I'll spend forever wondering if you knew I was enchanted to meet you
Cause you were all of my dreams come true
.
.
Yesung kembali terdiam memperhatikan kristal-kristal beku sewarna kapas yang jatuh satu-satu untuk kesekian kalinya, memandangi kelap-kelip lampu jalanan kota Seoul yang tak pernah tertidur meski bulan telah muncul dari peraduannya, menikmati udara malam awal Desember yang berhembus liar membelai lembut wajahnya. Dedaunan bergerak-gerak bergesekan dengan angin, sesekali berlarian dengan memainkan irama tersendiri di tengah keheningan taman kota.
Satu-satunya hal yang menyadarkan Yesung bahwa waktu terus bergerak maju, terus merangkak, meninggalkannya dalam keheningan. Pikirannya kembali melayang-layang, kembali memikirkan sosok kekasihnya yang tak kunjung datang. Yesung menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya yang terbalut sarung tangan bewarna kecokelatan, sesekali meniup-niupnya saat udara terasa semakin menusuk tulang-tulangnya—Sedikit kegiatan yang bisa ia lakukan selain menunggu.
Tiga jam ia duduk di bangku taman dibawah payungan pohon maple di tengah cuaca yang jauh dari kata baik sudah cukup membuatnya bosan. Ia merogoh saku mantel tebalnya, melihat ponselnya berharap ada sebuah pesan yang dikirim oleh kekasihnya. Tapi ia hanya bisa mendesah kecewa saat melihat layar ponselnya tak ada satu pun pesan atau panggilan dari orang kesayangannya itu.
Matanya mulai memanas saat ketakutan itu kembali muncul merayapi hatinya yang rapuh. Takut jika pacarnya itu melupakan kencan mereka hari ini, resah jika pacarnya itu mungkin terjebak dalam situasi yang buruk. Mungkin saja bukan, apapun bisa terjadi dengan kekasih tampannya itu jika mengingat pekerjaannya. Pekerjaan yang menuntut segalanya. Memprioritaskan tugas diatas semuanya. Cinta, keluarga bahkan nyawa.
Yesung menggeleng-gelengkan kepalanya mencoba mengusir pikiran-pikiran negatif yang mulai berkeliaran di benaknya, membuat hatinya semakin gelisah saja. Jemari-jemari kecilnya menari-nari diatas layar handphonenya, mengetik pesan singkat untuk pacarnya yang seolah menghilang dari peradaban itu. Bibir mungilnya mengerucut, sedikit menyumpah akan menghukum kekasihnya itu karena membuat hatinya khawatir seperti ini.
Malam ini udara terasa lebih dingin daripada kemarin. Jangan lupa bawa mantel tebalmu, eoh.
Kau dimana ? Apa kau baik-baik saja ?
Cepatlah datang.
Aku khawatir, kau tahu ?
Ia menghela nafas lagi setelah mengirim pesan itu, kembali menyandarkan punggungnya pada sandaran bangku taman yang dingin. Yesung tak peduli jika dengan menghela nafas terlalu banyak dapat mengurangi keberuntungannya hari ini. Kedinginan di tempat ini selama tiga jam sudah melukiskan bagaimana nasib malangnya kali ini.
Yesung tak bodoh, ia tahu badannya mulai melemas, nafasnya mulai terasa berat. Cepat atau lambat tubuhnya akan ambruk, udara dingin dan musim salju tak pernah bisa bersahabat dengan tubuhnya yang ringkih ini. Tapi ia tak mau menjadi sosok yang lemah dengan tak memperjuangan hubungannya dengan kekasihnya.
Ia tahu kekasihnya itu sibuk, sangat sibuk malah. Untuk makan malam bersama saja dalam tiga pekan ini hanya sekali, dan kencan hari ini sangat penting untuknya. Demi tuhan ia sudah merindukan sosok itu. Ia bahkan tak bisa berhenti tersenyum sejak tadi pagi saat kekasihnya itu mengajaknya untuk pergi menonton film di bisokop sore ini. Bayangan wajahnya selalu terlintas dalam pikiran Yesung saat terjaga maupun terlelap.
