Stalker
Chapter 1 : She's a S─
Aku menekan tombol-tombol pada kameraku. Mengagumi foto yang telah diambilnya. Semakin banyak, semakin cepat jantungku berdetak. Wajahnya, senyumnya, matanya. Semua itu tak bisa keluar dari kepalaku. Seberapa kuatpun aku memaksanya. Segala tentangnya adalah candu bagiku. Bagaikan pecandu yang membutuhkan obatnya, demikian pula denganku. Aku menyukainya, aku menyayanginya, aku—
"Ying? Kau menguntit?"
Aku tertangkap basah.
BoBoiBoy © Animonsta
Warning :
OOC, OC, AU, bahasa yang kurang dimengerti, humor garing, alur kecepatan, plot yang kurang dimengerti, typo (s)
Summary :
Apa jadinya jika Ying yang dikenal sebagai anggota Komite Disiplin yang pintar dan ramah ternyata seorang Stalker? Ya, gadis itu dengan PDnya dan tanpa malu-malu menguntit kakak kelasnya. Tapi, apa memang cuma dia?
[Alice]
Tidak mengambil keuntungan apapun dari fanfic ini. Hanya kesenangan dan menuangkan ide yang menumpuk di otak. Author sangat meminta maaf jika ide sama.
.
Happy Reading
Sinar matahari pagi nan hangat menerpa wajahku. Sungguh, keputusan tepat bagiku untuk pergi pagi-pagi. Halaman sekolah masih kosong, hanya beberapa siswa kelas X yang berkeliaran di sekitar taman dan pohon. Cekikikan dan melirikku bagaikan aku orang yang rendahan. Awas saja. Tunggu sampai waktunya. Aku membenci mereka. Sungguh, mereka akan merasakan pembalasanku.
Aku Ying. Kau tahu siapa aku. Gadis cantik, O.K itu menurutku, dan pintar. Saingan Yaya sejak SD. Tak ada yang lain dariku selain kuasa manipulasi waktu yang sudah lama tak kugunakan. Jam tangan itu sekarang tinggal penunjuk waktu biasa. Aku masih menggunakannya, walau tak sesering dulu. Alien kotak itu? Dia sudah kembali ke planetnya, mau nikah katanya.
Aku meniti tangga menuju lantai dua. Lalu berbelok ke kiri, menuju ruangan paling ujung. Kelas XI A. Kelas inti dari seluruh kelas XI. Aku melangkahkan kakiku memasuki ruangan itu. "Selamat pagi!" sapaku semangat. Hanya sedikit orang di dalam kelas. Memang, kan masih pukul 06.40. "Pagi juga, Ying!" Yaya membalas sapaanku. Begitu pula Gopal dan BoBoiBoy. Mereka. Jujur aku bosan bertemu dengan mereka, kecuali Yaya aku tidak keberatan terus bersamanya. Aku penasaran, apakah saat kami kuliah kami akan berlima lagi?
Aku menaruh tasku dan segera berjalan ke bangku Yaya yang berada di sampingku, mengintip apa yang sedang dikerjakannya. "Ada tugas?" tanyaku. Yaya menggeleng. "Tidak, cuman tugas untuk Ketua Kelas. Ada rapat mengenai pengeluaran bulan ini." Aku hanya ber-oh ria. "Oh, iya. Ying kau bisa―" perkataan Yaya dipotong dengan Microwave, salah, pengeras suara di dalam kelas. "SETIAP ANGGOTA KOMITE DISIPLIN HARAP BERKUMPUL DI RUANG OSIS. DIULANGI, SETIAP ANGGOTA KOMITE DISIPLIN HARAP BERKUMPUL DI RUANG OSIS. KETUA OSIS AKAN MENGADAKAN PENGARAHAN. TERIMA KASIH."
Yaya menghela nafas. "Kau dipanggil, tuh." Aku menjawab, "Yah, padahal jam pelajaran pertama Matematika. Tak apalah, yang penting ketemu dia!" Yaya melirikku. "Tentu saja. Oh, Ying! Fokus sama yang dibicarakan sama ketua OSIS! Bukan fokus sama orangnya!" Yaya menggodaku. Aku hanya menyikutnya. Aku keluar dari kelas sambil berjalan berseri-seri. Ah~, wajahnya tiba-tiba terlintas di pikiranku. Bagaimana caranya tersenyum, tertawa, dan...
BUK!
Aku jatuh. "Hei! Lihat-lihat dong kalau lagi jalan!" Aku membentak siapapun yang menjatuhkanku. Aku merasakan aura yang mengerikan, bukan punya anak kelas X tentunya, mereka terlalu pengecut.
