A/N: Seekor plot-bunny licik tiba-tiba melompat ke dalam kepala saya akibat stress berkelanjutan. Ya, saya stress. Hari ini tanggal 12 Mei. Malam ini Armando Perez a.k.a Pitbull datang ke Jakarta dan mengadakan konser besar. Tetapi saya yang idiot ini kehabisan tiket dan sekarang hanya bisa menyesali nasib. Maka di sinilah saya sekarang, menulis fic hingga larut, sementara kakak cowok saya asik jejingkrakan nonton pitbull. sigh. =_=
Disclaimer: [put your favorite disclaimer here]
Bad Romance
Seorang gadis kecil berlari kencang menyusuri koridor-koridor rumahnya yang dilapisi karpet tebal. Kaki-kaki kecil yang lincah membawa pemiliknya meluncur secepat kilat menuju beranda rumah yang besar itu, bertepatan dengan sampainya sebuah mobil sedan mewah berwarna hitam di depan gerbang.
Pintu-pintu mobil menjeblak terbuka dan beberapa orang berjas hitam bergegas turun, mengelilingi seorang pria yang berusia sekitar awal 40-an. Sang pria, melihat anak itu berlarian ke arahnya, tersenyum dengan hangat.
"Ayah!" Gadis kecil menghambur melewati orang-orang tinggi besar dengan cepat, dan menubrukkan diri sembari memeluk ayahnya erat-erat. "Selamat pulang!"
"Yang benar 'selamat datang', kan?" Pria berwajah lembut itu tertawa kecil dan merengkuh sang putri semata wayang ke dalam gendongannya.
"Iya, selamat datang," senyum malu-malu disertai semburat tipis merah muda mewarnai wajah sang bocah lima tahun.
"Aku pulang, Sayang," Ayahnya tersenyum dan mengecup pipi serta puncak kepala gadis kecil penuh kasih. "Bunda mana?"
"Bunda sibuk di ruang makan, mengatur makan siang istimewa kita hari ini!" dengan penuh semangat, bocah bermata hijau itu mengoceh panjang dan lebar.
"Wah, baguslah. Karena Ayah sangat kelaparan."
"Sakura juga!"
"Eh? Sakura masih lapar walaupun perutnya sudah segendut itu?"
"Aku tidak gendut!" gadis itu mencibir dan menjulurkan lidahnya.
Tertawa-tawa, mereka melangkah menaiki tangga beranda sambil asik berbicara dan bercanda ketika sang gadis kecil melihat sesuatu yang berbeda dari biasanya. Di antara orang-orang berjas hitam yang selalu mengawal ayahnya, tampak seorang pemuda berambut perak yang tidak pernah ia lihat sebelum ini.
"Ayah, itu siapa?" Sakura kecil menarik-narik pelan rambut merah tembaga sang ayah.
"Hn? Ah, dia asisten baru Ayah. Sakura mau berkenalan?"
Gadis mungil itu mengangguk cepat.
Sambil tersenyum, Kiyoshi Haruno menurunkan putri kecilnya dari gendongan kedua lengannya dan memperhatikan anak itu berlari cepat ke arah asisten terbaru—sekaligus termuda—yang baru saja ia pekerjakan.
"Aku Sakura," sang gadis kecil menarik-narik ujunga jas pemuda berambut perak dan menyodorkan tangan mungilnya. "Salam kenal."
Pemuda itu berjongkok dan menjabat tangan yang terulur di hadapannya.
"Kakashi," ujarnya singkat.
Beberapa detik berlalu, namun gadis kecil di depannya tidak melepaskan genggaman tangannya. Sakura terlihat begitu serius memandangi rambut Kakashi yang mencuat ke segala arah—menentang gravitasi— dan berwarna tidak lazim itu.
"Um… boleh aku memegangnya?"
Kakashi berkedip dua kali.
"Kalau kau memang mau," ia mengangkat kedua bahu dengan cuek dan menundukkan kepala sedikit supaya Sakura mampu menjangkau rambutnya.