Yesung tersiksa dengan hubungan yang seperti ini sebenarnya, jarak mereka itu berdekatan. Tinggal satu kota yang sama, jarak rumah yang hanya setengah jam, bahkan kantor mereka hanya berbeda beberapa blok. Tapi ini tak semudah yang dibayangkan. Semuanya jauh terasa lebih sulit dengan beban pekerjaan yang menjadi penghalang tipis hubungan mereka.
Ia harus mati-matian berjuang untuk hubungan ini, menyesuaikan jadwalnya dengan kekasihnya itu bahkan lihatlah sekarang terjebak di malam dingin seperti ini pun ia lakukan hanya demi bertemu dengan pujaan hatinya itu. Cinta itu bisa membuat seseorang terlihat bodoh bukan ? sama seperti dirinya saat ini, mau saja menunggu kekasihnya di tengah cuaca seperti ini.
Sedikit menggigit bibirnya saat ia merasa udara semakin menyiksanya, padahal hari ini ia sudah memakai dua lapis mantel dan syal tebal yang melilit lehernya. Pandangannya mulai mengabur, barisan pepohonan didepannya terlihat menari-nari menjadi dua. Ini pertanda buruk—yesung tahu itu—waktunya kian menipis tetapi kekasihnya itu belum muncul juga. Ia tahu, ia tak akan memenangkan pertandingan ini. Bahkan ia sudah kalah sejak tadi, hanya sedikit beruntung masih mampu bertahan sejauh ini.
Tangannya kali ini gemetaran saat berusaha menggambil handphone disaku mantelnya, nafasnya semakin sesak ditengah salju yang turun semakin lebat. Pandangannya memburam, telinganya menuli, semuanya terasa aneh baginya. Seolah ia terjebak diantara waktu yang berehenti berdetik dan itu membuatnya takut.
"H-hyung.. hiks.. Appoyo…"
Yesung tak tahu ia menelepon siapa, bahkan tak sadar jika telponnya sudah tersambung atau belum. Ia tak peduli, rasa sakit itu terasa semakin menyayatnya. Tak ada tempat dipikirannya selain nyeri dan sakit yang terus bermain-main di tubuh lemahnya. Dadanya terasa sesak, rasanya susah sekali untuk bernafas, tubuhnya tergeletak di bangku taman yang dingin itu begitu saja. Air matanya meleleh saat tubuhnya mulai mengejang saat kekurangan pasokan udara, badannya terasa ngilu tertimbun dinginnya salju.
Ia sudah tak asing lagi dengan suasana seperti ini, hanya saja Yesung tak ingin mati secepat ini. Sendirian ditengah salju yang dingin—tidak, ia tidak mau ! Ia tak tahu apa yang terjadi, tapi satu hal yang ia tahu sebelum keheningan itu menyeretnya masuk kedalam ketidak sadaran.
"Yesung ? Sayang ? Kau dimana ? Yesung ? kau bisa mendeng—?"
Suara seseorang yang memanggil namanya berulang kali melalui ponselnya.
.
.
This Love
A Fanfiction Present by Winteren
Kim Yesung | Choi Siwon | Lee Donghae
Genres : Angst, Hurt, Romance, Brothership | Rating : PG-17
Note : Age-switched | Yaoi
I own the plot, and all cast own by themselves.
My destiny comes like shooting stars
Leeting me meet someone like you
.
.
[Seoul, satu jam sebelumnya]
Manik hitam Siwon memperhatikan sekelilingnya dengan seksama, melihat setiap sudut pertokoan di dalam salah satu pusat perbelanjaan di daerah Gangnam. Langkah kakinya sering terhenti saat berada di depan estalase toko, mengetuk-ngetuk kecil dagunya berfiki sejenak. Kali ini di depan toko alat musik. Sebuah biola menarik perhatiannya saat ini.
"Gajimu cukup untuk membeli seluruh isi Mall ini, capt. Kakiku pegal mengikutimu dari tadi."
