Disclaimer: Harry Potter milik J.K. Rowling.

Pairing: Hermione Granger & Adrian Pucey.

Warning: Tak ada Lord Voldemort dan tak ada Perang Besar Hogwarts.

Rating: T


"Gadis Kecil bersyal merah, ternyata kau hobi mengintip orang pacaran ya?"

Adrian Pucey, idola Slytherin yang baru-baru ini menyandang gelar Casanova Terbaik Sepanjang Sejarah Sekolah Sihir Hogwarts menatap lekat-lekat dengan pandangan geli. Sudut bibir sensualnya terangkat ke atas, membentuk segurat senyuman menggoda.

Di sebelah Pucey, melingkar erat seperti lalat terjerat lem perekat, penyihir cantik berambut pirang keemasan merengut masam. Wajah si gadis yang sehalus pualam murni kentara sekali menunjukkan ekspresi benci karena aktivitas kencan panasnya terinterupsi oleh kedatanganku.

Menahan malu yang membuncah, aku melebarkan kuda-kuda, menyanggah habis-habisan tudingan gadis kecil tukang ngintip. Tuduhan tak beralasan yang pastinya dilontarkan Pucey hanya untuk meletuskan bara amarahku.

"Aku tidak suka mengintip orang pacaran! Dan jangan panggil aku Gadis Kecil! Aku bukan anak-anak!" aku menyangkal sengit, menghentakkan dan membanting kaki keras-keras ke rerumputan. Gelagat yang baru sesaat kemudian kusadari merupakan ciri khas seorang bocah ingusan saat sedang merajuk.

Begitu pemahaman tersebut melintas, aku buru-buru menghentikan pergerakan kaki. Untung tungkai pendekku sudah menjejak ke tanah. Kalau tidak, berabe maksimal, saudara-saudara sekalian. Bisa-bisa aku kelihatan konyol mematung dengan sebelah kaki terangkat seperti bangau di tepi danau.

Alis cokelat Pucey naik sebelah melihat pergerakan gesitku yang terhenti tiba-tiba. Ha! Pasti dia berpikir aku kena serangan Mantra Petrificus Totalus karena badanku kaku mendadak.

Mengulum senyum mengejek, Pucey melanjutkan celotehan kurang ajarnya. Manik cokelat keemasan Pucey yang seindah cahaya redup fajar bersinar jenaka di antara bayangan bulu mata.

"Kalau kau tidak sedang memata-matai kami, lalu apa yang kau lakukan di sini, Kitten?"

Kitten? Kitten? Kitten?

Setelah mengata-ngataiku tukang ngintip kekanak-kanakan, sekarang cowok sableng tapi ganteng ini berani menyebutku Kitten?

Oh, Merlin! Meski aku sangat menyayangi Crookshanks, aku tidak mau disamakan dengan kucing gendut berbulu lebat yang atraktif itu.

Eh, tunggu dulu!

Crookshanks sudah tak bisa dipanggil Kitten lagi, bukan? Dia sudah menjelma menjadi kucing remaja yang memesona. Persis seperti majikan perempuannya.

Ya diriku ini, tentunya..

Sadar Hermione! Akal sehatku menghardik marah. Sekarang bukan saatnya mendaftarkan satu persatu keunggulanmu dan Crookshanks. Yang harus kau fokuskan saat ini adalah menjernihkan citra di depan Pucey yang sedang terbahak-bahak konyol.

Berdeham samar, aku mendelik garang, bersusah payah memblokir tatapan nakal yang dilayangkan Wakil Kapten Quidditch Slytherin itu.

"Aku cuma kebetulan lewat di sini dan memergoki kalian pacaran. Satu lagi, jangan sebut aku Kitten! Aku bukan anak kucing, tahu!" semprotku membabi-buta. Aku semakin memonyongkan bibir tatkala cengiran usil Pucey bertambah lebar mendengar penyangkalanku yang berapi-api.

"Ya ampun. Masih belum mau mengaku juga? Kau itu Kitten, Sayangku. Anak kucing yang sangat aku cin..."

"Adrian," suara genit yang didesah-desahkan memotong apapun yang ingin disampaikan Pucey padaku. Membelalakkan mata ungu perak yang berkilat menakutkan, nona jelita yang menggelayut mesra di lengan Pucey mengirimiku tatapan membunuh. Sorot mengerikan yang langsung bisa kuartikan sebagai isyarat angkat kaki-dari-sini-atau-kau-mati.

Mengangkat hidung setinggi mungkin, aku membalas intimidasi kacangan itu. Sayang sekali lencana Prefek baru bisa aku gasak tahun depan. Seandainya saja saat ini aku memiliki kekuasaan Prefek, aku pasti sudah melempar gadis centil menyebalkan ini ke pangkuan guru Ramuan paling horor sedunia, Profesor Severus Snape.

Dengar-dengar sih Snape sedang membutuhkan kelinci percobaan untuk ramuan terbaru ciptaannya.

Ramuan Kepala Peyang.

Eliksir bombastis yang dikabarkan bisa menggepengkan tempurung kepala sekeras apapun.

Kesal karena diriku tak terpotong-potong di bawah sorot mematikannya, gadis bersyal kuning kenari bergaris-garis itu mengalihkan iris violet berkilat ke wajah menawan Pucey yang tercengang-cengang menyaksikan kontes adu pelototan di antara kami.

"Adrian, lebih baik kita cari tempat lain untuk berduaan," si gadis merajuk manja, mengusap lembut lengan kokoh Pucey dengan jemari lentik yang dihiasi kuteks warna magenta menyala. Seiring dengan setiap rayuan, tubuh moleknya menempel erat, persis seperti jamur lumutan di roti basi.

Tanpa mengalihkan pandangan dari wajahku yang merona, Pucey menanggapi permintaan teman kencan terbarunya yang masih mendesah-desah seperti kucing betina jalang kepanasan.

"Baiklah. Lagipula, dosa besar kalau kita membuat Kitten dewasa sebelum waktunya. Jangan sampai ia matang karbitan karena menonton adegan mesum gratisan."

Merangkulkan lengan di pinggang ramping si gadis pirang, Pucey berbalik meninggalkanku yang ternganga menyerap ucapan sintingnya barusan.

Matang karbitan karena menonton adegan mesum gratisan?

Menyepak-nyepakkan sepatu ke rumput yang tak berdosa, aku meradang merespon komentar merendahkan itu.

"Aku bukan bocah! Aku bukan Kitten dan bukan buah karbitan!"

Menoleh dari balik bahu, Pucey tergelak dan mengedip nakal. Brengsek! Tak bisa dipungkiri lagi, cowok keparat itu betul-betul menikmati jeritan menggelegarku yang membahana.

Ugh, menjengkelkan!

Aku tak habis pikir mengapa Pucey senang sekali mempermainkan dan meledekku. Sejak pertama kali aku memberanikan diri mendekatinya seusai pertandingan Quidditch Slytherin versus Gryffindor di awal tahun ajaran ini, Pucey seolah-olah terobsesi membuatku meledak dongkol. Tampaknya, ia menganggapku tak ubahnya anak kecil yang gampang dikadalin.

Anak kecil...

Aku mendengus kecut menghayati kalimat menggelikan tersebut. Mengawasi sosok Pucey dan gadisnya yang semakin jauh, mataku menerawang hampa. Mungkin Pucey tak salah jika memandangku tak lebih dari sekadar bocah cilik ileran. Dibandingkan semua pacar-pacarnya, termasuk gadis Hufflepuff tadi, aku memang seperti anak kecil.

Si cewek asrama musang tadi contohnya. Baru duduk di tahun kelima saja tubuhnya sudah seperti penari telanjang profesional. Berlekuk mulus di tempat yang tepat.

Dibandingkan diriku ini...

Meringis suram, aku menyusuri ujung sepatu hingga pangkal ikal rambut mengembang yang megar tak beraturan. Pucey benar, aku memang anak kucing ingusan. Buktinya, untuk ukuran siswi tahun keempat saja aku kalah jauh.

Dua teman seasramaku misalnya, Parvati Patil dan Lavender Brown. Di tahun keempat ini, kecantikan dan pesona mereka sudah merebak. Keduanya tak ubahnya seperti bunga mekar yang mengundang gerombolan tawon kurang kerjaan datang mendekat.

Ironisnya lagi, aku juga bukan siapa-siapa jika disejajarkan dengan adik kelasku, Ginny Weasley. Memasuki usia puber, Ginny yang baru menginjak umur tiga belas tahun telah berubah menjadi bidadari berambut api. Pertumbuhan tinggi badannya kian pesat dan garis wajahnya juga semakin memikat. Tak heran jika semua anak laki-laki Hogwarts meneteskan air liur setiap kali putri bungsu keluarga Weasley itu melintas.

Yah biarlah, aku berusaha menghibur diri. Tubuhku memang kecil mungil seperti gadis cilik dan tingkahku mungkin seperti anak kucing bandel tapi setidaknya otakku bukan karbitan.