"Aneh ya?" Pemuda 19 tahun itu memperhatikan wajah Sakura kecil yang tampak begitu terkesima.
Sang gadis kecil menggeleng cepat.
"Tidak kok, aku suka." Katanya jujur.
Sebelah alis Kakashi terangkat heran. Biasanya ia mendapat tiga reaksi atas keabnormalan pigmen rambutnya ini. Satu, orang-orang akan menganggap ia jauh lebih tua dari usianya yang sebenarnya. Dua, ia akan dianggap berandalan yang suka mengecat rambut dengan warna-warni metal. Atau tiga, ia akan dianggap sebagai orang aneh yang abnormal atau cacat secara genetis. Baru kali ini ada yang berpendapat lain.
"Kenapa?"
"Seperti salju di musim dingin," Sakura mengelus rambut keperakan Kakashi dengan perlahan. Senang merasakan lembutnya helai-helai keperakan itu di sela-sela jemarinya yang mungil. "Cantik."
"Sakura!"
Mendengar panggilan sang ayah, gadis kecil itu menengok ke belakang dan mendapati ayahnya tengah tersenyum sambil melambai padanya. Mengajak untuk cepat-cepat masuk ke dalam rumah.
"Baik, Ayah!" Sakura kecil yang masih polos segera berlari kembali ke pintu kayu besar bercat putih bersih. Melompat ke dalam pelukan sang ayah, dan bersama-sama mereka melangkah memasuki rumah.
Sementara para bodyguard berjalan ke post mereka masing-masing, Kakashi tertinggal sendirian di beranda. Masih berjongkok dan tertegun untuk beberapa saat. Kemudian seulas senyuman samar hinggap di bibirnya, dan ekspresinya yang sedari tadi keras serta serius, sedikit melembut.
"Berkata cantik kepada seorang laki-laki itu bukan pujian lho Nona," ia menggeleng kecil. "Tapi karena kau, kali ini aku maafkan."
Pria bermata abu-abu gelap itu bangkit berdiri dan berjalan menuju post tempat ia ditugaskan. Mendadak ia memiliki keinginan untuk bersiul selagi melangkah. Entah mengapa, siang hari itu tiba-tiba jadi terasa begitu istimewa.
Dan itu adalah awal dari pertemuan mereka berdua.
Sakura yang sudah berusia 9 tahun berjinjit untuk mengintip ke dalam sebuah ruangan yang gelap, melalui jendela kecil yang ada di pintu. Ruangan itu adalah sebuah bangunan kecil, beberapa belas meter di sebelah rumah utama tempat Keluarga Haruno menjalankan aktifitas sehari-hari. Bangunan sederhana itu sengaja didirikan sebagai kamar pribadi bagi orang yang bekerja untuk keluarga Haruno, dan saat ini tengah dihuni oleh Kakashi yang bekerja sebagai asisten kepercayaan ayah Sakura.
Gadis kecil itu memicingkan mata, namun ia tetap tidak dapat melihat apapun yang ada di dalamnya. Karena walaupun saat itu sudah senja dan langit mulai menggelap, lampu kamar tidak dinyalakan. Dengan cemas ia segera berjalan mendekati ayah dan ibunya yang sedang bercakap-cakap dengan pria berjas putih panjang, yang Sakura duga adalah seorang dokter.
Sambil bergerak-gerak gelisah, ia menunggu hingga pembicaraan antara orang-orang dewasa itu selesai dan menarik-narik tangan ayahnya, meminta perhatian.
"Ada apa, Sayang?"
Sakura ragu-ragu sejenak, kemudian menatap mata ayahnya dengan wajah memelas.
"Kenapa ada dokter dipanggil ke sini? Kakashi kenapa?"
"Kakashi terluka saat berusaha melindungi ayah, Sakura-chan." Ibu Sakura mengelus perlahan puncak kepala putri semata wayang miliknya.