Suara itu mengejutkannya, sedikit menyadarkannya jika ia tidak sendirian di sini. Sosok wakilnya berdiri disampingnya menggerutu kecil sambil ikut memperhatikan biola yang dipajang di depan toko.
"Aku belum menemukan hadiah yang tepat untuknya." Jawab Siwon pelan lalu berlalu, meninggalkan wakilnya yang masih mematung didepan toko alat musik. Ia rasa kekasihnya itu tidak memiliki banyak waktu luang apalagi untuk bermain biola. Bisa-bisa biola itu hanya akan jadi pajangan. Jadi tidak, ia tidak mau memberikan hadiah yang seperti itu. "Ini kencan pertamaku untuk dua bulan belakangan ini, harus ada yang spesial bukan ?"
Ia dapat mendengar suara langkah kaki wakilnya yang berjalan mengekor dibelakangnya, berdecak kecil, "Well, capt. Sebuah pakaian co—"
"Tidak, kekasihku itu Model. Koleksi pakaiannya sudah menumpuk."
"Bagaimana jika sebuah bone—"
"Aku sudah memberinya boneka untuk hadiah."
"Jam ta—"
"Itu juga sudah."
"A pet maybe ?"
"Ayahnya tidak suka hewan peliharaan."
Wakilnya menutup matanya sejenak, "damn, capt!" sedikit kesal semua ide yang ia ucapkan selalu ditolak oleh kaptennya. Jika begini ceritanya, mereka akan terjebak di sini dalam waktu yang cukup lama. Dan itu bukan sesuatu yang bagus.
"Last chance, capt." Ujar wakilnya lesu sambil menghentikan langkahnya, yang membuat Siwon ikut berhenti beberapa langkah di depannya. Siwon melipat tangannya didepan dada, melihat wakilnya yang sibuk memperhatikan toko-toko di sekeliling mereka. Seolah mencari inspirasi untuk membuatnya terkesan. "Sebuah aksesoris bagaimana ? mungkin kalung, cincin, ge—"
"That's good." Jawab Siwon sambil tersenyum melengkung, kekasihnya itu sangat menyukai aksesoris bukan. "Kau memang wakil terbaik, Minho-ah!"
Tak ingin membuang waktu banyak, ia langsung mengajak wakilnya itu memasuki salah satu toko perhiasaan di sudut koridor. ia tersenyum kecil saat seorang pelayan toko menyapanya, "Ada yang bisa saya bantu, tuan ?"
"Aku ingin memberi hadiah untuk kekasihku, nona. Bisa memberiku sedikit saran ?"
"Kami mempunyai Cincin dengan desain terbaru, terbuat dari titanium. Silahkan anda lihat terlebih dahulu" Ujar nona pegawai toko seraya menyodorkan sebuah cincin bewarna putih mentalik dengan ukiran dedaunan halus di permukaannya. "Cincin ini istimewa, tuan."
Alis siwon bertaut, bingung. Menurutnya cincin di gemgamannya ini biasa-biasa saja, bahkan ia bisa memesan dengan desain lebih bagus daripada ini. Dia, Choi Siwon memiliki selera yang sangat tinggi. Dibesarkan ditengah kemewahan membuatnya terlatih memilih barang yang bernilai tinggi. "Istimewa?"
Pegawai itu mengangguk antusias, menurutnya ia telah berhasil menarik sedikit perhatian Siwon. "Cincin ini melambangkan satu cinta untuk dua hati, tuan. Perhatikan ini.."
Pegawai itu mengambil cincin dari tangan Siwon, dengan gerakan memutar cincin itu terbagi menjadi dua. "Bukankah terlihat romantis, tuan."
Siwon tersenyum kecil, mungkin cincin ini akan menjadi hadiah yang bagus untuk kekasihnya kali ini. Pacarnya itu pasti belum punya cincin yang seperti ini. Memang tidak terlalu mewah, tetapi cincin ini unik, kekasihnya pasti senang. "Baiklah, nona. Aku ambil cincin ini."
