JUDUL : KILL MY HUSBAND
Desclaimer : NARUTO by YOU-KNOW-WHO-THE-MANGAKA- IS
Pairing : Sasuke x Sakura
Summary : Bisu, PeterPan Syndrome, Hoplophobhia dan banyak kekurangan lain. itulah Sakura Haruno. Gadis 20-an yang kehidupan sehari-harinya dihabiskan di tempat kerjanya tanpa aktifitas lain. Pendiam dan penyendiri membuatnya sering menjadi bayangan, keberadaannya yang membosankan tidak pernah dilirik orang-orang. Tapi Sasuke Uchiha, pewaris Uchiha Corp dan garis keturunan Mafia justru tertarik dengan gadis itu. Dia akan melakukan segala cara demi mendapatkan apa yang ia inginkan dan yang ia ingin Sakura menjadi istrinya. Sayangnya, setelah mengetahui identitas asli Sasuke, Sakurapun akan melakukan segala cara untuk lepas darinya.
CHAPTER ONE : THE TALE OF FREAK GIRL AND PSYCHO MAN
Mencurigakan dan firasat buruk.
Dua kata yang tepat menggambarkan apa yang diam-diam kubatinkan, saat ini aku sedang berada di sebuah ruangan bawah tanah rahasia di kediaman mewah yang baru tiga bulan kutempati. Dengan cara mengendap-endap mengikuti tiga orang pria aku berhasil menemukan pintu yang disembunyikan, didalamnya berisi ruangan gelap dan sempit bercat coklat, ada tangga panjang yang terus menuju ke bawah. Dibawah berisi ruangan vertikal dengan beberapa kamar dikanan dan kiri. Tidak terlalu gelap, ada penerang kuno dibeberapa dinding yaitu obor terbakar. Tidak terlalu sempit seperti di tangga karena tiga pria bisa berjalan beriringan menyamping. Ketiga pria yang belum menyadari keberadaanku dibelakang mereka, karena aku menjaga jarak dan mencoba berjalan sepelan mungkin tanpa suara, tidak tertarik untuk berbelok barang selangkah saja. Kedua pria yang berjalan disamping kiri dan kanan pada pria ditengah terus memegang senapan laras pendek ditangan mereka. Mereka tersenyum lebar, tidak sabaran untuk menggunakan benda itu.
Aku menggigit bagian dalam dibawah bibirku melihatnya. Kebiasaanku ketika menahan sesuatu, entah itu emosi ataupun tindakan.
Aku sudah langsung tahu bahwa ada sesuatu yang tidak baik. Tapi aku 'pasti' tidak bisa berbuat apa-apa.
Perutku mual, tapi tidak berhenti menguntit.
Tidak begitu jauh, tibalah di ujung jalan vertikal. Ada sebuah pintu logam tua dan berkarat yang berdiri tegak, tidak terkunci karena salah satu dari tiga pria langsung membuka begitu saja. Suara 'kreet' yang lumayan keras memecah keheningan, pintu terbuka sedikit dan ruangan remang-remah terlihat, penerangnyapun dari obor, sepertinya. Tapi aku tidak yakin, cahaya obor berwarna kekuningan tapi cahaya didalam berwarna putih. Aku yakin bukan dari cahaya obor. Mereka masuk kedalam, terlalu tidak sabaran atau tidak peduli sekitar sehingga membiarkan pintu tetap terbuka. Aku terlalu waspada untuk masuk, kubiarkan waktu berjalan beberapa menit. Kesunyian mulai lenyap oleh beberapa suara didalam, sepertinya mereka mengobrol. Jika kudengar lebih jelas, aku menangkap suara familiar yang berbeda dari ketiga pria yang baru saja masuk. Berarti diruangan itu tidak kosong, sudah ada seseorang yang menunggu mereka. Aku tidak mendengar suara yang berbeda lagi, mungkin hanya satu orang yang menanti di ruangan.
Tapi dugaanku salah kala aku mendengar suara keras yang berbeda lagi.
Suara manusia.
Teriakan.
"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAARRGGGHHHH!"
Tubuhku tersentak, suara gaps pelan keluar dari mulutku. Untung saja pelan, aku masih tidak ketahuan. Yah,seperti aku bisa membuat suara keras saja. Teriakan tadi membuat jantungku hampir copot, kugenggam dadaku dengan satu tangan, rasanya nyut-nyutan dan sakit. Bukan karena teriakan pemecah gendang telinga penyebabnya, tapi pada emosi di teriakan tadi. Emosi penuh kesakitan.
Tiga detik dari sekarang, teriakan kesakitan terdengar lagi. Lagi dan lagi tanpa henti. Sangat keras, aku khawatir dengan tenggorokan siapapun yang berteriak itu. Samar-samar aku mendengar suara lain yang disela-sela teriakan, tiga suara yang berbeda. Salah satu dari empat orang diruangan itu mungkin, minus yang berteriak. Suaranya lantang dan tegas, nadanya tidak ramah. Dari percakapan yang kudengar beberapa menit kemudian, aku menyimpulkan bahwa tiga orang yang berbicara pada sang peneriak meminta sesuatu padanya. Ah tidak, coret kata 'meminta' tadi dan ganti dengan kata 'mengancam'. Sang peneriak bersikukuh tidak mau mengeluarkan sepatah katapun kecuali teriakan kesakitan. Singkatnya, tiga orang itu kemudian menyiksa sang peneriak. Dari teriakan yang kudengar berkali-kali, penyiksaan yang mereka lakukan tidaklah ramah.
Aku menggigit bagian dalam dibawah bibirku lagi.
Curious kill the cat. Pepatah yang cocok untuk menyebutkan isi hatiku sekarang. Memang, ada rasa takut dan perasaan ingin lari secepatnya dari tempat aku berpijak kini, hal yang wajar kurasakan. Tapi penasaran memenangkan semuanya. Pepatah itu pasti tepat, aku tahu aku akan mati jika melihat apa yang terjadi didalam pintu yang terbuka dihadapanku. Ah, pintu itu terlihat bagaikan monster bermata tajam dan mulut berduri-duri, memantraiku untuk melewatinya.
Aku tidak bisa menolak hipnotis mantranya. Kakiku maju selangkah.
Aku akan mati. Perasaanku menerka hal ini.
Selangkah demi selangkah.
Aku suicidal gila.