Jika boleh membusungkan dada (memangnya punya?) aku buru-buru menyepak pikiran minder yang sekonyong-konyong nongol itu. Tentu saja aku punya, idiot! Meski tidak sebesar dada supermodel bikini.

Oke, sampai di mana tadi?

Oh ya, jika boleh membusungkan dada, aku bisa membanggakan diri sebagai penyihir genius sejagat setelah Rowena Ravenclaw, si pendiri asrama Ravenclaw yang cantik legendaris dan berotak super itu.

Aku yakin, masih banyak bujangan-bujangan pintar yang menghargai kecerdasan ketimbang pesona jasmani. Tapi sayangnya, pria muda sehat pikiran itu pasti bukan Adrian Pucey. Chaser Slytherin paling ganteng itu dipastikan memiliki ketertarikan khusus pada keledai berotak udang.

Sepanjang yang aku ketahui, Pucey hanya mengincar gadis cantik berotak kosong. Kalau kata teman baikku, si Harry James Potter, semua demi alasan kepraktisan saja. Cewek telat mikir pasti gampang dibego-begoin. Dengan kata lain, mereka tak bisa menuntut dan berbuat banyak saat diputuskan sepihak.

Jika dipikir-pikir, aku mungkin masuk ke dalam kategori dara yang mudah diperdaya. Sudah jelas Pucey tak tertarik atau melirik gadis berpenampilan pas-pasan seperti diriku ini. Tapi, kenapa aku masih memuja dan mendambakannya?

Kalau menurut opini Ronald Bilius Weasley, sobat dekatku yang tengil dan doyan ngemil, aku sudah tersihir dengan ketampanan Pucey sehingga tak bisa berpaling muka. Pendapat tak bermutu yang langsung kutepis mati-matian sampai Ron mengerucutkan bibir dan mengucapkan satu kalimat sakti 'Gilderoy Lockhart'.

Ya, ya, ya. Aku akui ketika duduk di tahun kedua, aku sempat menyanjung-nyanjung makhluk bertampang ganteng seperti mantan guru Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam, Profesor Gilderoy Lockhart. Tapi itu dulu, sebelum aku tahu kalau penyihir bergigi kinclong itu cuma sekadar tukang tipu. Cuma bandit akademik yang gemar memanipulasi hasil kerja orang lain melalui jampi-jampi memori.

Tapi, Pucey tentu saja berbeda seratus delapan puluh derajat dari Lockhart. Tak seperti Lockhart yang merupakan bukti nyata pepatah tong kosong nyaring bunyinya, nilai-nilai pelajaran Pucey sama sempurnanya dengan penampilan raganya.

Selain menyabet gelar penyihir paling cerdas seangkatannya, Pucey juga menduduki posisi Ketua Murid. Jabatan bergengsi yang tengah kuincar di masa depan. Singkat kata, singkat cerita, Pucey setampan Adonis dan sejenius Sir Isaac Newton, si penemu hukum gravitasi.

Tapi, meski ketampanan maskulin-nya melegenda, kelakuan minus pemuda bersurai cokelat itu juga tak kalah sakti mandraguna. Sejak aku mengenalnya, ingatanku tentang Pucey selalu dihiasi kenangan tentang watak nakalnya yang gemar mengusiliku.

Lalu, kenapa aku masih tertarik padanya? Masih naksir dan menggilai pemuda yang cuma melihatku sebagai bocah kecil empuk yang enak dijadikan bulan-bulanan?

Sepertinya, untuk memecahkan dilema tersebut, aku bisa berpatokan pada nasihat yang dikutip ibu Ron, Molly Weasley dari novel romantis favoritnya. Katanya, terkadang seseorang tidak perlu melakukan apapun untuk membuatmu mencintainya. Kau hanya mencintainya dan kau tak bisa mencegahnya.

Sepertinya kutipan itu solusi yang cocok untuk kondisiku saat ini. Aku mencintai Pucey dan tak berdaya mencegah tumbuhnya cinta ini.

Merapatkan syal merah marun bergaris-garis di leher, aku berbalik menuju Aula Besar, bersiap-siap menyantap sajian makan malam yang dihidangkan peri rumah Hogwarts.

Yah, bisa jadi saat ini aku tak mampu membendung luapan cinta. Namun, semua tentu akan berubah ketika Pucey lulus nanti. Tak lama lagi Pucey akan meninggalkan Hogwarts dan aku tak akan melihat muka kharismatiknya lagi. Minimnya waktu pertemuan pasti mengubur perasaan khusus ini.

Lagipula, mungkin romansaku ini hanya sekadar cinta monyet yang tak serius dan mendalam. Hanya cinta pertama yang pada akhirnya akan habis digerus masa...


"Gadis Kecil bertopi merah, ternyata kau hobi mengintip orang mandi ya?"

Adrian Pucey, Chaser andalan klub elit Liga Quidditch Inggris dan Irlandia, Puddlemere United menatapku lekat-lekat dengan sorot menghanyutkan.

Tergagap malu, aku menelan ludah dalam-dalam, mati-matian berjuang mengalihkan pandangan dari tubuh atletis Pucey yang lembap sehabis mandi. Menenggelamkan tangan di saku mantel, aku dengan sekuat tenaga berupaya mengekang desakan menelusuri lekuk badan tegap Pucey yang terbungkus handuk setinggi pinggang.

Demi Ramuan Peyang Snape yang gagal total! Tak bertemu lima tahun saja Pucey sudah berubah menjadi pria menggairahkan seperti ini. Menatapnya saja membuatku tersadar bahwa bara cinta pertamaku ternyata tak pernah padam.

"Aku tak mengintipmu mandi, kok. Aku ke sini hanya untuk bertemu Cormac," aku menyangkal rikuh, mencoba tak memelototi keindahan raga yang terpampang bebas di hadapanku.

Bunyi benturan tubuhku dengan loker pemain terdengar nyaring di kamar ganti yang sore ini tak berpenghuni. Kerasnya hantaman membuat topi merah yang aku pakai merosot dari kepala dan teronggok lemas di lantai.

Astaga! Aku sama sekali tak mengira Pucey akan mendorong dan menekanku ke dinding loker. Untung saja ia masih berbaik hati mengalungkan tangan besarnya di rambut megarku sehingga kepala cerdasku lolos dari ancaman gegar otak permanen.

Meringis lirih, aku tersentak saat napas harumnya yang memburu berhembus di kulit wajahku. Kening kami saling menempel, membuatku bisa meneliti mata coklat emasnya yang menyala marah.

"Cormac? Maksudmu Cormac McLaggen?"

Suara Pucey yang biasanya mengalun serak-serak basah bin seksi kini terdengar kasar. Mengernyitkan dahi, aku meronta mencoba melepaskan diri dari cengkeraman eratnya. Terus terang saja, kedekatan posisi kami membuatku jengah dan tak nyaman.

Jantungku berdentum tak karuan saat iris cokelat keemasan Pucey bergerak perlahan, menekuri profil wajahku dengan intensitas yang melemahkan saraf. Semburat mawar merah gelap menjalari kedua pipiku saat aroma tubuh Pucey yang segar sehabis mandi mengalir semilir, berhembus memasuki dua lubang hidungku yang kembang-kempis.

Sebelum tanda-tanda yang menyatakan diriku masih terpesona setengah mati terdeteksi, aku menggeliat melepaskan diri dari belitan pelukan Pucey yang menggemparkan. Sialnya, semakin sengit aku berontak, Pucey makin menekankan tubuh hangatnya ke raga kecilku yang gemetaran.

Demi kepala peyang Snape yang tidak pernah beres, mimpi apa aku semalam? Ditempel begini erat oleh pria tampan setengah telanjang yang sudah kucintai sejak bertahun-tahun lalu?

Merangkum wajahku dengan tangan kuatnya, mata cokelat emas Pucey tertumbuk padaku. Geraman rendah sarat ancaman terselubung keluar dari tenggorokannya.

"Untuk apa kau ketemu McLaggen, Kitten? Apa si cacing brengsek itu pacarmu?"

Nada cemburu yang kurasakan di pertanyaan Pucey membuatku terperanjat.

Cemburu...

Buru-buru kutendang pikiran lebay nan alay itu. Bah, mana mungkin Pucey cemburu dan mengira kedekatanku dengan Cormac sebagai bentuk ikatan cinta antar kekasih. Bukankah kata orang cemburu itu tanda cinta? Tak mungkin rasanya Pucey, si olahragawan brilian yang digilai banyak wanita menaruh hati padaku.

Atau mungkin, otak setanku mulai bangkit dan berpikir yang bukan-bukan, jangan-jangan Pucey mencintai Cormac sehingga ia murka karena mengira diriku berniat mencuri Cormac darinya.

Sekelebat praduga beralasan itu membuatku terkekeh tak terkendali. Derai geliku rupanya membuat Pucey naik pitam sebab ia memicingkan mata tajamnya. Menekankan jari di daguku, Pucey memaksaku menatapnya dalam-dalam.