Pegawai itu tersenyum puas, "Anda memilih hadiah yang tepat tuan. Kekasih anda pasti menyukainya, dan cincin ini sangat special. Hanya diproduksi sekali saja."
Siwon hanya mengangguk kecil menanggapi perkataan pegawai toko yang kini menghilang dari pandangannya itu, membungkus pesananya mungkin. Ia tidak terlalu peduli dengan semua itu, sekarang pikirannya hanya dipenuhi oleh wajah kekasih modelnya itu. Ia merindukannya, tentu saja. Ia akhir-akhir ini terjebak dalam beberapa misi yang membuat mereka jarang bertemu.
"Capt, lihat berkat ideku kau bisa membelikan hadiah yang bagus untuk kekasih modelmu itu." Ujar Minho seraya mengalungkan lengannya di bahu Siwon. "Mentraktirku makan dan minum soju terdengar tidak buruk, capt."
"Kau ini, lebih baik dinner bersama kekasihmu kan daripada makan berdua denganku ini." Jawab Siwon sambil menyikut pelan perut wakilnya itu, sedikit melupakan kekasihnya sejenak. "Apa kau tak bosan kemana-mana selalu berdua bersamaku huh ?"
"Jangan berfikir yang tidak-tidak Capt, kekasihku sedang menjalani pertukaran pelajar di China. Jadi mana mungkin aku bisa dinner bersamanya, eoh." Minho menggerutu, jemarinya bermain-main dibahu kaptennya itu. Sedikit merutuki nasib percintaannya mungkin, "Aku belum pernah melihat pacarmu itu, Capt. Berkenalan dengan pacar modelmu itu pun aku tak menolak."
Siwon mendesah ringan, melepaskan rangkulan tangan Minho di bahunya saat pegawai toko menyodorkannya sebuah kotak merah yang dibungkus oleh pita berwarna putih. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya lalu menyerahkan pada pegawai toko, "Terima kasih, Nona."
Ia kemudian berjalan berlalu sambil setengah menyeret Minho keluar meninggalkan toko, "Tidak kali ini. Besok pagi mungkin, aku akan menemaninya sarapan. Kau boleh bergabung bersama kami."
Mata minho berbinar, bibirnya tersenyum senang. Ia tidak bisa percaya, kaptennya itu mengundangnya untuk makan bersama dengan kekasihnya. Ini kesempatan langka, Well tidak satu orang kantor pun yang tahu bagaimana rupa kekasih sang kapten. Bahkan rumor yang tersebar di kantor lebih buruk, banyak orang yang menduga Siwon hanya berimajinasi tentang pacarnya itu hanya karena Siwon tak pernah membawa kekasihnya itu ke kantor atau bahkan foto bersama pun tak ada. Benar-benar gossip yang menyedihkan.
"Capt, aku sungguh senang bisa makan bersama kalian"
"Tapi kau tidak boleh berkomentar atau mempertanyakan sesuatu tentang kekasihku itu jika bertemu dengannya. Bagaimana?"
Minho mengangguk cepat, ia mengangkat tangannya. "Janji, Capt."
Siwon terkekeh geli melihat reaksi Minho yang seperti itu, bergabung satu tim selama hampir tujuh tahun dibawah tekanan dan situasi yang sama membuat mereka cepat akrab seperti saudara. Saling melindungi satu sama lain sudah menjadi tugas tanpa syarat yang mereka jalani selama ini. Tapi senyuman Siwon sirna saat handphonenya bergetar, menandakan sebuah panggilan masuk.
House
Tertulis jelas dilayar handphonenya, membuatnya sedikit gelisah. Mendapat telepon dari markas bukanlah hal buruk, tetapi dapat menjadi awal mimpi buruk yang merangkak menjadi kenyataan. Dan Siwon tidak menyukai hal itu.
"Yoboseyo?" Jawab Siwon pelan sambil menatap Minho disampingnya, jemarinya menggemgam erat kotak cincinnya—gelisah. "Ada hal apa?"