Aku membuka mataku lebar-lebar. Setidaknya akuakan mati, jadi aku ingin melihat pemandangan sebelum mati dengan seksama. Ruangan remang-remang berdinding tumpukan bebatuan, tidak terawat, hanya ada satu jendela yang tidak cukup untuk dewasa bahkan anak kecil sekalipun dan tinggi. Cahaya bulan masuk keruanga ini dari sana. Tanpa membuang waktu, mata sewarna batu emerald milikku langsung melirik pada pemuas rasa penasaranku. Didalam sebuah sel penuh darah, ada lima pria berkumpul. Empat orang berdiri berbentuk huruf U terbalik mengelilingi satu orang ditengah mereka. Salah satu dari empat orang adalah orang baru, ia membawa lentera sebagai sumber cahaya berwarna putih, satu-satunya penerang diruangan ini.
Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi diruangan ini. Yang kuketahui adalah perasaan iba kepada satu-satunya pria yang tersiksa disini dan ke-empat orang yang tertawa-tawa adalah para tokoh antagonis.
DOR! DOR! DOR!
Mataku membelalak ngeri. Setiap tembakan menembus tubuh pria yang disiksa setiap kali ia menolak menjawab ketika ditanya. Semuanya tanpamengenai bagian vital. Sengaja. Kedua pemilik senapan laras pendek menikmati penderitaan korbannya dalam jangka waktu panjang. Ekpresi mereka yang membuatku geram menukjukannya tanpa kata-kata.
Tertawa dibawah penderitaan orang lain, apalagi merekalah pelakunya. Perasaanku bercampur aduk, antara marah, sedih dan lega.
Lega karena mereka lebih tidak normal daripada diriku.
Jika mau jujur, perutku terasa mual. Aku ingin muntah dari pemandangan dan adegan yang kulihat ini. Tapi aku belum cukup puas dengan infromasi yang kudapat. Aku merutuki rasa penasaranku, musuh terbesarku yang masuk dalam blacklist-ku mulai dari sekarang. Untuk meringankan rasa mual, aku mencoba fokus pada seseorang yang terlihat santai. Berharap ekpresinya bisa menulariku. Tapi, alasan yang lebih penting adalah karena pria itu, pria ditengah yang hanya diam tapi tatapannya menusuk. Rambut dan bola mata sewarna burung gagak yang mencuat ke belakang, gaya rambut belah tengah, tinggi badan idaman atlet bola basket, kemeja putih dengan celana panjang biru dongker. Dia berdiri dengan santai sambil memasukkan satu tangan ke saku celana.
Mengintrogasi dengan santai tapi tatapannya mengancam. Berkilat oleh konsekuensi nyata yang akan terjadi jika tidak dijawab ataupun diberi jawaban yang tidak memuaskannya. Tugas pria itu hanya mengintrogasi korban dan memberi perintah hukuman pada kedua temannya yang bersenjata, ia bagaikan seorang raja dengan dua algojo penyuka pekerjaan mereka. Ia seperti pemimpin diantara ke-empat orang yang berdiri diruangan ini. Semakin pertanyaan tidak dijawab, semakin lantang volume si terlihat tidak sabaran. Pria dengan lentera memcoba membantu dengan ancaman-ancamannya. Keras kepada, sang korban tetap bungkam walaupun air mata dan mulutnya tidak henti-henti menangis terisak. Jujur, aku kagum padanya.
DOR! DOR! DOR!
Tiga tembakan dilayangkan pada tangan sang korban, teriakan kembali terdengar. Mataku semakin membelalak ngeri, bukan bertambahnya lubang-lubang ditubuh yang kulihat pada korban melainkan tiga jari putus. Sang korban itupun sama terkejutnya denganku, teriakannya lebih kencang.
Aku menutup mulutku. Aku merasa mual, rasanya aku ingin memuntahkan semua isi makan malam di perutku yang kumakan belum lama ini.
'Aku akan muntah! Aku akan muntah! Aku akan muntah!'
Aku bersyukur aku akan muntah. Reaksi ini lebih baik daripada para pria disini, kecuali yang kesakitan. Aku bertanya-tanya bagaimana tiga orang yang berdiri diruangan itu, dua algojo dan pemegang lentera, bisa tertawa bahagia, wajah mereka cerah seperti anak kecil yang mendapatkan kado ulang tahun. Mereka sangat kejam, rendahan dan tidak punya hati! Aku bahkan ragu kalau mereka adalah manusia. Mataku melirik pada sang pemimpin, matanya datar. Sempat aku berharap bahwa dia berbeda, tapi harapanku hancur oleh bibirnya yang melengkung. Dia menyeringai.
Aku kecewa.
Pria itupun tidak jauh derajatnya dari ketiga pria lain.
Dan akupun muntah.
"Hueek!" Suaraku tidak terlalu keras, juga suara muntahan yang jatuh. Yang membuatku dalam masalah adalah tubuhku yang sempoyang dan tidak sengaja membuat keributan kecil pada pintu. Sudahlah, tidak ada yang bisa kuperbuat. Sudah terlambat. Aku memegang pintu, berdiri horizontal dan menundukan wajah, muntah berkali-kali. Tenggorokanku sakit dan aku terbatuk tiga kali kemudian muntah lagi.
Ketika muntahku reda, kurasakan kepala pening dan penglihatanku remang-remang seperti cahaya diruangan ini. Aku memegang sisi kepalaku dan menengadah kesamping. Tatapan mata menusuk dari sang pemimpin menyambutku, ia telah berdiri disebelahku tanpa kusadari. Mata itu menatap tajam kebawah karena tinggi badanku lebih pendek darinya. Satu tangan terulur padaku, aku melirik sang korban sekilas, pemandangannya yang mengerikan membuat bulu kudukku merinding. Pria ini salah satu orang yang meyiksa orang lain, pria tidak berkemanusiaan. Iblis.
Aku menepis tangannya dengan panik. Mataku menatap ngeri.
Tubuhku berbalik, tergesa-gesa melarikan diri. Tidak jauh, kurang dari satu meter saja tubuhku sudah sempoyangan. Kepalaku bertambah parah dari pening menjadi sakit bagai tertusuk-tusuk. Kedua kaki tidak bisa menyangga tubuhku lagi, aku memiring ke dinding. Tubuhku membentur tidak terlalu keras, merosot kelantai. Bahkan untuk dudukpun tidak sanggup, terus lumpuh hingga kepala hampir mencium tanah. Mataku terpejam tapi bisa merasakan bahwa ada seseorang menahan tubuhku untuk tidak jatuh. Kehangatan tubuh dan proporsi tubuh yang familiar kurasa dikulitku. Terasa melayang, sepertinya aku digendong.
Suara dua langkah kaki terdengar mendekati kami.
"Ternyata Sakura-sama"
"Apa dia mengutit kita? Gawat, boss! Oh, iya. Kenapa dengan Mistress?"