"Jawab pertanyaanku, Kitten. Apa kau pacaran dengan McLaggen?"

Seandainya saja aku berada dalam kondisi berbeda, tidak terjepit di antara pintu loker dan tubuh kekar setengah bugil menggiurkan, aku pasti sudah terpingkal-pingkal melihat roman tak sabaran di tampang Pucey. Sepertinya, ia benar-benar kebelet mendengar pernyataan tegas bahwa aku tak berencana mengambil Cormac dari sisinya.

"Tidak, Pucey. Cormac bukan pacarku. Pacar Cormac itu Cho Chang. Aku ke sini karena diminta Cho untuk-" omonganku tak terselesaikan sampai tuntas sebab tanpa aba-aba mulut Pucey melahap bibirku dengan antusias.

Memiringkan wajahku untuk memperoleh sudut yang pas, ciuman panas Pucey makin bertambah ganas, membuat tubuhku lemas seperti tak bertulang. Menjilat bibir bawahku dengan gerakan sensual, Pucey menghentikan ciuman posesifnya, membuatku bisa kembali menarik napas kendati tersengal-sengal.

Mataku membulat dan nyaris melompat keluar saking kagetnya. Apa yang barusan terjadi? Apa benar Pucey, laki-laki matang dan jantan yang kuidam-idamkan sejak lama menciumku dengan penuh gairah?

Memasang senyum arogan, Pucey melengkungkan alis indahnya. Ow, sialan. Kelihatannya ia menikmati reaksi terkejutku. Ketika muka melongoku belum pudar, Pucey melanjutkan manuver erotisnya.

Melilitkan ikal rambutku di jarinya, Pucey membenamkan hidung mancungnya di leherku. Mencium dan menghirup dalam-dalam sambil bergumam lembut.

"Mmm, Kitten. Aku suka wangimu."

Tindakan intim Pucey kontan memancing erangan serak keluar dari kerongkonganku. Seluruh tubuhku terasa bergetar dan bergelora. Dunia seolah-olah hanya menjadi milik kami berdua. Yang lainnya ngontrak di planet lain dulu ya...

Oh ya, ya, ya Pucey. Aku juga suka harum maskulinmu yang menghipnotis itu. Aroma segar yang menguar sehabis mandi.

Umpatan keras yang terdengar dari birai pintu membredel semua pikiran melantur yang berkutat seputar aktivitas panas di tempat tidur. Pucey di lain pihak seolah tak peduli dengan gangguan tak tepat waktu itu. Bibir nakalnya terus membasahi telinga dan leherku dengan ciuman liar yang memabukkan. Mulut laparnya memagut, menyesap dan mengecup lembut. Membuat sekujur raga dan jiwaku meremang seperti terserang demam.

"Busyet deh, Pucey! Jangan berbuat cabul di ruang ganti! Pamali tahu!"

Mengecup bintik-bintik yang bertebaran di hidungku, Pucey akhirnya berbalik dan memandang garang si tamu tak diundang. Merapikan handuk besarnya yang agak longgar dan untungnya tak melorot jatuh, Pucey mendengus gusar.

"Mau apa kau ke sini, McLaggen?"

"Hah? Mau apa?" si penyusup kurang kerjaan yang ternyata Cormac McLaggen, Kiper Puddlemere United sekaligus teman satu asramaku di Menara Gryffindor menggerutu dongkol.

Beranjak memasuki ruangan, Cormac membanting sapu balap berdebu di sudut ruangan yang dipenuhi tumpukan kancut kecut dan kutang bau keringat.

"Ini ruang ganti, Pucey. Tentu saja aku ke sini untuk mandi dan ganti baju!" sungut Cormac sambil lalu, menjentik sejumput rumput kering yang tersangkut di lengan kostum.

"Hermione?"

Cormac akhirnya menyadari keberadaanku yang sedari tadi menundukkan kepala menahan malu.

"Hermione, ngapain kau di sini?"

Belum sempat menjawab, aku merasakan Pucey membalutkan lengan di sekeliling pinggangku. Bibirnya menciumi puncak kepalaku, membuat akal sehat dan tubuhku melebur seperti bubur.

"Dia di sini karena ingin menontonku mandi tanpa busana."

Komentar ngaco Pucey langsung mengembalikan kewarasanku yang beberapa menit lalu terbang melayang entah ke mana. Sempak Naga! Pucey rupanya belum berubah seratus persen, saudara-saudara. Buktinya, ia masih senang membuatku mendidih dengan celetukan ngawur yang tak pada tempatnya.

Mendongakkan wajah, aku menyembur garang. Meneriakkan tujuan awalku datang berkunjung ke ruang ganti pemain ini.

"Hei, aku ke sini untuk Cormac!"

Lagi-lagi kilatan nyala api keemasan berkobar berbahaya di bola mata Pucey. Menarik tubuhku merapat, Pucey mengunciku dalam dekapan dada bidangnya yang terbuka.

"Kau bukan miliknya, Kitten!"

Pipiku memanas, harapan gilaku berkibar-kibar di angkasa. Sejauh ini, gerak-gerik Pucey mencerminkan kepemilikan absolut. Ow, ow, ow. Apakah ia akhirnya menyukaiku? Kucing kecil dengan kegalakan setara singa dewasa?

"Err..." Cormac berdeham salah tingkah, menyeka helaian rambut kawat ruwetnya yang bersimbah lumpur lapangan.

"Bukannya mau menyinggung, Bung. Tapi, sepertinya Hermione ada perlu denganku."

Geraman brutal yang terlontar dari mulut Pucey membuatku membeku. Ya ampun! Ada apa dengannya? Kenapa ia bereaksi seperti binatang buas yang murka mangsa favoritnya direbut?

Melepaskan diri dari balutan lengan Pucey, aku tergopoh-gopoh mendatangi Cormac yang memucat. Mengaduk-aduk tas kulit manik-manik yang sudah kujampi-jampi dengan Mantra Perluasan Tak Terdeteksi, aku mengeluarkan kotak bekal makan siang buatan Cho Chang, tunangan Cormac yang bekerja sebagai Healer alias Penyembuh di Rumah Sakit Saint Mungo.

"Ini dari Cho. Dia titip pesan tak bisa datang karena harus terbang ke Islandia untuk tugas darurat."

Mengambil kotak bekal itu dengan senyum tertahan, Cormac berjengit melirik Pucey yang ternyata sudah menjulang menantang di sampingku. Tanpa basa-basi, Pucey mengalungkan lengan di pundakku, memijat pelan simpul otot dan saraf tegang di sana.

Sesaat, keheningan tak wajar melingkupi ruang ganti pemain yang dipenuhi celana dalam jamuran dan seragam bau keringat. Mengerling ke arah Cormac yang bergoyang gelisah dan tampak tak sabar untuk segera membersihkan diri, aku bergegas menyentak tangan Pucey, tak menggubris seruan 'hei' yang meloncat keluar dari mulut seksinya.

Setelah mencomot topi merah yang terkapar di lantai, aku beranjak menuju pintu seraya melambai kikuk.

"Sebaiknya aku pergi dulu. Selamat tinggal semuanya," aku terkesiap kaget saat lambaian tanganku ditangkap Pucey. Mata emas cairnya yang berpijar liar terus memerangkap wajahku saat gigi putihnya menggigit lembut ujung jari-jariku.

"Sampai ketemu lagi, Kitten."

Melepaskan tanganku, Pucey membalikkan tubuh tegapnya dan menutup pintu ruang ganti.

Tepat di depan hidungku!


"Pucey berubah drastis katamu?"

Suara merdu Cho Chang terdengar cemas di ujung telepon. Melipat lutut di dada, aku menyeimbangkan telepon genggam di telinga kanan. Tangan kiriku sibuk memencet remote televisi, mengecilkan volume layar kaca hingga ke batas terendah.

"Iya, Cho. Insting dan naluri dasarku mengatakan ada sesuatu yang bersemayam di dalam dirinya," ujarku tegas, menggelitiki kuping Crookshanks yang tertidur melingkar di dekat bantal sofa.

Crookshanks yang kini sudah tua dan malas bergerak hingga tubuh berbulunya makin tambun menguap nyaring. Mata kuning jingganya menusuk suntuk, tak terima istirahat malamnya terganggu. Melempar cengiran lugu yang direspon Crookshanks dengan kibasan ekor sikat botol, aku melanjutkan obrolan dari hati ke hati dengan Cho, kakak kelasku yang pintar dan cantik jelita.

Selepas dari Hogwarts, Cho segera merintis karier sebagai tenaga medis di Rumah Sakit Saint Mungo. Di rumah sakit khusus penyihir itu, gadis berwajah oriental itu bertugas sebagai Penyembuh yang mengkhususkan diri menangani serangan makhluk dan binatang gaib.

"Sesuatu bagaimana, Hermione?"

Menepuk dan mengempukkan bantal lembut berenda yang kupakai sebagai tempat bersandar, aku melengkapi deskripsi cerita terkait keanehan ganjil yang kurasakan pada diri Pucey.