Kedua mata Sakura melebar penuh kengerian. "Apa dia baik-baik saja?"
"Tenang saja Sakura-chan, Pak Dokter sudah menyembuhkan Kakashi," Tsubaki Haruno tersenyum, mencoba menenangkan putrinya.
"Tapi ada sedikit perubahan pada penampilannya," Kiyoshi memberitahu Sakura. "Ayah harap, Sakura tidak jadi takut atau menjauhi dia karena hal itu, ya?"
"Tentu saja tidak!" Sakura kecil berseru. "Kakashi adalah teman Sakura! Aku tidak akan menjauhi dia apapun yang terjadi!" Ujarnya dengan kemantapan selayaknya seorang anak di usianya.
Sejak pertama kali mereka bertemu 4 tahun lalu, Sakura telah menjadi sangat dekat dengan Kakashi. Mengikuti pemuda itu kemana-mana seperti seekor anak anjing, dan selalu minta ditemani. Karena terlahir sebagai seorang putri tunggal, Sakura tidak memiliki saudara untuk diajak bermain. Sehingga di rumah, ia seringkali menghabiskan waktu bersama Kakashi di taman rumahnya yang luas. Biasanya gadis kecil itu akan berlarian atau memetik bunga, sementara sang pria dengan rambut perak akan bersantai di atas rerumputan hijau—seringkali membaca sebuah buku yang disampul oleh kertas tebal bermotif, sehingga orang-orang tidak mengetahui buku apa itu yang sering ia baca. Tidak bisa dibilang bermain bersama, tapi cukup menunjukkan kedekatan kedua anak manusia itu.
Kedua orang tua Sakura senang melihat putrinya gembira mendapatkan seorang teman untuk bermain. Dan Kakashi, walau terlihat serampangan dan cuek tidak perduli, ternyata merupakan seseorang yang penuh tanggung jawab dan selalu menjaga serta mengawasi Sakura saat mereka sedang bersama-sama. Mereka mempercayai dan telah menganggap Kakashi sebagai anggota keluarga mereka sendiri. Seperti seorang putra yang tidak pernah mereka miliki.
"Bagus, bagus," Kedua orang tua Sakura tersenyum bangga kepada satu sama lain. Mereka senang memiliki seorang anak yang begitu baik hati.
"Sakura mau menjenguk Kakashi?"
"Mau!"
"Baiklah, tapi yang tenang ya. Karena Kakashi butuh banyak istirahat supaya bisa cepat sembuh," Dengan perlahan sang ibu membukakan pintu kamar Kakashi.
"Tunggu aku di rumah?"
Ayahnya tersenyum dan mengangguk mendengar permintaan Sakura. Bersama dengan istri tercintanya, Kiyoshi Haruno meninggalkan pondok itu, menuju rumah mereka sendiri.
Sakura berjalan hati-hati. Perlahan supaya tidak menimbulkan suara apapun, ia berjingkat ke sisi tempat tidur di mana Kakashi sedang tertidur di atasnya.
"Yo,"
Gadis berambut merah muda itu terlompat. Terkejut dengan sapaan kasual yang keluar dari mulut Kakashi seakan-akan ia tidak sedang terluka.
"Kashi bodoh! Kupikir kamu tidur!" ia mengomel dan melompat duduk di kasur itu, di samping Kakashi yang tengah berbaring. "Katanya kamu luka?"
"Yah, sedikit…"
"Mana yang sakit?" Sakura kecil yang polos mencari-cari di sekujur lengan Kakashi, perban atau sejenisnya yang menunjukkan luka yang tengah diderita Kakashi.
"Bukan tanganku," Pria itu menarik perlahan lengannya, dan menunjuk sisi kiri wajahnya. "Tapi ini."
Sakura terkesiap dengan apa yang dilihatnya. Mata sebelah kiri Kakashi ditutup dengan kain kasa dan plester yang besar.
"Itu kenapa?" tanyanya cemas.