Rahang Siwon mengeras, matanya memejam sesaat ketika mendengar perkataan dari seberang sana. "Aku ada di Mall … daerah Gangnam."
"Aku mengerti, Baik." Ucap Siwon sambil memutuskan sambungan telponnya. Ia membuang nafasnya kasar, sambil memasukkan ponsel ke saku celananya. Sepertinya perkiraannya benar, telpon dari markas membuatnya merasa seolah berjalan diatas rasa bersalah. Lagi, ia harus menyakiti kekasihnya lagi. Ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk memperbaiki keadaan ini. Dan Siwon membenci kenyataan itu.
"Ada hal buruk capt ?"
"Kita keatap gedung sekarang, Minho. Tiga menit lagi helicopter akan menjemput kita." Ujar Siwon sambil berlari kecil menuju Lift. "Kita ada misi darurat."
"Ai, ai, Capt. Tapi kencanmu de—"
"Kencan bisa menunggu, minho-ah. Tapi nyawa orang tidak." Potong Siwon cepat. Jemarinya menggemgam erat kotak cincinnya, seolah meminta kekuatan untuk hatinya yang sedang memberontak keras untuk tindakannya kali ini.
Tapi bukankah ini konsekuensi yang harus ia ambil sejak awal ?
Siap mempertaruhkan semuanya demi tugas. Rela meninggalkan keluarga untuk Negara, bahkan melewatkan kencan untuk keselamatan orang lain. Ia sudah terbiasa dengan situasi seperti ini, hanya saja hatinya tetap saja gelisah.
Ia boleh saja terbiasa dengan pekerjaannya yang tak menentu seperti ini tapi di sisi lain ada kekasihnya yang belum terbiasa dengan hal-hal ini. Ia takut, tentu saja. Jika mereka harus berpisah karena pekerjaanya yang menghalangi cinta mereka, Siwon tak tahu harus bagaimana menghadapi hari-hari berikutnya.
Ia sedikit mengatur nafasnya yang tak beraturan saat berada di atap gedung, helicopter sudah datang menjemput mereka. Ia dapat melihat rekannya di dalam sana mengisyaratkannya agar segera masuk dan pergi meninggalkan tempat ini. Ia mengeluarkan handphonenya, menulis pesan singkat untuk kekasihnya sebelum mematikan handphonenya dan berlari menuju helicopter menyusul langkah Minho. Menjalankan tugasnya sebagai seorang polisi.
Sepertinya aku akan datang terlambat, baby. Aku harus menyelesaikan tugasku. Kali ini dengan cepat, jadi tunggu aku eoh yesungie baby.
Saranghae.
.
.
Donghae terdiam, matanya terpejam erat, jemarinya saling bertaut, bibirnya tak berhenti bergerak merapal doa. Ia telah berada di situasi seperti ini puluhan kali, tapi tetap saja ia tak pernah terbiasa dengan hal ini. Semuanya masih saja terasa menakutkan baginya untuk kembali ke tempat ini, duduk di bangku ini, kembali bersimpuh memohon pada Tuhan untuk sebuah keajaiban saat ini.
Koridor bernuansa putih malam ini terlihat sedikit ramai daripada biasanya, suara langkah kaki yang beradu dengan lantai terdengar nyaring ditelinganya. Sedikit teriakan beberapa perawat membuatnya tersadar jika semua yang terjadi ini bukanlah mimpi belaka.
"Tenanglah, Hae. Ini bukan yang pertama kalinya bukan ?" Tepukan halus ia rasakan dibahunya saat managernya ikut duduk di sampingnya, sedikit menenangkannya yang terlihat resah. "Semua akan baik-baik saja seperti biasanya."
Donghae hanya membisu, tak yakin untuk menanggapi ucapan managernya itu. Memang ini bukan yang pertama, tapi justru karena itulah ia lebih khawatir. Bagaimana jika kali ini semuanya tidak akan baik-baik saja seperti biasa ? bagaimana jika kali ini Tuhan tak mendengar rapalan doanya ? bagaimana jika keajaiban tak lagi datang ? bagaimana—
"Donghae-ah!"