"Yah sesuatu seperti ada makhluk lain bercokol di dalam dirinya."

Desis tercekat Cho bergema jelas di kupingku. Untuk sesaat, suara Cho menghilang dan teredam, seakan-akan ia sedang menimbang-nimbang tanggapan yang akan dilontarkannya. Reaksi defensif Cho tentu menimbulkan kecurigaan di dalam diriku. Mau tak mau, aku langsung terkenang dengan peristiwa menggegerkan yang dikisahkan Cho beberapa waktu lalu.

Ketika itu, Cho yang keseleo lidah kelepasan omong dengan menyatakan bahwa ia tengah merawat Pucey yang terluka parah saat tur pertandingan musim dingin Puddlemere United di Alaska. Walau aku jungkir-balik merayunya untuk memberikan informasi sedetail mungkin mengenai kondisi kesehatan Pucey, Cho menolak menjelaskan lebih lanjut. Bangsawan berdarah Tiongkok itu hanya berkata bahwa Pucey bisa terselamatkan meski tak bisa kembali normal seperti sediakala.

"Cho, sebenarnya apa yang terjadi pada Pucey sewaktu kompetisi Quidditch di Alaska?" aku memberanikan diri bertanya. Naluriku mengungkapkan bahwa keanehan Pucey pastilah diawali dari insiden terlukanya dia saat bertarung di Alaska.

Setelah berdeham panjang dan terbatuk-batuk palsu berulang kali, Cho akhirnya membuka bibir, dengan enggan meladeni pertanyaan menohok itu. Sayangnya, persis seperti tebakan semula, penyihir darah murni bermata sipit itu tetap bersikukuh bicara ala kadarnya.

"Maaf, Hermione. Aku tak bisa cerita apa-apa padamu. Aku sudah terikat Sumpah Tak Terlanggar dengan keluarga Pucey terkait masalah itu."

"Cho..."

Penjelasan tak terduga itu membuatku terguncang setengah mati. Sumpah Tak Terlanggar. Oh Tuhan, jika keluarga Pucey memaksa paramedis yang terlibat mengikrarkan sumpah sihir, berarti ada rahasia gawat yang tak boleh terungkap ke permukaan.

Merlin, apa yang terjadi pada Pucey? Apa sebenarnya yang menimpanya di pegunungan bersalju Alaska?

"Cho, tak bisakah kau..."

"Maaf, Hermione," Cho terbata-bata panik, suara paraunya teredam dan terputus-putus. "Aku tak bisa membocorkannya padamu. Tapi, tenang saja. Jika tak ada keterkaitan, Pucey tak akan mengusikmu."

"Tapi Cho-"

Denging putusnya sambungan telepon meredam gemuruh protesku. Yah, hubunganku dengan Cho memang belum seakrab persahabatanku dengan Ginny yang tak pernah ragu berbagi rahasia sekecil apapun denganku. Aku dan Cho baru berteman setelah bekas Seeker Quidditch Ravenclaw itu bertunangan dengan kawan dekatku, Cormac McLaggen.

Menghembuskan napas berat, aku meletakkan telepon genggam di atas meja. Mencomot puding buah dan mengunyah perlahan, jemariku menekan remote televisi, mengembalikan suara acara ke posisi semula.

Selama menikmati tayangan program berita lokal, angan dan pikiranku mengembara mengingat perkataan terakhir Cho.

"Jika tak ada keterkaitan, Pucey tak akan mengusikmu."

Justru itulah masalahnya, Cho Chang!

Aku punya keterkaitan dengan Pucey karena aku sudah mencintainya sejak tahun keempat di Hogwarts. Cinta pertama yang kupendam dan ternyata tetap membekas sampai sekarang...


"Gadis Kecil bermantel merah, ternyata kau hobi menguntitku ya?"

Adrian Pucey, Presiden Direktur Pucey Corporation menatapku lekat-lekat dengan tatapan intens yang menjanjikan kenikmatan panas. Bibir seksinya yang tercipta untuk dicium sepuas-puasnya membentuk seringaian khas. Cengiran menggoda yang mampu merontokkan logika semua makhluk fana yang mengaku dirinya kaum Hawa. Termasuk diriku yang masih waras ini tentunya.

Bersandar arogan di ruang kerja yang luar biasa mewah dan mentereng, mata indah Pucey yang bermandikan cahaya keemasan tanpa malu-malu berkelana menyusuri tubuhku, dari atas hingga bawah.

Dipandangi terang-terangan seperti itu, seolah-olah aku tak ubahnya sajian empat sehat lima sempurna yang siap disantap sudah tentu membuatku bergerak-gerak gelisah.

Tanpa sadar, aku menjilat bibir bawah yang terasa kering. Gerakan halus yang membuat pijar gelora di mata cokelat emas Pucey kian berkobar nyata.

Bergerak sigap seperti predator, Pucey bangkit dari singgasana, melangkah tegap dan mantap ke arahku yang melongo tak berkutik. Di setiap ayunan langkah, mata tajam dan menantangnya tak berkedip memandangi wajahku yang dicemari semu merah muda.

Dalam sekejap, Pucey sudah berdiri tegak di depanku. Harum parfum mahalnya, bercampur dengan wangi khas tubuhnya yang jantan merasuki hidungku, membuatku melayang menembus awan dan bintang.

Aku mendadak terjungkal dari awang-awang setelah jemari ramping Pucey dengan terampil melucuti kancing mantel merahku.

Eehh? Apa-apaan ini?

Menahan gerakan tangan kekarnya yang lancang, aku membelalakkan mata lebar-lebar, berusaha memblokir letupan kenikmatan erotis yang mulai merajah pembuluh darah.

"Apa yang kau lakukan?" aku menghardik gemetar, tak bisa berpikir banyak saat jemari Pucey menelusuri aliran nadi yang berdetak di leherku.

Mengukir senyum polos yang jelas-jelas bertolak belakang dengan roman mesum di wajah, Pucey membuka mantel merah yang membungkus tubuh kecilku dengan sekali sentakan.

"Membantumu melepaskan mantel ini, Kitten. Di luar memang dingin, tapi di sini hangat," mengedip sensual, Pucey kembali berceloteh.

"Kalau kau mau, kita bisa membuat situasi di sini makin panas jadi kau tak usah memakai apa-apa selain senyum manismu itu."

Omongan Pucey membuat gelombang hasrat dan sulur-sulur panas kenikmatan merambati seluruh tubuhku, menjalar hingga ke sel-sel terkecil. Aku berani bertaruh, termometer pasti pecah berkeping-keping jika dipakai untuk mengukur suhu tubuhku saat ini juga.

"Kalau kau mau, kita bisa membuat situasi di sini makin panas jadi kau tak usah memakai apa-apa selain senyum manismu itu."

Astaga, rupanya rumor yang mengatakan bahwa Pucey bisa membuat wanita orgasme hanya dengan bermodal kata-kata benar adanya.

Lihat saja diriku saat ini. Bergetar dilanda keinginan menempelkan tubuh dan melakukan apapun yang bisa membuat badanku tak memakai apapun selain seutas senyuman.

Dorongan nafsu fisik yang aku resapi membeku seketika saat Pucey dengan seenak jidatnya melempar mantel merah kesayanganku ke sembarang tempat. Mantel yang harus kubeli setelah menabung mati-matian itu mendarat mulus di dekat mesin penghancur kertas. Teknologi Muggle yang bisa-bisanya ada di kantor penyihir darah murni seperti ini.

Tak pelak, pendaratan sempurna di dekat mesin penghancur dokumen itu memberi kesan terselubung bahwa mantel tersebut hendaknya dienyahkan saja.

Aksi melecehkan itu tentu membakar emosiku. Hei, tak semua penyihir seberuntung Pucey, bukan? Memimpin kerajaan bisnis di usia dua puluh dua tahun sekaligus menguasai kekayaan yang tak akan habis dikunyah seribu keturunan paling rakus sejagat sekalipun.

Kendati gaji bulananku di Kementerian Sihir Inggris terbilang lebih dari cukup, aku yang biasa hidup hemat tentu tak bisa menerima sikap buang-buang sumber daya semacam ini.

"Pucey! Kenapa mantelku kau singkirkan seenaknya? Itu masih baru tahu, belum butut-butut amat!" aku menyembur dongkol, melotot galak memandangi jubah merah yang meringkuk merana.

Menaikkan sebelah alis, Pucey beranjak ke meja kerja. Bersandar pongah di pinggiran meja kerja yang terbuat dari kayu ek kualitas nomor wahid, Pucey mengawasiku dalam-dalam dengan pijar mata yang berbinar gembira.

"Ups... aku kira itu barang bekas yang mau kau lenyapkan secepatnya, Kitten."

Aku ternganga dan menghitung bolak-balik sampai seratus kali, berupaya memadamkan bara emosi yang mulai menggelegak di benak. Tenang Hermione, tenang, aku berbisik dalam diam. Ingat proyek akbarmu. Ingat banyak kehidupan dan nyawa tak berdaya yang tergantung padamu.