"Bukan apa-apa, hanya tergores sedikit,"
"Tergores apa?"
"Pisau."
Lagi-lagi Sakura terkesiap mendengarnya.
"Pisau! Apa kamu tidak apa-apa? Jariku pernah tergores pisau di dapur, lalu berdarah," Sakura menatap temannya dengan cemas. Dan tiba-tiba ia mendapatkan sebuah ide.
"Hei, apa itu sakit?"
"Sedikit," Kakashi mengangkat bahu.
"Boleh dibuka perbannya? Aku mau lihat," gadis kecil itu tersenyum memohon.
"Tidak sampai dijahit sih, tapi lumayan dalam. Besok saja kalau sudah mendingan."
"Ayolah Kashiii," Sakura merengek, menggunakan nama panggilan istimewa untuk teman kesayangannya.
Kakashi menghela napas. "Baiklah, tapi hati-hati ya."
Dengan perlahan Kakashi mengelupas plester berwarna kulit beserta kain kasa yang telah dibubuhi obat itu dari mata kirinya yang masih terasa perih. Dan terkejut ketika mendadak sepasang bibir lembut mengecup pelan lukanya yang sudah mulai menutup.
"Waktu jariku luka, Bunda mengobatinya dengan cara ini," ia tersenyum bangga. "Sekarang aku yang mengobati kamu. Apa masih sakit?"
Pria berambut perak itu terdiam selama beberapa detik, kemudian tertawa dan menggeleng. "Tidak, sudah sembuh berkat kamu. Terima kasih, ya."
"Sama-sama," gadis kecil itu tersenyum polos, dan menyadari sesuatu yang janggal. "Hei, warna matamu yang luka itu jadi merah?"
"Yah, kata dokter karena ada sedikit pendarahan jadi warnanya berubah. Kurang tau juga, dokter itu tidak menjelaskan dengan terperinci." Kakashi sedikit berjengit ketika kedua tangan mungil Sakura menempel di pipinya dan mendekatkan wajah pria itu ke wajahnya sendiri. Berusaha melihat lebih jelas iris mata yang kini berwarna marun gelap, sewarna anggur merah.
"Jadi aneh, ya?"
"Tidak juga, menurutku sih bagus kok." Sakura tersenyum mengamati warna yang unik itu. "Cantik."
Kakashi tidak bisa menahan senyum mendengar kalimat itu.
"Sepertinya ini bukan pertama kalinya aku mendengar kata itu dari mulutmu," Pria berambut perak itu menempelkan kembali kasa penutup luka ke matanya.
"Benarkah?"
"Ya. Lagipula, laki-laki tidak senang kalau dibilang cantik tahu." Sebuah sentilan main-main mendarat di dahi sang gadis kecil. Membuatnya terkikik geli.
"Aku kan cuma berkata jujur," kedua bahu mungil gadis itu terangkat cuek. "Aku selalu jujur."
Kakashi hanya tersenyum dengan caranya yang khas. Kedua matanya terlihat tertutup membentuk sepasang bulat sabit ketika satu sudut bibirnya yang tipis terangkat, membentuk senyuman separuh yang tampak angkuh tapi juga kekanakan.
"Ya, tapi yang penting, sekarang saatnya kau bangun."
"Eh?"
"Sudah saatnya bangun Sakura, saatnya sekolah!"
"Haa? Apa maksud—"
"HARUNO SAKURA!"
Sakura terlonjak bangun dari tidurnya bak disiram seember air es. Matanya mengerjap cepat dihajar silaunya sinar matahari yang merangsek masuk dari jendela raksasa di kamarnya. Gadis itu terduduk diam di ranjang dengan wajah yang tampak linglung. Sedetik yang lalu, ia adalah Sakura Haruno yang berusia 9 tahun. Duduk di samping Kakashi muda yang tengah terluka mata kirinya. Sekarang ia dalah Sakura 17 tahun yang terkejut karena mendadak dibangunkan dari tidur yang lelap serta mimpi masa lalunya.