Suara itu membuyarkan lamunannya yang menakutkan, caramelnya menatap sosok ayahnya yang berlari kecil menuju kearahnya. Ayahnya terlihat kacau, tak jauh lebih baik dari keadaanya. Ia segera berdiri, menanti ayahnya untuk menjelaskan bagaimana semua ini bisa terjadi. Ia adalah anak sulung, menurutnya semua yang menyangkut adiknya adalah tanggung jawabnya.
"Appa. Mianhae, appa. A-aku tidak tahu, Yesungie menelponku lalu a—ku, a—ku—"
Racauan Donghae terhenti saat ayahnya dengan cepat merengkuh tubuhnya yang bergetar hebat itu dalam pelukan. Membiarkan anaknya itu menangis ketakutan didalam dekapannya. "Appa tahu ini bukan salahmu. Kau sudah berusaha menjaganya dengan baik, eoh."
Donghae menggelengkan kepalanya di dalam pelukan sang ayah, tidak setuju dengan ucapan ayahnya barusan. Jika memang ia sudah menjaga adik kecilnya dengan baik, semuanya tidak akan berakhir disini. Semuanya akan baik-baik saja tidak kacau seperti ini. Terjebak di rumah sakit sudah cukup menjelaskan bagaimana mengerikannya situasi saat ini.
"Kau sudah makan ? apa kau ingin segelas kopi atau sesuatu Hae ?" Suara ayahnya terdengar lagi, kali ini pelukannya mengendur. Sedikit melihat bagaimana raut sang anak. "Atau kau ingin pulang dulu untuk beristirahat ?"
Donghae terdiam, memperhatikan wajah ayahnya yang terlihat lelah. Bagaimana mungkin ia bisa pergi untuk beristirahat sedangkan di depannya, ayahnya jauh lebih terlihat berantakan. Bahkan belum menganti pakaian operasi yang digenakannya, beberapa bercak darah masih terlihat jelas di tubuhnya.
Ia tak tahu bagaimana Ayahnya itu bisa menyelesaikan tugasnya sebagai dokter bedah ditengah pikirannya yang ketakutan karena anaknya yang lain masuk ke rumah sakit yang sama dengan tempatnya bekerja. Donghae saja sudah melarikan diri dari pekerjaannya saat mendengar suara adiknya yang kesakitan, tapi disini ayahnya harus mati-matian bersikap profesional dengan mendahulukan keselamatan pasiennya daripada anaknya.
"Bagaimana jika appa membersihkan diri dulu lalu kembali kesini dengan segelas kopi untukku ? Managerku akan menemani appa." Ujar Donghae seraya menoleh kebelakang, melihat managernya. Memintanya untuk menemani sang ayah melalui tatapannya dan setidaknya membiarkan managernya itu mengisi perutnya yang telah melewatkan jam makan malam karena keadaan ini. "Kalian berdua belum makan, bukan ?"
"Ah, bahkan appa sampai lupa melepas pakaian ini. Baiklah, kajja manager Lee, secangkir kopi telah menunggu kita." Jawab Appanya sambil sedikit mengacak rambut Donghae, mencoba mencairkan suasana yang terasa kaku diantara mereka "Kau tidak apa sendirian disini ?"
Ia mengangguk kecil, "Lagipula—" siluet seseorang terlihat berlari menuju arah mereka dari balik punggung ayahnya, "Siwon sudah datang."
Ayahnya segera membalikkan badan ketika mendengar nama Siwon keluar dari mulut Donghae, benar saja kapten itu terlihat cemas saat menghampiri mereka. "Ahjushi, Donghae-ah. Bagaimana keadaa—"
"Hei, tenanglah Siwon-ah. wajahmu sampai memerah seperti itu." Potong Donghae sebelum Siwon menyelesaikan kalimatnya, sedikit tak tega melihat keadaan calon adik iparnya itu yang sepertinya kehabisan nafas karena berlari kemari. "Dokter masih memeriksanya."