Ya, benar sekali saudara-saudara tercinta. Kalau bukan karena misi memuluskan ambisi, mana mau aku menghadapi Pucey yang tercipta di dunia ini hanya untuk mengganggu dan menjahiliku.

Sebagai Kepala Departemen Pengaturan dan Pengawasan Makhluk-Makhluk Gaib, aku punya target memberikan keadilan dan persamaan hak bagi para manusia serigala yang tertindas dan terkucil dari dunia sihir.

Perjuanganku didasari keprihatinan atas nasib nahas yang menimpa mantan guru Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam, Profesor Remus Lupin. Kalian ingat, kan? Si penyihir bersahaja yang terkenal suka memakai jubah kumal bertisik dan bertambal itu.

Gara-gara digigit manusia serigala maniak, Fenrir Greyback saat masih kanak-kanak, Profesor Lupin terpaksa hidup terasing dalam bayang-bayang. Sejak rahasianya terkuak, Profesor Lupin tak mampu lagi mencari nafkah secara memadai. Perlakuan berat sebelah dan tak berperikemanusiaan yang membuat jubah rombengnya kian bertambal-tambal.

Aku yakin, selain Profesor Lupin, masih banyak manusia serigala lainnya yang bernasib malang dan terpaksa mengais-ngais sesendok kentang tumbuk demi bertahan hidup. Di masa sekarang ini, masyarakat sihir memang masih memandang sebelah mata pada kelompok manusia serigala.

Mereka dengan seenaknya menuding grup minoritas itu sebagai gerombolan pengacau kelas rendah. Padahal, tak semua manusia serigala kejam, biadab serta tak beradab. Banyak di antara mereka yang memiliki kepandaian dan talenta luar biasa, tak kalah seperti penyihir darah murni lainnya.

Jadi, bermodal keinginan mendobrak diskriminasi itulah aku meluncurkan proyek kampanye persamaan hak untuk kalangan manusia serigala. Lazimnya, rencana adiluhung seperti itu membutuhkan dana fantastis. Berhubung anggaran Kementerian Sihir Inggris terbatas, aku sebagai penggagas ide harus bergerilya mencari investor dan penyokong keuangan.

Di tengah kekalutan mencari sumber dana itulah, kakak sulung Ron, William Arthur Weasley alias Bill Weasley membocorkan informasi berharga padaku. Bill yang juga terasing dari pergaulan karena berubah menjadi manusia serigala pasca diserang serigala rabies, Fenrir Greyback, menganjurkanku untuk mendatangi kantor Pucey.

Kata Bill, kerajaan bisnis Pucey menaruh atensi berlebihan pada konservasi dan perlindungan serigala. Dalam dua bulan terakhir ini, perusahaan Pucey menyuntikkan dana gila-gilaan demi kesejahteraan serigala.

Nah, jika Pucey begitu dermawan pada serigala beneran, tentu ia mau merogoh dompet demi menolong serigala jadi-jadian bukan?

Dan akhirnya, di sinilah aku berada, para pembaca tercinta. Berdiri konyol di depan pria sombong yang sialnya masih aku cintai setengah mati.

Menarik napas sepanjang-panjangnya, aku membulatkan tekad maju ke medan lobi. Biarpun tingkah edan Pucey sangat mengesalkan, aku harus bisa menahan diri. Jika Pucey bersedia mengucurkan bantuan, mega proyekku pasti berjalan lancar.

"Dengar ya, aku ke sini bukan untuk membuntutimu. Aku hanya ingin mengetuk hati nuranimu."

"Well, Kitten," nada Pucey terdengar merayu. Menepukkan telapak tangan ke jantungnya yang terbungkus setelan jas hitam Armani, Pucey kembali berkomentar.

"Pintu hatiku sudah terbuka untukmu."

Kalimat provokatif itu benar-benar membuat mulutku ternganga lebar. Sebelum lantai ruang kerja Pucey yang berkilau basah kuyup dibanjiri air liur, aku buru-buru menyemen rapat rahang dengan sejuta ingatan bahwa Pucey itu tukang guyon yang hobi berseloroh dan mentertawakan diriku.

"Wah, baguslah kalau begitu. Jadi lebih mudah bagiku untuk berunding."

Mengulas senyum bersahabat, Pucey memutari meja kerja dan menghempaskan diri di bangku.

"Kalau begitu, silahkan duduk Kitten," Pucey menunjuk kursi di seberang meja.

"Atau," kilat mengundang terpancar dari bola mata cokelat emas yang menghipnotis, "Kau mau duduk bergelung di pangkuanku?" Pucey menepuk-nepuk paha kencangnya sembari mengedarkan senyum memabukkan ke arahku.

Ya, ya, ya, aku mau. Sisi femininku nyaris melompat ke pangkuan Pucey yang menggoda. Bergelung jinak seperti Crookshanks kekenyangan.

Untungnya, bayangan tentang nasib nelangsa yang menimpa Profesor Lupin dan kawan-kawan sedarahnya efektif memadamkan gejolak tak senonoh tersebut. Berkomat-kamit pelan untuk membendung hasrat meliukkan tubuh di pangkuan Pucey, aku menghenyakkan diri di bangku nyaman yang tadi ditunjuk seniorku di Hogwarts itu.

"Lebih baik aku duduk di sini saja."

Mengedikkan bahu tak peduli, Pucey berdecak singkat. Untuk sekejap aku seperti melihat sekelebat rasa terluka di wajahnya. Tapi, sepertinya itu tak masuk akal. Pria menawan di hadapanku ini tak mungkin kecewa karena gagal memangku diriku bukan?

Dengan takhta, harta dan rupa yang ada di dalam genggaman, aku berani bertaruh Pucey sudah mendudukkan ratusan ribu wanita di pangkuannya. Benar-benar ajaib paha kekarnya tidak kram. Pasti itu karena latihan Quidditch yang digeluti selama ini, tanpa sadar aku bergumam perlahan, mengamati tubuh berbalut setelan mahal di hadapanku.

"Nah, nah, nah. Kau menyukai apa yang kau lihat, Kitten?"

Bersemu merah padam, aku nyaris tak bisa berkontak mata dengan Pucey. Demi Moore dan demi semua artis gaek Hollywood lainnya, bagaimana mungkin aku bisa bersikap memalukan seperti itu? Tak berkedip memandangi garis tubuh Pucey?

Tertawa serak, Pucey kembali menarik perhatianku dengan pernyataan mengejutkan yang berhembus sehalus bujukan iblis.

"Kalau kau suka, bagaimana jika kuperlihatkan saja semuanya?"

"APAAA?"

Aku tanpa sadar berteriak gelagapan. Jerit kesiapku makin lantang saat Pucey melonggarkan dan merenggut dasi sutra licin dari kerah kemeja. Melempar jas hitam yang kujamin bernilai jutaan Galleon, jemari Pucey menari lincah, melepas satu persatu kancing kemeja putih. Mata cokelat emasnya yang berkilat terus memasungku dengan sorot bernafsu.

Demi hidung bengkok Snape yang sering ketumpahan Ramuan Peyang! Apa Pucey benar-benar serius mau melakukan tarian striptis di sini?

Menutup mata dengan tangan kiri, aku mengibaskan tangan kanan kuat-kuat, memberi isyarat untuk berhenti secepatnya.

"Stop! Stop! Jangan menari telanjang di sini!"

Gelak tawa riang Pucey membahana di ruang kerja yang luas dan wangi tersebut. Tawa renyah yang membuat detak jantungku berdebum tak terkendali.

"Kitten, kau ini tak berubah ya. Masih menyenangkan untuk digoda."

Digoda? Digoda? Digoda?

Sudah kuduga! Amarahku meletup-letup hingga membuat cepolan rambutku yang terpasang apik di belakang kepala hampir meledak copot saking emosinya.

Pucey ternyata tak berubah, saudara-saudara sekalian!

Dia masih menatapku sebagai anak kecil yang sedap untuk dipermainkan. Idiot sekali tadi aku sempat menyangka Pucey bakal menelanjangi dirinya di depan hidungku. Pasti tadi ia cuma bersandiwara dengan tujuan meledak terbahak-bahak melihat kekalutanku.

Ketika gelak Pucey mereda, aku perlahan-lahan melepaskan tangan kiri yang menutupi mata. Merengut sebal, aku memberanikan diri memandangnya. Oops, pilihan buruk rupanya karena empat kancing atas kemeja Pucey sudah terlepas. Mempertontonkan dada bidangnya yang menggugah selera.

Mengalihkan tatapan, aku melihat mata emas brendi Pucey semakin menggelap. Dada sempurnanya naik turun seiring dengan hembusan napasnya.

Oh Merlin, oh Merlin, oh Merlin. Sorot matanya yang membakar membuatku panas dingin. Ruang kerja ini mendadak terasa membara, membuatku secara refleks mengipasi diri sendiri dengan kibasan tangan.