"Ha, bangun juga kau akhirnya."
Sakura segera tersadar dan mendelik murka ke arah suara yang telah begitu familier di telinganya itu.
"Ngapain sih kamu!"
"Membangunkanmu tentu saja. Sekadar mengingatkan, ini hari Rabu. Dan kamu lihat jam itu?" Kakashi mengarahkan ibu jarinya ke jam dinding yang berada di atas pintu masuk kamar Sakura. Benda itu menunjukkan bahwa saat itu adalah pukul 7.30 pagi, sedangkan Konoha High tempat Sakura bersekolah dimulai tepat pk 08.00."Kalau aku ini kau, aku akan segera bergegas."
"HUWAAAAAAAA! Kenapa aku tidak dibangunkan lebih awal? Dasar Kakashi idiooott!"
Gadis remaja itu melompat turun dari tempat tidur dan melesat secepat kilat menuju kamar mandi setelah menyambar handuk merah muda miliknya yang sedari tadi dipegang oleh Kakashi. Pintu kamar mandi berdebam keras dan suara shower dinyalakan segera memenuhi kamar itu.
"Dasar bocah." Pria dengan warna mata yang berbeda kanan dan kirinya itu menggeleng sedikit, menghela napas lelah sekaligus maklum.
"Seragam dan tas sekolahmu sudah kusiapkan di kasur. Setelah berpakaian rapi, segeralah ke ruang makan, karena ayah dan ibumu menunggu. Aku ke sana duluan." Kakashi mengetok pintu kamar mandi dan meneriakkan kalimat tersebut.
Mendengar seruan jawaban Sakura di tengah bisingnya suara shower, pria itu meninggalkan kamar Sakura yang didominasi warna putih dan hijau muda, menuju ruang makan untuk menjelaskan kepada kedua Haruno dewasa, alasan dari keterlambatan putri semata wayang mereka pada saat sarapan pagi itu.
"Kenapa cemberut?" Pria yang mengendarai sedan hitam itu bertanya kepada gadis remaja yang tengah duduk dengan wajah terlipat di kursi belakang.
Sang gadis membuang muka dan menolak untuk menjawab.
"Hei," Kakashi melirik gadis yang keras kepala itu melalui kaca spion tengah. "Apa sih masalahmu?"
Sakura mendelik galak ke arahnya.
"Masalahku ya kau itu!"
"Aku?"
"Ya! Kau! Kalau memang niat membangunkan, kenapa nggak lebih pagi? Lihat nih, karena buru-buru, penampilanku jadi kusut!"
Kakashi kembali melirik melalui kaca spion. Memperhatikan penampilan Sakura. Memang, ia tidak tampak rapi seperti biasanya. Rambutnya belum disisir, dasi pita merahnya belum terikat dengan benar, kemeja putih seragam dan sweater tanpa lengan berwarna kuningnya sedikit kusut, selain itu, blazer dengan emblem logo sekolah warna biru tua yang senada dengan roknya pun masih tergeletak di samping gadis itu. Belum dikenakan.
"Aku biasa memakai setelan jas yang lebih rumit dari seragammu, dengan cepat dan rapi sempurna dalam waktu 3 menit," ucapnya cuek.
"Hei! Aku kan siswi SMA biasa! Bukan asisten merangkap bodyguard yang harus serba cekatan dan sempurna!"
"Ah, sayang sekali alasanmu kurang bagus. Kau gagal berkelit."
"Diam saja deh! Dan itu adalah sebuah perintah!"
Panas, Sakura menghardik orang yang bekerja sebagai asisten pribadinya itu.
