Disclaimer : I don't own Naruto
Attention : OOC, AU, Typos
Last Lavender
Chapter 1
Seorang gadis berambut hitam terlihat meletakkan sebuah buket bunga Lavender di atas sebuah gundukan tanah. Sebuah senyum letih terukir di wajahnya yang masih belia.
"Ibu.. Sudah hampir sebulan, ayah menemani ibu di sana. Apa kabar ayah, bu? Bagaimana dengan ibu? Apa kalian merindukan ku?" tanyanya pilu. Gadis itu hampir saja menitikkan air matanya saat seseorang menghampirinya.
"Nona, nona baik-baik saja?" tanya pria berambut abu-abu itu dengan ekspresi khawatir yang tercetak jelas di wajahnya. Gadis itu menggeleng lemah.
"Kakashi-san, sudah aku bilang, panggil aku Hinata saja. Kau sudah seperti ayah kedua ku sendiri, jadi jangan merasa sungkan hanya karena kau merasa bahwa kau hanyalah kaki tangan ayah selama ini." ujarnya panjang lebar seraya tersenyum lembut kepada pria yang sekarang balas menatapnya itu.
"Benar kan ayah, pasti ayah juga akan berkata seperti itu kepada Kakashi-san kan?" gadis itu sekarang ganti bertanya kepada gundukan tanah di samping gundukan milik ibunya. Tentu saja tidak ada jawaban.
Gadis itu sekarang menengadahkan kepalanya, berusaha menahan air matanya yang terasa mulai berdesakan keluar. "Ah, langit hari ini sungguh indah. Apakah ayah dan ibu bisa melihatnya?"
Kakashi hanya mampu terdiam menyaksikan kesedihan nona kecilnya. Baginya, yang sudah mengabdi selama bertahun-tahun di keluarga Hyuuga, tidak apa sekali-sekali jika nona nya itu menangis. Sayang, nona kecilnya itu selalu saja menyimpan semua kesedihannya sendiri.
"Nona.."
Gadis itu mengangkat tangannya, menahan Kakashi untuk berbicara lebih lanjut. Sebagai gantinya, gadis itu mengangkat wajahnya, kemudian tersenyum begitu lembut. Ia lalu berdiri, mengebaskan debu di rok berwarna lavender nya sembari berkata, "Kakashi-san belum makan kan? Aku sudah selesai. Sebaiknya kita pergi sekarang, aku tak mau Kakashi-san jatuh sa-"
Baru saja kaki gadis itu melangkah sekali, seolah kehilangan keseimbangannya, gadis itu terhuyung ke belakang.
"NONA!"
Tak sampai sedetik, Kakashi segera berlari menghampiri gadis itu dan menangkap tubuhnya tepat sebelum gadis itu terjatuh ke tanah. Mata kedua gadis itu terpejam, bersamaan dengan jatuhnya setetes air bening dari mata yang kini tertutup itu.
Kakashi menelan ludahnya. Pria itu menatap nona kecilnya dengan sedih. Kasihan sekali nona Hinata, baru setahun yang lalu ia kehilangan ibunya, sekarang ia harus menerima kenyataan bahwa ayahnya pun harus pergi meninggalkan dirinya.
Kakashi menghela napas. Tanpa membuang banyak waktu, pria itu segera menggendong nona kecilnya ke dalam mobil, dan melajukan mobil ke suatu tempat yang sudah ratusan kali membuat nonanya harus diam-diam menangis di sana.
* * * * * o o o * * * * *
Tes.. Tes.. Tes..
Aku mendengar sebuah suara. Seperti tetesan air yang terus menetes berulang-ulang.
Tes.. Tes..
Aku berusaha membuka mata ku, kemudian mengerjapkannya. Sesaat, pandangan ku bertemu dengan sesuatu yang berwarna kekuningan dan silau. Kali ini aku berusaha mengangkat tangan ku, hendak menutupi cahaya yang menyilaukan itu, namun tangan ku tertahan oleh sesuatu. Selang infus.
Aku menahan nafas ku. Ternyata asal suara itu berasal dari tetesan cairan berwarna pink bening yang sekarang mengalir di tubuh ku. Ketika cahaya itu lamat-lamat berganti dengan dinding-dinding berwarna putih, aku tercekat. Apakah.. Aku pingsan lagi?