Bulu kudukku berdiri, dan tubuhku sedikit bergetar. Ah, aku tahu aura siapa ini.
"Kau yang harusnya hati-hati, PENDEK," ucapnya walaupun lebih ke nada mengancam. Fang. Lee Zhao Fang. Orang sok cool yang punya fans girl astaga naga jumlahnya. Aku tak mengerti kenapa ada cewek, ralat, berjuta cewek, yang suka dengan anggur busuk itu? Rumah saja rumah berhantu. Aku memang Cina tapi tak sepelit itu.
Aku berdiri, lalu menyilangkan kedua tanganku di dada. "Beraninya kau berbicara seperti itu." O.K, aku terlalu berlebihan. "Kau tahu siapa aku?" Bodohnya diriku, dia itu temanku sejak SD dan aku menanyakan pertanyaan konyol itu padanya.
Wajahnya menampaknya wajah jengkel. Dia malah mendorongku dan mengolok, "Pergilah, kau tahu kau akan terlambat. Orang PENDEK kan langkahnya pendek-pendek." Aku benar-benar ingin menghajarnya, tapi pengunguman itu terdengar lagi, dia diselamatkan oleh bel. Kau masih selamat Fang, lain kali kau mungkin sudah mati. Dan segera aku berlari ke lantai tiga, menuju ruang OSIS, tanpa menyadari bahwa seseorang telah mengambil gambarku.
―s.t.a.l.k.e.r―
Aku memainkan makanan di depanku. Walau menu hari ini menggugah selera siapapun itu, aku tidak berminat. Aku kembali melihat hasil pertemuan tadi pagi. Besok akandiadakan Razia tiap-tiap kelas. Sebenarnya itu salah satu alasan mengapa aku menjadi anggota Komite Disiplin. Aku orangnya tega.
Yaya yang melihatku murung, menanyaiku, "Ying? Kau tak apa? Apa kau kurang sehat?"Aku menggeleng. "Tidak, hanya aku merasa sebal karena tidak merazia kelas yang kuincar." Yap, itu alasanku. Sejak kenaikan kelas XI, aku selalu membenci kelas X. Mungkin karena kesombongan dan senioritasku yang membuatku begini. Tetapi mereka memperlakukanku tanpa hormat. Jadi, apa bedanya?
Yaya menghela nafas. "Terserah kau saja." Aku tersenyum kecut. Gadis di depanku kadang-kadang bisa menyinggung perasaanku dengan tepat. Kupaksa tanganku untuk mengambil sesendok Risotto di depanku. Aku harus makan, aku tak boleh sakit. Apa yang akan kuketahui tentangnya bila aku sakit?
"Bolehku lihat hasil pertemuanmu?" tanya Yaya. Aku memberikan kertas kecil di sakuku. Yaya menyorotkan kedua bola matanya. Seulas senyum mengejek terpampang di bibirnya yang tipis. "Setidaknya kau ditemani Kak Fajar."
Pipiku memerah. Tanganku menggenggam erat sendok yang kupegang. Orang itu, Fajar, adalah kakak kelas yang kusukai. Alasan lain aku menjadi anggota Komite Disiplin adalah dia. Dia adalah ketua OSIS, siswa teladan dari kelas inti, XII A. Aku pertama kali mengenalnya saat MOS. Dia menyelamatkanku dari perintah kurang-ajar teman seangkatannya. Dia bertubuh tinggi dan berbahu bidang, rambutnya adalah batang pohon yang kokoh. Sifatnya pemimpin sejati dan selalu ramah pada siapapun. Pipiku semakin memerah, dan mulai merambat ke telingaku.
Yaya tertawa, menikmati rasa maluku. "Ah, Ying. Kau benar-benar menyukainya, yah?" Inginku tampar gadis di depanku. Dia sudah tahu aku benar-benar menyukainya tapi masih menanyakan pertanyaan seperti itu. Aku hanya mengangguk kaku.
Senyumnya melembut. Aku melihat kehangatan di mata gadis sainganku. "Oh, iya, Ying. Hari ini kau bisa datang ke rumahku? Belajar kelompok seperti biasanya," ucapnya. Aku menggeleng. "Tidak. Aku ada urusan lain. Maaf yah." Aku memasang topeng paling bagus di dunia, puppy eyes.
Yaya terlihat sedikit kecewa. "Baiklah, aku akan ajak Gopal dan BoBoiBoy saja." Aku bertanya, "Kenapa tidak ajak Tn. Pelit juga?"