Sejak Kakashi terluka 8 tahun yang lalu—yang meninggalkan bekas signifikan di mata kiri sang pria berambut perak—ayah Sakura menugaskan Kakashi sebagai asisten sekaligus pengawal pribadi Sakura. Ayah Sakura yang kini telah berusia paruh baya itu terkagum oleh totalitas dan kesetiaan Kakashi dalam melaksanakan pekerjaannya, dan Kiyoshi selalu menginginkan yang terbaik bagi putrinya. Maka ia menunjuk Kakashi menjadi 'bayangan' Sakura, yang wajib mengikuti dan membantu Sakura kemanapun gadis itu pergi.
"Baik Nona," Kakashi yang tahu Sakura benci dipanggil begitu olehnya sengaja menggoda sang majikan. Mati-matian ia menahan senyum ketika dilihatnya wajah Sakura memerah seperti tomat saking kesal dan tidak tahannya gadis berdarah panas itu menahan emosi.
Mendekati Konoha High, Kakashi memperlambat laju mobil buatan Jerman itu dan berhenti tepat sebelum gerbang masuk sekolah. Kemudian ia turun dari mobil.
"H-hei, kenapa?" Sakura bertanya heran. Biasanya Kakashi akan berhenti sebentar tepat di depan gerbang, lalu Sakura akan turun dari mobil, dan pria itu akan melaju menuju tempat parkir sekolah sebelum menunggu Sakura pulang—biasanya di taman-taman sekolah, terlihat tidur atau membaca.
Dengan kebingungan, Sakura turun setelah pintu mobil dibukakan baginya dari luar oleh Kakashi, dan berdiri di hadapan pria itu dengan kesal.
"Mau apa—?"
Dalam waktu singkat Kakashi mengikat dasi merah Sakura menjadi pita yang sempurna dan meluruskan kerutan-kerutan di kemeja serta sweater sang gadis. Jemarinya yang panjang bergerak cepat namun hati-hati, menyisir merapikan helaian rambut merah muda Sakura.
"Nah, sekarang kau sudah cantik. Sempurna." Ucapnya seraya mengancingkan ujung lengan panjang kemeja putih Sakura. Diserahkannya tas sekolah gadis itu dan didorongnya ia perlahan ke arah gerbang.
"Sudah sana masuk. Cukup aku yang menyandang predikat hobi terlambat di kediaman Haruno," Kakashi melambaikan tangannya mengusir gadis itu. Senyuman istimewa lengkap dengan mata tertutup menghiasi wajahnya. "Belajar yang baik ya, Nona."
Wajah Sakura merona merah padam. Cepat-cepat ia menjulurkan lidahnya dengan kekanakan sebelum berlari menuju gedung sekolah.
Kakashi menggeleng pelan. Seulas senyum kecil tersungging di bibirnya ketika ia kembali masuk ke dalam mobil dan menyetir mobil menuju ke tempat parkir di sekolah prestigious dan mewah itu.
Usai mematikan mesin mobil, ia meraih ke kantong di belakang jok tempat ia duduk untuk mengambil buku favoritnya yang disampul warna hitam—untuk menyembunyikan judul dari buku itu—dan tercenung mendapati blazer bitu tua Sakura masih teronggok di kursi belakang.
Menghela napas, ia mengambil pakaian itu dan mengunci pintu mobil. Berjalan santai menuju gedung utama Konoha High School sambil bersiul-siul.
Sakura berjalan memasuki kelasnya yang berada di lantai 3 gedung Konoha High. Seperti biasa, ia duduk di kursinya yang terletak tepat di samping jendela. Pagi itu kelas belum terlalu ramai. Dapat dipastikan karena belum terlihatnya sesosok pemuda pirang yang merupakan biang ribut nomor satu di seantero sekolah. Hanya ada beberapa anak di dalam kelas. Beberapa anak perempuan yang tidak terlalu Sakura kenal berkumpul dan bergosip, beberapa anak laki-laki sibuk menyalin PR, yang lain tampak membaca buku, tidur, atau mengobrol berdua-bertiga.
Hanya satu pemuda yang tengah duduk sendirian menarik perhatian Sakura.
"Pagi Sasuke-kun," Sakura tersenyum, berjalan menuju teman sekelasnya itu dan duduk di kursi tepat di depan mejanya.
