Note: Fanfiksi ini ditulis untuk event Miragen+ Big Bang 2016. Untuk info lebih lanjut mengenai event ini, silakan kunjungi website miragenplus . nherizu . com. Terima kasih kepada Neoratu, beta reader-ku yang galak, yang mencegahku untuk mengubah isi di hari terakhir karena galau. Juga kepada semua yang telah menemaniku di kala pusing, terutama di hari terakhir. Terima kasih pula atas masukan-masukan berharga kalian yang belum semuanya bisa kurealisasikan karena keterbatasan waktu. Segala cacat yang tersisa di fic ini murni kelalaian penulis.

Dan, terakhir ... terima kasih kepada Arise Haruna, artist fic ini yang membuatku senang sekaligus humbled. Terlalu baguuuuus. Asdfjklf. Untuk melihat ilustrasi fanfiksi ini, mohon kunjungi arsip AO3 finitefarfalla. :)

Semoga fanfiksi ini bisa menyenangkan pembaca. Selamat membaca!

Disclaimer: Kuroko no Basuke adalah milik Tadatoshi Fujimaki. Fanfiksi ini ditulis hanya untuk kesenangan; kami tidak bermaksud melanggar hak cipta maupun mengambil keuntungan materi.

.

.

Era Baru Golden State Warriors

Akankah duo dari Jepang menyelamatkan Golden State Warriors

oleh Steven Wrights, eksklusif untuk ESPN

Saya yakin pembaca yang menyaksikan acara draft tahun lalu masih ingat kesunyian yang jatuh ketika David Love, direktur Golden State Warriors menyebut nama pemain pertama yang direkrut di ronde 20xx. Namun, itu tidak bertahan lama, hingar bingar kembali berjalan walau tidak dipungkiri bisikan-bisikan yang tersembunyi di balik tangan mengikuti Daiki Aomine seraya pemuda itu naik ke atas panggung.

Perekrutan pemain Asia ke dalam liga NBA bukan hal baru. Namun, menjawab pertanyaan pembaca yang belum terlalu familier dengan kisah ini: ya, dua tahun berturut-turut tim yang bermarkas di Bay Area ini merekrut pemain berdarah Asia.

Dua tahun lalu, Golden State Warriors merekrut Taiga Kagami dalam posisi pemilih ketiga. Bila Anda, seperti saya, adalah pengikut setia pertandingan liga NCAA, maka nama pemain ini pastinya tidak asing di telinga. Bertinggi badan 6'4" ketika berdiri tegap, Taiga Kagami mengisi posisi Small Forward. Kagami mengantar Connecticut ke podium juara di tahun senior-nya dan menjadi All Conference Player di wilayahnya selama dua tahun berturut-turut.

Ketika David Love merekrut Kagami, pilihan itu dirasa logis. Walau menghabiskan sebagian masa remajanya di Jepang, Kagami sedari kecil dibesarkan di tanjung barat Amerika. Dan, di usia kuliahnya, Kagami memiliki karir luar biasa sebagai pemain basket. Masa depan pemuda ini sudah ditentukan ketika dia mencetak skor terakhir yang membawa pulang piala NCAA ke Connecticut. Tidak diragukan lagi, dia akan berkarir di NBA.

Golden State Warriors adalah franchise favorit dari West Conference untuk memenangkan NBA semenjak kemenangannya selama tiga kali berturut-turut sepuluh tahun lalu. Namun, semua tidak seindah yang diharapkan David Love. Golden State Warriors mengukir kekalahan yang paling parah selama dua puluh tahun terakhir di tahun Taiga menjadi rookie. Mimpi Golden State Warriors untuk memenangkan NBA pupus ketika tim ini gagal masuk ke babak playoffs. Taiga Kagami yang dielu-elukan sebagai telur emas tidak dapat memenuhi harapan tim ini dan dia dimundurkan menjadi pemain starting off the bench dari posisi sebelumnya sebagai starter menggantikan Tony Marker yang dibarter ke San Antonio Spurs. Waktu bermain Kagami menjadi sedikit dan hype fans pemain ini pun tenggelam.

Melompat waktu ke tahun lalu, tentu kita semua mengerti kenapa David Love menggegerkan Amerika ketika sekali lagi, dia merekrut pemain berdarah Jepang. Kritik pedas pun tidak jauh tertinggal. Apalagi, berbeda dengan Taiga Kagami, tidak ada yang tahu siapa Daiki Aomine. Berbagai pendapat gila bermunculan. Banyak yang curiga langkah ini adalah langkah marketing. Kita semua tahu masuknya Taiga Kagami meningkatkan penjualan jersey tim karena banyaknya fans dari Asia, terutama Jepang yang menjadi pasar baru Golden State Warriors. Apakah keputusan merekrut Daiki Aomine dikarenakan jumlah dollar yang masuk ke kas Golden State Warriors?

Ketika ditemui di kantornya tahun lalu, David Love menyangkal pernyataan media mengenai hal ini. "Daiki adalah pemain berprestasi di negaranya. Kami sudah beberapa waktu mengincar Daiki. Saya langsung menelpon Anderson (red: Anderson D'arcy adalah coach Golden State Warriors) ketika agen Daiki mengungkapkan keinginannya untuk mengikuti draft NBA. Pemain hebat adalah pemain hebat, tak peduli mereka lahir di mana. Bila kebetulan perekrutan Daiki menambah revenue dari penjualan tentu saja kami tidak akan protes," imbuhnya sambil tertawa.

Kritik-kritik tidak lantas mereda. Di berbagai belahan internet, meme mulai lahir. Berbagai komentar-komentar bersifat rasisme pun menjadi sorotan media. Mengutip komentar Shaq O'Neil yang dilayangkan lewat Twitter di tengah panasnya situasi ini tahun lalu:

"You can't expect people to respect you until you rip them off to shred."

(Kau tak bisa berharap untuk dihargai sampai kau mengalahkan mereka).

Siapa sangka. Begitulah yang dilakukan Daiki Aomine. Setelah tergopoh-gopoh di game pertama dan kedua season rookie -nya, Aomine mengukir personal best pertamanya melawan New Orleans Pelicans di 32 poin, 3 assist, dan 5 rebound. Golden State Warriors memenangkan tiga game setelahnya berturut-turut. Prestasi ini membuka season baru untuk Golden State Warriors.

Di bulan Maret lalu, voting menuai nama Aomine di urutan kedelapan untuk pemain yang diharapkan akan bermain di NBA All-Star. Walau masih terpaut tiga posisi dan tidak memungkinkannya untuk bermain di liga All-Star, tentu saja ini mengindikasikan Daiki Aomine adalah pemain solid dengan fanbase yang setia. Dan, dengan masuknya Golden State Warriors sampai ke playoffs ronde kedua tahun ini, Daiki Aomine menunjukkan dia tidak datang ke Amerika untuk menjual jersey.

