Toko Hoki Abadi. Toko bangunan dan alat listrik turun temurun keluarga Wei Liu. Menjual berbagai macam perlengkapan maupun peralatan dalam hal pembangunan gedung, rumah, dan lain-lain. Desas-desus mengatakan bahwa, tokonya merupakan toko bangunan dan listrik paling lengkap dan terpercaya di kompleknya.
Desas-desus tersebut nyatanya bukanlah dusta. Bukti memang telah berkata bahwa toko bangunan Wei Liu paling lengkap dan klop. Apalagi ditambah penjualnya tak lain adalah anak sulung ras Chinese yang tampan dari pasangan engkoh dan nci legendaris. Pastinya selalu lah ramai.
Namun, yang namanya orang berjualan pasti memiliki segelintir (atau bahkan banyak) kisah tentang menghadapi para pelanggan. Salah satu yang masuk daftar menyebalkan adalah, saat kakak kelas Wei Liu yang pendek (menurutnya) bernama Fukui yang tak jadi beli selang mesin cuci.
Bukan hanya itu. Masih banyak. Dan kini akan dikisahkan satu persatu betapa Wei Liu harus selalu mengelus dada menghadapi daftar pelanggan edan di bawah ini.
.
.
.
Kuroko no Basket fanfic
Disclaimer: Kuroko no basket belongs to Tadatoshi Fujimaki sensei. I only own the story.
Warning: Multichap. Typo, pairing tidak difokuskan, fic ini hanya untuk hiburan belaka. Tak ada maksud untuk menyinggung atau menyesatkan. Di cerita ini seluruhnya menggunakan satuan rupiah :D Fic ini seperti lanjutan dari fic saya sebelumnya yang 'Selang mesin cuci.' Anggap saja seluruh sekolah termasuk Yosen dan Rakuzan terletak di Tokyo.. hehe. #dor.
.
Fic ini saya tulis untuk menepati request Kazu-san yang baru bisa saya penuhi. Maafkan saya sebesar-besarnya karena baru bisa ditepati. Maafkan juga sudah menghilang beberapa minggu dari grup ;;_;;
.
.
.
1.
"Beli."
Wei Liu terkesiap ketika mendengar sumber suara bariton yang sebelas dua belas dengan preman dari luar. Segera ia beranjak dari kursi plastik dan menghentikan sejenak kegiatan menyantap JapanMie, "Ya, cari apa, mas?"
Manik oriental milik Wei Liu bertubrukan dengan coklat kelam di balik bingkai kacamata dari sang pembeli.
"Engkoh, ada jual lampu gak? Lampu buat ruang keluarga." dengan entengnya sang pembeli menambahkan kata 'engkoh' yang sejujurnya membuat Wei Liu sedikit jengkel.
Wong masih muda udah dipanggil engkoh.
"Ooo, ada. Mau berapa watt?" prioritas utama pedagang bagi Wei Liu ialah melayani pembeli dengan sopan dan senyuman. Maka mau tak mau, senyum tipis yang cukup dipaksakan ia ukir pada wajah ketika ia bertanya balik lampu seperti apa yang sang pembeli inginkan. Lengkap dengan vokal nada yang sopan. Asik.
"Paling terang?" sang pembeli bertanya kepada Wei Liu, sembari mengatur posisi kacamata dan melirik sana-sini guna mengamati tiap produk yang dijual oleh toko Wei Liu.
"Adanya 23 watt. Udah terang itu."
Sang pembeli mengangguk, "Oke, boleh deh. Yang bagus ada?"
"Ada, Sukasukaku* mau?"
Bukan anggukan tanda persetujuan yang pemuda megane itu berikan, melainkan tautan kedua alis. Membuat wajah bak preman bagai naik pangkat ke bos preman. Intinya sih makin menyeramkan, "Ah, Sukasukaku ya.. udah pernah pakai saya. Kurang bagus ah."
Liu berpikir, pembeli ini rada kurang asem sih. Nada berbicara pemuda itu kesan meremehkan.
Ya dibalas agak songong, "Masa? Saya pake bagus-bagus aja."
"Alaaah, promosi aja engkoh mah. Pemakai tidak bisa ditipu." pemuda berhelai coklat kehitaman bermegane tersebut mengibas-ngibaskan kelima jemari, tanda ia tak setuju dengan pendapat Liu.
"Lalu yang mana? Mau yang Phelep*?" Liu mulai menawarkan produk lain, yang setaunya, produk Phelep ini populer. Pasti dia mau be—
"Phelep juga.. biasa ah. Saya pake cepet rusak."
Suek.
Mulailah mereka adu mulut. Namun tetap menjaga sopan santun. Asik.
"Ooo tidak. Phelep bagus punya loh. Situ aja kali yang ngarang."
"Tapi cius, saya pake kurang bagus."
"Saya pakai buat kamar saya terang kok. Phelep bagus punya."