"Hn," laki-laki berambut hitam itu mengangguk sedikit. Pelit bicara, seperti biasa.
"Bagaimana kabar Itachi-san?"
"Baik,"
"Ah, begitu."
Sasuke dan Itachi Uchiha adalah dua orang yang sudah ia kenal sejak kelas 3 SD. Dulu, kedua orang tua mereka pernah menjalankan bisnis bersama yang berujung pada besarnya frekuensi pertemuan antara anak-anak mereka.
Sayang, musim panas 4 tahun yang lalu Fugaku Uchiha meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat. Sehingga Itachi yang baru berusia awal 20-an sudah harus mengambil alih kepemimpinan Uchiha Corp..
"Kau sendiri?"
"Aku baik, terima kasih," Sakura kembali mengembangkan senyumannya.
Keheningan berlangsung selama beberapa saat sampai Sakura merebahkan kepalanya berbantalkan kedua lengannya yang terlipat di meja Sasuke.
"Aaah, aku bosan." Keluh gadis berambut merah muda itu. "Sekolah kita itu monoton sekali ya. Rasanya hari-hari kita tidak pernah berwarna. Tidak ada kejadian yang menggemparkan atau apa."
"Memang apa yang kau harapkan?"
"Hmm, apa yaa…" Sakura tampak berpikir sejenak. "Pokoknya yang bikin keramaian deh, hubungan skandal antara guru-murid misalnya," gadis itu tertawa mendengarkan ucapannya sendiri.
"Si Uzumaki bukannya sering berbuat keramaian?"
"Tidak, tidak," gadis bermata hijau itu menggerakkan jari telunjuknya ke kanan dan ke kiri. "Dia itu cuma biang ribut. Bukannya bikin keadaan jadi seru, malah menjengkelkan."
Sasuke tersenyum tipis mendengar ucapan teman kecilnya.
"Kau tidak terlihat senang didekati olehnya."
"Ha! Yang benar saja, Sasuke-kun! Kau harus tau bagaimana rasanya diikuti kemana-mana olehnya! Bocah itu seperti seorang stalker! Ugh! Seakan tidak cukup satu orang saja yang berlaku seperti itu!"
Sebelah alis Sasuke terangkat. "Kau diikuti seorang stalker sungguhan selain Naruto?"
"Bukan, bukan begitu," Sakura menggeleng cepat dan mendengus. "Ituu, Si Kakashi."
"Ho, Hatake itu memang selalu mengikutimu kemana-mana sih." Sasuke yang sudah mengenal sakura cukup lama, sudah familier dengan pemandangan Sakura yang selalu kemana-mana diikuti oleh sesosok pria jangkung berambut perak. Kakashi Hatake, pengawal, pengasuh, asisten, pelayan atau apapunlah sebutan dari profesi manusia multi-fungsi itu.
"Iya, mana dia itu menyebalkan. Aku bosan melihat tampang sombongnya setiap hari," Sakura merepet dengan kesal. Menumpahkan segala unek-unek kepada Uchiha muda di depannya.
"Pagi ini juga kami berkelahi lagi. Aah, memang susah kalau sudah bersama-sama terlalu lama, rasanya semua yang baik-baik sudah tidak bisa ditemukan lagi di orang itu."
Sasuke memperhatikan Sakura mengomel panjang lebar—mengenai pria yang, ia akui, memang terkadang cukup menyebalkan sikapnya itu. Alisnya sedikit bertaut mencerna kalimat demi kalimat yang terlontar dari bibir Sakura.
"Kamu terdengar seperti seorang istri yang sedang cekcok dengan suami."
Sakura terperangah mendengar kalimat spontan Sasuke barusan. Mulutnya terbuka lebar tidak percaya, kedua matanya terbelalak ngeri.
"HAAAAAAAAHH? Jangan jadi delusional, Sasuke-kun!"