Mendesah berat, Pucey memalingkan perhatian ke botol Wiski Api yang tertata di dekat berkas kerja yang ditumpuk menggunung. Menuang cairan Wiski Api ke dua gelas kristal, Pucey mengangsurkan satu gelas ke tanganku.

"Silahkan minum, Kitten. Setelah itu, mari kita berbicara secara profesional."

Tentu, tentu. Profesional. Ya, ya, betul sekali Hermione Jean Granger. Berbicara profesional. Itu yang harus dilakukan. Mengambil gelas, aku mereguk cairan beralkohol di dalamnya, berharap setiap sesapan mampu mengalihkan paksa pikiran cabul dan mesumku yang berkelintaran ke mana-mana.

Meletakkan cawan yang masih terisi setengah, tak mengindahkan Pucey yang masih mengamati tanpa suara, aku mengobok-obok isi tas kerja, mengeluarkan semua dokumen penting yang diperlukan.

Nah, saatnya memulai lobi profesional, Hermione...


Lebih dari satu jam kemudian aku habiskan hanya untuk bercerita seluas-luasnya mengenai proyek agung yang aku canangkan. Secara mendetail aku terus menjabarkan hal penting dan mendesak dari skema menaikkan derajat dan hak kelompok manusia serigala.

Selama aku berkoar-koar, Pucey tak mengucapkan satu patah katapun. Sikap diamnya sempat membuatku cemas. Apa dia bosan dengan semua presentasi dan penuturan yang tak putus-putus? Jangan-jangan dia tak berminat membantu para manusia serigala gara-gara mendengar ceramahku yang serba sok tahu segala.

"Apa kau tertarik dengan manusia serigala, Hermione?"

Untuk pertama kali selama aku mengenalnya, Pucey memanggilku dengan nama asliku. Selama ini, ia hanya menyapaku dengan panggilan khusus yang dibuatnya seperti Gadis Kecil dan Kitten. Kini, lidah seksinya melafalkan nama depanku dan terus terang saja, efek pengucapan lembutnya yang mengalir semanis sirup gula membuat ulu hati dan perutku bergejolak.

"Apa kau tahu banyak tentang manusia serigala, Hermione?"

Rentetan pertanyaan Pucey yang bercampur dengan pengucapan nama asliku membuatku sedikit pusing dan terpaksa menjawab terpatah-patah dengan gelisah.

Ada apa ini?

Biasanya aku senantiasa merespon semua pertanyaan dengan penuh percaya diri, apalagi jika menyangkut bidang yang aku kuasai. Tapi, mengapa aku sama sekali tak berdaya menghadapi pertanyaan Pucey?

"Apa yang kau ketahui tentang pasangan manusia serigala, Hermione?"

Aku terlonjak dari bantalan kursi. Tanpa kusadari, Pucey sudah berpindah dari posisinya. Sekarang ia ada di depanku. Menundukkan wajah aristokratnya ke arahku, kedua tangan kekarnya dipancangkan ke lengan kursi, efektif mengunciku di tempat.

"Ehm... itu..."

Aku terbelalak melihat Pucey makin mendekatkan wajah ke arahku. Keharuman napas lembutnya yang hangat membuatku lupa diri sehingga tak menyadari permainan jemarinya di sanggul rambutku.

Menyentak lepas gulungan cepol hingga rambut cokelat lebatku jatuh terurai, jari Pucey membelit untaian mahkota kepalaku. Tindakan tak terduganya itu membuat wajahku menengadah, menjadikan batang leherku lebih terekspos.

Menenggelamkan hidung di leherku, Pucey mengendus dan mengerang rendah. Helaan napas memburunya membuat nadi leherku berpacu dan berdetak gelisah.

"Manusia serigala mendeteksi pasangannya melalui aroma, Hermione."

Menciumi dan menjilati titik sensitif di leherku dengan lembut, Pucey kembali berbicara. Setiap kalimat tegas yang diungkapkannya membuatku terpaku dan tak bisa bergerak.

"Manusia serigala hanya punya satu pasangan, Hermione. Sekalinya berpasangan, ia akan setia seumur hidup. Setia untuk selamanya..."

Mengulum dan menggigit pelan titik tempat denyut nadiku berdetak, Pucey menggeram parau. Nada posesif yang tak bisa dibantah bergaung dalam setiap suku katanya.

"Seminggu lagi bulan baru, Hermione. Saat itu, kau akan jadi milikku selamanya..."


"Itu benar kan, Cho? Akhir tahun lalu kau dipanggil ke Alaska untuk menyembuhkan Pucey yang digigit manusia serigala di sana?"

Bekas seniorku di Hogwarts, Cho Chang berdiri gamang dalam balutan jubah hijau limau. Wajah khas orientalnya yang unik tampak memelas. Tangannya berulang-ulang meremas ujung mantel seragam Penyembuh hingga kusut masai.

"Hermione, kau tahu aku-"

Aku memotong ucapan Cho dengan nada tak sabar, "Iya, aku tahu. Kau terikat Sumpah Tak Terlanggar dengan keluarga Pucey."

Mengempaskan diri di kursi rotan, aku memijat pelipis yang berdenyut-denyut. Sebagai keluarga ras murni yang tersohor dari generasi ke generasi, orangtua Pucey masih berpikiran kolot. Mereka pasti tak mau aib putranya terbongkar. Untuk itu, jalan satu-satunya hanyalah menyegel Penyembuh yang terlibat dengan Sumpah Tak Terlanggar.

Yah, sepertinya ahli medis itu tak hanya digembok dengan sumpah sihir saja tapi juga dengan limpahan materi. Lihat saja Cho sekarang. Dengan pendapatan dan gaji yang tak seberapa, ia bisa foya-foya dan hidup mewah seperti sosialita jet set lainnya.

Menangkupkan tangan di wajah, aku mengenang kejadian di ruang kerja Pucey beberapa saat lalu. Usai mengumumkan bahwa aku akan menjadi miliknya tujuh hari lagi, Pucey berteriak memanggil sekretaris pribadinya.

Sekretarisnya, penyihir wanita setengah baya bertubuh tinggi ramping terbirit-birit memasuki ruangan. Manik hitam gelapnya bolak-balik memandangiku yang merona di kursi dan bos besarnya yang berdiri menghadap jendela. Sudut matanya yang dihiasi kacamata bergagang panjang tampak menyipit penuh spekulasi menyaksikan jas dan dasi yang bertebaran sembarangan di ruangan.

Tanpa sekalipun menoleh ke arahku, Pucey memerintahkan sekretarisnya yang tersenyum-senyum sendiri itu untuk segera menghubungi petinggi Bank Sihir Gringotts agar memberi dana tak terbatas untuk proyek akbarku.

Masih mengunci perhatian ke pemandangan yang tersaji dari lantai teratas gedung pencakar langit yang terletak di tengah kota London, Pucey mendesakku untuk segera pergi. Setelah panggilan dan pertanyaanku tak digubris, aku akhirnya angkat kaki dari kantor Pucey, bergegas menjumpai Cho yang baru balik dari dinas mendadak di Islandia.

"Pucey itu manusia serigala dan seminggu lagi ia akan menjadikanku pasangan hidupnya."

"Oh, Hermione," Cho menghambur dan memelukku kencang. Bahu kecilnya terguncang-guncang karena isak tangis penyesalan.

"Maafkan aku karena tak bisa memperingatkanmu sedari awal. Kau pasti menderita karena harus berhadapan dengan masalah serumit ini."

Memegang pundak Cho dan memaksanya untuk menatapku, aku tersenyum samar. Seperti sebagian penyihir darah biru lainnya, Cho mengira hidupku akan merana karena terpaksa berhubungan dengan manusia serigala.

Oh, dia tak tahu isi hatiku yang sebenarnya yang melompat-lompat bahagia. Fakta ini tak ubahnya durian runtuh bagiku. Aku bisa memanfaatkannya untuk bersatu dengan Pucey.

Penyihir yang aku cintai dan sayangi sedari dulu...

"Siapa bilang aku sengsara? Aku justru tak sabar menanti tujuh hari lagi."

Manik bening Cho yang digenangi air mata terbeliak lebar. Tanpa sadar tangan putih pucatnya menggoyang-goyangkan pundakku.

"Hermione, apa maksudmu? Kau tak sungguh-sungguh, kan?"

Memasang senyum selebar mungkin, aku balas menepuk-nepuk bahu Cho yang mematung terheran-heran.

"Aku serius, Cho Chang. Seminggu lagi, Adrian Pucey akan jadi milikku..."


Selama enam hari berikutnya, aku menghabiskan waktu dengan membaca literatur dan ensiklopedia manusia serigala. Aku juga berkonsultasi intensif dengan Profesor Lupin terkait proses berpasangan kaum manusia serigala.

Menurut Profesor Lupin, sejak seseorang digigit manusia serigala, secara otomatis ada satu jiwa lagi yang bercokol di diri orang tersebut. Jiwa si serigala dan jiwa asli sang penyihir.

