Title : Shattered Bond
Genre : Family & Hurt/Comfort
Rate : T
Disclaimer : Hetalia © Hidekazu Himaruya
Warning : Nation Names used, quite OOC, mature theme, guys love, mention of m-preg, some typos (quite possible) and multi-pair. Don't like? Go to hell, I don't care.
Summary : Pernikahan Netherlands terancam bahaya ketika dia dipaksa melihat bukti nyata dari perselingkuhan Indonesia bertahun-tahun silam. Dia hanya punya dua pilihan; bertahan atau pergi. Sekalipun jalinan ikatan yang mereka miliki tak akan pernah sama lagi, Netherlands tetap bersikukuh untuk mengetahui semua rahasia yang selama ini dipendam dalam lubuk hati seorang Indonesia.
A/N : Pertama, saya berterimakasih pada semua review yang telah mampir di fanfic perdana saya. Special thanks to Lyxian Naomi Cotton, flyingboxer, Bonnefoy Clementie, Hikaru no Hoshi, Azayaka Freak, Nagari Wantara, azuruyutaya, Shin BC1801, Crescent Crystal, Akachi, dan Silan Haye (yang review via PM). Terima kasih untuk semua apresiasi kalian, semua review yang kalian berikan menjadi dorongan semangat untuk saya membuat fanfic yang lain.
Kedua, yang ini (maaf) cuma rate T. Saya sedang tidak dalam mood yang cukup bagus untuk menulis rate M. Karena itu buat yang minta sequel dari fanfic sebelumnya, saya masih belum bisa mengabulkannya, mengingat saya masih galau. Mohon maaf.
Terakhir, fanfic yang ini mungkin temanya agak serius dan (mungkin) juga membosankan. Saya tetap mengharapkan review agar saya tahu mana-mana yang perlu saya perbaiki. Okay? Selamat membaca… :)
-.-.-.-.-.-.-
Suara pelan gemerisik dedaunan terdengar samar di sudut sebuah halaman rumah, di pinggiran kota Amsterdam. Angin yang bertiup sepoi-sepoi, membawa hawa hangat dan aroma segar yang menandainya sebagai pertengahan musim gugur. Setelah bersinar terik selama tiga bulan di musim panas, kini matahari hanya sedikit nampak dibalik awan tipis yang menyelimuti hamparan biru yang membentang luas di jagat raya.
Sehelai daun yang rontok tertiup angin perlahan melayang dan masuk melalui jendela besar yang terbuka, menampilkan seorang laki-laki separuh baya yang sibuk dengan kegiatannya di dapur. Rambutnya yang hitam berombak, berayun-ayun pelan seirama dengan langkahnya yang bergerak kesana-kemari. Sesekali mulutnya terdengar menggumamkan sebuah syair lagu sementara tangannya meraih segala sesuatu yang dia butuhkan untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Suara ketukan pelan di belakangnya menghentikan dirinya sesaat dari kegiatannya mengupas mentimun. Ketukan itu semakin dekat dengan dirinya, kemudian tiba-tiba saja sepasang lengan yang kuat merengkuh pinggang rampingnya dari belakang.
"Selamat pagi, Nethere."
Netherlands tersenyum seraya membenamkan wajahnya di tengkuk laki-laki di hadapannya itu, menghirup aroma tubuhnya perlahan. "Selamat pagi, Nesia," bisiknya di telinga.
Indonesia balas tersenyum meski kemungkinan besar Netherlands tidak akan melihatnya. Melepaskan rangkulannya dengan satu tangan, Indonesia akhirnya berbalik menghadap ke arah suaminya itu.
"Mau membantuku memasak?" tanya Indonesia manis.
"Mm-hm," sahut Netherlands mengangguk. Dia meraih pengupas kentang di tangan Indonesia dan menyelesaikan mentimun yang baru dikupas setengahnya itu. Dia mendongak dan matanya bertemu dengan manik abu-abu istrinya. "Apa yang mau kau buat untuk sarapan hari ini?"