Siwon mengangguk-angguk pelan sambil mengatur nafasnya yang memburu, sejenak menutup matanya, mencoba menenangkan pikirannya yang kalut. Ia baru saja menyelesaikan misi dan mendengar berita jika kekasihnya masuk ke rumah sakit di hari kencan mereka, oh kejutan apalagi yang bisa mengagetkannya selain ini !
"Ahjushi tinggal dulu, eoh. Kau tunggu disini bersama Donghae." Tepukan hangat dibahunya membuatnya kembali membuka matanya yang terpejam, melihat ayah kekasihnya yang menyungingkan senyum kegetiran sambil berlalu pergi bersama manager Donghae. Senyuman yang menyiratkan banyak makna untuknya.
"Duduklah, Siwon. Hari ini terlihat kacau bukan, kau pasti langsung berlari kemari setelah menyelesaikan misimu itu."
"Kau pun begitu, Hae. Meninggalkan pekerjaanmu sampai lupa memakai sepatumu huh ?"
Donghae hanya terkekeh pelan, menertawakan kebodohannya sambil kembali duduk dibangku yang terasa dingin. Bagaimana ia tidak sadar sejak tadi ia berjalan tanpa alas kaki. Bagaimana jika ada yang memotretnya dengan keadaan kacau seperti ini ? bisa-bisa esok hari wajahnya akan terpampang di headnews surat kabar karena penampilannya. Tapi ia tak peduli masalah itu saat ini—keadaan Yesung jauh lebih penting baginya.
"Semuanya terdengar mengerikan, Siwon. Saat Yesung tiba-tiba meneleponku dan merintih kesakitan. Aku ketakutan, dia bahkan tak menjawab pertanyaanku. Dan saat aku menemukannya tergeletak di bangku taman kota bibirnya sudah membiru, surainya telah tertutup salju, nafasnya tercekat-cekat. Menurutmu bagaimana aku bisa peduli tentang sepatu ?"
Disampingnya dapat ia lihat Siwon yang terdiam sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam. "Mianhae, ini semua salahku." Siwon mendesah kecil, sambil duduk disamping Donghae. "Aku memintanya menungguku kami akan berkencan, Hae"
Hening. Donghae hanya menatap tak percaya ke arah Siwon, di benaknya masih berputar-putar perkataan Siwon Barusan. Jadi Yesung kedinginan diluar sana karena menunggu Siwon ? tanpa sadar tangan Donghae mengepal, menahan emosinya yang tiba-tiba membuncah memenuhi dadanya. Jika tidak ingat ini rumah sakit, sudah pasti pukulan Donghae telah mendarat di wajah tampan Siwon.
"Astaga! bagaimana mungkin kau melakukan hal itu. " Donghae akhirnya bersuara, rahangnya terlihat menegas, caramelnya mengeras. Ia terlihat marah, tentu saja. Adiknya masuk ke rumah sakit karena kecerobohan kekasihnya sendiri. Yang benar saja ! "Kau ingin membunuh Yesung, huh ?"
"Aku tahu, aku tahu. Ini semua salahku, Hae. Maafkan aku.." Jawab Siwon pelan, seolah telah kehabisan tenanganya. Tak ada pembelaan yang dapat keluar dari bibir Siwon, semua kekacauan ini karena kebodohannya, keegoisannya.
Jika saja ia tak meminta Yesung menunggunya…
Jika saja ia membatalkan kencan mereka seperti sebelum-sebelumnya
Jika saja ia bisa memutar kembali waktu…
Jika saja…
Semuanya terasa menyesakkan ketika Siwon tak berdaya, terpojokkan karena keteledorannya. Dikepalanya hanya ada kata jika saja, kata yang tak membantunya. Kata yang tak bisa mengubah kenyataan ini menjadi sebuah ilusi belaka.