Sang pemimpin menjawab. "Hn, dia pingsan. Karena shock, pasti." Suaranya terdengar yakin.
Semua pemandanganku hanya warna hitam.
Dia benar. Sang pemimpin itu. Sasuke Uchiha.
Suamiku sejak tiga bulan lalu.
-Tiga Bulan Lalu-
"Sakura, ini buku-buku terbaru bulan ini. Tolong kau pajang di rak buku khusus buku-buku terbaru, ya?" ucap Kurenai-san, wanita janda berambut pirang dengan make up tebal, ia gencar sedang mencari suami baru. Dia adalah pemilik Toko tempat aku bekerja. Tangannya menepuk salah satu kardu dari dua kardus bersegi empat yang masih tersegel.
Aku mengerti, kepalaku mengangguk.
"Baiklah, seperti biasa Toko Buku ini buka jam sembilan pagi sampai malam di pukul itu juga. Tapi jika benar-benar sepi kau boleh menutup Toko lebih cepat. Seorang gadis pulang malam tidak baik, banyak kejahatan akhir-akhir ini. Terutama penculikan. Kenapa kau tidak mempunyai seseorang untuk menjemputmu, Sakura-san? Aku tahu kau tidak mempunyai keluarga tapi buatlah teman, kau selalu menyendiri dengan buku-buku. Itu tidak terlalu baik."
Aku hanya tersenyum sendu.
Aku mencari beberapa rekaman di HP ketinggalan zaman milikku. Suara rekaman bersuara perempuan terdengar dengan sopan.
"Terima kasih telah mengkhawatirkan saya. Tapi saya baik-baik saja, sungguh."
Aku mengganti ekpresi, menghilangkan senyuman senduku agar terlihat meyakinkan dengan suara rekaman.
Kurenai-san diam menatapku. Tatapan mata khawatir masih dipasangnya dibalik kacamata gaya. Kemudian ia menutup mata dan menghela nafas. Tidak mau berdebat denganku.
"Baiklah, mungkin kau mempunyai teman di internet. Bagaimanapun, ini zaman modern. Itu cukup baik."
Aku kembali tersenyum.
'Mau tahu jumlah temanku? zero.'
'Tidak apa, lebih baik sendiri dari pada membawa mala petaka untuk siapapun temanku.'
Kurenai-san menepuk bahuku.
"Kau tahu, Sakura. Bukan karena kau karyawan satu-satunya di Toko ini, tapi karena aku mempercayaimu sehingga menyerahkan tanggung jawab dalam menjaga Toko sebulan penuh selagi aku pergi. Aku akan kembali sehabis selesai mencari daun muda yang kaya raya dan getlemen di Hawaii. Ahahaha." Ia tertawa penuh kepecayaan diri. Tangannya membetukan tas tenteng kecilnya karena merosot kemudian berpamit pergi. "See u!"
Aku membalas lambaian tangannya. Kulihat dari dalam Toko, terimakasih pada jendela berkaca transparan, bos-ku mendekati mobil taksi yaitu kendaraannya untuk ke Bandara. Teman perempuannya berdiri menunggu didekat Taksi sedari tadi sambil merokok, namanya Anko-san, ia berpakaian eksentrik dan seksi seperti boss. Anko-san ikut juga, mereka berdua pergi ke tempat yang sama dengan tujuan sama pula. Anko-san juga berstatus janda.
Anko-san melihat temannya dan membentak dengan ekpresi kesal, tangannya menunjuk jam tangan ditangan lain Kurenai-san membalasnya dengan kata-kata singkat dan senyuman bersalah. Kemudian mereka buru-buru masuk ke taksi. Aku mengalihkan pandanganku ketika taksi telah pergi. Fokus baruku terarah pada dua kardus disebelahku, waktunya bekerja.
Aku melihat HP milikku dan mengotak-atik, membuka aplikasi kalender. Aku sudah melihat jadwalku hari ini, hal pertama yang kulakukan saat saat bangun tidur. Tapi tidak ada salahnya mengecek lagi. Aku bukan tipe pelupa, ingatanku sangat bagus kuakui itu. Aku benci membuang-buang waktu untuk hal-hal tidak berguna, karena itu setiap hari aku membuat jadwal kegiatanku.
'Pertama adalah membereskan buku-buku baru ini kemudian bersih-bersih sampai jam sembilan pagi. Setelah selesai aku akan membuka Toko.'
Aku menengadah keatas, melirik jam dinding. Jarum pendek menunjukan angka tujuh dan jarum panjang pada angka satu. Ada sejam sepuluh menit untuk melakukan kegiatan sebelum membuka Toko. Kusinggingkan lengan kemeja putihku, khawatir debu-debu mengotorinya. Aku mulai membuka selotip di kardus-kardus.
Setelah aku menyelesaikan pekerjaan pemanasan, jam menunjukan pukul Toko dibuka. Aku merapikan lengan baju dan menepuk-nepuk debu yang menempel. Sembari menunggu pelanggan datang, seperti biasa aku membaca buku-buku. Menuju rak buku favoritku, rak buku yang bertulis 'Dongeng'. Tidak peduli kekanakan atau apa, aku mengacuhkan pandangan orang terhadapku. Aku suka dongeng dan film anak-anak terutama dari Disney and Barbie. Entah ini kelainan atau apa, dongeng hanya salah satunya. Aku bagai terobsesi pada sesuatu yang berhubungan dengan masa anak-anak. Dua tahun hidupku dipenuhi dengan hal-hal itu, dimulai setelah kecelakaan yang kualami. Tabrak lari oleh sebuah mobil, gejala yang kualami lumayan parah. Aku mengalami amnesia bahkan kerusakan pita suara. Kerusakan fisik dan mental, double attack. Mulutku hanya bisa bicara bervolume kecil dan tidak jelas. Amnesia membuatku lupa kehidupanku sebelum kecelakaan. Menurut Dokter yang merawatku, barang-barangku terlindas mobil didalam tas, HP rusak parah, make up dan barang-barang lain. Yang selamat hanyalah notes kecil dan kartu identitasku, beruntung kartu ATM juga, aku bisa membayar dokterku. Notes dan kartu identitas, benda itu ternyata menyimpan beberapa infomasi penting tentangku. Apalagi namaku yaitu Sakura Haruno dan alamat tempat aku menetap, disebuah apartemen kecil nan murah. Tapi infomasi itu tidak mencakup kehidupanku. Selama dirumah sakit, tidak ada seorangpun yang menjengukku walaupun aku dirawat setengah tahun. Entah, aku tidak tahu apakah aku mempunyai keluaraga ataupun teman. Setelah keluar dari rumah sakit, aku terombang-ambing di jalanan dalam kebingungan, berniat mencari ingatan-ingatanku. Beruntung Kurenai-san menemukanku. Aku mendapat informasi lain, ternyata sebelum kecelakaan aku adalah pegawai di Toko Buku miliknya. Akupun menjalani hidupku kembali bekerja, sedikit demi sedikit mendapat informasi dan mengingat ingatan-ingatan lama. Suara hari aku iseng membaca dongeng-dongeng, beberapa ingatan lama muncul. Ingatan masa kecil, selalu ingatan yang bahagia. Mencari beberapa sumber, semuanya tentang masa kecil. Aku terobsesi dengan ingatan yang selalu bahagia. Hanya hal-hal yang kekanakanlah yang selalu bisa menepis ingatan burukku, ingatan yang kuyakin delapan puluh lima persen mendominasi masa laluku. Karena alasan itulah, aku menerima PeterPan Syndrome dengan tangan terbuka.
