisik menggoda.
"Tapi.. kalau kau mau, kau bisa menjadi pacar gelapku, nee, Micchan~?"
A-akh... dia menggigit ujung telingaku, membuatku memerah. Tapi aku... aku...
"Heh, lepasin adek gue!"
... aku tak mau menjadi pemutus hubungan orang!
"Miku-san!" seseorang menarikku menjauh dari Aniki-san dan Rinto-kun yang sedang berkelahi. Surai pirang keemasan gadis itu sedikit menyapu rambutku. Dia memelukku—mencoba menutupi adegan yang tak sebaiknya kulihat.
"Sekali lagi lo deketin adek gue, gue hajar lo lebih parah!"
"Rinto-kun, kita putus!"
Ah, kepalaku pusing... kesadaranku.. perlahan menghi—
"Miku-san!"
"Miku-chan!"
... Aniki-san, kau kembali memanggilku 'Miku-chan'. Aku.. sangat senang...
.
.
Aku membuka mataku perlahan. Di mana ini? Kamarku?
"Tou-san, Miku-chan bangun!" teriakan Lily-nee san... ah, kangennya...
"Miku!" Tou-san memasuki ruangan dan mendekapku. Aku hanya terdiam "kamu akhirnya bangun juga, Sayang! Tou-san khawatir kamu bakal pingsan lebih lama lagi..." suara Tou-san parau sekali.
"Tou-san? Memangnya aku kenapa?" tanyaku bingung, masih tak mengerti situasi.
"Mikuo-chan membawa kamu kemari bareng temennya.. katanya kamu pingsan..." Tou-san menjawab lirih. Aku hanya terdiam.
"Sou ka..." aku bergumam, kemudian memandang Aniki-san "Arigatou ne, Aniki-san.."
"Hn," ah, jawaban yang khas. Aku menyukainya.
.
.
"Aniki-san..? Ngapain di sini?" Aku mengerutkan kening. Ini sudah malam—hampir tengah malam, malah!
"Aku cuma mau ngomong," Aniki-san memulai "kamu jangan pacaran sama cowok kayak Kagamine-san, dia itu aslinya playboy. Manisnya di mulut doang."
"Iya Aniki-san. Aku 'kan nggak tahu," aku membalas, lalu terkekeh pelan "cuma itu?"
"H-hah?" Aniki-san mengerjapkan mata, membuatku tertawa pelan.
"Cuma itu yang ingin Aniki-san katakan?" Aku menyelesaikan kalimatku sepenuhnya. Aniki-san tampak berpikir, lalu berjalan mendekatiku dan duduk di pinggir ranjangku. Dia menatapku.
"Kamu..." err... ini cuma aku atau napas Aniki-san bau alkohol? Gawat, jangan-jangan dia salah mengira air dengan sake?! "... manis, cantik.. sayang kalau para brengsek di luar sana yang memilikimu..."
H-ha? Dia beneran mabuk ya? Tunggu—
—orang yang sedang mabuk selalu jujur, 'kan? Ufufufu~
"Kamu.. kalo ketawa.. rasanya aku seperti melayang..."
Duh, Aniki-san jujur banget sih.
"Aku selalu menyuruhmu belajar... karena kamu yang terlihat serius itu manis.."
Gombal!
"Aku selalu bersikap dingin.. karena apa yang ingin kukatakan, tak pernah keluar dengan baik..."
L-lho kok? Di-dia mendekat!
"Miku-chan.. hontou ni daisuki... aku harap, kita tidak terlahir sebagai saudara..."
Wajahnya hanya beberapa senti di depanku. Aku tersenyum, lalu berbisik "Daisuki da yo, Aniki—ah, bukan. Mikuo-kun..."
Jarak diantara kami tertutup.
.
.
"Oi, Miku... bangun—kyaa! Mikuo, kamu ngapain di sini?!"
Aku membuka mata perlahan. Secercah cahaya memasuki penglihatan. Rasanya ada yang berat di bahuku.. aku juga nggak leluasa bergerak...
Aku menoleh ke beban di bahuku. Itu... itu..
... kepalanya.
Aniki-san memelukku! Gawat—dilihat Lily-nee san pula!
"He-hei... Aniki-san.. bangun..." bisikku, sedikit panik. Kalau Tou-san lihat nanti—
"Wah wah. Mikuo-chan dan Miku-chan sedang akrab ya."
... panjang umur, yang dipikirin dateng. Kami-sama, aku bersyukur memiliki ayah yang sangat positive thinking macam Tou-san.
Aniki-san perlahan membuka matanya. Dia mengusap-ngusapnya dan menguap layaknya orang yang baru bangun. Aku yakin dia habis merasa pusing akibat salah minum semalam. Ah.. kata-kata Aniki-san...
... gawat. Bisa-bisa aku blushing. Ahhh... memalukan!
Aniki-san melepaskan pelukannya, lalu berjalan keluar dari kamar seakan tak terjadi apapun.
Berdoa saja ya, dia tidak diinterogasi Lily-nee san dan Gumi-nee chan.
.
.
Aniki-san mengacak-acak rambutnya, sesekali menguap di tengah perjalanan menuju sekolah. Setelah kedua aneki kami setuju akan menginterogasi Aniki-san sepulang sekolah, kami baru diperbolehkan pergi.
... ah, apa Aniki-san ingat yang semalam ya? Kugoda dikit, ah~
"Nee, A-ni-ki-san~" sahutku sedikit manja, menyamakan langkahku dengannya. Kami sampai di halte bus dekat rumah. Dengan jahil dan tanpa ragu, aku berjinjit—membisikkan sesuatu ke telinga abangku tercinta.
"Cepatlah ingat yang semalam, ya—Mikuo-kun~ ufufufu~" dan dengan itu, aku menaiki bus yang ke arah sekolahku—yah, bus kami memang beda.
Dari jendela bus, aku melambaikan tangan. Sebuah senyum manis nan jahil terpatri di wajahku saat melihat ekspresi abangku yang memerah—mungkin dia sudah mengingat kejadian semalam? Semoga saja.
Perlahan, senyumanku melunak, menjadi senyuman lembut. Aniki-san masih dapat melihatnya, dan seakan mengerti apa yang ingin kukatakan, dia mengangguk. Kata-kata dibalik senyuman ini.. kuharap dia mau mengerti...
Aniki-san, buang semua teori dan alasan-alasan logis kenapa kau tak boleh mencintaiku. Ini cinta—sesuatu yang aneh dan tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Kita bisa menjalaninya...
Aku berbalik, memandang ke depan.
Yosh, cinta terlarang antara aku dan Aniki-kun baru saja dimulai!
[End]
[A/N]
Sorry for typo(s) etc. Review or Flame, please? Don't be silent reader :))