Aku merasa kepalaku begitu pusing dan tenggorokan ku kering. Perlahan, aku menengok ke segala arah, dan benar saja, Kakashi-san berada di kursi pojok. Tertidur dengan majalah icha-icha paradise menutupi sebagian wajahnya. Ck. Kakashi-san, padahal aku sudah menyuruhnya membuang seluruh majalah itu.
Terdengar suara 'krookk krookk' yang keluar dari bibirnya. Kasihan, pasti Kakashi-san kecapaian karena menjagai ku yang entah berapa lama tertidur.
Akhirnya aku memilih berusaha mengambil sendiri gelas berisi air putih yang sudah aku hafal betul letaknya. Aku meneguknya sebentar, kemudian merasa lega saat cairan berwarna bening itu melewati kerongkongan ku.
Setelah merasa baikan, pelan-pelan aku mulai mencabut jarum infus yang menusuk punggung tangan ku. Aku memejamkan mata ku kuat-kuat, berusaha menahan rasa perih yang mulai menjalar di sana.
Kini aku menarik selimut yang tadi membungkus ku, lumayan, selimut ini cukup tebal. Pasti cukup juga untuk menghangatkan tubuh Kakashi.
Aku mendekap selimut itu kuat-kuat, sambil berjalan perlahan menuju kursi tempat Kakashi tertidur. Srrttt! Cepat-cepat aku meraih gagang pintu kamar saat tubuhku terasa oleng. Aku merasa nafasku mulai memburu, namun aku tak mau tahu. Aku tak peduli lagi dengan tubuh payah ku ini.
Setelah berhasil sampai di depan Kakashi, tiba-tiba pria itu melayangkan tamparannya ke arah kaki nya. Plaaakkkk! Aku mengelus dada ku. Hampir saja tamparan itu melukai pipi ku. Aku meringis.
Namun, karena aktifitas itu, majalah icha-icha paradise yang menutupi wajah Kakashi terjatuh. Membuatnya mengeluarkan sebuah suara debuman yang cukup keras. Aku mengernyit sebentar.
Dengan perlahan aku mulai melebarkan selimut agar tubuh Kakashi dapat terlindungi semua dari dinginnya udara malam. Setelah itu, aku membungkuk, berusaha mengambil majalah milik Kakashi. "Baiklah, kali ini saja, aku tidak akan membuang.."
Ucapan ku tiba-tiba terhenti saat melihat sebuah surat terselip di antara halaman majalah itu. Jantung ku terasa berpacu. Surat apa itu?
Aku meraih amplop yang sudah kumal itu, tanda sudah di baca berkali-kali oleh Kakashi, dan setelah membaca tulisan 'Kepada : Wali Keluarga Hyuuga', kedua bola mata ku seakan membulat seutuhnya.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku mulai membaca isi dari surat itu. Tanpa sadar tangan ku bergetar saat membacanya, dan tiba-tiba kertas berwarna putih itu sudah terkulai lemas di lantai. Meninggalkan ku yang kini sudah berlinang air mata.
* * * * * o o o * * * * *
Aku menyusuri lorong rumah sakit dengan perasaan yang tak menentu. Pandangan ku kosong, pikiran ku melayang entah kemana.
Angin berhembus, menerbangkan rambut ku. Membuat tubuh ku seketika menggigil kedinginan. Ah, salah ku, seharusnya aku tidak meninggalkan kamar.
Aku berbelok ke arah kanan, saat itu, ruang tunggu telah sepi. Hanya ada seorang pria yang sedang tertidur sambil memeluk tubuhnya erat-erat. Hidungnya memerah, serasi dengan rambutnya yang berwarna jingga. Sesekali, pria itu sesungukan. Ah, apakah kekasihnya sedang sakit, dan dia menungguinya? Baiknya..
Selama ini aku sama sekali tidak pernah keluar rumah. Yang aku tahu hanya 2 tempat saja, rumah dan rumah sakit. Aku tidak tahu, mana yang lebih baik dari keduanya. Kekasih? Mana aku punya. Cinta? Apa itu nama makanan? Merasakannya saja tak pernah.
Aku tertawa getir.
Sesekali, aku menggosok-gosokkan tangan ku, kemudian meniup-niupnya. Fiuh.. Fiuh..
Sekarang mata ku kembali menatap pria berambut oranye itu. Pasti pria itu kedinginan. Tanpa sadar aku merasa kasihan. Aku menatap tubuh ku, hanya sehelai sweater kuning tipis yang melekat di sana.
Aku menimbang-nimbang sebentar, kemudian tersenyum kecil. Sepertinya pria ini lebih membutuhkannya.