'Masa kecil selalu bahagia, anak-anak adalah mahluk yang polos tanpa beban. Hidup dalam zona aman tanpa mengetahui dunia ini hitam putih. Hanya bersenang-senang, proritas utama mereka. Ahh.. aku menginginkan itu.'
'Aku benci dengan kedewasaan, itu artinya mengucapkan bye bye pada kebebasan dan say hello pada segala beban tanggung jawab. Sejak keluar dari Rumah Sakit aku tidak penah merasa istimewa. Terobsesi sesuatu, impian masa depan dan karier yang di incar. Hidup sederhana sudah cukup, pekerjaan biasa dan gaji pas-pasan tidak masalah untukku. Aku melirik rak buku bergenre dongeng, kulihat buku PeterPan disana. Jika ingin jujur, aku mengidam-idamkan kehidupan seperti Peter. Kecil selamanya tanpa beban kehidupan, tertawa dan bermain bersama teman-teman. Kehidupan itu sangat menggiurkan hati. Tapi aku terlalu realistis untuk memperagakan kehidupan itu sehingga melamunkan hal-hal seperti itu adalah membuang-buang waktu. Tidak mungkin manusia kecil selamanya, tidak mungkin pula Neverland ada. Menjadi anak kecil selamanya dan dilimpahi kesenangan, hal itu bagaikan fatamorgana aosis di padang pasir.'
CRING! CRING!
Lonceng yang dipasang di pintu masuk berbunyi, tanda pintu terbuka. Bunyi itu membuyarkan lamunanku. Dengan senyuman bisnis, aku tergesa-gesa menyambut pelanggan pertama hari ini. Tubuhku kaku kala melihat siapa yang datang. Seorang pria yang familiar. Bukan, bukan salah satu orang dari ingatan masa laluku, aku yakin. Dia adalah pelanggan tetap Toko ini. Pria yang selalu datang ketika Toko sepi, entah kebetulan atau disengaja. Walaupun Toko Buku ini langka pelanggan tapi timing pria itu selalu tepat, aku curiga. Apalagi dia tidak hanya datang untuk buku-buku, dia mengajakku bicara, mengorek informasi tentangku, dia mengatakan dengan blak-blakan bahwa ia tertarik denganku (aku tidak percaya sama sekali, ia pasti hanya mencoba menggodaku). Dia pria yang aneh. Dia pria yang tampan (bukan memuji tapi berkata fakta), wajahnya sering muncul di beberapa media tapi aku hanya tahu dia dari buku-buku di Toko ini apalagi majalah bisnis. Konglomerat pemilik perusahaan Uchiha Corp, perusahaan besar di bidang eksport dan import. Namanya dikenal di dunia.
Sasuke Uchiha, pria itu berpakaian gelap lagi kali ini dan formal. Jas biru dongker berdasi hitam dan celana panjang sewarna jasnya. Kacamata hitam gaya dipasang untuk penyamaran. Dengan langkah kaki yang santai nan elegan dia berjalan mendekatiku. Aku hendak menyambutnya dengan sopan, business service, tapi ia melewati batas satu meterku dengan sengaja. Dengan panik aku mundur beberapa langkah. Bahkan melewati jarak satu meter dari Uchiha-san.
Uchiha-san menatapku datar, tapi tersirat ketidaksukaan di matanya.
"Kau selalu begitu, Sakura. Menjaga jarak dengan siapapun, tapi kurasa kau lebih berjaga jarak denganku." Ucap Uchiha-san, wajahnya berpura-pura terluka.
Aku memutar rekaman suaraku. "Saya minta maaf, tuan." Aku menunduk untuk menyakinkan rekaman dan hatiku senada.
Uchiha-san hanya menggumam singkat membalas permintaan maafku.
Aku anggap permintaan maafku diterima. Aku mengotak-atik HP lagi, mencari rekaman untuk menyambut setiap pelanggan yang baru masuk ke Toko. "Selamat datang di Toko Buku Wendy, silahkan melihat-lihat terlebih dahulu."
Suara di HP itu terdengar sopan dan ramah, suara perempuan. Aku bergeser ke kiri, memberikan Sasuke-san akses jalan. Tubuhku membungkuk hormat dan mengangkat sedikit rok panjang coklatku. Gaya hormat bak putri-putri kerajaan pada zaman dulu.
Mr. Sasuke memandangku seperti pandangan para pelanggan lain saat aku memberi hormat dengan cara ini. Pandangan aneh dan geli. Bibirnya terkekeh kecil.
"Kh.. heh he he. Kau tidak pernah membuatku bosan dengan semua kenormalan, Sakura. Karena kau tidak pernah normal, baik dalam pandanganku ataupun orang lain."
'I know I'm Freak.' Tapi aku tidak peduli.
Satu-satunya hal yang kukagumi dari Uchiha-san. Pria ini tidak pernah takut mengatakan kebenaran atau lebih tepatnya blak-blakan. Tidak seperti pembisnis lain, berbohong dan memasang muka palsu demi citra. Akupun sedikit termasuk dalam kategori itu, sebenarnya.
"Terima kasih banyak, tuan. Saya sangat terhormat mendengarnya." Aku kembali membungkuk bak putri.
Aku anggap saja ucapannya sebagai pujian. Lagipula posisiku mengatakan aku harus beramah tamah pada pelanggan.
"Saya bisa mengantarkan anda pada rak dengan genre buku yang ingin anda cari, atau anda ingin saya rekomendarikan buku-buku bagus untuk anda?"
