Here comes the serious problem in my life. I can't do gag story, but this one supposed to be gag. So this ended up being serious story. Well, I try to put some jokes somewhere. But, I can't.
Hope you enjoy it
.
.
.
.
Eixa Tuven
.
.
.
.
present
.
.
.
.
YoonMin
.
.
As You Like It
Malam telah lama terlewat, tapi pagi masih beberapa jam lagi. Tengah malam dan bintang bersinar seterang-terangnya dengan bulan sabit mendekati horizon. Jimin duduk dengan gelas kosongnya, menyelimuti diri dengan selimut kuning lembut, menatap bintang dengan mata telanjang melalui balkon.
Kegelapan hutan didepannya tidak terasa menakutkan dengan para bintang indah menjadi penerang. Park Jimin menikmati waktunya dengan baik. Tenggelam dalam sebuah pemikiran kala matanya nyalang melihat langit.
"Jimin?" Suara berat memanggil namanya, membuat ia bangun dari lamunan, menengok pemanggilnya.
Seorang laki-laki, dengan kulit pucat, surai hitamnya sepadan dengan mata merah darah menawan itu. Min Yoongi.
"Belum tidur?"
Jimin menggeleng pelan lalu menatap bintang lagi. "Melihat bintang lagi, ya?"
Yoongi mendekat, duduk tepat di samping Jimin dan ikut melihat bintang. "Mereka memang pantas dikagumi."
Manik coklat Jimin menatap Yoongi dalam, seolah menyampaikan sesuatu lewat tatapannya. Yoongi sendiri terkejut saat mendapati pandangan Jimin, namun ia hanya tersenyum. "Kenapa?"
Perlahan Jimin membuka balutan selimut pada badannya, menempelkan bahunya ke Yoongi dan menyelimuti diri mereka berdua. Yoongi sempat terkejut akan perlakuan manis Jimin, namun ia tersentuh. Dirinya mengacak Surai pirang Jimin gemas. "Terimakasih."
Selanjutnya mereka hanya diam. Yoongi enggan memecah suasana dengan bersuara lagi. Jimin juga tidak melihat kearahnya, hanya mendongak melihat bintang. Tetapi, Yoongi tahu pikiran Jimin kemana-mana.
Yoongi tidak menatap apa-apa selain Jimin. Ia menjulurkan tangannya dan menyentuh pipi Jimin yang gembil. Jimin sontak menoleh dengan wajah terkejut. "Kamu memikirkan apa?"
Leher Jimin perlahan menekuk, kepalanya diletakkan di dada Yoongi. Yoongi melingkarkan lengannya pada punggung Jimin untuk sebuah pelukan. Dagu ia letakkan di kepala Jimin, memberi ciuman kepada surai aroma Citrus itu. "Katakan."
"Aku ingin bersamamu lebih lama."
Jimin bersuara agak parau. Masih bersembunyi dalam pelukan Yoongi yang sekali lagi terkejut.
"Maaf," Yoongi memeluk Jimin lebih erat lagi. "Aku juga ingin, tapi aku tidak bisa, kamu tahu kan?"
Jimin melepaskan pelukan Yoongi dan menatap penuh kesal, "sebenarnya, kapan Earl Min Yoongi yang agung tidak memiliki pekerjaan dan bisa menghabiskan waktu dengan Jimin yang kesepian di mansion tiap hari!?"
Yoongi tertawa melihat Jimin merajuk, "aku akan menemanimu hingga lusa."
"Pendusta, Minggu lalu kamu berkata begitu tapi akhirnya pergi juga."
"Kali ini tidak, aku janji. Kupastikan tidak akan ada panggilan mendadak lagi."
Jimin diam, masih merajuk, dan hanya menatap lantai. Selimut tidak lagi melindungi tubuhnya dari dingin. "Janji?"
Lengan Yoongi perlahan melingkar pada pinggang Jimin, membawa tubuh Jimin pada sebuah pelukan hangat. "Janji."
Jimin membalas pelukan Yoongi erat, ia juga tersenyum lebar. Bahagia.
"Aku lapar." ucapan Yoongi seketika membuatnya melebarkan mata, kehilangan senyumannya. Menjadi khawatir karena lupa dengan tanggung jawabnya.
"Astaga, aku lupa! Cepat!" Jimin menarik kerahnya, menampakkan kulit putih dengan bekas gigitan.
Namun, Yoongi hanya tersenyum menanggapi ricuhnya Jimin. "Sayangku, kumohon tenang."
"Bagaimana bisa tenang! Satu minggu dirimu pergi, ayo cepat gigit!"
Yoongi mendekap Jimin tiba-tiba, membisikkan kata-kata dengan rasa sensual, "aku ingin dengan perlahan di kasur."
.
.
.
.
.
saya lagi di warnet karena laptop error. izinnya ngerjain laporan, eh malah nongol ini. oke fix. maaf karena lanjutannya besok-besok.
hehe
Eixa Tuven