Harapan pun kembali membumbung. Akankah Golden State Warriors menjadi tim yang disegani kembali? Akankah MVP kembali lahir dari Golden State Warriors? Pertanyaan ini mungkin bisa terjawab di tahun-tahun selanjutnya. Yang pasti, dengan penambahan Daiki Aomine ke dalam tim, dan juga dengan keberadaan Taiga Kagami—yang tahun ini lagi-lagi tak mendapat banyak playtime, tapi sempat meriuhkan Oracle Arena sewatu melawan LA Lakers dengan personal best 24 poin, 5 assist, dan 3 rebounds—Golden State Warriors benar-benar telah memasuki era baru. (Steven Wrights)

.

.

Taiga mengapung di atas air. Papan selancar yang dibiarkannya begitu saja terkatung-katung tidak seberapa jauh. Tiap kali ombak melewati mereka, Taiga ditarik oleh tali yang menghubungkan gelang karet di pergelangan kakinya dan ujung papan selancar. Tarikan-tarikan kecil berinterval itulah satu-satunya yang mencegah Taiga menutup mata dan tertidur.

Sudah sekitar sepuluh menit dia tidak bergerak dari posisinya. Saat ini, badannya rileks. Penat dan riuh kehidupan yang membebaninya selama beberapa bulan terakhir terasa jauh.

Ketika dia sampai di pesisir Fort Point satu jam lalu, langit masih gelap. San Fransisco masih tertidur. Namun, kini rona fajar mulai menodai ufuk barat. Langit seperti terbelah dua, di satu sisi bintang-bintang masih terlihat dan di sisi lain, lembayung berbaur dengan biru indigo. Jembatan Golden Gate melintang panjang seperti sapuan hitam kuas pelukis.

Taiga diam di sana sampai matahari meninggi. Sampai langit berwarna biru sempurna dan dingin laut pasifik menembus lapisan wet suit yang dipakainya, membuat giginya bergemeretak dan ujung-ujung jarinya berkerut.

.

"Hei, Taiga! Kondisimu prima hari ini," Josh Winn menyapa Taiga selagi dia menaikkan papan selancar ke bak muatan mobil pick-up-nya.

Taiga menyunggingkan senyum penuh ironi. Dia hanya menghabiskan seperempat dari paginya untuk berselancar dan sisanya mengapung seperti kayu tua. "Bagian mana yang kau lihat?" balasnya.

Josh tertawa. "Man, kukira kau mayat yang dibuang ke laut. Untung saja papan selancarmu berwarna kuning dan gampang dikenali. Kita sudah hampir menelpon polisi kalau tidak kubilang itu kau."

Taiga menutup pintu bak mobilnya dan berbalik. Josh berdiri beberapa meter darinya di area parkir yang lumayan ramai. Tak seperti Taiga yang masih mengenakan wet suit basah, Josh telah berganti baju. Tubuhnya terbalut kaus kuning bersablon logo Golden State Warriors dan celana pendek bermotif kembang sepatu. Taiga menahan diri untuk tidak mengernyit melihat logo timnya. Alih-alih, dia menjulurkan tinjunya untuk mengundang fist bump yang disambut Josh.

"Thanks. Kau menyelamatkanku dari polisi yang kesal karena laporan palsu," selorohnya.

"Anytime, man," kata Josh. "Omong-omong," dia menunjuk sebuah Ford Edge yang diparkir beberapa baris dari pick-up Taiga, "Kia dan Marinette mengajakku sarapan bersama. Kurasa mereka tak akan keberatan kalau aku mengundangmu."

Dua orang wanita berdiri di depan Ford Edge itu. Mereka sedang serius mengobrol dan tidak melihat Taiga. Salah satu dari mereka mengenakan bikini bermotif floral. Terpampang karena wet suit -nya terbuka sampai area pinggang. Kulitnya berwarna cokelat susu dan mengilat ketika diterpa matahari. Beberapa mata laki-laki di sekitarnya mengikuti gerak-gerik wanita itu, tapi dia tampak tak peduli.

Josh menaruh tangan di bahu Taiga, matanya mengikuti objek observasi Taiga. "Itu Marinette. Lumayan, kan?"

"Um." Taiga menggaruk dagunya.

"Ayolah, man. Jarang-jarang kita bisa kenalan dengan wanita hot yang bisa selancar," kata Josh. "Lagipula, kalau dia tahu kau pemain NBA profesional untuk franchise di daerah kita," Josh bersiul, "man, kau bakalan langsung gol."

Taiga tidak bisa tidak mengernyit kali ini. "Um. Thank you, Josh. Tapi, aku ada urusan setelah ini."

Josh memijit bahu Taiga sekuat tenaga. Taiga meringis.

"Taiga, akhir-akhir ini kau selalu memakai alasan yang sama. Kau sudah lupa dengan temanmu yang satu ini?" kata Josh dengan nada sedikit kesal.

Taiga melepaskan diri dari cengkeraman Josh dan memutar badan untuk berhadapan dengan temannya. "Josh, kau tahu kan akhir-akhir ini aku sibuk dengan tim."

Josh mendesah. "Oke, man. Oke. Kudengar tempatnya Harrison sudah selesai direnovasi. Lain kali saja kita pergi minum ke sana? Ajak juga temanmu yang tidak bisa Bahasa Inggris itu."

Taiga tersenyum. "Boleh."

"Oke. Aku harus pergi," kata Josh. Dia mundur selangkah, lalu, "SMS aku kapan kau bisa, oke?"

"Oke," kata Taiga.

Josh mengedikkan kepalanya dan berjalan ke arah Kia dan Marinette, meninggalkan Taiga untuk meneruskan aktivitasnya. Taiga bergerak ke sisi bangku pengemudi dan membuka pintu untuk mengambil baju ganti yang sudah dia siapkan. Di tempat parkir ini, berganti baju di depan umum sudah hal biasa karena tidak ada kamar ganti yang cukup dekat. Taiga tak mengacuhkan tetangganya dan berganti baju dengan cepat, kemudian melipat wet suit-nya dan memasukkan benda itu ke dalam tas olahraga yang dia bawa.

.

Bay Bridge masih kosong di kedua sisi ketika Taiga melintas. Mobilnya melaju tanpa hambatan dan udara pagi menyapu helai rambutnya yang masih basah. Dia suka menyetir dengan menurunkan kaca jendela di kala tidak banyak mobil di jalan. Bau asin laut menggelitik hidung Taiga dan dari kejauhan, perlahan-lahan mulai terlihat raksasa-raksasa crane pelabuhan Oakland yang kini identik dengan perasaan pulang ke rumah setiap kali Taiga melihat mereka.

Di kursi penumpang, telepon genggamnya berbunyi dengan nada yang menandakan pesan singkat. Alih-alih mengacuhkannya, Taiga merogoh tombol radio. Seketika, suara Noel Gallagher bercampur dengan gemuruh angin.

.

Rumah Taiga berada di kawasan sub-urban Alameda. Sebuah rumah satu lantai tipikal pengembang Amerika yang tidak berpagar, bercat pastel dan dengan trotoar ditanami pohon lindung tinggi. Setiap beberapa menit terdengar suara pesawat melintas di atas.