"Kurasa nasi goreng saja," kata Indonesia sambil lalu sementara tangannya sibuk menyiapkan segala macam bumbu yang dia perlukan. "Romano dan Belgium ingin berkunjung pagi ini dan adikmu sudah meminta secara khusus tadi malam untuk dibuatkan nasi goreng," jelasnya tersenyum.
"Heh, anak itu rupanya," kata Netherlands terkekeh. Dia mulai memotong mentimun di tangannya dan meletakkannya di mangkuk porselen. "Jam berapa mereka mau datang?"
"Entahlah," jawab Indonesia mengangkat bahu. Terdengar bunyi nyaring minyak panas yang khas saat Indonesia memasukkan telur ke dalam teflon. Tangannya meraih spatula, "Mungkin sebentar lagi," ujarnya mengerling jam dinding sekilas.
Mereka tidak bicara lagi selama sisa kegiatan mereka menyelesaikan masakan mereka. Masing-masing melakukan tugasnya tanpa perlu bertanya ataupun diberitahu. Mereka seperti telah mengerti pikiran masing-masing, mengetahui keinginan masing-masing tanpa perlu sepatah katapun keluar dari bibir keduanya. Hal yang telah sewajarnya terjadi setelah dua puluh tahun saling mengerti dalam perjalanan pernikahan mereka.
Indonesia baru saja meletakkan telur di atas piring nasi goreng terakhir ketika terdengar bunyi mesin mobil menderu memasuki halaman rumah mereka. Netherlands melongokkan kepalanya melewati jendela dapur dan dilihatnya Romano keluar dari mobilnya yang terparkir di halaman. Netherlands tersenyum.
"Mereka sudah datang," ujarnya seraya menoleh ke arah partnernya.
"Baguslah kalau begitu," sahut Indonesia. Dia merapikan taplak meja sebelum mengelap tangannya dengan serbet. Dia kembali menoleh jam dinding. "Sudah waktunya Bhineka untuk turun sarapan juga."
Seperti menanggapi kalimat yang baru saja diucapkan Indonesia, terdengar suara seorang gadis berteriak dari ruang depan.
"MUMMYYYYY! PAMAN ROMANO DAN BIBI BELGIUM DATAAAAAAANG!"
Bhineka Tunggal Ika, putri tunggal dari pasangan Indonesia dan Netherlands terlihat sangat bersemangat menyambut kedatangan bagian lain keluarganya itu. Begitu Romano melewati ambang pintu rumah mereka, Bhineka telah menghambur memeluk pria berdarah Italia itu, membuatnya nyaris terjungkal.
"Hati-hati, Bhineka," kata Belgium dari belakang tubuh suaminya seraya tersenyum hangat.
"Habisnya aku kangen sekali dengan kalian," protes Bhineka. Dia mendaratkan kecupan sayang di pipi sang paman, membuat pria itu tersenyum geli. "Beberapa minggu ini kalian jarang sekali berkunjung."
"Maaf, tapi Paman benar-benar sibuk akhir-akhir ini," ujar Romano pelan. Dia melepaskan rangkulan Bhineka di sekeliling lehernya kemudian melihat sekitarnya. "Mana ayah dan ibumu?"
Seolah mendengar pertanyaan Romano, Indonesia mendadak muncul disana.
"Selamat datang," kata Indonesia tersenyum. Dia dan Netherlands berjalan beriringan keluar dari dapur untuk menyambut tamu mereka itu. Romano menoleh disambut pelukan hangat dari Indonesia.
"Bagaimana kabar kalian?" tanya Netherlands pada Belgium yang sedari tadi hanya diam mengawasi kegiatan suami dan keponakannya. "Dan mana Allicia kecilku? Kenapa dia tidak dibawa kemari?"
"Dipinjam Veneziano," kata Belgium tersenyum. "Katanya mau diajak jalan-jalan dengan Germany. Mumpung suaminya dapat cuti empat hari. Kelihatannya mereka akan menghabiskannya untuk pergi ke luar kota."
Netherlands memutar mata mendengar penjelasan adiknya itu. "Kau tidak takut kalau anakmu justru bakal terlantar kalau bersama mereka?" tanyanya sedikit mengernyit. "Bukan maksudku berkata kalau Veneziano dan Germany tak bisa mengurus Allicia, aku hanya khawatir. Jalan-jalan keluar kota selama empat hari? Lebih kedengaran seperti bulan madu bagiku."