"Kami baru saja mendapatkan buku-buku baru terbitan bulan ini di rak New Books, mau saya antarkan?"
Aku sudah membuat rekaman ini dihari-hari sebelumnya, Kurenai-san sudah memberitahu sebelumnya tentang buku-buku baru yang sudah kutata di rak New Books hari ini.
Sasuke-san menatapku sejenak, kemudian kepalanya bergerak menuju rak yang kusebutkan. Aku mengerti isyarat itu. Uchiha-san sebenarnya pendiam sepertiku, ia lebih suka menggunakan isyarat tubuh untuk kata-kata singkat daripada berbicara.
Aku melirik kedua kaki Uchiha-san, tidak bergerak seincipun. Kalau begitu. "Silahkan lewat sini." Ia ingin aku memandunya.
Rak yang kumaksud tidak terlalu jauh mengingat ini hanya Toko Buku kecil berlantai satu. Lima belas langkah melewati dua rak buku saja sudah sampai pada tujuan. Aku mengantarnya dengan cara menari-nari kecil bagaikan pixie. Rokku terus kuangkat, khawatir pula aku selalu sepatu pantopel yang memudahkan untuk bergerak.
"Baiklah, inilah rak yang anda cari. Selamat membaca."
Aku membalikan badan ketika tugasku selesai, bermaksud menuju kasir. Gerakanku terhenti kala kulitku merasakan kehangatan dari kulit lain. Uchiha-san menggenggam salah satu lenganku agar aku tidak pergi, bibirnya menyunggingkan seringaian menawan. Seringaian menawan itu bukannya membuatku luluh seperti kebanyakan wanita tapi membangkitkan alarm tanda bahaya dikepalaku yang selama ini tidak pernah berbunyi berbulan-bulan lalu. Aku mencoba tenang dan bersikap profesional. Tapi jantungku tidak bisa berbohong.
Aku berbalik menghadapnya.
"Ada yang bisa saya bantu, tuan?" aku menyetel rekaman suara dengan satu tangan.
"Ya." Jawab Uchiha-san tanpa melepaskan tanganku.
"Oh ya, apakah itu? Saya dengan senang hati akan membantu anda jika itu sesuai kemampuan saya."
"Kau bisa membantuku, hal itu tidak terlalu susah." Uchiha-san menyeringai semakin lebar. Aku mulai khawatir.
'Bersikap profesional, bersikap profesional.'
"Tolong katakan saja, tuan."
"Kalau begitu, kiss me."
Aku mengotak-atik HP-ku untuk menyetel rekaman setuju, aku menemukannya dan hendak menekan tombol. Tapi aku mematung. Aku baru menyadari apa permintaan Uchiha-san padaku. Dengan tatapan tidak percaya aku menatapnya.
'Apa? Apa katanya tadi? Apa aku salah dengar? Kurasa dia baru saja mengatakan kiss me'
'Pasti salah dengar, dia-' begitu aku mulai meyakinkan diri untuk tidak percaya. Uchiha-san telah membaca pikiranku. Dari ekpresi kagetku, tentu.
"Kau tidak salah dengar." Ucapnya enteng.
Mataku melebar lebih besar.
'Kenapa dia terlihat tenang kala meminta seorang wanita menciumnya? Kenapa juga harus aku?'
'Aku hanya mengetahui sedemikian kecil tentang Uchiha-san, itupun sosok dirinya yang publikpun tahu. Apa statusnya yang konglomerat membuatnya mempunyai sifat-sifat buruk yang biasanya para konglomerat miliki? Suka menghambur-hamburkan uang, berpesta pora, pamer dan sebagainya. Wajahnya yang rupawanpun tidak mungkin ia sia-siakan. Dan saat ini, aku menemukan informasi tentang Uchiha-san. Dengan santainya ia meminta wanita untuk menciumnya, dia pasti PLAYBOY!'
Aku menutup mata kesal kemudian menatapnya marah.
'God! Aku benci pria seperti ini.'
Saat aku sibuk mengotak-atik HP-ku untuk menolak, dengan cepat Uchiha-san mendorongku ke rak buku. Punggungku terbentur lumayan keras, membuat mengaduh. HP di tanganku terlepas dan jatuh lumayan keras, berbunyi seperti memantul dua kali dilantai kemudian diam. Jantungku berdetak kencang lebih akibat kaget. Begitu aku membuka mata, aku dikejutkan dengan wajah Uchiha-san yang terlalu dekat.
'Lebih dari satu meter! Lebih dari satu meter!' batinku panik. Alarm tanda bahayapun berbunyi semakin nyaring.
Aku hendak menjauhi Uchiha-san tapi tubuhku tidak bisa bergerak. Kondisiku terperangkap. Kedua tanganku menyatu keatas dan di genggam oleh tangan kanannya yang besar. Berusaha berontakpun susah, tenaganya sangat besar. Perbedaan jenis kelamin yang tidak adil disaat seperti ini. Tidak menyerah, aku bergerak ke kanan dan BAM! Tangan bebas Uchiha-san memerangkapku lagi. Dekat dari telingaku, hampir menyentuhnya. Marah dan frustasi, akhirnya aku memutuskan untuk bersikap jantan meladeninya. Aku menatap Uchiha-san dengan pandangan tajam.
Uchiha-san sudah menatapku sedari tadi. Dagunya terangkat angkuh, matanya menatapku kebawah. Tatapan matanya selalu dingin dan merendahkan, lebih tajam. Kuakui tatapanku sekarang kalah. Wajahnya tanpa ekpresi tapi bibirnya menyunggingkan seringaian geli.
'Aku tidak takut.' Aku meyakinkan diriku. Aku tahu aku berbohong.
'Meminta pertolongan percuma, sekarang sepi. Alarm HP-ku tidak akan membantu banyak. Aku harus mengatasi ini sendiri.'
'Berpikirlah. Pokoknya aku harus mengelabui pria ini dulu. Aku harus rileks, baik jiwa dan raga.' Aku menutup mataku. Ketika terbuka, tubuhku bergerak sesuai keinginanku. Mulai dari ujung tangan sampai kali, tubuhku melemas dengan santai. Tidak seperti sedang dihadapkan bahaya saat ini tapi bagaikan seseorang yang diterpa angin sepoi-sepoi. Sejuk, merilekskan tubuh dan lembut dikulit. Aku tersenyum santai pada Uchiha-san.
Kena! Uchiha-san melepaskanku kekangannya. Ia pasti berpikir aku menyerah dengan mudah dan akan melakukan apa yang ia inginkan. JANGAN HARAP!