Taiga berbelok ke driveway rumahnya dan memarkir pick-up-nya di samping sebuah Ford Taurus berwarna perak. Untuk kegiatan sehari-hari, Taiga lebih banyak memakai Ford Taurus itu, tapi setiap pergi berselancar dia memang lebih memilih pick-up tuanya untuk mengangkut papan selancar. Kemewahan ini tak akan bisa dia dapatkan sewaktu pertama kali belajar selancar pada umur belasan. Namun, kini dengan gaji dari Golden State Warriors, Taiga bisa membeli puluhan mobil serupa.

Dia turun dari mobil sambil menggotong tas olahraga selempangnya. Ketika Taiga membuka pintu depan, bau kopi kontan menguar dari dalam rumah. Taiga mengetatkan jari-jarinya di pegangan pintu.

Lagi-lagi?

Taiga yakin dia tidak menyalakan mesin kopinya sebelum pergi subuh tadi. Artinya, hanya satu orang yang bisa melakukan ini.

Taiga menaruh kunci rumahnya ke dalam sebuah mangkuk yang ditaruh di atas rak sepatu, lalu melangkah masuk. Tanpa sedikit pun keraguan, dia melewati ruang keluarga dan menuju ke dapurnya.

Benar saja.

Dapur Taiga dirancang berbentuk open plan. Ruang makan, pantry dan tempat memasak semuanya menjadi satu. Dan, di tengah ruang ini, Aomine Daiki duduk dengan santai di meja makan. Laptop Taiga dan mangkuk berisi Cheerios ditaruh di depannya. Di balik sosok Aomine, barisan pintu lipat kaca terbuka lebar—membingkai pemandangan ke arah laut San Leandro Bay. Tak perlu ditanya lagi Aomine masuk dari mana.

"Oi, Kagami. Ke mana saja kau?" ujar Aomine. Dia menggoyang-goyangkan sendoknya di udara sambil berbicara. Taiga meringis melihat setetes susu jatuh ke lantai kayu yang baru dibersihkannya semalam.

"Berselancar," jawab Taiga seraya mengangkat kedua alisnya. Dia melipat tangan dan menyenderkan bahunya ke kusen pintu dapur. "Pertanyaan yang lebih penting. Kau sedang apa di sini?"

"Makan. Menurutmu?"

"Seingatku Cheerios yang di lemari sudah lempem."

Aomine menaruh sendoknya ke dalam mangkuk. Hidungnya mengerut. "Ya. Cheerios sial. Kau perlu belanja."

Taiga menggeleng. "Suatu hari nanti aku akan pasang alarm maling. Kau perlu belajar menunggu di depan rumah sewaktu aku tak ada."

"Kalau kau menjawab telponmu aku tidak akan kerajinan berjalan kaki ke sini. Kita hari ini ada latihan, kan."

Taiga tidak membalasnya, alih-alih dia memberi Aomine tatapan tajam. Alasan itu tidak berlaku lagi semenjak Aomine melakukan hal yang sama—masuk ke rumah Taiga dengan cara ilegal—setidaknya tiga kali seminggu. Aomine seharusnya tahu itu. Taiga tergoda untuk benar-benar memasang alarm maling, bukannya hanya bicara saja agar Aomine mengerti dia serius.

Aomine mengulas sebuah seringai. Sama sekali tak acuh dengan raut masam Taiga, dia malah berkata, "Kau benar-benar tidak punya stok makanan?"

Taiga menghela napas. Menghadapi Aomine harus panjang sabar. "Di rak paling bawah di dalam kulkas, masih ada sisa beef bourguignon yang kita makan semalam. Panaskan saja di microwave." Taiga meluruskan postur badannya dan membenarkan tas selempangnya. "Aku mau mandi. Jangan habiskan kopinya."

Taiga berbalik badan dan tak mengacuhkan jawaban Aomine. Anak itu pastinya bisa mengoperasikan microwave, kan, pikir Taiga kesal. Dia mampir ke ruang laundry untuk mengosongkan isi tasnya dan menaruh tas itu di atas rak yang berisi macam-macam perlengkapan rumah tangga, kemudian beranjak ke kamar tidurnya untuk langsung masuk ke kamar mandi dan menyalakan shower.

.

Selepas Taiga mandi, dia menemukan Aomine masih berada di dapur. Taiga memerhatikan punggung Aomine yang membungkuk seraya berkonsentrasi di depan laptop Taiga, mengetik entah apa dengan dua jari telunjuk. Sewaktu Taiga melewatinya, Aomine sama sekali tak mengangkat wajahnya untuk melihat Taiga.

Taiga merogoh mug bersih dari laci di bawah konter dapur dan menuangkan kopi dari mesin espresso yang terletak di ujung konter. Perutnya meminta diisi, tapi, seperti yang dikatakan Aomine, Taiga memang harus belanja. Kulkasnya sudah kosong. Biasanya Taiga tak pernah kekurangan makanan, tapi dia belum sempat berbelanja sedari minggu lalu. Aomine menghabiskan makanan terakhir di rumah ini ... dan, prospek Cheerios yang sudah kadaluarsa tak menarik sama sekali.

Dia melangkah ke meja makan dan duduk di seberang Aomine. Lalu, Taiga mengangkat mug kopinya ke mulut. Rasa pahit dan wangi yang kuat kontan membuat Taiga lebih segar. Denting pelan terdengar ketika dia menurunkan mug itu kembali.

Aomine masih fokus dengan laptop Taiga. Rasa penasaran menyusupi dirinya.

"Hei, kau sedang apa?" tanya Taiga.

"Mencari jalan," kata Aomine.

Taiga menaut kedua alisnya. "Ke?"

Aomine menyodorkan telapak tangannya ke Taiga. "Sebentar." Dia menggeser mouse dan menekannya beberapa kali. "Oke. Lihat ini."

Aomine memutar laptop agar layarnya menghadap Taiga.

Halaman Google Maps terbuka di tengah Tanjung Barat. Aomine sudah menjatuhkan pin di beberapa titik dan satu garis biru tebal menghubungkan titik-titik itu. Oakland, Santa Cruz, Los Angeles, Las Vegas, Grand Canyon.

Taiga mengerling Aomine. "Untuk apa ini?"

"Kau baca pesan broadcast dari Christesson kemarin malam?"

Taiga menggeleng. Dia belum sempat mengintip ponsel semenjak semalam.

"Dia mengajak tim ke acara barbeque di rumahnya malam ini. Christesson tinggal di Santa Cruz, sekitar satu jam dari sini."

Taiga tahu Christesson tinggal di mana, tapi hal itu tidak menjelaskan siratan Aomine.

"Lalu?" dorong Taiga.

"Baptista cerita soal ke Grand Canyon waktu latihan beberapa hari lalu. Kapan terakhir mobil kalengmu ganti oli?"

Sontak, Taiga paham.

"Tidak," katanya.

Senyum lebar membumbung di wajah Aomine. "Yep. Kita kosong sekitar dua minggu menjelang pre-season game, kan."

"Aomine, kalau kau ingin road trip dengan tim, pergilah. Aku tidak ikut. Aku masih harus berlatih dengan shooting coach-ku."

"Kata siapa kita pergi dengan tim?"

Taiga mengerutkan dahi. "Kita berdua?"

"Ya. Dengan mobilmu."

"Tidak," ulang Taiga.