Semua tertawa mendengar kalimat yang diucapkan Netherlands. Bhineka akhirnya meraih tangan Romano dan menggiringnya menuju dapur.
"Ayo kita sarapan," ujarnya riang. "Mum sudah memasak nasi goreng spesial untuk kita semua. Oh ya! Mum juga buat pie tomat kemarin. Kurasa masih ada sisanya di kulkas, akan kuhangatkan dengan microwave—"
Belgium hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah keponakannya itu. Meski telah berumur enam belas tahun, tapi sikap dan pembawaannya terkadang masih seperti anak kecil yang manja dan selalu antusias. Sangat mirip dengan Veneziano. Latihan biola yang biasa mereka lakukan tiap minggu kadang menjadi ajang pertunjukan, siapa yang lebih kekanak-kanakan diantara mereka berdua.
Ketika para orang dewasa telah memasuki dapur, Romano telah duduk bersebelahan dengan Bhineka, menikmati pie yang telah disebutkannya tadi. Sudah menjadi rahasia umum kalau Romano menyukai tomat, tapi mereka sama sekali tak menyangka bahwa Bhineka juga memiliki kesukaan yang sama akan buah (atau sayur) berwarna merah itu.
Mereka memulai sarapan tanpa banyak bicara lagi. Hanya terdengar suara samar orang mengunyah dan juga denting pelan sendok dan garpu yang beradu dengan piring porselen. Tak lama kemudian mereka telah menghabiskan makanan di piring masing-masing. Romano menoleh ke arah Bhineka seraya meraih gelas air putih di atas meja.
"Kau tidak sekolah hari ini?"
"Sebentar lagi," sahut Bhineka tersenyum. Dia menyuapkan sendok terakhir nasi gorengnya sebelum mengunyahnya dengan bersemangat. "Hari ini aku ada tes musik. Aku akan membuat Professor Austria terkagum-kagum dengan permainan biolaku," ujarnya bangga setelah menelan makanannya.
"Semoga berhasil," kata Indonesia tersenyum. Dia mengusap sayang rambut panjang putrinya yang berwarna cokelat tua. "Dan bagaimana dengan kursus fotografimu?"
"Miss Hungary ada keperluan nanti sore katanya," ujar Bhineka setengah melamun. Dia menyibakkan rambutnya yang menjuntai melewati telinganya. "Kurasa aku kesana saja sepulang sekolah."
"Hati-hati ya," ujar Netherlands sedikit mengingatkan. "Daerah lingkungan Hungary tinggal itu agak tidak aman kalau menurutku."
Bhineka hanya tertawa pelan menanggapi kekhawatiran ayahnya. "Tenang saja," ujarnya tersenyum. Dia menatap semua orang di sekelilingnya sebelum menambahkan, "Ada Paman Prussia tinggal di sebelah rumah Miss Hungary. Dia selalu ramah padaku. Dia pasti akan menjagaku disana."
"Prussia?" ujar Romano dengan nada setengah mengejek. "Orang aneh yang bawa-bawa burung kuning di atas kepalanya dan hobi berkata 'ASEM' itu?"
"Kedengarannya apa yang biasa diucapkan Paman Prussia itu lebih seperti 'AWESOME' bagiku," kata Bhineka bingung seraya menggaruk belakang telinganya.
Baik Indonesia dan Belgium tertawa pelan sementara Netherlands memutar mata bersama dengan Romano.
"Ah! Sudah waktunya aku berangkat," kata Bhineka seraya bangkit dari duduknya.
"Biar kuantar," kata Romano yang ikut berdiri. "Sekalian aku mau ke tempat Ivan. Mau ikut Nethere?"
"Boleh," sahut Netherlands. "Toh aku juga sedang libur hari ini. Belgium bisa disini saja menemani Indonesia."
"Yay!" seru Bhineka senang. Dia sudah menyandang tasnya dan kini menatap ayah dan pamannya dengan mata berbinar-binar senang. "Hari ini aku diantar dua pria tampan ke sekolah! Teman-temanku pasti iri!"