Ini saatnya aku lari darinya, selagi aku terbebas dari kekangannya. Itu pemikiran yang masuk akal dan cemerlang saat ini, pria didepanku sudah melakukan kekerasan padaku hanya karena aku menolak menciumnya.
'Cih, egonya pasti terluka. Para wanita biasanya tidak mungkin menolak permintaannya, apalagi tentang menciumnya. Aku yakin, bukannya menolak mereka pasti mengharapkannya, like dream come true. Sayang sekali, aku bukan wanita murahan yang terpicut hanya karena tampang.'
'Jika dibiarkan lebih lama, ia mungkin berbuat lebih buruk.'
'Tapi, aku penasaran kenapa ia ingin aku cium. Kenapa aku lebih tepatnya. Banyak wanita lebih cantik diluar sana, ia pasti bisa mendapatkan mereka dengan mudah. Sedangkan aku hanyalah kutu buku, tuna wisma, mata empat dan anti-social . Aku sungguh freak. Jadi, kenapa?Uchiha-san… selalu aneh. Aku tidak pernah bisa memprediksi setiap maksud dari kelakuannya. Such enigma.'
'Sudahlah!' Aku menggeleng kepala dipikiranku, mengenyahkan pemikiran-pemikiran membingungkan. Aku harus kabur.
Aku melirik ke kiri, dipojok ruangan terdapat ruang pekerja. Didalam sana ada satu jendela yang cukup besar untuk keluar, tidak terlalu tinggi juga, bisa kujangkau dengan kursi diruangan itu. Diluar jendela ada jalan. Tidak masalah, hanya sedikit berlari melewati beberapa rumah dan sampailah di jalan raya, disana ada Pos Polisi. Aku sudah mengeceknya sendiri. Rencanaku sempurna.
Pikiranku buyar kala daguku terangkat dengan tidak ramah. Digerakan sehingga aku kembali bertatapan mata dengan Uchiha-san. Matanya berkilat marah.
"Jangan pernah berpikir untuk kabur dariku." Peringatnya. "Or else.." ia tidak melanjutkan kalimatnya. Tapi aku tahu ada konsekuensi yang tidak menyenangkan jika aku memberontak.
'Hancur sudah rencana cemerlangku. Aku tidak yakin aku bisa kabur, Uchiha-san sudah dalam Guard mode sekarang. Aku tidak berani mencoba, itu pasti sia-sia.'
Aku membuka mulutku kesal. Ingin rasanya aku meneriaki pria sok memerintah ini. Padahal dia bukan siapa-siapaku selain pelanggan tetap aneh dan tidak sopan. Tapi percuma, aku ingat diri bagaimana kekurangan fisikku. Jadi aku hanya menggigit bagian dalam dibawah bibirku.
Tidak ada pilihan lain, aku menurut.
Menutup mata rapat tanpa menyerah dan ketidak relaan. Uchiha-san mengerti dan melepaskan tangannya dari daguku. Kedua tangannya memerangkapku. Tubuhnya yang lebih tinggi menunduk, wajahnya maju semakin dekat dengan wajahku. Aku terpesona, ia semakin tampan dilihat sedekat ini, dari bahunyapun aku tahu tubuhnya kekar dan terlatih. Postur tubuh dan tingginya sempurna. Benar-benar target incaran para wanita, mungkin pria, lansia dan anak-anak juga bisa juga terpikat olehnya.
'Tapi kenapa aku? Aku tidak peduli dengan semua daya tariknya. Tidak bisakah ia mencari seseorang yang sepadan dengannya? Sialan!'
Aku mendecih kalah. Kumajukan bibirku menemui bibirnya. Kakiku sampai harus mengangkat karena perbedaan tinggi badan.
Bibirku gemetaran. 'Hanya satu ciuman, hanya satu ciuman.'
Aku tidak mau melihat. Aku harap aku buta bukannya bisu.
Kelamaan, Uchiha-san mendorong bibirku tidak sabar. Bibir dan bibir saling bertemu dengan kasar. Tidak ada kelembutan sama sekali, semuanya tentang nafsu, dan semuanya cepat berubah menjadi ciuman mesra juga menuntut. French kiss, deep kiss, entah apa lagi namanya. Ini berlangsung lama. Tangan kanan Uchiha-san menggenggam belakang kepalaku sedangkan tangan lain mengelus leherku yang terbuka dikarenakan aku mengikat bulat rambut sebahuku. Terbuka polos tanpa kalung ataupun choker. Tangannya terasa selembut sutra di leherku, membuatku geli. Bibirnya yang tidak mau lepas menyulitkanku untuk tertawa sehingga aku hanya bisa mendesah.
Hal ini tidak luput dari pengamatan Uchiha-san, ia melepaskan ciumannya dan turun dari dagu ke leher. Bibirku mendesah berkali-kali atas ciuman-ciumannya. Tidak mau rela, tapi dia telah menemukan titik sensitifku, sepertinya.
Aku menggigit bibirku, memerangkap desahanku. Hal itu sangat susah dikala Uchiha-san sangat ahli dengan apa yang dilakukannya. Berpengalaman. Apalagi kala ia membuat beberapa kiss mark disana, menandai teritorinya.
Dengan mata sayu aku melihat Uchiha-san menjauh, ia melihat hasil karyanya dengan ekpresi puas. Lidahnya menjilati sekitar bibir. Benci mengakuinya, tapi ia terlihat seksi dimataku.
Ketika kedua tangannya lepas dariku, aku tidak mensia-siakan kesempatan.
'Kesempatan!'
PLAK!
Bunyi tamparan tanganku mengenai pipinya. Bunyinya keras kala aku menggunakan semua energi kemarahanku ditamparan itu. Aku melototinya marah sebelum melarikan diri.
BRAK!
Pintu ruangan khusus karyawan kututup. Dengan cepat aku mengambil kunci yang tergantung di dinding dan mengunci pintu. Tubuhku lemas, detak jantungku membuatku lelah. Aku merosot dilantai. Nafasku tidak beraturan dan aku mencoba menenangkannya.
'Tenang saja, dia tidak akan bisa masuk. Aku sudah mengunci pintu. Aku aman.'
'Dia tidak akan… mendobrak pintu, kan?' aku terdengar tidak yakin.
'Tapi walaupun ia mendobrak, ia tetap untung. Jam segini lebih sering tanpa pelanggan datang, jalananpun sepi. Aku kembali panik. Tidak ada waktu untuk tenang. Bahaya masih melanda. Aku bangkit dan berjalan mendekati jendela.
Aku menggenggam jendela yang kubuka. Telingaku mencoba berkonsentrasi oleh suara apapun.
Sepi.