"Cukup kau mempermainkan hatinya Siwon, tapi jangan kau permainkan kesehatannya—"
"Aku mencintainya Hae, bagaimana mungkin aku berniat menyakitinya ?" Siwon tak lagi terima disudutkan oleh Donghae. Ia tahu ia bersalah, tapi ia sedang tidak butuh tekanan seperti ini. Bukan hanya Donghae saja yang merasa ketakutan tapi ia juga merasakannya. Ia kekasih Yesung, bukan ?
Disini ia lah yang paling merasa ketakutan akan kehilangan, disini ia lah yang harusnya paling meratapi kondisi Yesung, disini ia lah yang harusnya paling sedih. Terlebih kenyataan yang menamparnya keras tentang alasan kenapa mereka semua berada disini, dia. Ya, dialah yang paling menderita kini, bukan Donghae atau siapa pun.
Jika sesuatu terjadi pada kekasihnya Karena ulahnya, bagaimana bisa Siwon hidup tanpa belenggu rasa bersalah ?
"Kau tahu bagaimana kisah cinta ini dimulai, Hae. Ketika bertemu dengan adik kecilmu dibawah payung sewarna madu di halaman kantor hari itu. Seolah bintang jatuh mengabulkan permintaanku, untuk bertemu seseorang seperti dirinya untuk mengisi takdirku."
"Tapi lihatlah yang telah kau lakukan. Kalau kau mencintainya seperti yang kau katakan, kau tak akan mungkin mengirimnya ke tempat ini, Siwon! " Donghae sedikit memekik kesal. Wajahnya memerah padam, bulir-bulir air mata bahkan terlihat menggenang di pelupuk matanya. Donghae memang gampang sekali menangis, apalagi jika menyangkut tentang adik kecilnya. Ia terlalu sensitif dengan hal itu.
"Hae kau tahu bagaimana posisiku, kau pernah merasakan bagaimana sibuknya kita sebagai polisi. Aku—"
Perkataan Siwon terhenti saat pintu ruangan di depan mereka terbuka dan menampakan sosok dokter yang tak asing lagi dimata mereka—dokter Park yang telah menangani Yesung sejak kecil. Donghae segera berdiri dari tempatnya duduk, tak lagi peduli dengan perkataan Siwon. Kabar Yesung lebih menarik perhatiannya, "Bagaimana keadaannya ?"
"Maafkan kami, kami telah berusaha sekeras mungkin. Tapi kali ini kondisinya lebih parah daripada sebelum-sebelumnya, bahkan nafasnya sempat terhenti—"
"Dokter, cepat katakan apa yang terjadi dengan Yesung ?" kali ini Siwon memotong perkataan dokter yang terdengar berputar-putar di kepalanya. Ia hanya ingin tahu dengan cepat bagaimana kondisi pacarnya itu. "Apa dia baik-baik saja ?"
Dokter itu terdiam beberapa saat, menatap sendu caramel milik Donghae. Satu tanda yang Donghae benci, satu ketakutannya yang akan menjadi kenyataan pahit."Maafkan kami, Yesung berhasil kami selamatkan tapi sepertinya ia mengalami koma…"
Dan bom waktu itu seolah meledak tepat di jantungnya—jantungnya berhenti berdegup, oksigen seolah menolak masuk ke dalam tubuhnya. Badannya mematung, kebas. Dunianya seolah runtuh saat ini juga. Semuanya terasa menyedihkan karena kali ini keajaiban tak lagi datang untuk adik kecilnya. Kenyataan itu menamparnya keras, meninggalkan rasa menyakitkan yang tak berkesudahan.
Ia menatap Dokter Park dan Siwon bergantian dengan mata yang memburam, tangannya mengepal erat, dan tawa getir yang keluar dari bibirnya yang terlihat memucat.
"Adikku koma ?"
.
.
Don't leave me
Even if we can't see our futures
Have I ever told you
That you are my everything ?
.
.
Hallo, readers. Ini fanfic berchapter Ren yang pertama. Bagaimana menurut kalian ?
Apakah terlalu pendek atau bahkan ini terlalu panjang ?
Please give me your review, thank you.
With love, will see you next chapter.