Indonesia berpandangan dengan Belgium sejenak sebelum keduanya meledak tertawa mendengar komentar polos gadis muda itu sementara rona merah membayang di pipi Netherlands dan juga Romano. Bhineka mengacuhkan semuanya ketika dengan bersemangat dia meraih lengan paman dan ayahnya kemudian menyeretnya keluar dapur.
Sejurus kemudian, terdengar teriakan Bhineka dari halaman depan. "AKU BERANGKAT!"
"HATI-HATI!" Indonesia balas berteriak. Tak lama kemudian terdengar suara mesin dinyalakan kemudian berderu meninggalkan rumah. Indonesia menggelengkan kepalanya seraya tersenyum saat membereskan piring di meja makan bersama dengan Belgium.
"Anak yang manis sekali," kata Belgium menumpuk piring-piring kotor menjadi satu kemudian mengangkatnya ke bak cucian. "Dia akan menjadi wanita dewasa yang mengagumkan."
"Maksudmu Bhineka?" ujar Indonesia. Dia menggulung lengan kemejanya sampai siku sebelum mulai mencuci piring dan gelas yang kotor. "Yah, dengan bimbingan orang-orang hebat seperti kalian, hal itu tidak kuragukan. Meskipun aku masih belum tahu bakatnya yang sesungguhnya ada dimana."
"Kelihatannya dia berbakat seni," kata Belgium. "Permainan biolanya indah dan kau tahu? Potretan fotonya juga menurutku memiliki nilai seni." Wanita itu berhenti sejenak sebelum melanjutkan dengan sedikit bimbang. "Padahal kau dan kakak bisa dibilang tak berdarah seni sama sekali. Dari mana dia dapat bakat seperti itu ya?"
Tangan Indonesia yang mebasuh piring berhenti sejenak. Dia terdiam memandang pusaran air di bak cucian selama beberapa saat sebelum akhirnya mendongak menatap Belgium.
"Mungkin itu pemberian Tuhan," katanya tersenyum. "Bakat tidak selalu didapat dari keturunan 'kan?"
"Iya sih," kata Belgium. Dia membantu mengeringkan piring yang telah dibasuh Nesia dengan air bersih kemudian meletakkannya di rak. "Kalian pasti sangat bangga memiliki putri seperti dia."
Indonesia hanya menanggapinya dengan sebuah senyum hangat. Dia meletakkan piring lain di rak ketika tiba-tiba tangannya menyenggol sebuah cangkir di tepi counter, membuatnya jatuh ke lantai dan pecah dengan bunyi nyaring.
Tangan Indonesia membeku sesaat menyadari bahwa cangkir itu milik Bhineka. Hadiah ulang tahunnya yang ke-empat belas, Indonesia khusus memesannya dari ibu kota tanah kelahirannya. Dan kini benda itu telah berubah menjadi lusinan keping yang berceceran di lantai. Indonesia membungkuk untuk memungut salah satu pecahan yang terletak paling dekat dengan sepatunya.
"Apa itu yang jatuh?" tanya Belgium ingin tahu ketika dia mengintip dari balik bahu Indonesia.
"Cangkir," jawab Indonesia. Dia terdiam sejenak sebelum melanjutkan dengan mengambang. "Milik Bhineka."
Indonesia merasakan Belgium menahan napas di belakangnya. Selama beberapa saat tak ada satupun dari mereka yang bicara tetapi akhirnya Belgium yang bersuara memecah keheningan.
"Dia… Dia akan baik-baik saja."
Bahkan nadanya terdengar tak yakin. Mereka tak bisa mengabaikan hal yang seperti ini begitu saja.
"Yah, dia baik-baik saja," kata Indonesia. Dia berjongkok, memungut semua pecahan cangkir porselen bermotif batik itu dan mengumpulkannya di dekat tempat sampah. Dia akan membuangnya nanti sementara sekarang hatinya sibuk berdoa, berharap bahwa semua keyakinannya akan pertanda tidak benar adanya.
Bhineka pasti baik-baik saja.