Dua jiwa dalam satu tubuh ini biasanya hidup harmonis. Namun, masalah akan tercipta jika keduanya memiliki keinginan berbeda dalam memilih pasangan. Banyak jiwa manusia terluka dan tercerabut karena jiwa serigala di tubuhnya yang notabene jauh lebih buas tak menyukai pasangan yang dipilihnya.

Informasi dari Profesor Lupin itu sedikit banyak membuatku galau. Apa mungkin Pucey tercantum ke dalam golongan yang antara jiwa manusia dengan jiwa serigalanya bertentangan?

Jika kuingat-ingat, sebelum digigit manusia serigala, Pucey tak tertarik padaku dan hanya memandangku sebagai seorang bocah kecil tak menarik. Sikapnya baru berubah seratus persen sepulangnya dia dari Alaska.

Lihat saja caranya menciumku di kamar ganti pemain Puddlemere United waktu itu. Belum lagi dengan kunjunganku ke kantornya. Ketika itu, Pucey yang baru mengundurkan diri dari posisinya sebagai Chaser menatapku dengan sorot lapar dan bergairah.

Oh Merlin, seandainya hanya jiwa serigala Pucey yang mendambakanku, lalu bagaimana dengan jiwa manusia di tubuhnya yang juga aku cintai?


"Ow, Ron! Jangan injak gaunku!"

"Sori, Hermione," Ron nyengir kuda seraya mengangkat sepatu penuh lumpur dan tanahnya dari ujung gaun putih gadingku.

"Kau tahu sendiri kalau aku tak pernah becus mendarat saat ber-Apparate."

"Humph," mencibir pelan, dengan hati-hati aku merapikan keliman gaun hingga lurus. Dasar Ron, walau sudah menjabat sebagai Auror Junior, sampai detik ini kemampuan Mantra Apparition-nya masih mengkhawatirkan. Tak heran jika ia sering dijitak Harry yang ketiban pulung jadi partner kerjanya.

"Kau yakin dengan semua ini, Hermione? Hidupmu tak akan sama lagi jika kau memasuki tempat ini."

Meremas lembut tangan Harry yang tersampir di bahu kanan, aku tersenyum menenangkan. "Aku sangat serius, Harry. Aku siap menanggung semua risiko, termasuk dikucilkan dari dunia sihir."

"Kami tak akan membiarkan hal itu terjadi, Hermione. Apapun yang terjadi, kau tetap bagian dari keluarga besar kami," Ginny Weasley Potter, teman terbaikku di seluruh dunia angkat bicara. Menggandeng tangan putra sulungnya, James Sirus Potter yang sibuk mengulum sebongkah gulali warna-warni, Ginny mendekapku erat-erat.

Aku benar-benar terharu dengan penerimaan dari orang-orang terdekatku. Begitu tahu aku adalah pasangan Pucey, mereka menuntut untuk ikut serta ke pesta pernikahan yang rencananya diselenggarakan di Pucey Manor. Dukungan dan cinta kasih mereka tentu makin menguatkan niatku.

Memandang pintu kastil gaya barok yang terbuka, aku menarik napas mantap. Di dalam sana, Pucey menantiku. Di dalam sana, masa depan yang selalu aku impikan akan tercipta...


Bolak-balik tak tentu arah hingga nyaris membuat rumput halaman belakang gundul, untuk keseribu kalinya Pucey melirik bingkai pintu melengkung yang menghubungkan koridor utama dengan taman belakang. Helaan napas depresinya terdengar ketika tak ada satu tanda-tanda kehidupan pun yang melintasi pintu penghubung tersebut.

Sewaktu mengungkapkan rahasia dan sumpah untuk menjadikan Hermione pasangan hidupnya, Pucey tak berharap banyak. Lubuk hati terdalamnya sadar bahwa penyihir mengagumkan seperti Hermione pasti tak akan mau mendampinginya, penyihir separuh manusia serigala yang dipandang hina oleh masyarakat.

Bagaimana bisa ia berharap Hermione bersedia menikah dengannya. Saat masih berstatus penyihir tulen berdarah murni saja, Hermione tak terjangkau olehnya. Sebagai gadis genius berwajah manis, Hermione terbilang populer dan memiliki banyak pemuja rahasia, termasuk dirinya.

Sampai sekarang pun Pucey masih mengingat dengan jelas awal hubungannya dengan kucing kecilnya itu. Momen indah yang terjadi di tahun terakhirnya bersekolah.

Ketika itu, di laga pertama Quidditch melawan Gryffindor yang seperti biasa berlangsung brutal dan berdarah-darah, dirinya menderita patah tulang hidung akibat hantaman Bludger si kembar Weasley.

Saat peluit akhir kompetisi ditiupkan wasit Madam Rolanda Hooch, ia buru-buru mencari tongkat sihirnya, yang diletakkan di dalam saku jubah seragam sekolah. Untuk menghindari adu kutukan, Madam Hooch memang menyita seluruh tongkat sihir pemain dan meletakkannya di bangku khusus.

Saat sedang membungkuk menggeledah jubah, colekan pelan di pinggang membuat dirinya menoleh ke belakang. Di sanalah Hermione berdiri, tersenyum lebar memamerkan dua gigi depan yang besar-besar, mengingatkan Pucey akan anak kucing miliknya di rumah.

Tanpa banyak kata, Hermione mengacungkan tongkat sihir dan mengucapkan mantra Episkey, membuat hidungnya kembali normal seperti semula. Melempar cengiran terakhir, Hermione berbalik arah dan berlari menuju Aula Besar. Syal merah Gryffindor yang dipakainya berkibar seiring dengan derap langkahnya.

Mulai dari detik itulah, Hermione menyita seluruh perhatian Pucey. Selama ini, ia memang mendengar banyak desas-desus tentang kepandaian Hermione, tapi ia tak menaruh perhatian.

Sayangnya, cinta Pucey sepertinya bertepuk sebelah tangan. Beberapa minggu usai peristiwa itu, setiap kali berpapasan, Hermione selalu mendenguskan hidung dan menatapnya dengan tatapan beku.

Pucey sempat tak habis pikir mengapa sikap Hermione berubah total dan sangat dingin padanya. Hermione baru bereaksi jika ia bersikap kurang ajar padanya. Hanya untuk melihat bentuk perhatian walau cuma berupa rengutan marah itulah Pucey selalu menggoda Hermione sewaktu mereka bertemu muka.

Lulus dari Hogwarts dan bergabung bersama tim papan atas Puddlemere United, Pucey baru menyadari alasan di balik perubahan sikap Hermione. Menurut bisikan Oliver Wood, saingan yang sialnya menjadi Kaptennya di Puddlemere United, Hermione menstempel dirinya sebagai hidung belang mata keranjang.

Rupanya, Hermione yang disebut-sebut sebagai manusia penggemar cinta sejati mengira dirinya gemar mempermainkan perasaan perempuan karena bergonta-ganti pasangan kencan setiap hari. Waktu itu, Pucey sampai berniat membenturkan tengkorak kepalanya ke lemari penyimpanan Bludger. Ia tak menduga taruhannya dengan punggawa Slytherin berbuntut mengerikan seperti itu.

Di awal tahun ajaran, secara rahasia murid-murid tahun ketujuh Slytherin menggelar kontes Casanova Terbaik. Siapapun yang bisa menggandeng banyak cewek cantik dalam waktu singkat akan dinobatkan sebagai Casanova Terbaik Sepanjang Sejarah Sekolah Sihir Hogwarts.

Pucey yang memang doyan berkompetisi tentu tak mau jadi pecundang. Tak makan waktu lama, banyak siswi Hogwarts yang dibuatnya bertekuk-lutut. Tak disangka tak diduga, taruhan yang bagi Pucey sekadar main-main itu dianggap serius oleh Hermione. Tak heran jika Hermione kerap mengiriminya pandangan setajam sinar laser setiap kali dirinya kepergok menggandeng siswi asrama lain.

Selama bertahun-tahun, Pucey memendam penyesalan mendalam akibat salah paham itu. Jika bukan karena kesibukan mengejar posisi di Puddlemere United, Pucey mungkin sudah mendobrak gerbang Hogwarts dan menjernihkan permasalahan.

Di saat Hermione lulus dan diterima bekerja di Kementerian Sihir Inggris, Pucey berancang-ancang menjumpai gadisnya untuk mengungkapkan isi hati. Sayangnya, waktu yang sempit dan jadwal padat membuat niat mulia itu hanya bisa dilakukan setelah duel terakhir Puddlemere United melawan klub tajir Alaska.

Alaska...

Pucey tak mengira kawasan pegunungan bersalju itu akan membawa perubahan total dalam hidupnya. Sampai sekarang, memori tentang serangan manusia serigala masih terekam jelas di otaknya.

Hari itu, Pucey yang tak bisa tidur karena memikirkan Hermione memutuskan berjalan-jalan di sekitar penginapan. Dari buku yang pernah dibacanya, Pucey tahu kalau Alaska dihuni banyak hewan serigala, tapi ia tak menduga ada satu manusia serigala terselip di antaranya.