Aomine menjilat bibir. Kilat tajam muncul di matanya. "One-on-one?"

Taiga mendesah.

.

Pertama kali Taiga bertemu dengan Aomine Daiki, dia mendapat impresi Aomine adalah pemain basket paling arogan dan brengsek yang pernah dia kenal. Namun, tak bisa dipungkiri Aomine memang punya kemampuan untuk mengimbangi sifat jeleknya itu. Hal yang terakhir ini membuat Taiga dan tak pelak, orang-orang di sekitar Aomine merasa terkadang hidup itu tak adil.

Delapan tahun kemudian, di belahan dunia lain, Aomine masih sering membuat darah Taiga mendidih. Namun, sama seperti saat mereka masih duduk di bangku SMA, Taiga mau tak mau mengagumi Aomine. Bahkan sekarang-sekarang ini, bila Taiga berkata jujur, ada kalanya Taiga merasa dia tak bisa menyentuh Aomine.

Laki-laki brengsek itu terlalu cepat. Terlalu fleksibel. Terlalu populer. Terlalu ...

"Oi, kau sedang melamuni apa?"

Taiga menyapu keringat dari matanya dengan telapak tangan. Napasnya memburu. "K-kau memang kurang ajar."

Dimaki oleh Taiga, Aomine tidak tersulut. Alih-alih, dia menyeringai, mengangkat bola basket di tangannya setinggi bahu. "Sesuai janji tadi pagi, Bakagami. Besok kita berangkat."

Taiga tak merespons. Dia menundukkan kepala dan melipat badannya dengan kedua tangan menumpu di lutut. Tentu saja, begitu Aomine mengeluarkan kartu one-on-one, Taiga sudah bisa melihat kekalahannya terjadi. Seharusnya dia tahu itu.

"Ladies." Seseorang menyentuh bahu Taiga. Taiga melirik ke sampingnya. Frank Lovell, raksasa setinggi dua meter sepuluh senti sedang sumringah melihat mereka.

"Maaf, aku harus menyelak kalian," ujar Lovell. "Daiki kau dipanggil coach ke ruang direksi bersamanya."

Kerutan muncul di antara kedua alis Aomine. "Ha? Untuk apa?"

Sedari tadi, Taiga dan Aomine berbicara dalam Bahasa Jepang, tapi dengan kemunculan Lovell, Aomine berganti ke Bahasa Inggrisnya yang terbatas. Taiga masih ingat masa-masa di mana Aomine selalu membutuhkan Taiga ke mana pun dia pergi, dengan alasan dia butuh Taiga agar bisa berkomunikasi. Sekarang-sekarang ini, Aomine sudah bisa berkomunikasi sendiri.

"Mana kutahu. Kau cari tahu saja sendiri," kata Lovell.

Aomine mengacak rambutnya dengan ekspresi jengkel, dan dalam Bahasa Jepang dia berkata, "Argh, bapak-bapak itu pasti ingin membuat acara promosi ini atau itu lagi." Dia menyodorkan bola basketnya ke Taiga. "Nih, kalau aku lama di dalam sana tunggu aku."

Taiga meluruskan badan dan mengambil bola basket dari Aomine. 'Tunggu aku' tentu saja maksudnya dia ingin menumpang Taiga ke tempat Christesson. Sesungguhnya tak diminta pun Taiga pasti akan menunggu Aomine. Selama setahun terakhir ini, sejak dia bergabung dengan tim Taiga, Aomine terus-terusan menjadi parasit Taiga. Kalau bukan karena dia simpati dengan Aomine yang datang ke Amerika sendiri tanpa koneksi, teman, atau apa pun, sudah sejak lama dia menendang Aomine. Namun, alasan itu berlaku setahun yang lalu. Sekarang, Aomine sudah menyesuaikan diri dan dia bahkan sudah bisa bahasa negara ini.

Taiga menggigit bibir seraya mengamati punggung Aomine menghilang di balik pintu ruang latihan.

"Anak itu kelihatan sedang bagus kondisinya," kata Lovell, menginterupsi pikiran Taiga.

Taiga menoleh. "Ya. Entah karena aku yang semakin payah atau memang dia semakin cepat. Mengejar Aomine di lapangan makin susah. Dia seperti kelinci energizer," kata Taiga setengah bercanda.

Alis Lovell meninggi. Tangan besarnya mendarat di bahu Taiga. "Kau masih memikirkan artikel gila itu?"

Taiga menatap mata biru Lovell. Dia hampir mengatakan, 'Artikel gila yang mana maksudmu?'. Ada lebih dari satu artikel yang ditulis media mengenai Taiga. Alih-alih, Taiga menjawab, "Tidak, Frank, yang ditulis mereka fakta, kan."

Ujung bibir Lovell berkedut. "Hei, Taiga. Coach D'Arcy mempertahankanmu tentu saja ada alasannya, kan. Persetan dengan artikel-artikel itu. Dulu kita punya Steph Curry, sekarang kita punya Daiki Aomine. Hanya karena kalian sama-sama orang Jepang yang bermain di NBA dan tergabung di franchise yang sama, tidak lantas mereka bisa membanding-bandingkan kalian."

Taiga mengedik bahu, merasa agak tidak nyaman dengan topik ini walau dia sendiri yang membawa mereka ke pembicaraan ini. "Um. Ya, aku tahu. Thanks, man," katanya.

Lovell menepuk kepala Taiga. Frank Lovell sudah menjadi pemain professional selama dua belas season . Dalam portofolio karirnya dia sempat dua kali menjadi free agent , masuk D-league di rookie season, dan tiga kali cidera, di mana satu di antaranya mengharuskan Lovell untuk berhenti dari basket secara total selama masa penyembuhan. Walau dia bukan pemain terbaik, sosoknya seperti mentor untuk para anggota tim, termasuk Taiga.

"Christesson sudah pulang dari tadi," kata Lovell. "Kita juga sebaiknya segera ke sana sebelum dia mulai membombardir ponsel kita."

Taiga menggaruk lehernya. "Kau duluan saja. Aku masih berhutang tiga lap lari."

"Oke." Lovell ternyenyum. "Jangan terlalu memaksakan diri. Sebentar lagi pre-season game, ingat jaga kondisi."

Dan, dengan itu, dia berjalan ke ruang loker, meninggalkan Taiga sendiri.

Taiga tahu maksud Lovell. Namun, kalau dia tidak berlatih, mana mungkin dia bisa mengejar Aomine yang sekarang. Taiga mengambil beberapa langkah sampai dia tiba di belakang garis two point. Bola basketnya menghentak lantai. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Kemudian, dia mengangkat bola itu. Kedua kakinya bergantung di udara seraya Taiga melempar bola ke ring.

Suara bola membentur metal bergema di ruang yang mulai kosong.

Lemparan Taiga lagi-lagi miss.

.

Taiga menunggu di parkiran, melipat tangan dan bersandar di sisi sopir mobilnya. Sedari tadi, satu per satu mobil di parkiran meninggalkan tempat itu. Anggota-anggota tim yang melihat Taiga menepuk punggungnya sebelum mereka beranjak. Beberapa dari mereka tak akan bertemu Taiga lagi sampai dua hari menjelang pre-season game di San Antonio.