-.-.-.-.-.-.-
Siang itu Indonesia sedang sibuk membersihkan lemari dari barang-barangnya yang sudah tidak terpakai lagi ketika terdengar suara dering telepon dari ruang tamu. Indonesia mendongakkan kepalanya kemudian memanggil Belgium.
"Belgie!" serunya.
"Ya?" tanya Belgium ketika dia muncul di ambang pintu kamar Indonesia.
"Bisa minta tolong angkat teleponnya?" tanya Indonesia ketika benda elektronik itu masih berbunyi nyaring. "Aku cukup sibuk."
"Oke," sahut Belgium singkat sebelum berjalan pergi. Tak lama kemudian suara deringannya berhenti. Indonesia kembali melanjutkan kegiatannya tetapi sesuatu akhirnya menahan gerakannya kembali.
Terdengar langkah tergesa Belgium yang menuju ke arahnya. Jantung Indonesia mendadak berdegup kencang ketika akhirnya Belgium menghambur ke dalam kamarnya.
"Kita harus segera ke rumah sakit!" serunya tertahan. Wajahnya sudah pucat dan keringat membanjiri wajahnya.
"Ke… Kenapa?" tanya Indonesia tersendat. Tangannya yang memegang kardus gemetar tak terkendali. "Apa yang terjadi?"
"Bhineka…" Belgium terlihat menguatkan dirinya sendiri sebelum akhirnya berkata pelan. "Bhineka mengalami kecelakaan. Ditabrak mobil saat dia hendak menyeberang menuju rumah Hungary. Prussia yang membawanya ke rumah sakit kemudian menelepon kemari."
Kardus di tangan Indonesia jatuh dengan bunyi debam pelan sementara Indonesia menekap wajahnya dengan kedua tangan. Tubuhnya gemetar dan kakinya terasa lemas.
Tidak… Bhineka… Putri tunggalnya…
"Kuatkan dirimu, Indonesia," kata Belgium. Dia menghampiri sang kakak ipar kemudian menarik keras tangannya. "Kita harus ke rumah sakit—sekarang! Bhineka akan sangat membutuhkan kehadiranmu."
Hal itu rupanya sedikit memberi kekuatan pada Indonesia untuk tidak pingsan. Berpegang pada Belgium akhirnya dia bisa berdiri dengan mantap. Meski wajahnya pucat luar biasa, Indonesia bisa berkata cukup tegas.
"Ayo kesana."
Tak sampai lima belas menit, mereka berdua sampai di rumah sakit yang disebutkan oleh Prussia pada Belgium di telepon. Indonesia mengebut gila-gilaan, membuat Belgium khawatir mereka juga akan mendapat kecelakaan tetapi tak berani menyuarakan kekhawatirannya, takut hal itu akan menjadi kenyataan.
Ketika mereka telah sampai rumah sakit tanpa cacat sedikitpun, Indonesia dan Belgium segera pergi ke resepsionis untuk menanyakan tempat putrinya dirawat.
"Hetalia Hospital, selamat siang," ujar seorang perawat muda di balik meja dengan senyum manis. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Saya mencari dimana putri saya dirawat," ujar Indonesia tergesa. "Dia mengalami kecelakaan siang ini dan menurut informasi teman saya, dia dibawa ke rumah sakit ini."
"Boleh saya tahu siapa nama putri Anda?" tanya perawat itu. Tangannya bersiap di atas keyboard.
"Bhineka. Bhineka Tunggal Ika."
Perawat itu mengetik cepat dan sejurus kemudian dia berpaling ke arah Indonesia. "Putri Anda saat ini masih di ruang ICU di lantai dua," jelasnya kemudian berdiri untuk lebih jelas menunjukkan arah pada Indonesia. "Anda bisa lewat tangga di sebelah sana kemudian berjalan lurus. Di belokan koridor pertama Anda belok kiri, ruang ICU ada di sebelah ruang bersalin yang terletak di paling ujung koridor."
"Terima kasih," ujar Indonesia yang langsung melesat ke arah yang ditunjukkan perawat itu tanpa menunggu balasan ucapan terima kasihnya. Belgium mengikuti di belakangnya dengan setengah berlari. Melewati serombongan orang dan juga beberapa perawat yang membawa nampan berisi peralatan medis, Indonesia akhirnya sampai lebih dulu di depan ruang ICU.