Dia tidak mengejarku.
Baru saja hendak menghela nafas lega, kemudian aku mendengar suara langkah kaki. Mendekat dengan santai, berjalan selangkah demi selangkah, seakan mengejekku. Suaranya terdengar jelas kala Toko ini sepi. Bulu kudukku merinding kala aku merasa seperti karakter dalam novel mystery dan horror, was-was akan hantu yang akan membunuhku.
Semakin dekat, semakin dekat.
Langkah kaki menghilang tepat didepan pintu.
"Sakura."
Aku melompat kaget.
"Sakura, aku ingin memperingatimu. You can hide all you want but you can't run away from me."
"Because you're mine now. You belong to me. That kiss prove it all."
'Aku tidak mau dengar! Dia lebih freak daripada aku!' aku menutup kedua telinga.
"You're my amusing toy."
Aku menutup mataku.
'Enyahlah! Enyahlah!'
"Sejak aku bertemu denganmu, kau ditakdirkan menjadi milikku seutuhnya."
"Don't worry, aku bukan type yang suka berbagi. Kau hanya akan menjadi milikku satu-satunya."
'Enyahlah!'
Sepi.
'Dia sudah pergi?'
"Aku akan datang lagi, Sakura."
Ternyata belum.
Suara kekehan kecih terdengar. Maknanya misterius tapi bernada kepuasan. "Saat itu, cincin di jari manismu tidak hanya sekedar perhiasan semata."
Aku melirik tanganku. Benar, disana terletak cincin berlian putih dengan desain daun-daun mengelilingi cincin, sewarna emerald dan satu batu sapphire berbentuk bunga sakura. Kaget aku, sejak kapan cincin ini ada dijariku?
"Hide all you want. I''ll find you in the end."
"Then, I will cage you. Never let you go."
Kata-katanya membuatku gemetar ketakutan.
"So, until next time. Enjoy your freedom, my little bird."
Suara langkah kaki kembali terdengar. Suaranya pelan tapi memecahkan keheningan. Suaranya semakin menjauh sampai akhirnya tidak terdengar lagi.
Seharusnya aku lega. Lebih baik aku mengistirahatkan otot-ototku dari semua ketegangan tadi. Tapi aku tidak bisa. Aku terlalu takut untuk membalikan fakta bahwa kata-kata Uchiha-san adalah bohong. Aku mulai merasa bahwa dia bukanlah freak tapi Psycho. Saat aku-dia menciumku tadi, aku terpaku oleh sesuatu yang sedikit tersembunyi di jas birunya, disaku celana panjangnya. Hal yang membuatku ketakutan. Benda berwarna hitam bercorak kemerah-merahan. Pembangkit hoplophobiaku. Dan parahnya, pistol itu ternoda oleh beberapa cipratan darah yang terlihat masih segar.
Wajahku pucat membayangkannya. 'Siapa yang ia bunuh?'
Ingatan beberapa menit lalu membayangiku tanpa mau menghilang. Kata-kata Uchiha-san adalah mimpi buruk terburuk sepanjang hidupku. Bukan! Bukan mimpi melainkan kenyataan terburuk.
Aku memegang kepalaku arat. Air mata menggenangi kedua pipiku.
"You're mine. You belong to me
'Aku takut.'
"Sejak aku bertemu dengamu, kau ditakdirkan menjadi milikku seutuhnya."
Aku takut!'
Terdengar suara bel lagi, aku melompat kaget. Dengan was-was aku mengintip dari balik pintu ruangan khusus karyawan. Berharap bukan Uchiha-san lagi. Syukurlah, harapanku terkabul. Mencoba berani, menarik dan membuang nafas. Melepaskan keteganganku. Berharap pekerjaan melupakan rasa takutku. Melayani beberapa pelanggan lumayan membuatku lebih tenang. Aku bahagia saat salah satu pelangganku puas atas pelayananku.
"Thank you, Sakura-san. Buku-buku disini bagus-bagus dan bermutu. Aku akan datang lagi." Seorang pelanggan yang puas tersenyum dan melambaikan tangan pamit. Kemudian ia pergi.
Aku tersenyum dengan lambaian tangan yang masih kuangkat. Sebenarnya, aku membeku kaku oleh kata-kata pelanggan itu. Sama dengan kata-kata Sasuke-san.
"Aku akan datang lagi, Sakura."
'Tidak! Aku tidak mau ingat! Pergilah!'
Aku menepuk wajahku. Pipiku terasa sedikit sakit kala cincin ditanganku menggores. Aku melirik cincinya.
"Ugh….!" aku mengerang kecil. 'Tidak bisa lepas. Ukurannya sengaja dipesan lebih kecil dari jari tanganku, pasti. Ia tahu aku akan melepaskannya.' Tapi ukuran ini, kecil sekali dan mustahil lepas. 'Sakittt..!' tapi aku terus berusaha.
Sayangnya, hasilnya sia-sia.
Aku menutup mata.
"Hide all you want. I''ll find you in the end."
"I will cage you. Nevel let you go."
'Brengsek! Brengsek! Brengsek!'
"So, until next time. Enjoy your freedom, my little bird."
'TERKUTUK KAU, SASUKE UCHIHA!'
-END FLASH BACK-
Aku membuka mata lebar-lebar. Penglihatanku disambut oleh langit-langit berpaduan pink pucat dan biru gelap. Tidak sempat mengecek hal lain, perhatianku tepusat pada tulisan dalam bentuk kaligrafi yang elegan disana.
'Saku..ra and Sasuk..e..' aku mengejanya. 'Love Forever and Ever?'
'Kata-kata yang sering keluar di dongeng-dongeng, Happy Ending. Satu-satunya harapanku yang telah lama terpendam oleh realita.'
"Sedang mengagumi karya diri sendiri?."
Aku melirik keatas suara datang dan menemukan pria berambut hitam berpakaian formal, seragam kantoran. Ia masuk dengan membawa nampan lebar, diatasnya ada dua buah mangkuk, besar dan kecil kemudian segelas minumah berwarna orange. Aku bangkit duduk kala ia meletakan bawaannya di meja kecil dekat ranjang yang kutempati.
Pria disebelahku duduk ditepi ranjang. "Good morning. Kau baik-baik saja sekarang?"
Aku memandangnya bingung. 'Siapa dia?'
Pria itu diam, menunggu jawabanku.
'Aku mengenalnya.'
Aku tidak menjawab dan fokus memeperhatikannya. Mengorek-orek ingatan yang terlupakan.
Kemudian sebuah ingatan menghampiriku bagaikan bola disepak dan menabrak otakku sebagai gawangnya. Aku tersenyum.