Ketika hampir semua pemain sudah angkat kaki, Aomine keluar dari pintu depan dengan langkah percaya diri. Dia mengenakan celana pendek dan kaus putih bertulisan I Love SF yang dibelinya bersama Taiga di lokasi perbelanjaan penuh turis asing di San Fransisco dua bulan lalu. Rambutnya masih basah sehabis shower.

Setahun di Amerika, kulit Aomine yang memang dari semula sudah gelap, kini berwarna seperti cokelat. Dia sama sekali tidak terlihat seperti orang Jepang, terlebih karena postur dan tinggi badannya.

"Hei," sapa Taiga ketika Aomine berada di jarak beberapa meter dari mobil Taiga. Kedua alis Aomine bertaut. Dia tampak kesal.

Dahi Taiga mengerut. "Kenapa?" tanyanya.

Aomine melotot. Dia tidak menjawab, melewati Taiga begitu saja dan berputar ke sisi penumpang mobil. Taiga meringis ketika pintu mobil ditutup dengan keras.

"Oke. Terima kasih juga sudah menungguku," gumam Taiga kesal.

Taiga masuk ke dalam mobil, melihat bagian belakang kepala Aomine yang menoleh ke jendela selama beberapa saat. Lalu, seraya menggeleng, dia menyalakan mesin mobil dan keluar dari parkiran. Entah apa lagi yang terjadi bersama coach di dalam sana.

Taiga membawa mereka memutar, masuk ke jalan lintas antar negara bagian I-880. Biasanya, di jam-jam sore menuju malam, jalan ini penuh kendaraan. Taiga bernapas sedikit lega hari ini jalan tidak seramai biasanya.

Mereka diam selama perjalanan, sampai Taiga membelok di tikungan yang membawa mereka melewati exit Oracle Arena.

Sebuah billboard besar bermandikan cahaya muncul di sisi jalan. Di atas papan iklan terpampang foto profil Aomine yang sedang di tengah posisi fade away shot. Foto itu artistik, dengan cahaya minimal yang berfokus di Aomine sementara sekelilingnya hampir gelap. Pada sisi foto, tercetak logo tim mereka—jembatan Golden Gate berlatar biru—serta tanggal, tempat, dan informasi penjualan tiket pre-season game.

"Ah, jadi foto yang mereka ambil bulan lalu untuk ini," ujar Aomine dari samping Taiga. Nada suaranya terdengar sedikit ... pahit?

Taiga tahu bulan kemarin Aomine diminta melakukan sesi foto untuk promosi tim. Semua pemain yang aktif diminta melakukan itu. Bahkan, Taiga pun melakukannya. Hanya saja, ternyata sesi foto Aomine sedikit lebih spesial.

"Kau kedengaran tidak senang," kata Taiga.

Aomine mendengus. "Terserah mereka mau menggunakan fotoku untuk apa. Aku tidak mau ikut campur."

Taiga mengetuk setir mobil dengan jarinya. Dia menunggu beberapa detik, memindah jalur mobil ke sebelah kiri untuk memotong mobil di depannya, lalu, "Apa yang terjadi di dalam sana tadi?"

"Tidak ada apa-apa," jawab Aomine.

Taiga membiarkan Aomine bungkam. Satu hal yang dia pelajari soal Aomine selama setahun ini, laki-laki keras kepala itu tak akan membuka mulut kalau memang dia tak ingin bicara. Tak ada gunanya bertanya lebih lanjut. Namun, di luar dugaan Taiga, tak lama kemudian Aomine melanjutkan:

"Vanity Fair ingin membuat artikel tentangku. Kubilang kita berencana untuk liburan."

"Lalu mereka membatalkannya?" tanya Taiga.

"Heh, menurutmu? Kita akan bertemu dengan reporter Vanity Fair di LA dua hari lagi. Kemudian, dua hari setelahnya akan ada sesi pemotretan di Grand Canyon."

Taiga mengerjap. Majalah itu benar-benar menginginkan Aomine di halaman mereka sampai-sampai bersedia mengikuti jadwal liburan Aomine. "Oke, jadi kita tetap pergi. Good to know."

Aomine belum selesai menggerundel. "Coach bilang ini masa yang tepat bagi salah satu pemain tim kita untuk muncul di majalah itu. Tepat sebelum season dimulai agar hype meningkat. Persetan dengan semua itu. Aku ke Amerika untuk bermain basket, bukan untuk menjadi badut di depan kamera."

Taiga mencengkeram setir mobil. Sesuatu di dalam dadanya mengetat. Perasaan-perasaan jelek tidak bernama menyesaki dirinya. Taiga membuka mulut ingin berkata sesuatu, tapi tidak lama kemudian dia mengatupkannya kembali. Tidak ada kata yang terucap.

Hanya karena kalian sama-sama orang Jepang yang bermain di NBA dan tergabung di franchise yang sama, tidak lantas mereka bisa membanding-bandingkan kalian, kata-kata Lovell terngiang di benak Taiga.

Aomine tak bersuara lagi di sepanjang perjalanan dan Taiga membiarkannya.

.

Rumah Christesson duduk tepat di samping garis pantai Santa Cruz. Taiga tak bisa membayangkan berapa harga properti di lokasi itu. Walau mereka dibayar dengan kontrak jutaan dollar, Taiga tak yakin dia bisa membeli properti seperti ini.

Christesson dengan gelar sarjana bisnisnya mengubah dana dari kontrak atlet menjadi modal investasi, mengelevasi statusnya sebagai miliuner menjadi milyader. Dan tentu saja, nilai kontrak Christesson berpuluh kali lipat dari Taiga yang masih rookie .

Saat mereka sampai, Alicia membukakan pintu. Wanita itu menyambut mereka dengan senyum lebar, sederet gigi putih berpadu dengan lipstik merah muda. Mata berwarna hijau terang memancarkan keramahan yang tulus. Di balik kakinya, seorang anak kecil mengintip pendatang baru di rumah mereka.

"Hei, Alice," kata Taiga.

"Taiga," balas Alicia. "Daiki juga. Apa kabar kalian?"

"Al," kata Aomine sambil mengangguk. "Kami baik." Kemudian, Aomine berjongkok. Dia mengulurkan tangannya untuk anak kecil di belakang Alicia. "Hei, Rae. Masih ingat kami?"

Rae mengerling mereka dengan mata biru lebar. Rambut pirang ikalnya dibiarkan terurai membingkai wajah mungil. "Um. Paman Daiki?"

"Yep. Benar sekali." Aomine menyeringai. "Mau memberi kami pelukan?"

Rae mengerjap beberapa kali, lalu melihat ke atas mencari konfirmasi dari ibunya. Alicia mengangkat alisnya, tapi kemudian tersenyum dan mengangguk untuk Rae. Ujung-ujung bibir Rae tertarik ke atas. Dia kembali menoleh ke Aomine.

"Oke," katanya seraya berjalan keluar dari bayang-bayang kaki Alicia dan dengan nada yang memerintah dia menambahkan, "kau boleh gendong aku."