"Saya pakai buat kamar mandi belum 2 bulan udah rusak."
"Phelep terjamin kualitasnya. Mas kali yang ngarang. Harganya aja sudah berbicara."
"Tapi saya sering pake. Saya buktinya sudah berbicara."
Krik krik.
Perasaan Wei Liu atau pemuda yang membeli lampu ini semakin songong?
Akibat Wei Liu mulai merasa lelah harus berdebat dengan pembeli ini disertai dengan lapar karena lama tak mengunyah JapanMie yang sempat ia santap, ia langsung straight to the point, "Jadi mau beli apa gak nih?"
Yang ditanya bungkam sejenak.
Hingga 10 detik berlalu ia menjawab, "Nggak jadi deh."
Sang pembeli perlahan berbalik meninggalkan toko bangunan Wei Liu. Sedangkan Wei Liu sedikit mangap.
Liu yakin, JapanMie nya kini telah mengembang di atas kuah, akibat berdebat dengan pembeli itu.
.
.
2.
"Ooo, iya, iya. Jadi yang ukuran sedeng aja ya."
Samar-samar, Wei Liu menangkap suara bariton yang terdengar tengah berkomunikasi jarak jauh dengan seseorang melalui telepon genggam. Dengan gesit, pupil menggerling berganti fokus dari koran menuju pemuda kekar bersurai merah gradasi hitam, disusul langkah kaki menuju kearah sang pembeli.
"Cari apa, mas?"
Yang ditanya melirik-lirik kanan kiri sebelum menjawab, "Mas, beli kabel."
"Oo, kabel. Yang ukuran?"
"2 x 1,5 aja. Beli lima meter ya."
Wei Liu mengangguk sebagai respon. Segera kaki jenjang melangkah menuju tumpukan kabel. Pupil oriental mengamati dengan teliti ukuran yang dimaksud. Tak lama, Wei Liu mendapatkan benda yang dicari. Ia pun mulai mengukur.
Sementara Wei Liu mengukur kabelnya, pembeli tersebut terkaget oleh getaran pada kantong celananya. Dering bunyi yang masuk menandakan bahwa itu adalah sebuah panggilan. Tak perlu ragu, sang pembeli pemilik surai merah gradasi hitam itu menggeser tombol warna hijau pada layar.
"Halo?"
Sementara sang pembeli menelpon, Wei Liu mulai menggunting kabel dengan ukuran sesuai yang diminta sang pembeli.
"Yaah—" dan karena Wei Liu menangkap kata 'Yahh' yang meluncur dari sang pembeli, firasat Wei Liu memburuk.
"Gimana kau ini, Kuroko. Telat kau ngomongnya. Apa? Takut kegedean? Mau yang kecilan?"
'Hmm.. sudah kuduga..'
Di situ, Wei Liu tepok jidat.
Ditangannya telah terdapat potongan kabel ukuran 2 x 1,5 dengan panjang 5 meter sesuai yang diinginkan pembeli alis cabang itu. Dan seenak jidat ia mau ganti.
'Ooo, wa tak kasih maa.'
"Mas. Bisa tuker gak? Kegedean kata—"
"Kagak bisa. Udah dipotong." Tak perlu Wei Liu mendengar kelanjutan kata-kata sang alis cabang. Ia sudah paham akhirnya begini.
Sang alis cabang paham ini merupakan kesalahannya, maka ia mulai mendiskusikannya kembali dengan seorang bernama 'Kuroko' ini.
"Kuroko, gak bisa. Gak apa kali ya?" Wei Liu dalam hati berdoa agar teman sang alis cabang yang tengah ditelpon menyetujuinya. Sedikit-sedikit, Wei Liu akan menangkap basah curi pandang yang sang pembeli alis cabang lakukan ke arahnya.
Tak mencapai 20 detik diskusi dilakukan, panggilan pun sang pembeli matikan. Wei Liu memperhatikan tatapan sang pembeli yang kini cukup gugup.
"Ya udah deh, mas. Jadi tiga meter aja kalau gi—"
"Kagak bisa. Udah dipotong. Totalnya 33 ribu."
Peduli amat Wei Liu dengan protes kecil yang sang alis cabang lontarkan mengenai 'Jatah steak Kuroko akan kupotong tiga perempat.'
.
.
.
To be continued
Sukasukaku: Shukaku
Phelep: Phillip.
.
Halo semua, kichiroo kemba- #dor.
Waaa maafkan saya yang tiba-tiba tertelan bumi ;;_;;
Saya ingin meminta maaf sebesar-besarnya juga pada teman-teman di grup WA.. maafkan saya.. apa kabar semuanya di grup? :'D #berisik
Terima kasih banyak yang telah mau mampir membaca fic ini, hehe. Maafkan atas segala kekurangannya.. ^^"
Bagi yang berkenan, ingin memberi kritik atau saran, jangan sungkan masukan ke kotak review xD
Terima kasih!
Sign,
kichiroo