Sambil melepas sweater milikku, yang sebenarnya di design khusus oleh ibuku untuk ulang tahun ke 15 ku, aku mulai berjalan mendekatinya.
Semakin lama aku melangkah, semakin jelas pula rintihan suara yang dapat aku dengar. Aku mencoba berjalan lebih dekat, bermaksud untuk memahami kata-kata yang di ucapkannya.
"Akura.." gumamnya.
Aku terpaku di tempatku. Akura? Nama yang aneh. Apakah itu nama kekasihnya?
"Sakura.." gumamnya lagi, kali ini kedua tangannya semakin memperdalam pelukan pada tubuhnya. Sesaat, aku seolah bisa melihat kerlip air mata di sudut matanya.
Aku menggigit bibir ku erat-erat. Kenapa ini? Kenapa aku bisa merinding hanya karena mendengar ucapan pria ini? Kenapa, aku merasa bahwa pria ini menanggung sesuatu yang sangat berat?
Merasa bahwa tubuh ku akan tumbang sebentar lagi, dengan cepat aku menyelimuti pria itu dengan sweater ku.
Setelah itu, aku membalik badanku. Berusaha pergi sejauh-jauhnya dari tempat itu dengan sisa nafasku yang mulai terputus.
Setetes air bening melintas di pipi ku.
Tuhan, siapapun pria tadi, semoga pria itu bahagia..
* * * * * o o o * * * * *
"Nona, ayo di makan dulu buburnya." bujuk Kakashi sambil menatapku dengan tatapan memelas.
Aku menggeleng. "Tidak mau. Tidak mau. Tidak mau!" ucapku tegas sambil membuang pandangan ku ke arah lain.
"Nona.."
Aku mengangkat tanganku, menyuruhnya berhenti berbicara, kemudian menatapnya dengan tatapan yang pilu. "Kenapa kau tidak memberitahukan isi surat itu kepadaku, Kakashi-san? Kau tahu, aku sangat mempercayaimu.." Aku tersenyum pedih.
Tubuh Kakashi seketika menegang, lalu pria itu menatapku dengan cemas. Ia akhirnya hanya bisa berkata, "Surat apa nona?.." tanyanya panik.
Perkataan ku selanjutnya membuatnya bungkam. "Kemarin, yang Kakashi-san selipkan di majalah icha-icha paradise." lanjut ku datar. Sedatar telur gulung yang berdiri manis di samping piring bubur ku.
Benar saja, pria itu hanya bisa terdiam. Kaku, serasa baru saja ketahuan mencuri sebuah mangga. "Baiklah, tapi nona.."
"Cukup, Kakashi-san. Aku sudah bilang, aku sudah menganggapmu seperti ayahku sendiri. Kau, keluarga ku. Jadi jangan pernah merahasiakan sesuatu pada ku, karena aku sangat mempercayaimu!" ucapku dengan sorot mata terluka. Sungguh, aku tahu Kakashi ingin melindungi ku. Tapi, aku tidak mau hanya duduk manis dan membiarkan Kakashi kerepotan karenanya. Ini sungguh menyebalkan!
Tatapan pria itu melunak, ia akhirnya menunduk. "Maaf, Hinata.." ucapnya pelan.
"Aku mau sekolah." ucapku yakin. Mendengar ucapanku barusan, Kakashi langsung mengalihkan tatapannya pada ku. Bola matanya seakan ingin keluar mendengar permintaanku. "Maksud nona?"
"Aku mau sekolah. Jangan carikan aku guru private lagi, aku takkan keluar kamar jika kau melakukan hal itu. Mulai sekarang, aku ingin bersekolah di sekolah, seperti waktu aku kecil dulu. Catat itu Kakashi-san. Aku tidak ingin di bedakan lagi." tegasku. Jelas dan padat.
"Tapi, nona, bagaimana kalau kondisi nona-"
"Kakashi-san. Kau tidak baca isi surat itu? Aku harus melakukan hal ini! Aku, tidak akan pernah membiarkan siapapun mengusik keluarga ku. Tidak akan pernah!" Kakashi menatapku yang ku balas dengan tatapan yang berapi-api. Ia seolah ingin aku menghentikan ide gila ku. Ya, inilah cara ku. Inilah yang harus aku lakukan. Demi ayah dan ibu, demi Kakashi, dan demi diri ku.
* * * * * o o o * * * * *
To be continue..