Taiga mau tidak mau melepaskan tawa kecil melihat tingkah Rae. Aomine membuka tangannya untuk menyambut Rae dan mengangkat anak itu. Rae melingkarkan kedua lengannya di leher Aomine. Dia melihat lurus ke Taiga setelah Aomine berdiri dengan Rae aman di dalam pelukan.

"Apa kabar Rae?" sapa Taiga.

"Hai, Paman Taiga," balasnya dengan suara kecil, mendadak kembali malu. Dia menyembunyikan ekspresinya ke bahu Aomine.

Taiga setengah tersenyum. Satu hal yang dia tidak sangka dari Aomine adalah Aomine yang sehari-hari cuek dan sering kali sendirinya bersikap seperti anak-anak ternyata pintar mengambil hati anak-anak. Taiga adalah anak tunggal. Sedari kecil dia sudah terbiasa mandiri karena dibesarkan di Amerika. Dia tak punya pengalaman berinteraksi dengan anak-anak.

"Heh," Aomine mendengus, melihat Taiga dengan raut mengejek.

Taiga memutar bola matanya. "Aomine, anak itu berumur lima tahun," katanya dalam Bahasa Jepang.

"Tetap saja. Dari dulu kau tidak pernah populer di kalangan wanita," kata Aomine.

"Memangnya kau tidak begitu?" balas Taiga.

"Aku—"

"Kalian tidak mau masuk?" Kalimat Aomine dipotong oleh Alicia.

Sedikit rikuh karena melupakan tuan rumah mereka, Taiga berpaling. "Ya. Mari," katanya.

Alicia mengulum senyum. "Yuk."

Alicia mengantar mereka ke ruang keluarga yang lengang. Deretan pintu kaca pivot terusun di salah satu dinding, memamerkan suasana malam pinggir pantai. Ruang keluarga itu sendiri kosong, tapi di luar, suara-suara obrolan berbaur dengan gaduh debur ombak. Taiga menangkap wajah-wajah familier dan beberapa yang belum pernah dilihatnya.

"Mereka semua di luar," kata Alicia. "Chris sedang menjaga grill. Kalian langsung ke sana saja, aku masih harus mengurus sesuatu di dapur."

"Oke. Thanks, Alice," kata Taiga.

Alicia mengangguk, lalu mendekati Aomine dan Rae. "Daiki, aku bisa minta tolong untuk menemani Rae sebentar?"

Aomine mengulas cengiran lebar. "Ya. Kau mau bersamaku, Rae?" Dia menatap Rae di gendongannya.

"Papa punya es krim. Aku boleh makan es krim?" tanya Rae dengan nada penuh harap.

Aomine melirik Alicia. Alicia mengedik bahu dan dengan pasrah dia berkata, "Pergilah."

"Kau kecil-kecil sudah manipulatif," kata Aomine. "Yuk, cari papamu."

Mata Rae berbinar. "Yey," katanya seraya memeluk leher Aomine.

Tanpa banyak kata lagi mereka meninggalkan Alicia. Di luar, ada sekitar dua puluh orang tersebar di teras berlapis decking kayu. Tidak ada pagar antara teras rumah dengan pantai, sehingga tamu-tamu bebas untuk turun ke pasir.

Taiga mulai mencari-cari wajah yang dikenalinya. Tidak seberapa jauh dari mereka, Nick Kaminsky, pria paling mungil di tim, sekaligus point guard mereka, menyadari kedatangan Taiga dan Aomine. Taiga menangkap matanya dan melambai. Nick segera menghampiri mereka.

"Hei, kalian kok telat," kata Nick, sedetik sebelum dia menyadari kehadiran Rae di pelukan Aomine. "Oh, ada putri kecil. Hai, Rae."

Rae kontan mengetatkan tangannya di sekeliling leher Aomine dan menekan wajah ke bahu laki-laki itu. Sebelah tangan Aomine naik dan menyentuh rambut Rae. "Rae?" tanya Aomine.

"Halo Paman Nick." Suara Rae disamarkan baju Aomine.

Kedua alis Nick terangkat dan dia mengerling Taiga. Taiga mengangkat bahu. Raut Nick seakan menghantarkan pesan, 'Yang benar saja?'

"Aomine baik ke anak-anak," kata Taiga.

Nick mengerutkan hidung. "Kulihat juga begitu. Tidak disangka."

"Kalian ini ...," kata Aomine.

Nick nyengir lebar. "Anyway," dia menepuk pundak Aomine, "kalau kalian mau bir, itu ada di dekat Christesson. Kalau mau makanan ada di dia juga." Nick menunjuk ke sudut teras, di mana Christesson yang sedang mengenakan celemek berdiri di depan panggangan barbeque besar. Sebuah cooler dan meja yang permukaannya melengkung karena nampan-nampan berisi makanan ada di samping Christesson.

Perut Taiga bergejolak melihat daging-daging dan finger food lain yang terpajang di sana. Setiap pulang latihan, biasanya dia dan Aomine langsung pergi mencari makan atau kembali ke rumah, membiarkan Taiga memasak. Kali ini pun perutnya sudah berteriak minta diisi.

"Uh." Suara kecil lolos dari bibir Taiga.

Nick tertawa seakan menebak jalan pikiran Taiga. "Pergilah, man. Kau juga Daiki."

Menuruti Nick, mereka bertiga berjalan ke tempat Christesson. Sama seperti Lovell, dia adalah veteran NBA, tapi bedanya Christesson sedari tahun rookie season -nya sudah bergabung dengan Golden State Warriors. Dia pernah merasakan menjadi pemenang piala NBA di tahun Stephen Curry dinobatkan menjadi MVP. Tahun ini, di usia tiga puluh empat, Christesson masih berkondisi prima.

"Chris," panggil Taiga saat mereka sudah di belakang sang tuan rumah.

Christesson berbalik badan. "Oh, hei! Kalian akhirnya sampai."

"Papa," kicau Rae. Dia berpaling dari badan Aomine yang terpaksa harus membenarkan gendongannya agar Rae tidak terjatuh.

Christesson tersenyum melihat anaknya. "Sugar, kau pasti sedang mengakali dua orang paman ini, hmm?"

"Aku mau es krim!" kata Rae.

Mata Christesson menyipit. "Bukannya kau sudah makan eskrim tadi siang? Mama bilang apa?"

"Mama bilang boleh. Aku mau eskrim," ulang Rae lagi.

"Rae..."

Rae menghentak tangannya. "Papa!"

"Oke. Oke." Christesson berpaling ke Taiga, dan dengan nada meminta tolong, dia berkata, "Taiga, kau bisa mengambilkan eskrim untuk Rae di cooler? Ada bir juga di sana, kalian silakan ambil juga. Tanganku agak penuh." Dia melambai sebelah tangannya yang sedang memegang pencapit dan sebelahnya lagi yang sedang terbungkus oven mitt tebal.

Taiga membungkuk untuk membuka kotak cooler, mengeluarkan sebuah eskrim cup dan dua botol bir. Dia memberikan eskrim itu ke Rae yang berterima kasih ke Taiga dengan suara lantang. Terlupakan sudah tabiat malu-malunya tadi. Ketika Taiga mengulurkan satu bir untuk Aomine, dia menyadari kedua tangan Aomine sibuk karena harus menggendong Rae yang menggeliat.