Aku sedikit terkejut dengan jawabannya. "Tidak, katanya dia ada sesi pemotretan hari ini." Yaya membaca raut wajahku. "Apa?Dia teman kita sejak SD, tak salahkan kalau tahu sedikit jadwalnya." Dia memang tidak salah.
Aku hanya manggut-manggut. Aku tidak pernah mau tahu tentang anak itu. Satu kata untuk mendeskripsikannya. Menjengkelkan. Bilang aku sombong, tapi memang seperti itu orangnya.
Aku meminta maaf sekali lagi pada Yaya dan menjanjikan sesuatu yang dia inginkan. "Aku hanya ingin buku ensiklopedia fisiologi manusia yang baru," jawabnya. "Baiklah jika itu permohonanmu, Yang Mulia," balasku dengan gaya seperti seorang pelayan. Dan kami tertawa bersama-sama.
―s.t.a.l.k.e.r―
Aku benar-benar ingin mati saja jika itu satu-satu cara agar aku bisa keluar dari situasi ini. Sepasang mata hitam di depanku menatap ke dalam mataku. Matanya mengikuti setiap gerakanku, bahkan sebulir keringatku ditatapnya intens. Tak ada kepedulian dalam kedua netra itu, yang ada hanya penasaran.
Keterlaluan.
"Jangan katakan padaku bahwa kau memang benar-benar seorang penguntit." Ekspresi jijik terlihat jelas di wajahnya.
Aku sungguh akan mati. Oleh Fang.
Aku berusaha berbohong, berharap menjadi seorang aktor yang baik. "Tidak, aku hanya itu dilarang olehmu?"
Tatapan matanya tenang. "Tidak, aku hanya penasaran tentang apa yang diperbuat oleh anda, Nona." Dia menekankan suaranya. "Tampaknya kau tidak sedang menguntit seseorang." Matanya melirik teropong yang jelas-jelas bergantung di leherku, dan kamera yang sedang kupegang. Rasanya ingin menangis saja. Tapi tidak bisa. Aku akan mengubur diriku hidup-hidup bila menangis di depannya. Aku tak sudih.
Aku tahu aku bisa keluar dari sini.
Lari.
Aku menyambar tasku, mendorong Fang sehingga aku mendapatkan akses untuk keluar dari balkon café itu. Sayangnya, semua itu tidak sesuai rencanaku. Aku terlalu takut hingga tak mempunyai tenaga yang cukup untuk mendorong pemuda itu. Alih-alih jatuh, aku dilemparkannya ke dinding.
Tangannya mencengkram rahangku. "Jangan membuat aku menunggu. Siapa yang kau untit?" Nafasku tersengal. Tanganku hanya mencoba melepaskan cengkramannya. "B-Bukan urusanmu!" Dia menatap mataku.
Butuh beberapa lama hingga dia melepaskanku. Aku mengambil oksigen sebanyak mungkin. Dia tersenyum melihatku tersiksa. "Baiklah, tapi setidaknya aku memiliki ini." Mataku terbelalak melihat apa yang berada di tangannya. Kameraku. Aku tahu pekerjaan sambilan anak itu adalah fotografer, dan tidak sulit baginya untuk segera mengetahui siapa objek yang telah diambil kamera itu. Kurasa air mataku mulai memanas.
Dia bersiul dan aku meremas ujung kaosku. "Bukannya ini ketua OSIS kita? Fa, Fa, Fa, siapa lagi?"
"Fajar," aku menjawab cepat. Dia terkekeh. "Ternyata kau bisa jatuh cinta juga. Kupikir kau hanya gadis keras kepala." Dia memberikan tatapan merendahkan. "Kau sama saja seperti gadis-gadis yang lain jika kau jatuh cinta padanya."
Rahangku mengeras. Dia tidak tahu sama sekali tentang perasaanku dan mengatakan bahwa aku sama saja seperti gadis yang lain? Aku akan membunuhnya, sungguh. "Kau tidak tahu apapun tentangku," ucapku sinis.
Dia meringis. "Terserah, gadis sepertimu juga tak tahu apa-apa tentangku," ucapnya, "gadis bodoh yang jatuh di pangkuan Fajar."
Sudah cukup. Itu sudah cukup, aku tak tahan lagi. Semua emosiku telah mencapai puncaknya. Aku merasa darah mendidih di kepalaku. Dan tanpa sadar, kakiku bergerak, menendang sesuatu pada tubuh Fang, yang mungkin rasa sakitnya tak akan hilang sampai dua hari ke depan.
Dia mengerang, kedua tangannya menutupi selangkangannya. Aku mengambil kesempatan itu. Merampas paksa kameraku, meniti tangga ke bawah, keluar dari pintu utama dan berlari secepat yang aku bisa.