Pemuda berambut hitam itu menyadari sehelai daun kecil yang menyangkut di rambut Sakura. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan dan tangannya terjulur menggapai Sakura untuk menyingkirkan daun itu. Sedangkan Sakura masih saja menyerocos dengan ribut.
"Aku bisa mati kalau harus menghabiskan sisa hidup dengan manusia yang seperti alien itu—"
"Siapa yang mati karena siapa yang seperti alien, hm?"
Sakura terlonjak mendengar kalimat itu tepat diucapkan di samping telinganya.
"Kakashi!"
Kakashi datang tiba-tiba dari belakang. Membungkus bahu Sakura dengan blazer sang gadis.
"Ini tadi tertinggal. Hari ini sedikit dingin, jadi jangan dilepas. Apalagi musim semi seperti ini banyak serangga yang suka datang mengganggu."
"Serangga! Iih, di mana?" Gadis yang jijik terhadap serangga itu cepat-cepat memeluk sebelah lengan Kakashi dan bergidik ngeri. Matanya mencari-cari di sepanjang lantai kelas dengan ketakutan.
Sakura tidak menyadari, walaupun Kakashi berbicara kepadanya, mata pria itu terus tertuju pada Sasuke Uchiha. Pandangan keduanya bertemu, saling menantang satu sama lain.
"Yang penting hati-hati," Kakashi menemukan daun yang menyangkut di rambut Sakura dan mengambilnya. Sengaja berlama-lama menyusuri rambur panjang dan halus Sakura dengan jemarinya sebelum menyingkirkan daun tersebut. Kemudian melempar satu pandangan kemenangan yang mengejek ke arah Sasuke sebelum berjalan ke luar kelas. "Sudah ya!"
"Hei! Kakashi!" Sakura yang merasa ditipu soal serangga berseru marah. Namun tidak digubris. "Kakashiii!"
"Hih! Menyebalkan 'kan sikapnya itu? Kamu lihat tidak barusan?" Sakura kembali mengomel.
Sasuke menarik kembali tangannya yang sudah separuh terulur ke arah Sakura, hendak menyingkirkan daun tadi. Tapi batal karena daun itu sudah keburu disingkirkan duluan oleh Kakashi.
"Ya," ujarnya pelan sambil menggeretakkan jemarinya di bawah meja. Ia mengingat pandangan menantang Kakashi yang angkuh, perkataan mengenai serangga pengganggu yang seakan diarahkan kepadanya dan sikapnya terhadap Sakura yang terasa begitu… posesif. Seakan-akan Sakura adalah miliknya.
Sasuke merasa kesal. Hancur sudah mood-nya pagi hari itu.
"Dia sangat, sangat, menyebalkan."
To Be Continued
sigh, mendadak pingin nulis soal Kakashi sebagai asisten (gamau bilang buttler, kesannya 'pelayan' banget. haha) yang agak iseng tapi juga posesif deh. hahaha, way to go Naughty!Kakashi ! :)
Tadinya mau dibikin oneshot, tapi ternyata jadinya panjang banget. Jadi sepertinya akan saya pecah jadi 2-3 chapter aja. Ngomong-ngomong ada KiSS (KakashISakuraSasuke) alert nih. haha! tapi tetap pair utama KakaSaku sih.
Iya, saya tau saya males bikin judul, jadi ambil saja dari judul lagu orang. hahha, soalnya saya membayangkan romance antara Kakashi sebagai 'pelayan' dengan Sakura sebagai 'majikan' itu agak kinky yaa, jadi sebut saja Bad Romance.
Ini masih pemanasan, belum terlalu masuk ke bagian yang menarik, dan saya sangat nggak sabar untuk menulis lanjutannya. Jadi saya harap teman-teman sekalian juga menanti-nanti update dari fic ini ya. hehe :)
Thank you for reading, and please REVIEW REVIEW REVIEW :)
DALEEEEEE!
12/05/2010
until the next time we meet,
yuushigure