Taiga mengulas seringai penuh konspirasi. Dia menaruh kedua botol bir di atas meja, lalu berganti haluan untuk mengambil piring. "Karena kau sedang sibuk dengan wanita kecil itu," katanya dalam Bahasa Jepang, "aku makan duluan."

Mulut Daiki membuka. Raut wajahnya yang seakan dikhianati Taiga membuat Taiga tertawa lepas.

.

Beberapa jam kemudian, Taiga sedang duduk di ujung decking dengan kaki terkubur di dalam pasir ketika Lovell menghampirinya. Dia belum berbicara dengan Lovell sepanjang malam semenjak interaksi mereka di lapangan sore tadi. Lovell menawari Taiga sebotol Corona.

Taiga mengambil botol itu, matanya bertemu dengan wajah Lovell. "Thanks, man."

Lovell duduk di sampingnya, beringsut sedikit mundur seraya menjulurkan kaki ke pasir—lalu, menaruh botol Coronanya sendiri di ruang kosong antara mereka berdua.

"Merasa lebih baik?" tanya Lovell.

Taiga menatap buih-buih melayang dari dasar botol di tangannya selama beberapa saat. Jarinya bermain dengan label botol itu.

"Ya, kurasa begitu," jawabnya dengan jujur. Memang, berinteraksi dan bersenang-senang dengan teman satu timnya membuatnya merasa jauh lebih baik, walau tidak seluruhnya menghilangkan rasa tidak enak di dasar dadanya. Rasa tak enak itu sudah ada dari tahun lalu, tak akan dengan mudah hilang karena team bonding sehari.

"Bagus," kata Lovell.

Taiga menenggak birnya dan beberapa detik berlalu tanpa ada yang berbicara. Suara-suara obrolan dan debur ombak masih memenuhi udara. Di ujung pandangan Taiga, lampu-lampu kota Bay Area yang tidak pernah padam berdiri di atas garis laut.

"Taiga, maaf kalau aku membuatmu merasa tidak nyaman. Aku hanya—"

"Khawatir," pungkas Taiga. "Aku tahu."

Lovell mengangguk.

Taiga menggigit bibirnya. Taiga sudah mengenal Lovell sejak rookie season Taiga di Golden State Warriors. Waktu itu, Taiga yang baru saja masuk dari acara draft dan Lovell yang masuk karena barter anggota dengan Houston Rockets adalah sama-sama orang baru di tim ini. Walau terpaut beda usia lumayan jauh, mereka bisa menjalin pertemanan yang berarti.

Bila Taiga ingin membicarakan situasinya dengan seseorang, Lovell adalah pilihan terdekat—dan tertepat.

"Frank, sejujurnya yang membuatku lebih tidak nyaman itu ... aku tahu kau sudah melalui hal yang lebih berat dan entahlah ... kurasa aku tidak mau komplain di depanmu."

Lovell tertawa. "Taiga, kapan kau pernah komplain di depanku, kiddo? Yang ada aku sering melihatmu menghajar diri sendiri dengan latihan ekstra sampai kau tidak bisa berdiri akhir-akhir ini."

Taiga mengerutkan alisnya.

"Dan," lanjut Lovell, "hei, yang kualami waktu itu berbeda dengan apa yang kau hadapi. Aku yang dulu payah sehingga dilempar ke D-league, dibuang menjadi free agent , sesimpel itu. Tapi kau," Lovell menangkat tangannya untuk mengentikan Taiga yang ingin memotongnya, "aku sudah melihat permainanmu, Taiga. Dan kau bisa menjadi lebih baik."

Taiga menarik napas. "Pertama," mulai Taiga, "Frank, aku memang masih anak ingusan di masa kau mulai bermain basket secara profesional. Tapi, man, aku masih tinggal di LA waktu kau bersama dengan LA Clippers, dan di game pertamamu, percaya atau tidak, aku ke sana bersama dengan Ayah untuk melihat LeBron James. Tapi yang tersisa di pikiranku sepulang dari game itu bukan pemain bintang dari Cleveland, melainkan center rookie yang mengumpulkan 6 assist dan 8 rebound di quarter terakhir."

Lovell tertawa lagi. "Kau tidak pernah cerita tentang hal ini sebelumnya?"

Taiga menggaruk kepalanya. "Ya, pertama kali bergabung dengan tim, aku lebih sibuk terkena star struck daripada konsentrasi latihan. Memangnya kau tak sadar?"

Lovell menepuk kepala Taiga. Cengiran menghiasi wajahnya. "Thanks . Tapi, di penghujung hari, yang namanya rebound tetap bukan mencetak skor. Yang dielu-elukan di akhir game tetap idolamu si LeBron."

"Frank -"

"Kid, " Lovell memotong Taiga. "Aku baik-baik saja. Sudah dua belas tahun berlalu dan aku bahkan sudah tidak ingat kekalahan malam itu kalau kau tidak cerita tadi."

Taiga menurunkan pandangannya. "Maaf," katanya.

"Hei, kau tidak salah apa-apa. Kenapa minta maaf?"

"Karena kau jadi ingat lagi dengan malam di mana LA Clippers digiling 120 - 95 oleh Cleveland Cavaliers?"

Lovell meringis dan dia menepuk kepala Taiga lagi, kali ini dengan serius. "Kau memang anak brengsek," katanya.

Taiga tersenyum lebar. "Ya, untung kau tahu."

Lovell memutar bola matanya. "Anyway , yang kedua?"

"Apa?"

"Tadi kau bilang pertama. Jadi ada yang kedua?"

Taiga mengerjap. Dia sudah hampir lupa poinnya tadi. Namun, setelah menghela napas dalam, Taiga memulai, "Kedua, entahlah, Frank. Kurasa memang dibanding dengan Aomine aku tidak ada apa-apanya."

Lovell menggeleng. Dia terdiam sesaat, mengambil birnya yang kini mulai berkeringat dan meminumnya, lalu, "Daiki adalah Daiki. Aku dengan senang hati mengakui kalau aku lega dia ada di tim kita, bukannya tim lawan. Tapi, Taiga, seperti yang sudah kukatakan padamu sore tadi, kalian memang sama-sama orang Jepang tapi kalian berbeda."

Taiga mengusap wajahnya. "Kau tahu, Frank, aku dan Aomine, kami adalah semacam rival di masa SMA. Aku bergabung dengan tim dari sekolah yang tidak terkenal dan dia di sekolah unggulan yang diprediksi akan menang kejuaraan," Taiga tersenyum sumbing, "dan kami mengalahkan sekolah itu, menjadi juara dua tahun berturut-turut. Dari dulu kemampuannya memang spesial, tapi melihat dia yang sekarang ... dia seperti orang berbeda."

"Taiga, aku punya seorang sepupu yang seumurmu. Dia dulu tergabung dengan tim basket universitas Temple. Harusnya kau masih ingat. Musim panas dua tahun lalu, kalian bertanding di final. Kau melempar bola tepat ketika shot clock berganti ke nol dan bel berbunyi. Lemparanmu masuk dan angka score board Connecticut berganti dari 70 menjadi 73. Conneticut memenangkan piala NCAA dengan 72-73. Sama seperti kau yang harusnya mendukung LeBron, aku juga harusnya mendukung Isiah waktu itu, tapi aku malah ikut bersorak waktu kau skor."