Aku tak ingat kalau aku menabrak seseorang. Aku pasti menabrak seseorang karena aku terpental ke belakang. "Kau tak apa?" Aku tidak percaya. Aku mendongakkan kepalaku, mataku bertemu matanya. Mata Kak yang telah lama kukagumi.
Aku hanya bisa mengatupkan mulutku, tak bisa berbicara. Aku benar-benar merasa bodoh. Dia mengulurkan tangannya. "Mari kubantu." Aku mengambil tangannya, dia kemudian membantu berdiri. "Maaf aku menabrak, kakak," maafku. Dia hanya tersenyum lembut dan pipiku kembali memanas. "Ah, salahku juga. Kau Ying kan? Anggota Komite Disiplin?"
Aku mengangguk. Aku begitu senang hingga suara orang yang kubenci terdengar lagi. "YING!"
Aku segera menoleh dan mendapati Fang berjalan tertatih-tatih. Raut wajahnya benar-benar tak dapat dideskripsikan oleh kata-kata. "Kau berhutang sesuatu padaku!"
"Maaf, kau siapa?" Kak Fajar bertanya pada Fang. Kulihat mata Fang teralih dariku ke Kak Fajar. Raut wajahnya berubah seketika, dan tangannya tidak lagi memegangi benda pusakanya. "Aku Fang. Kenapa?" tanyanya dengan nada datar. Terlalu datar malahan.
Kak Fajar hanya tersenyum kecil. "Ah, tidak. Nada suaramu terlalu kasar. Kita memang pria, tapi kita harus bersikap hormat pada wanita. Bukankah Ying temanmu? Memang dia berhutang apa padamu?"
"Memang. Tidak, dia hanya menumpahkan jus pada netbook-ku," bohongnya. Terjadi keheningan aneh. "Baiklah kalau begitu, aku yakin Ying sangat menyesal dan meminta maaf soal hal itu. Ya, kan Ying?" Aku tersadar namaku dipanggil. Aku benar-benar ingin memberitahukan yang sebenarnya, tapi dia akan sadar bahwa sebenarnya aku menguntitnya. Jadi, aku hanya mengangguk. Aku bisa melihat mata hitam Fang mengilat.
"Baiklah, kami pulang , Ying kuantar," Kak Fajar menawarkanku. Aku tidak bisa menolak. Aku segera menjawabnya dengan ceria, melupakan setan yang berada di depanku, "Iya! Tapi tidak merepotkan kakak?"
"Tidak. Lagi pula jalannya searah dengan toko yang ingin aku kunjungi." Kak Fajar berjalan beberapa langkah di depanku. "Ayo Ying." Aku melihat menoleh sekilas pada Fang, lalu segera menanggapinya, "Tunggu aku!"
Tak pernah kubayangkan ini terjadi. Diantar pulang ke rumah oleh Kak Fajar. Ah~, ini pasti mimpi. Aku benar-benar harus membelikan buku ensiklopedia itu untuk Yaya. Aku sangat senang sampai tidak menyadari Fang menghilang begitu cepat. Tapi, siapa peduli?
.
.
.
to be continued .
A/N :
Ah~, akhirnya chapter 1 ini selesai. Mungkin di sini Ying jadi apatis sekali yah?Maaf, saya telah menistakanmu, kau memang karakter yang paling cocok kalau dijadikan tokoh utama dalam fanfic ini. Sebenarnya ini terinspirasi dari teman-teman saya. Menyimpan begitu banyak foto orang yang disukainya, jadilah ide fic ini. Maaf, maaf sekali bila ada yang merasa sifat Ying jadi aneh. Oh, iya. Setiap bonus yang saya berikan di akhir chapter itu dari sudut pandang orang ketiga, supaya tidak pusing bacanya. Last word, Review?
b.o.n.u.s.
"O.K, Gopal, BoBoiBoy, untuk yang terakhir kali." Yaya membuang nafas, terasa tersiksa. "1/2 ditambah 23,98 dan dibagi dengan 2/6 adalah …"
"Er… Angka?" jawab BoBoiBoy. Yaya menatap horor temannya. "Ah! Aku tahu! Aku tahu, Yaya!" Gopal berseru.
Yaya mengalihkan pandangannya malas. "Ya, Gopal?"
"Jawabannya adalah…" Yaya sudah berharap banyak. "Lebih dari 1!" Yaya pingsan. Dia sudah membuat perjanjian dengan dirinya sendiri. Jangan. Pernah. Belajar kelompok dengan BoBoiBoy ataupun Gopal. Itu memperpendek umurmu.
9