Bagaimana aku bisa lupa?
Aku bergerak ke kanan dan kiri, mencari alat komunikasiku. Pria didepanku langsung menyodorkan HP android miliknya. Aku menerimanya dan mencari aplikasi sejenis type and speak. "Husband. I'm fine." Ketikku, aku menekan gambar speaker dan sebuah suara terdengar.
Dia tersenyum kecil. "Syukurlah, my little bird. Aku benar-benar khawatir.
'Khawatir? Aku kenapa?'
Aku ingin mengetik balasan, meyakinkan bahwa kau baik-baik saja. Tapi tiba-tiba aku merasakan kesakitan di tangan kananku. Aku mengaduh pelan.
"Ada apa? Mana yang sakit?" suamiku menghambur padaku dengan panik.
Aku mengangkat lengan pendek pada dress tidurku. Mengelus lembut bagian disekitar bahu. "Disini terasa sakit, memar sekali. Seperti terbentur sesuatu, kenapa ya?' bingung, aku menatap suamiku. Siapa tahu ia mengetahui penyebabnya. 'Apa kau tahu sesuatu, husband?"
Suamiku hanya menatapku dengan banyak arti. Matanya fokus padaku tapi terlihat tidak menatap apa-apa, melamun. Tersirat ketidak percayaan, bingung, perdebatan batin dan curiga.
Aku tetap bisa mengetik walau dengan tangan satu. "Honey? Ada apa? Kenapa bahuku terluka?"
Aku menyimpan HP dipangkuanku dan mengguncangkan bahu suamiku untuk mengembalikan dia dari Lalaland alias lamunan.
Berhasil, suamiku tersentak kecil dan kembali ke kenyataan."Sakura, darling. Apa kau benar-benar tidak tahu kenapa bahumu terluka?"
Aku menggeleng.
"Benarkah? Coba ingat-ingat lagi kejadian kemarin malam."
Aku memiringkan kepalaku. Ada apa dengan kemarin malam?
"Coba saja ingat kembali, Sakura."
Aku menatap suamiku bing. Kemudian mengangguk. Tidak ada salahnya mencoba.
Aku menunduk dan berkonsetrasi untuk membuka beberapa ingatan yang ingin kuingat kembali.
Aku menggunakan HP-ku lagi. "Kemarin malam… hm.. Kita makan malam dengan pasta, kan?"
"Ya, kau benar. Lanjutkan."
"Hm… apakah kita tidur seterusnya? Aku tidak ingat lagi. Semuanya gelap."
"Hanya itukah? Bisa kau ingat lagi? Berusahalah, Sakura sayang."
"Hm… hm… aku tidak ingat, tapi aku mengingat sedikit bahwa aku bermimpi tadi."
"Mimpi?" aku mengangguk. "Mimpi tentang apa?"
"Tentangku dan kau, Sasuke honey! Aku kita berada di tempat kerjaku dulu dan mengobrol. Kemudian kau menciumku dan memberiku cincin pertunangan ini." Aku menunjuk cincin dijariku, cincin itu sekarang telah menjadi cincin pernikahan.
"Ahh.. kejadian itu." Sasuke tersenyum lembut mengingatnya.
"Ya, tapi kau melakukannya dengan cara kasar. Dasar tidak getlemen!"
"Sorry sorry."
"Sudahlah, cuaca pagi ini terlalu bagus untuk merubah moodku menjadi bad."
"Kau selau bersemangat dan ceria dipagi hari. Aku sempat mengira kau mempunyai Dissociative Identity Disorder. Kemana istriku yang biasanya cuek, tanpa ekpresi dan pendiam itu pergi?"
"Hmp, jangan menyalahkanku. Salahkan matahari yang terlalu banyak memberiku vitamin D. Lagipula aku tidak Dissociative Identity Disorder, hanya Bipolar Disorder. Mungkin." candaku.
"Oh, that's so. Jadi, kembali ke topik semula. Ingat hal lain malam kemarin?"
"Maaf, tidak sama sekali."
"Begitu?"
"Hanya saja…"
"'Hanya saja'?"
Aku menutup mulutku dan wajahku berubah pucat.
"Entah kenapa aku merasa mual mengingatnya."
Sasuke menatapku menyelidik.
"Begitu.." ia berdiri dan mengecup keningku lembut. "Sudahlah, tidak usah di ingat lagi jika itu tidak baik untuk kesehatanmu."
"Makanlah sarapanmu dulu. Aku harus berangkat kerja seperti biasa. See you tonight, Sakura sayang." Kemudian kecupannya berpindah ke bibirku. Kecupan mesra nan lembut. Lalu ia berjalan pergi dan menutup pintu.
Menghitung sampai lima belas detik didalam hati kemudian aku mengendap-endah menuju pintu. Aku memasang telinga.
"..tidak ingat. Short memory loss sepertinya."
"Sungguh, boss?"
"Aku tidak curiga, kau tahu bagaimana istriku. Dia selalu rapuh baik fisik dan mental. Amnesia, Peterpan Syndrome, bisu dan Hoplophobia. Aku tidak ragu bahwa ia bisa mengalami Short memory loss."
"Aku penasaran bagaimana masa lalu Mistress sehingga mempunyai banyak kelainan."
"Seandainya aku juga tahu. Tapi, misteri selalu menjadi kesukaanku jadi aku tidak keberatan dengan beberapa teka-teki. Istriku benar-benar… menarik."
"…my amusing toy"
Aku menatap datar pada lantai.
"Sudahlah, bagaimana pria malam itu. Kalian berdua berhasil mengorek informasi?"
"Tentu saja, pria itu langsung membuka mulut ketika jari-jari tangannya lepas semua."
Kutekan tanganku dimulut. Menghapus suara gasp.
"Sayang sekali boss tidak bergabung dengan kami lagi setelah membawa Mistress ke kamar kalian berdua. Kau melewatkan kesenangan dimalam itu, boss."
Suamiku terkekeh geli. Suaranya merdu tapi makna dalam kekehannya membuatku merinding.
"Ya, sayang sekali."
'Sudah cukup!'
Aku kembali mengendap-endap ke ranjang. Telentang disana dan menutupi seluruh tubuhku dengan selimut. Perutku berbunyi kelaparan tapi aku tidak bernafsu untuk mengisi apapun kesana. Aku terlalu jijik pada suamiku sendiri. Tentang malam kemarin (yang pura-pura kulupakan) dan permbicaran tadi.
Aku menggigit bibirku keras.
'How the hell-'
'I married that Monster?!'
BERSAMBUNG