Taiga terbahak. "Jadi maksudmu kita memang berjodoh?"

Lovell menyeringai. "Semacam itu?"

"Kau membuatku terharu, old man," seloroh Taiga.

Lovell mendengus. "Tapi, kid, dengarkan aku. Kau latihan dengan berat tahun ini. Kau punya shooting coach baru. Kau punya regimen fitness khusus. Dan season bahkan belum dimulai. Aku tahu kau punya kemampuan. Tunjukkan ke mereka."

Taiga menunduk. Pipinya sedikit memanas. Dia ingin menyalahkan alkohol yang sudah ditenggaknya dari tadi, tapi sesuatu yang mengembang di dadanya berkata lain. "Thanks, man."

"Kau memang seperti tuan putri. Disemangati olehku harganya mahal."

Taiga menggelak kecil. "Mau kuambilkan bir lagi?"

Lovell melihat Corona yang hampir kosong di tangannya. "Boleh," katanya.

Taiga mengambilkan bir untuk Lovell dan dirinya sendiri, kemudian kembali duduk di samping Lovell.

"Hei, kau dan Daiki seperti anak kembar setahun terakhir ini. Kalian selalu terlihat bersama. Dan, bukannya aku mau mengungkit hal yang sudah kita bahas tadi ... tapi, Daiki melihat artikel itu juga, kan? Sejak artikel itu diterbitkan, sikapmu berbeda. Artikel itu pun menyangkut Daiki. Kau sudah membicarakannya dengan dia?" tanya Lovell.

"Aku berharap Aomine tidak akan mengungkitnya. Lagipula, entah apa isi kepalanya, tapi kurasa dia tidak pernah berpikir tentang hal seperti itu."

Lovell menyentuh bahu Taiga dan memijatnya.

"Kami akan road trip ke Grand Canyon besok."

"Anak kembar."

Taiga menyikut Lovell.

.

Semakin larut, angin di pinggir pantai semakin kencang. Gelombang pasang mendekatkan garis laut ke darat dan suara ombak yang berlomba-lomba mendebur pasir memecah malam. Puncak-puncak lengkung ombak tinggi membuat Taiga setengah berharap dia membawa papan selancar. Walau, sejujurnya hanya orang yang sudah penuh persiapan khusus atau orang bodoh yang berselancar di tengah kegelapan. Kemungkinan serangan hiu sama tingginya dengan di siang hari, tapi saat tidak bisa melihat apa-apa, kau tak bisa mempertahankan diri. Belum lagi bahaya lainnya seperti bebatuan dan benda-benda apung.

Taiga melangkah ke dalam air dangkal dan membiarkan air menyapu pergelangan kaki telanjangnya. Sepatunya sudah dia tinggalkan tidak jauh dari teras rumah Christesson. Bulu-bulu kuduknya meremang tersapu oleh angin. Dia sedikit gemetar kedinginan dan menyimpan kedua tangannya ke dalam saku celana jins.

Hiruk pikuk tamu-tamu Christesson sudah mereda. Sebagian besar dari mereka sudah pulang, menyisakan beberapa orang yang terlalu mabuk untuk menyetir dan teman-teman tim mereka yang membantu Christesson dan Alicia membereskan grill. Taiga sendiri sudah merasa agak pusing karena botol-botol bir yang dikosongkannya malam itu. Dia tidak menghitungnya, tapi Lovell menyetop Taiga ketika dia bangkit untuk mengambilkan mereka bir lagi dan Taiga tersandung walau tidak ada apa-apa di depannya. Lovell sendiri masih tak mabuk walau mereka menghabiskan kurang lebih jumlah yang sama. Raksasa sial.

Di dasar benaknya, Taiga tahu sudah saatnya dia dan Aomine pun mengangkat kaki dari tempat ini, tapi entah kenapa dia enggan untuk beranjak dari posisinya. Dia belum menghampiri Aomine sepanjang malam semenjak dia meninggalkan laki-laki itu bersama Rae di samping meja makanan.

Seperti dipanggil oleh pikirannya, suara familier datang dari belakang Taiga.

"Oi, kau sedang apa?"

Taiga berbalik badan. Aomine berkacak pinggang di pantai. Kaus putihnya bernoda merah muda di sepanjang bahu kanan. Bisa dipastikan itu datang dari es krim yang dipegang Rae.

"Tidak sedang apa-apa." Taiga mengangkat bahu. "Rae sudah tidur?"

"Dia sudah masuk ke kamarnya," kata Aomine.

"Kau sudah selesai, kan. Sudah mau pulang?" tanya Taiga.

Aomine mengangguk. "Chris sudah memanggil taksi untuk sebagian orang. Hanya kau yang masih di luar sini."

"Oh."

Taiga melangkah ke tempat Aomine. Tanpa disadarinya dia sudah masuk ke air sampai setinggi lutut. Celana jinsnya terasa berat ketika dia menggerakkan kaki.

"Ow." Keseimbangan Taiga terganggu karena sapuan ombak deras, membuatnya terjatuh membarbur air dingin. Telapak tangannya menyerap sebagian besar tubrukan ke dasar. Rasa sakit membumbung dari sana.

Aomine masuk ke dalam air dan menarik siku Taiga, membantunya untuk berdiri. "Kau ini mabuk atau apa, sih?" tanyanya.

Taiga mencoba mendorong Aomine agar dia melepaskan Taiga, tapi perutnya memilih momen itu untuk bergejolak. Asam empedu naik ke kerongkongan Taiga dan dia memuntahkan isi perutnya ke laut. Di ujung kesadarannya, Taiga merasakan Aomine menepuk-nepuk punggung Taiga.

"Oke. Kau seratus persen mabuk," katanya ketika Taiga sudah mengeluarkan apa yang bisa dikeluarkan dari perutnya.

Mulut Taiga terasa pahit. Dia menyapu bibirnya dengan tangan dan menggeleng. "Aku baik-baik saja."

"Heh, baik-baik saja dari mana," cibir Aomine.

Taiga melempar tatapan tajam ke Aomine yang dibalas Aomine dengan raut malas. Dia tak mengatakan apa-apa, alih-alih tangannya memandu Taiga agar lengan Taiga bertopang di sekeliling bahu Aomine. Taiga ingin protes, tapi lagi-lagi perutnya mengancam untuk meluap.

Mau tak mau Taiga membiarkan Aomine menuntunnya. Mereka keluar dari air dengan tertatih dan pelan-pelan menyusuri pantai untuk kembali ke rumah Christesson. Perasaan Taiga berkecamuk. Dia tak ingin Aomine melihatnya begini. Dia tak ingin Aomine membantunya walau dia sendiri tak mengerti mengapa dia merasa seperti itu.

Kepalanya berputar dan rasa mual belum juga kunjung hilang. Taiga memasrahkan dirinya dituntun Aomine seraya menggemeretak gigi.

.