Malam itu, bulan purnama bersinar putih keperakan. Cahaya pucatnya memantulkan bayangan besar bergigi tajam yang meringkuk di tepi garis pepohonan. Sekejap mata, bayangan itu menyergapnya. Menggigit tepat di batang lehernya.

Jika bukan karena pertolongan Wood, mungkin Pucey sudah menjadi hidangan santap malam si manusia serigala kelaparan. Wood yang mendengar jeritan Pucey melesat cepat dari dalam penginapan dan melumpuhkan si manusia serigala dengan hantaman mantra-mantra.

Kendati selamat dari maut, Pucey harus menyambut takdir lainnya. Hanya ada dua pilihan bagi korban manusia serigala. Tewas menjadi sajian makanan atau selamat dan terkontaminasi gen manusia serigala.

Para Penyembuh nomor satu yang didatangkan ke Alaska memang berhasil menyembuhkan luka menganga di leher Pucey dengan sempurna, sampai tak ada satu bekas goresan pun di sana. Tapi, mereka tak bisa berbuat banyak terhadap jiwa manusia serigala yang bertengger di diri Pucey.

Orangtua Pucey yang senantiasa menyombongkan status darah murni mereka tentu tak mau rahasia putra tunggalnya terbongkar. Membujuk para Penyembuh dengan iming-iming materi tak terbatas, mereka sukses membungkam mulut paramedis dengan Sumpah Tak Terlanggar.

Sejak dirinya berubah menjadi manusia serigala, Pucey rajin meneliti informasi seputar manusia serigala, terutama masalah pasangan mereka. Sempat terselip kekhawatiran di dirinya. Bagaimana jika jiwa manusia serigala yang bersemayam di hatinya tak menyukai kehadiran Hermione?

Untungnya, kecemasan Pucey tak terbukti. Setelah lima tahun tak bersua, akhirnya Pucey bisa kembali menatap Hermione saat kucing kecilnya yang manis menyusup ke ruang ganti pemain Puddlemere United.

Sang manusia serigala yang mengendus bau tubuh Hermione langsung menyatakan ketertarikan dan kepemilikannya atas diri Princess Gryffindor tersebut. Ketika ia bersorak karena memiliki selera sama dengan jiwa manusia serigalanya, rasa cemburunya terbangkitkan dengan komentar Hermione mengenai Kiper tengik berambut kawat, Cormac McLaggen.

Cemburu buta tak terkendali itulah yang memaksanya pensiun dini dari lapangan Quidditch. Ia tak sudi berbagi lapangan dengan McLaggen walau si penjaga gawang terkutuk itu berulang kali menegaskan hubungannya dengan Hermione cuma sekadar teman seasrama.

Mundur dari lapangan Quidditch, Pucey memfokuskan diri mengurus kerajaan bisnis yang beranak-pinak. Tak disangka-sangka, Hermione datang menghadapnya. Ketika itu, gairah manusia dan serigalanya sama-sama bangkit. Jika bukan karena pengendalian diri yang kuat, ia mungkin sudah menaklukkan Hermione dan bercinta penuh gairah di atas meja kerja.

Menarik napas panjang, Pucey kembali menatap pintu penghubung. Suara gemerisik gaun dan langkah-langkah kaki menyentak perhatiannya.

Sesaat kemudian, sosok Hermione terlihat di ambang pintu. Anak kucingnya yang manis itu benar-benar tampak memesona dalam balutan gaun putih gading. Pengawal-pengawal setianya berbaris di samping kiri dan kanan, melambungkan tatapan waspada ke halaman belakang yang telah disulap menjadi lokasi ideal untuk upacara pernikahan.

Melihat pengantin putranya berdiri di depan pintu, orangtua Pucey yang sedari tadi bungkam seribu bahasa bangkit dari kursinya. Roman kelegaan menghiasi wajah renta mereka. Sama seperti Pucey, mereka semula mengira penyihir berotak ajaib dan bermasa depan cerah seperti Hermione tak bakalan mau membuang kehidupan normalnya dengan menikahi penyihir separuh manusia serigala.

Ternyata, semua ketakutan itu tak beralasan. Berdiri tegak dengan sorot mata terfokus padanya, aura kemantapan hati merebak dari seluruh pori-pori Hermione. Keyakinan mutlak itu membuat Pucey tak bisa menahan ledakan kegembiraan. Bisikan parau penuh kemenangan pun terlontar dari dasar jiwanya.

"Gadis Kecil berbibir merah, ternyata kau mau menjadi pasangan hidupku ya?"


"Dan raja serigala serta putri drakula itu pun hidup berbahagia selamanya di istana."

Menutup buku dongeng sambil tersenyum, aku memandangi wajah damai putra dan putri kembarku yang rupanya telah tertidur pulas sebelum cerita selesai dibacakan.

Melirik suamiku yang tengah mengecup kening dua makhluk mungil menggemaskan itu, aku terlempar kembali ke masa-masa silam. Ke masa suka dan duka yang kami bagi bersama.

Di tahun-tahun awal pernikahan, aku dan Adrian banyak mendapat cobaan dan cercaan. Kejujuran Adrian membuka identitas barunya sekaligus menghapus Sumpah Tak Terlanggar para Penyembuh tak disambut secara semestinya.

Mayoritas penyihir, terutama komunitas kelahiran Muggle menyayangkan langkahku yang memilih bertansfigurasi menjadi manusia serigala seperti Adrian. Berprinsip kebahagiaan diraih dengan tangan sendiri, tak bergantung pada perkataan orang lain, aku tak menganggap serius semua hinaan tersebut. Pembelaan dari keluarga serta teman-teman terdekat juga menjadi amunisi ekstra untuk menjalani hidup baruku.

Bersama-sama dengan Adrian, aku giat menyebarkan kampanye persamaan hak manusia serigala. Dengan harta dan materi yang tak berujung, Adrian berhasil mendirikan pusat karantina bagi manusia serigala bermasalah. Setidaknya, usaha ini menekan angka gigitan akibat serangan manusia serigala yang frustrasi karena ditolak lingkungannya.

Lambat laun, edukasi tanpa henti itu menuai hasil positif. Kalangan dunia sihir lambat laun mau menerima keberadaan manusia serigala di dalam komunitas mereka.

Keberhasilan para peneliti dan paramedis mengembangkan obat Wolfsbane, ramuan untuk mempertahankan jiwa manusiawi manusia serigala saat mereka berubah bentuk di bulan purnama juga menjadi poin lebih. Berkat ramuan terbaru itu, manusia serigala bisa bertindak normal dan tak menyakiti sekelilingnya.

Setelah masa depan generasi kami mendekati titik terang, aku mulai berani memiliki keturunan. Di tahun keempat pernikahan, aku akhirnya mengandung dan melahirkan dua anak kembar lucu yang mewarisi sifat-sifat khas kami berdua.

Melingkarkan lengan di pinggangku, Adrian tersenyum dan berbisik di dekat telingaku. Jemarinya mengusap pelan bekas gigitan di leherku, simbol ritual penyatuan pasangan ala manusia serigala.

"Gadis Kecil bergaun merah, sekarang saatnya aku membacakan dongeng untukmu."

Mengulas senyum tak sabar, aku tergesa-gesa membuntuti suamiku ke ruang tidur utama. Setiap malam, kegiatan membaca dialog dongeng Gadis Kecil Bertudung Merah memang menjadi agenda hiburanku.

Melemparkan diri ke tempat tidur dan berbaring di samping Adrian yang menarikku mendekat ke pelukannya, acara dongeng mendongeng pun dimulai. Tentu saja kami langsung melompat ke dialog favorit yang sudah diimprovisasi.

"Tuan Serigala yang tampan, kenapa telingamu begitu menawan?"

Meski sudah ribuan kali mengucapkan kalimat itu, aku tetap terkikik geli saat mengelus kuping Adrian yang memang sangat menawan.

"Agar semakin baik untuk mendengar semua perkataanmu, Sayangku," Adrian si Tuan Serigala Tampan menjawab sambil mengulum lembut daun telingaku, meninggalkan jejak ciuman panas membakar yang nikmat dan posesif.

"Tuan Serigala yang tampan, mengapa matamu besar sekali?"

Mengecup sayang kedua kelopak mataku, Adrian bergumam serak, "Agar bisa lebih baik melihat wajah manismu, Sayangku."

"Tuan Serigala yang tampan, kenapa mulutmu sempurna sekali?"

Menggeram pelan, Adrian menyapukan bibirnya sebelum memagut bibirku dengan penuh gairah.

"Agar ciuman kita semakin membara, Sayangku."

Sebelum meneruskan aksi berikutnya yang dijamin lebih membara, Adrian meredupkan lampu kamar dengan lambaian tongkat sihir. Dan, bisa dipastikan, adegan dan dialog selanjutnya tak akan pernah tercantum di dalam dongeng anak-anak di belahan dunia manapun.

Ya, ini babak khusus dongeng kami. Kisah cinta si anak kucing dan serigala tampannya...

TAMAT