"Nethere!" seru Indonesia melihat bahwa suaminya sudah berada di tempat itu.
Netherlands menoleh dan Indonesia langsung menghambur ke dalam pelukannya. Indonesia menangis, menumpahkan segala kesedihan dan juga kekhawatiran yang sedari tadi bersarang memenuhi rongga dadanya.
"Dia akan baik-baik saja," kata Nethere menenangkan, mengelus-elus punggung Indonesia perlahan. "Bhineka pasti baik-baik saja."
"Bagaimana keadaannya?" tanya Belgium pada Romano yang juga sudah disitu. Suaminya hanya mengerling pintu ruang ICU dengan pandangan cemas.
"Kami juga masih belum tahu," ujarnya pelan. "Dokter masih memeriksa bagaimana keadaannya, apa saja yang akan dibutuhkannya nanti. Tapi sejauh ini dokter berkata kalau tak ada luka yang terlalu serius."
Belgium menatap pintu ganda ruangan itu dengan tatapan muram. Dia berharap ketika akhirnya pintu itu terbuka, mereka akan menerima kabar baik. Dia tidak ingin melihat Netherlands dan Indonesia lebih sedih dan khawatir dari ini.
Beberapa menit berlalu dan akhirnya pintu itu pun terbuka. Seorang dokter berambut pirang berkacamata berjalan keluar, disambut dengan Netherlands yang membombardirnya dengan berbagai pertanyaan.
"Dokter, bagaimana keadaan putri saya? Dia tidak mengalami cedera parah 'kan? Dia pasti akan sembuh 'kan?"
"Putri Anda saat ini masih dalam keadaan pingsan," kata dokter itu. Dia mendongak menatap Netherlands kemudian melanjutkan. "Dia kehilangan cukup banyak darah dari luka di lengan dan kakinya, tapi sejauh yang saya lihat hanya itu. Tidak ada luka fatal yang lain. Dia membutuhkan transfusi darah saat ini. Boleh saya tahu apa golongan darah Anda semua?"
"Saya O," kata Netherlands.
"Kami berdua B," jawab Romano menunjuk dirinya sendiri dan juga Belgium.
"Darah saya AB," jawab Indonesia sedikit gemetar.
"Oh, baiklah," ujar dokter itu seraya menoleh Indonesia. "Anda akan ikut saya untuk mendonorkan darah Anda. Gadis itu juga bergolongan darah AB."
Seperti tersiram air es, tubuh Nethere mendadak terasa dingin. Dia menatap Indonesia dengan tidak percaya. Tidak mungkin… Ini semua tidak mungkin terjadi…
Indonesia sendiri seperti tidak mempercayai pendengarannya. Dia ternganga menatap sang dokter sebelum akhirnya berbalik perlahan untuk melihat suaminya. Dan Indonesia menyesal telah melakukannya.
Netherlands menatapnya dengan pandangan yang belum pernah dilontarkan padanya selama ini. Rasa tidak percaya, marah, bingung, tidak mengerti, semua terbaur menjadi satu di pupilnya yang berwarna cokelat terang. Indonesia merasa seluruh tubuhnya membeku ketika Netherlands berjalan ke arahnya.
"Apa…" tanyanya perlahan. "Apa maksud semua ini?"
"Nethere… Aku…" Indonesia tak sanggup membentuk sebuah kalimat saat dia menangkap pandangan Belgium dan Romano ke arahnya. "Ini…"
"Tunggu! Kalian ini kenapa?" tanya Romano. Dia segera menahan tubuh Netherlands maju lebih jauh ketika dirasanya hawa dingin menguar dari tubuh pria berambut pirang itu. "Apa yang terjadi?"
"Aku tidak percaya," ujar Netherlands perlahan, tak mengacuhkan Romano. "Bagaimana mungkin kau melakukan ini padaku?"
"Nethere… Ini semua tidak seperti yang kau pikir…" ujar Indonesia lirih. Bibir bawahnya bergetar ketika rasa takut mulai menguasai perasaannya. "Aku… Aku bisa jelaskan…"
"APA YANG MAU KAU JELASKAN? !" teriak Netherlands ketika emosi akhirnya mengambil alih seluruh kesadarannya.
"Sir… Tolong tenang," kata dokter itu melihat Netherlands seperti siap menerkam Indonesia. "Ini rumah sakit jadi—"
"BERANI SEKALI KAU MELAKUKAN SEMUA INI? !" Lagi-lagi Netherlands tidak mempedulikan perkataan orang-orang di sekitarnya. Saat ini fokusnya hanya pada Indonesia, betapa mengerikannya kenyataan yang telah disembunyikannya, yang baru saja terungkap di hadapannya saat itu. "BERANI SEKALI KAU BERBOHONG PADAKU? !"
Indonesia melangkah mundur, tanpa sadar butiran air mata mulai jatuh di pipinya. "Nethere, aku…"
"KAU MENIPUKU SELAMA INI! KAU MENYEMBUNYIKAN SEGALANYA DARIKU!"
"Tidak… Aku hanya…"
"KAU PEMBOHONG BRENGSEK SELAMA INI HANYA MEMPERMAINKAN PERASAANKU! KAU—"
"Netherlands!" seru Romano mengguncang tubuh Netherlands, berusaha mengembalikan kesadarannya sementara Indonesia menangis terisak tak terkendali. "Ada apa denganmu? Kenapa kau tiba-tiba marah pada Indonesia seperti ini?"
Napas Netherlands terengah-engah tapi tak dilepaskan tatapan tajamnya ke arah Indonesia. Dia akhirnya berkata geram, "Dia mengkhianatiku."
Wajah Indonesia sudah bersimbah airmata saat dia mendongak, memohon menatap Netherlands. "Tidak… Netherlands… Ini… Ini salah paham… Aku bisa jelaskan… semuanya…" ujarnya terputus menahan isak.
"Tak ada yang perlu kau jelaskan," kata Netherlands dengan pandang dingin. "Sekarang kau beritahu saja siapa dia? Siapa orangnya?"
"Aku tidak mengerti!" seru Belgium kesal. Dia menatap kakaknya dengan bingung. "Sebenarnya apa yang terjadi? Apa maksud kakak dengan 'dia'?"
Tangan Netherlands terangkat untuk menunjuk Indonesia yang berdiri gemetar di hadapannya. Tatapannya yang penuh kebencian membuatnya semakin menjauh dari Netherlands.
"Dia bergolongan darah AB, sama seperti Bhineka," kata Netherlands akhirnya. Dia menoleh Belgium dengan kegetiran yang tak bisa disamarkan di wajahnya. "Dan aku O. Apa kau tidak bisa mengerti apa artinya ini?"
Perlahan, mata Belgium membulat ketika kesadaran mendadak masuk ke dalam pemikirannya. Dia bertukar pandang dengan Romano dan mereka berdua mengerti apa yang telah terjadi. Mereka menatap Netherlands sementara tangis Indonesia tak pernah berhenti saat Netherlands akhirnya mengatakan hal yang paling dirahasiakannya selama ini.
"Bhineka bukan anakku."
-.-to be continued-.-
A/N : Hiyaaaaaaaaaa! Padahal rencananya mau saya bikin oneshot, tapi ternyata baru awalnya aja udah sepanjang ini. , Terpaksa jadi multichap deh. Semoga saya bisa menyelesaikannya. Dukung sayaaaaaaaaa… *meratap sambil nyakarin tiang monas*
Soal golongan darah itu, ada di pelajaran Biologi soal Hereditas. Kalau orang bergolongan darah AB menikah dengan yang bergolongan darah O, kemungkinan anaknya hanya akan bergolongan darah A atau B. Ga mungkin AB atau O. Begitu… ^_^
Maaf kalau jadinya hancur begini. Soal golongan darah itu juga saya ngawur, ga ngerti golongan darah mereka aslinya apa. Maafkan sayaaaaaaaaa… *sujud* Btw, ada yang mau review? Tolong kasih pendapat kalian apa sebaiknya saya melanjutkan cerita ini atau tidak. Thanks for all of your kindness.
reloudypie
